Negeri Ini Tak Ber-Tuan

Oleh: Randy Syahrizal

Seorang kakek berusia hampir 83 tahun bercerita kepada pemuda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri tentang kisah hidupnya di masa pemerintahan presiden Sukarno, seorang sosok pemimpin yang sangat dikaguminya. Dia menceritakan sosok Sukarno ibarat dewa penyelamat yang sengaja diturunkan Tuhan ke dunia untuk membebaskan masyarakat jelata yang setiap harinya harus bekerja untuk memenuhi kantong-kantong kompeni penjajah.

“Tahun 1937. Aku masih muda waktu itu, baru berusia 19 tahun. Tapi aku sudah melahirkan ayah mu dalam kondisi yang serba kekurangan. Aku bahkan harus membohongi ayahmu saat air susu ibunya mengerinng dan digantikan dengan air rebusan beras. Beruntung dia mampu melewati masa-masa sulit dan berhasil tumbuh besar meskipun kecerdasannya tidak serupa dengan anak-anak seusianya yang beruntung mempunyai bapak seorang pegawai kantoran pemerintahan kolonial.” Matanya memerah mengingat kisah itu. Dia kemudian melanjutkan lagi ceritanya.

“Di umurku yang ke 22, aku dibujuk mandor Sumatera untuk bekerja di tanah Deli. Dia menwarkan kepadaku gaji yang besar, kira-kira dia menawarkan gaji kepadaku sebesar 2 benggol atau sama dengan hampir 5 kg beras perhari pada masa itu. Aku yang tak tahan hidup miskin pun akhirnya mengiyakan tawarannya dan aku pun ikut pergi ke tanah Deli, tanah yang sebelumnya belum pernah aku injak. Konon cerita teman-temanku, tanah Deli yang tersohor itu terkenal dengan masa depan kehidupannya yang cerah. Itulah yang membuatku tergiur.”

“Aku pun berangkat dan bekerja disana sebagai koeli kontrak. Aku tinggalkan nenek dan ayahmu yang masih kecil. Aku pikir bahwa dengan upahku itu aku bisa membahagiakan mereka di Jawa. Setelah beberapa hari di Deli aku mulai melihat bahwa semanis apapun penjajahan menawarkan kebaikan, tetap saja semuanya palsu. Aku disodorkan beberapa paket peraturan kerja. Sebelumnya aku sudah melihat ada kuli yang disiksa karena ingin berhenti bekerja. Aku memutuskan untuk menunda bekerja dan membuat alasan sakit kepada mandor untuk penundaaan kerja. Dalam kebimbangan itu, aku memutuskan untuk kembali lagi ke Jawa hidup bersama keluarga. Kesulitan juga lah yang membawaku menghirup kembali tanah kelahiranku.

“Tak lama setelah itu, gema kemerdekaan berteriakan dimana-mana. Waktu itu ayahmu berumur 9 tahun. Dia tidak sekolah, tapi ia lihai beternak ayam. Dia masih saja buta huruf. Meskipun dia buta huruf, tapi dia mampu berhitung. Dia tak bisa ditipu soal hitungan. Dia sendiri yang menjual ayam-ayamnya ke pasar. Ayahmu sebenarnya orang yang cerdas andai saja aku mampu menyekolahkannya.”

“Kau tahu, meskipun kami buta huruf tapi kami tahu arti kolonialisme dan penjajahan. Kami juga tahu arti kemerdekaan dan istilah-istilah politik lainnya. Banyak anak-anak muda yang datang ke rumah-rumah di desa kami hanya untuk memberi tahu kami bahwa Belanda itu jahat. Belanda itu datang hanya untuk merampok kekayaan alam kita dan menjadikan rakyat jelata sebagai budak ditanah yang kaya ini. Dari anak-anak muda itulah kami tahu kalau Sukarno yang pernah beberapa lama menghilang ternyata dibuang oleh Belanda. Dan aku ingin sekali ayahmu kelak sama cerdasnya dengan anak-anak muda yang datang ke desa-desa itu.”

“Tak banyak yang bisa ku ingat. Namun yang pasti hidup dalam masa-masa kemerdekaan itu memang indah. Setiap hari kami mendapat kabar tentang jalannya pemerintahan kita yang sah. Kami tahu tentang ancaman-ancaman yang terus datang dari negara-negara barat yang masih ingin merampok lagi ditanah yang subur ini.“

“Dahulu tidak seperti sekarang ini. Terkadang aku sedih mendengar cerita kawanmu yang habis seratusan juta hanya untuk menyuap masuk menjadi anggota ABRI. Aku selalu teringat ayahmu yang tanpa sepengetahuanku mendaftar menjadi anggota BKR. Waktu itu tidak ada suap menyuap.

"Kau tentu heran bukan?”

“Seperti Film Naga Bonar?” tanya pemuda itu.

“Mungkin tepatnya mirip”. Jawab kakek.

“Mau membela negara saja kok harus menyuap segala. Itu kan aneh namanya.” Lanjut kakek.

“Tapi sekarang ini memang begitu kek. Semuanya serba telanjang. Jadi pegawai negeri juga begitu. Hampir sama biayanya.

“Itulah bedanya di zaman Sukarno. Dia itu tahu betul apa yang harus dibuatnya untuk kemajuan bangsa dan tanah airnya. Dia tak butuh mobil tertutup seperti presiden sekarang jikalau turun ke daerah-daerah menjumpai rakyatnya. Kalau Presiden sekarang turun ke daerah, masyarakat bukan menyambut hangat tapi malahan mendemo. Beda betul dengan Sukarno.”

“Kau tahu kenapa Sukarno begitu dipuja rakyat? Dan kau tahu kenapa aku tak pernah mau menggantikan foto Sukarno dengan presiden sekarang?”

“Bisa kakek jelaskan padaku?” pinta pemuda itu.

“Soekarno itu anak kandung sejarah bangsa-bangsa yang ditindas. Dia lahir dan membesar di masa-masa bangsa barat giat-giatnya mengeksploitasi bangsa-bangsa terbelakang seperti Asia dan Afrika. Dia mewakili semangat orang-orang teraniaya. Semasa hidupnya, ia abdikan untuk perjuangan kemerdekaan. Di buang dan di asingkan tak membuatnya lupa akan sejarah pahit yang melahirkannya. Dia dekat dan nyata dimata kami orang-orang kecil.”

“Dia tak perlu legitimasi kertas suara seperti presiden sekarang yang suka berdalih dipilih oleh mayoritas rakyat. Kertas suara manapun dan mau direkayasa seperti apapun tak akan menggoyahkan kecintaan rakyat kepadanya. Waktu itu angka-angka bukanlah bilangan pasti. Yang pasti, kami tahu betul akan masa depan yang cerah.”
“Dia tentu berbeda dengan presiden sekarang yang suka bermain dengan angka-angka, suka bermain-main dengan sandiwara dan suka berpelukan mesra dengan orang-orang barat. Aku yang tua ini pun sering merasa bahwa ada atau tidak ada presiden rasanya sama saja. Aku pikir lebih baik jika dia tidak ada dari pada harus memakan gaji dari pajak rakyat yang tak berbuah kesejahteraan.”

“Jika kau suka berhitung, coba hitunglah berapa banyak uang negara habis untuk menggaji orang-orang pemerintahan sekarang ini, dan coba kau bandingkan manfaat apa yang didapat oleh rakyat? Jika tidak bermanfaat artinya rakyat merugi. Coba bayangkan jika rakyat tidak hanya merugi tapi dijajah dan dibikin sengsara oleh orang-orang yang digajinya setiap bulan?”

“Apa kakek menyuruhku untuk menghitung berapa banyak penderitaan setiap harinya?”
“Itu ide gila namanya kek.” sambil tertawa pemuda itu menyulutkan api ke rokoknya.
“Aku tak menyuruhmu menghitung penderitaan, karena takkan mampu kau hitung penderitaan yang begitu banyak. Untuk menghitung penderitaan yang kau alami saja kau mungkin tak sanggup.”

“Aku pikir karena kau seorang pemuda yang berpendidikan tinggi, kau juga harus mampu untuk menghitung berapa besar uang negara yang dirampok pemerintahanmu sendiri. Itu tugas dan tanggung jawabmu kepada rakyat sebagai orang yang berkesempatan terdidik dan terpelajar."

“Disekelilingmu banyak sekali yang tak tahu bagaimana cara menghitung uang negara bukan?” tanya kakek itu."

“Jangankan mereka, aku sendiri pun masih sulit menghitungnya. Entah dari mana aku harus memulai menghitungnya, aku sendiri masih bingung. Ide kakek membuatku kebingungan. Ada ide yang lain selain itu..?"

“Hahaha...generasi muda sekarang banyak mengeluhnya. Belum dikerjakan sudah mengeluh duluan. Padahal makananmu lebih baik dan bergizi dari apa yang ku makan dulu.”

“Aku mulai dengan pertanyaan sederhana kepadamu, Siapakah yang menjadi Tuan dalam teori demokrasi?”

“Rakyat” jawab pemuda itu.

“Baiklah, lantas cara sederhana menghitungnya begini, jika penghasilan rata-rata rakyat jauh dibawah penghasilan orang-orang pemerintahan atau pejabat-pejabat yang berkuasa artinya ada perampokan hak disitu. Jika kita mau saja sedikit rajin untuk mencari kebenaran angka-angka yang dirampok, maka dengan pasti kita akan mendapat kepastian dan titik terangnya. Jika tidak pun, secara gelap kita masih bisa menyimpulkan secara nyata bahwa negeri ini sudah tidak lagi ber-tuan, karena tuannya tidak lagi memiliki kuasa.” Kau bisa mengerti yang kukatakan? Tanya kakek itu.

“Ya” jawab pemuda itu.

“Tapi aku masih heran, dari mana kakek mendapatkan pengetahuan seperti itu..?”
tanya pemuda itu.

“Kau tak perlu heran. Zamanmu berbeda dengan zamanku. Semangat zamanku yang membawaku pada pengetahuan lebih jauh tentang ekonomi dan politik pemerintahan. Aku memang telat, tapi bukan berarti melemahkanku untuk belajar dimana saat usia 25 tahun lah baru aku bisa membaca. Semua itu dipengaruhi oleh semangat zaman.”

“Masa kau dan aku memang berbeda. Dan kau tak boleh lupa akan sejarahmu”.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger