Percakapan di Sudut Kota

Randy Syahrizal *

Dan seperti kataku kemaren ditempat ini, sebuah warung kopi dipinggir jalan....

“ Kau takkan mampu berdiri diatas kekurangan-kekurangan yang tak mampu kau atasi sendiri“. Dan kau diam saja, tak mendebat dan tak juga menolak perkataanku. Kau persis sama seperti si kepala batu yang pernah dikisahkan temanku yang lain. Si kepala batu. Ya, julukan itu memang sama menggelikannya dengan si pening kepala nomor satu, julukan seorang teman yang hanya pandai mengeluh dan bermuka suntuk. Dia memang tak pernah bisa menjalankan jalan keluar masalahnya apa lagi memikirkan resolusi masalah-masalahnya? Dia memang unik. Otaknya hanya diputar-putar untuk mencari-cari alasan kegagalan. Ya..sungguh tragis. Tapi sudahlah, aku tak suka mebahas-bahas tentangnya.

Aku pernah usulkan kepadamu, hiduplah dengan berjuta-juta harapan. Dengan begitu kau akan lebih merasakan hidup yang berat dan berliku-liku, tapi penuh keasikan tersendiri. Kemudian dia bertanya “ bagaimana cara memulainya..?”

Ya pertanyaanmu memang pertanyaan yang memuakkan. Kau memang instan. Aku tak mungkin memberi satu julukan lagi untukmu hanya karena pertanyaan itu. Tapi sudahlah, lupakan pertanyaan itu. Dengan setengah kemuakkan aku coba menjawab pertanyaannya.

“ Kau bisa menulis..? ” tanyaku.

“ Tentu bisa.” Jawabnya.

"Baguslah. Modal awal sudah kau miliki."

"Lantas apa maksudmu bertanya itu kawan..?"

"Begini kawan. Aku pribadi punya keinginan yang begitu besar. Namun apakah kau lihat dirikku sebesar kemauanku..? tapi itu bukan persoalan utama. Kau tahu, bahwa aku ingin menjadi Tuhannya binatang. Dengan menjadi Tuhan bagi binatang, maka aku bisa memerintahkan dan melatih binatang untuk meruntuhkan peradaban manusia. Tahukah kau binatang punya cukup syarat untu melakukan pekerjaan itu..?"

"Apakah aku sedang berbicara dengan orang gila? dia bertanya kepadaku.
Aku tak perduli tentang penilaianmu soal kejiwaanku. Setiap orang berhak untuk memilih hidup menjadi gila atau lurus-lurus saja. Dan aku memilih hidup untuk menjadi super man atau maha manusia."

"Tentulah impianmu utopis, kawan. Bagaimana mungkin kau bisa menjadi Tuhannya binatang sedangkan kau takkan mungkin berkomunikasi dengan binatang? dan bagaimana mungkin kau bisa menjadi Tuhannya binatang sedangkan kau hidup ditengah-tengah kota tempatnya manusia-manusia modern bersarang? fatalnya lagi, apakah kau tak percaya bahwa manusia dan binatang mempuyai Tuhan yang sama? apakah kau seorang atheis?
Dan aku tahu penghakimanmu atas obsesiku berlebihan. Baiklah kawan, aku tak perduli argumenmu. Setiap yang hidup punya harapan dan sandarannya masing-masing. Tak usah kau ributi aku dengan persoalan ketuhanan, bagiku sudah cukup ceramah-ceramah soal itu aku dapat. Dan sekali lagi kau harus tahu tentang harapan dan pengharapan. Meskipun begitu, aku suka pertanyaanmu."

"Ya, baru kali ini aku suka dengan pertanyaanmu. Kau tahu dimana dan bagaimana cara dan siasatku untuk mewujudkan itu? jawabannya sama seperti pertanyaanku di awal tadi. M E N U L I S . bukankah itu usaha terhebat kawan? jika aku menulis bahwa kau akan mati esok, maka kau akan mati tepat seperti apa yang aku inginkan. Seorang pembaca tinggal hanya membuka halaman dimana kalimat tentang kematianmu kutulis, dan si pembaca akan meyakini bahwa kau memang benar-benar mati dalam kisah cerita yang aku buat. Bukankah itu hebat?"

"Dan kawanku tertawa hebat. Hahahahhaa...itu biasa kawan. Kemerdekaan seseorang tidak serta merta dapat terwujud dalam realita hidup kita. Kau asik dengan duniamu sendiri, asik dengan penciptaanmu sendiri, dengan akal-akalanmu sendiri dan dengan kegilaan-kegilaanmu sendiri. Meskipun begitu, aku akui menulis itu hebat, meski aku tak suka larut didalamnya. Kau tahu alasannya? Aku tidak tahu alasanmu. Dan setiap orang punya alasan dalam hidupnya."

"Begini kawan. Kau tahu harga sembako dipasaran sedang naik? dan kau tahu angka kenaikannya berapa? kemudian kau tahu apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita?"

Aku menjawab. "Tentu aku tahu."
"Kita sama-sama melihat berita dan membaca surat kabar. Lalu kenapa? Dia melanjutkan. Semua orang patut menyesalkan realita itu, terutama yang ekonominya morat marit. Setiap orang punya keluh kesah. Dan jika semua orang berprilaku sama sepertimu, maka jalanan dan kota-kota akan penuh dengan tulisan-tulisan yang menggambarkan kehidupan yang ideal, kehidupan yang berlawanan dengan situasi hari ini. Kota kita akan terkubur oleh kertas – kertas buram. Dan seluruh orang akan sesak nafas karenanya. Kau bisa hitung berapa banyak kekecewaan yang pernah kau alami? coba kau bayangkan berapa banyak kekecewaan yang terlahir dari jutaan manusia di kota ini? tentu aku semakin bingung karenanya. Lagi-lagi harus aku katakan padamu, pergilah kau ke Mahoni**."

"Lalu apa masalahnya?" tanyaku

"Kau masih tak mengerti juga? baiklah aku jelaskan lagi. Jika seluruh manusia dikota ini berjumpa denganmu dan menerima solusimu, maka seluruhnya manusia dikota ini hanya akan menjadi egois dalam hidupnya masing-masing. Mereka pasti hanya gemar dan hanya akan punya satu kesibukan. Membuat dunianya sendiri didalam rangkaian cerita yang diciptakannya. Apa kau ingin aku seperti itu?"

"Bukan kawan. Sama sekali bukan begitu. Aku hanya ingin kau berpengharapan. Aku hanya ingin kau mendokumentasikan harapan-harapanmu dalam tulisan agar kau tak lupa dengan dirimu. Agar kau mengenal dirimu seutuhnya. Kau akan tahu mana harapan yang dapat terwujud dalam waktu singkat dan mana yang membutuhkan waktu yang panjang. Kau bisa menata hidupmu. Hanya itu yang aku maksud. Makanya aku tak perduli dengan penilaian-penilaianmu tadi tentang kejiwaanku. Aku hanya berpikir bahwa dengan menulis manusia akan dapat menata hidupnya. Sama sekali bukan untuk menjadikan diri kita egois. Kau mengerti?"

"Hmm, setidaknya aku mulai faham maksudmu. Aku suka gagasanmu. Baiklah. Kau tahu apa yang paling aku takuti sekarang ini? aku takut dirumah. Ketakutan itu mulai muncul pada saat ayam jantan berkokok dipagi hari. Kau tahu bahwa aku selalu terjaga lebih dulu dari ayam itu? ya, karena aku hampir tak bisa tidur dimalam hari. Seisi rumah tak perduli apapun alasan yang aku utarakan. Yang mereka tahu hanyalah aku ini sarjana lulusan Universitas negeri terkemuka di kota ini. Dan yang mereka tahu aku belum bekerja. Aku tahu banyak orang termasuk orang tuaku menganggap kerja adalah rutinitas manusia mencari uang pada pukul 08.00 sampai dengan 17.00 WIB. Ya, kerja adalah rutinitas yang memakan waktu 8 sampai dengan 9 jam. Dan kau tahu, hampir setiap hari aku selalu memainkan peran berpura-pura agar orang tuaku berhenti menceramahiku. Dan kau tahu apa yang aku rasa? aku mulai bosan dengan semua yang kubuat. Aku benar-benar terbeban menyandang titel itu. Padahal kau sendiri tahu, titel bukanlah apa-apa. Dia tidak selalu mewakili isi kepala manusia."

"Kau ingat kita pernah sama-sama mendiskusikan tentang filosofi pendidikan? Dan kau ingat bahwa kita sama-sama menyimpulkan bahwa kerbau sekalipun akan mendapatkan titel jika dia membayar uang kuliah, membeli diktat kuliah dan hadir tepat waktu diperkuliahan. Apakah inilah hasilnya, ketika manusia tidak lagi dihargai jerih payahnya menggapai titel sarjana? Atau apakah sarjana memang barang murahan yang bisa diperjual belikan sehingga tak mampu lagi mewakili isi kepala seseorang? Dan itulah sebabnya mengapa aku membenci temanku karena kerjanya hanya mebuatkan skripsi orang-orang malas yang hanya mengandalkan uang. Dan uang melebihi kuasa apapun dikota ini."

"Ya ya, makin serius saja kau ini. Ucapku sambil menyeruput kopi yang mulai dingin.
Sungguh tragis kalau tidak bisa dibilang kehancuran. Tapi terkadang justru sebaliknya kawan. Aku terkadang menyesali pilihanku mundur dari perkuliahan. Meski kau bilang titel itu tak punya kuasa lebih, tapi dia sudah menjadi candu bagi anak-anak muda. Dia sudah menjadi trend tersendiri dan banyak orang tak lagi malu mengumbar aibnya sendiri menyogok makelar dengan uang ratusan juta hanya untuk mendapat status pegawai negeri sipil golongan lulusan universitas. Semua kuasa ada ditangan orang-orang kaya. Semua perintah dikota kita berada didalam rongga mulut orang-orang tolol, malas tapi kaya akan uang. Dan semua keputusan tidak agi sesuai dengan apa yang dimau mayoritas manusia dikota kita. Tapi bukankah ini sering kita diskusikan? Aku pikir tidak ada yang baru dalam masalahmu. Ini bukan hanya masalahmu. Ini masalah anak muda dikota kota."

"Iya, aku tahu itu. Dan masalah ini tak pernah selesai. Pernahkah kau menghitung berapa gelas kopi yang usdah kita habiskan diwarung ini hanya karena kita membahas persoalan ini? Entahlah. Aku sendiri tak mau menghitungnya."

"Sudahlah kawan. Aku bosan dengan keluh kesah itu. Aku ingin berhenti mengejekmu dengan sebutan kepala batu. Ayo kita pulang. Besok masih banyak yang harus kita pikirkan. Kita hidup dengan hutang yang banyak. Kita cari saja pekerjaan apapun yang bisa kita kerjakan dan menerima kita bekerja. Kita tutup saja pembicaraan tentang itu diwarung ini. Biarlah suara-suara itu membesar dengan sendirinya dijalanan."

Medan, 23 Oktober 2010

Ket:
* Penulis aktif di Komunitas Sanggar Bebas Merdeka (SBM) Medan
** Nama Rumah Sakit Jiwa di Kota Medan.



Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger