Percakapan di Sudut Kota

Randy Syahrizal *

Dan seperti kataku kemaren ditempat ini, sebuah warung kopi dipinggir jalan....

“ Kau takkan mampu berdiri diatas kekurangan-kekurangan yang tak mampu kau atasi sendiri“. Dan kau diam saja, tak mendebat dan tak juga menolak perkataanku. Kau persis sama seperti si kepala batu yang pernah dikisahkan temanku yang lain. Si kepala batu. Ya, julukan itu memang sama menggelikannya dengan si pening kepala nomor satu, julukan seorang teman yang hanya pandai mengeluh dan bermuka suntuk. Dia memang tak pernah bisa menjalankan jalan keluar masalahnya apa lagi memikirkan resolusi masalah-masalahnya? Dia memang unik. Otaknya hanya diputar-putar untuk mencari-cari alasan kegagalan. Ya..sungguh tragis. Tapi sudahlah, aku tak suka mebahas-bahas tentangnya.

Aku pernah usulkan kepadamu, hiduplah dengan berjuta-juta harapan. Dengan begitu kau akan lebih merasakan hidup yang berat dan berliku-liku, tapi penuh keasikan tersendiri. Kemudian dia bertanya “ bagaimana cara memulainya..?”

Ya pertanyaanmu memang pertanyaan yang memuakkan. Kau memang instan. Aku tak mungkin memberi satu julukan lagi untukmu hanya karena pertanyaan itu. Tapi sudahlah, lupakan pertanyaan itu. Dengan setengah kemuakkan aku coba menjawab pertanyaannya.

“ Kau bisa menulis..? ” tanyaku.

“ Tentu bisa.” Jawabnya.

"Baguslah. Modal awal sudah kau miliki."

"Lantas apa maksudmu bertanya itu kawan..?"

"Begini kawan. Aku pribadi punya keinginan yang begitu besar. Namun apakah kau lihat dirikku sebesar kemauanku..? tapi itu bukan persoalan utama. Kau tahu, bahwa aku ingin menjadi Tuhannya binatang. Dengan menjadi Tuhan bagi binatang, maka aku bisa memerintahkan dan melatih binatang untuk meruntuhkan peradaban manusia. Tahukah kau binatang punya cukup syarat untu melakukan pekerjaan itu..?"

"Apakah aku sedang berbicara dengan orang gila? dia bertanya kepadaku.
Aku tak perduli tentang penilaianmu soal kejiwaanku. Setiap orang berhak untuk memilih hidup menjadi gila atau lurus-lurus saja. Dan aku memilih hidup untuk menjadi super man atau maha manusia."

"Tentulah impianmu utopis, kawan. Bagaimana mungkin kau bisa menjadi Tuhannya binatang sedangkan kau takkan mungkin berkomunikasi dengan binatang? dan bagaimana mungkin kau bisa menjadi Tuhannya binatang sedangkan kau hidup ditengah-tengah kota tempatnya manusia-manusia modern bersarang? fatalnya lagi, apakah kau tak percaya bahwa manusia dan binatang mempuyai Tuhan yang sama? apakah kau seorang atheis?
Dan aku tahu penghakimanmu atas obsesiku berlebihan. Baiklah kawan, aku tak perduli argumenmu. Setiap yang hidup punya harapan dan sandarannya masing-masing. Tak usah kau ributi aku dengan persoalan ketuhanan, bagiku sudah cukup ceramah-ceramah soal itu aku dapat. Dan sekali lagi kau harus tahu tentang harapan dan pengharapan. Meskipun begitu, aku suka pertanyaanmu."

"Ya, baru kali ini aku suka dengan pertanyaanmu. Kau tahu dimana dan bagaimana cara dan siasatku untuk mewujudkan itu? jawabannya sama seperti pertanyaanku di awal tadi. M E N U L I S . bukankah itu usaha terhebat kawan? jika aku menulis bahwa kau akan mati esok, maka kau akan mati tepat seperti apa yang aku inginkan. Seorang pembaca tinggal hanya membuka halaman dimana kalimat tentang kematianmu kutulis, dan si pembaca akan meyakini bahwa kau memang benar-benar mati dalam kisah cerita yang aku buat. Bukankah itu hebat?"

"Dan kawanku tertawa hebat. Hahahahhaa...itu biasa kawan. Kemerdekaan seseorang tidak serta merta dapat terwujud dalam realita hidup kita. Kau asik dengan duniamu sendiri, asik dengan penciptaanmu sendiri, dengan akal-akalanmu sendiri dan dengan kegilaan-kegilaanmu sendiri. Meskipun begitu, aku akui menulis itu hebat, meski aku tak suka larut didalamnya. Kau tahu alasannya? Aku tidak tahu alasanmu. Dan setiap orang punya alasan dalam hidupnya."

"Begini kawan. Kau tahu harga sembako dipasaran sedang naik? dan kau tahu angka kenaikannya berapa? kemudian kau tahu apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat kita?"

Aku menjawab. "Tentu aku tahu."
"Kita sama-sama melihat berita dan membaca surat kabar. Lalu kenapa? Dia melanjutkan. Semua orang patut menyesalkan realita itu, terutama yang ekonominya morat marit. Setiap orang punya keluh kesah. Dan jika semua orang berprilaku sama sepertimu, maka jalanan dan kota-kota akan penuh dengan tulisan-tulisan yang menggambarkan kehidupan yang ideal, kehidupan yang berlawanan dengan situasi hari ini. Kota kita akan terkubur oleh kertas – kertas buram. Dan seluruh orang akan sesak nafas karenanya. Kau bisa hitung berapa banyak kekecewaan yang pernah kau alami? coba kau bayangkan berapa banyak kekecewaan yang terlahir dari jutaan manusia di kota ini? tentu aku semakin bingung karenanya. Lagi-lagi harus aku katakan padamu, pergilah kau ke Mahoni**."

"Lalu apa masalahnya?" tanyaku

"Kau masih tak mengerti juga? baiklah aku jelaskan lagi. Jika seluruh manusia dikota ini berjumpa denganmu dan menerima solusimu, maka seluruhnya manusia dikota ini hanya akan menjadi egois dalam hidupnya masing-masing. Mereka pasti hanya gemar dan hanya akan punya satu kesibukan. Membuat dunianya sendiri didalam rangkaian cerita yang diciptakannya. Apa kau ingin aku seperti itu?"

"Bukan kawan. Sama sekali bukan begitu. Aku hanya ingin kau berpengharapan. Aku hanya ingin kau mendokumentasikan harapan-harapanmu dalam tulisan agar kau tak lupa dengan dirimu. Agar kau mengenal dirimu seutuhnya. Kau akan tahu mana harapan yang dapat terwujud dalam waktu singkat dan mana yang membutuhkan waktu yang panjang. Kau bisa menata hidupmu. Hanya itu yang aku maksud. Makanya aku tak perduli dengan penilaian-penilaianmu tadi tentang kejiwaanku. Aku hanya berpikir bahwa dengan menulis manusia akan dapat menata hidupnya. Sama sekali bukan untuk menjadikan diri kita egois. Kau mengerti?"

"Hmm, setidaknya aku mulai faham maksudmu. Aku suka gagasanmu. Baiklah. Kau tahu apa yang paling aku takuti sekarang ini? aku takut dirumah. Ketakutan itu mulai muncul pada saat ayam jantan berkokok dipagi hari. Kau tahu bahwa aku selalu terjaga lebih dulu dari ayam itu? ya, karena aku hampir tak bisa tidur dimalam hari. Seisi rumah tak perduli apapun alasan yang aku utarakan. Yang mereka tahu hanyalah aku ini sarjana lulusan Universitas negeri terkemuka di kota ini. Dan yang mereka tahu aku belum bekerja. Aku tahu banyak orang termasuk orang tuaku menganggap kerja adalah rutinitas manusia mencari uang pada pukul 08.00 sampai dengan 17.00 WIB. Ya, kerja adalah rutinitas yang memakan waktu 8 sampai dengan 9 jam. Dan kau tahu, hampir setiap hari aku selalu memainkan peran berpura-pura agar orang tuaku berhenti menceramahiku. Dan kau tahu apa yang aku rasa? aku mulai bosan dengan semua yang kubuat. Aku benar-benar terbeban menyandang titel itu. Padahal kau sendiri tahu, titel bukanlah apa-apa. Dia tidak selalu mewakili isi kepala manusia."

"Kau ingat kita pernah sama-sama mendiskusikan tentang filosofi pendidikan? Dan kau ingat bahwa kita sama-sama menyimpulkan bahwa kerbau sekalipun akan mendapatkan titel jika dia membayar uang kuliah, membeli diktat kuliah dan hadir tepat waktu diperkuliahan. Apakah inilah hasilnya, ketika manusia tidak lagi dihargai jerih payahnya menggapai titel sarjana? Atau apakah sarjana memang barang murahan yang bisa diperjual belikan sehingga tak mampu lagi mewakili isi kepala seseorang? Dan itulah sebabnya mengapa aku membenci temanku karena kerjanya hanya mebuatkan skripsi orang-orang malas yang hanya mengandalkan uang. Dan uang melebihi kuasa apapun dikota ini."

"Ya ya, makin serius saja kau ini. Ucapku sambil menyeruput kopi yang mulai dingin.
Sungguh tragis kalau tidak bisa dibilang kehancuran. Tapi terkadang justru sebaliknya kawan. Aku terkadang menyesali pilihanku mundur dari perkuliahan. Meski kau bilang titel itu tak punya kuasa lebih, tapi dia sudah menjadi candu bagi anak-anak muda. Dia sudah menjadi trend tersendiri dan banyak orang tak lagi malu mengumbar aibnya sendiri menyogok makelar dengan uang ratusan juta hanya untuk mendapat status pegawai negeri sipil golongan lulusan universitas. Semua kuasa ada ditangan orang-orang kaya. Semua perintah dikota kita berada didalam rongga mulut orang-orang tolol, malas tapi kaya akan uang. Dan semua keputusan tidak agi sesuai dengan apa yang dimau mayoritas manusia dikota kita. Tapi bukankah ini sering kita diskusikan? Aku pikir tidak ada yang baru dalam masalahmu. Ini bukan hanya masalahmu. Ini masalah anak muda dikota kota."

"Iya, aku tahu itu. Dan masalah ini tak pernah selesai. Pernahkah kau menghitung berapa gelas kopi yang usdah kita habiskan diwarung ini hanya karena kita membahas persoalan ini? Entahlah. Aku sendiri tak mau menghitungnya."

"Sudahlah kawan. Aku bosan dengan keluh kesah itu. Aku ingin berhenti mengejekmu dengan sebutan kepala batu. Ayo kita pulang. Besok masih banyak yang harus kita pikirkan. Kita hidup dengan hutang yang banyak. Kita cari saja pekerjaan apapun yang bisa kita kerjakan dan menerima kita bekerja. Kita tutup saja pembicaraan tentang itu diwarung ini. Biarlah suara-suara itu membesar dengan sendirinya dijalanan."

Medan, 23 Oktober 2010

Ket:
* Penulis aktif di Komunitas Sanggar Bebas Merdeka (SBM) Medan
** Nama Rumah Sakit Jiwa di Kota Medan.



 

MENYOAL PERDA JAMKESDA di KOTA SIANTAR

Oleh: Randy Syahrizal *

Kesehatan adalah hak fundamental bagi setiap warga Negara. Kesehatan adalah Hak Setiap Warga Negara, terutama Rakyat Miskin sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 34, yakni “Fakir Miskin dan Anak Terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam makna yang lebih luas dan prinsipil, seharusnya Negara/Pemerintah bertanggungjawab pada seluruh kebutuhan dasar Rakyat. Pemerintah melalui Departemen Kesehatan belakangan ini sudah menggariskan kebijakan mengenai pelayanan kesehatan gratis bagi keluarga miskin.

Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari telah memutuskan bahwa progam Askeskin dilanjutkan pada tahun 2008 dalam program Jamkesmas. Untuk itu pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 4,6 triliun untuk 76,4 juta masyarakat miskin dan hampir miskin. Menkes juga telah menegaskan bahwa dalam Jamkesmas tidak berbeda dengan program sebelumnya. Namun untuk memastikan pelayanan kesehatan ini dapat dirasakan langsung oleh rakyat miskin maka Menteri Kesehatan melakukan beberapa perbaikan antara lain penyaluran dana langsung dari kas negara ke rekening bank Rumah Sakit. Dalam Jamkesmas verifikasi klaim dilakukan oleh verifikator independen. Sedangkan pada program Askeskin, baik penyaluran dana maupun verifikator dilakukan oleh PT. Askes.

Jamkesmas dan Usulan Perda Jamkesda Kota Siantar

Dasar hukum program Jamkesmas adalah UUD 1945, UU No. 23 tahun 1992, UU No. 01 tahun 2003, dan UU No. 45 tahun 2007. Dahulu, program layanan kesehatan bagi masyarakat miskin bernama Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin atau Askeskin. Kendala utama terletak pada belum tuntasnya pendataan masyarakat miskin periode tahun 2005-2007. Jadi bisa dipastikan bahwa problem utama pemerintah dalam hal ini adalah lemahnya sistem pendataan yang akurat dengan metode survey lapangan. Masalah kedua yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana nasib Rumah Tangga Miskin yang luput dari pendataan pemerintah..? dan masalah ketiga adalah tidak seriusnya pemerintah dalam memperhatikan nasib masyarakat miskin. Persoalan ini kemudian menjadi dasar pijakan penerbitan Perda Jaminan Kesehatan Daerah. Semangat ini muncul sesuai kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) tahun 2008 yang dikeluarkan oleh Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, tertanggal 10 Maret 2008, yang menyebutkan bahwa Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tidak memiliki kartu Jamkesmas (baca: luput dari pendataan) tetap akan dilayani hak kesehatannya dengan klaim anggaran dari APBD Propinsi dan Kabupaten/Kota dimana pasien miskin tersebut berdomisili.
Di kota Siantar, pendistribusian kartu Jamkesmas memang sudah terlaksana, meskipun belum sepenuhnya maksimal. Ini diakibatkan oleh tidak akuratnya data BPS kota Siantar. Hal ini juga diakui oleh pihak Dinkes kota Siantar dan PT. Askes kota Siantar kepada Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Cab. Kota Siantar beberapa waktu lalu.

Menganai pendataan Rumah Tangga Miskin, BPS kota Siantar mengklaim bahwa jumlah masyarakat miskin pada tahun 2005 sebanyak 11.908 orang (mengacu pada pendistribusian dana BLT). Menurut data BPS Jumlah Penduduk Miskin kota Pematangsiantar yakni tahun 2006 : 28.414 jiwa, tahun 2007 : 23.259 jiwa, dan tahun 2008 : 21.130 jiwa. Ada pengurangan jumlah warga miskin disitu. Tentu saja ini harus dipertanyakan secara kritis, melihat Kriteria kemiskinan yang sangat tidak manusiawi – dikeluarkan Pemerintah. Ada keraguan bahwa pendataan bersifat spekulatif, meskipun ini masih bersifat ”dugaan”, namun logikanya sangat tidak masuk akal jika angka kemiskinan berkurang ditengah masyarakat yang harus menerima kebijakan kenaikan harga BBM diikuti kenaikan harga barang-baranng pokok. karenanya, sangat mutlak diperlukan pendataan ulang Rumah Tangga Miskin di Kota Pematangsiantar.

Dewan Pimpinan Kota Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Kota Siantar pernah mengadvokasi pasien miskin, bernama Herawati Br Sidabutar, warga Kampung Tambunan, Siantar yang harus dioperasi pada saat melahirkan anak ke-6 nya. Sebelumnya, pasien tersebut memiliki kartu Askeskin. Namun pada tahun 2008 tidak mendapatkan kartu Jamkesmas. Pertanyaannya adalah, apakah si pasien tersebut telah mengalami peningkatan taraf hidup sampai tidak lagi terdata dalam pendataan rumah tangga miskin..? atau seperti keluarga Tyson Op. Sunggu, warga simpang 2, Siantar, Ayahnya sudah meninggal setahun yang lalu, namun kartu Jamkesmasnya masih saja dikeluarkan, dan kasus-kasus serupa lainnya. Ini membuktikan bahwa tidak adanya pendataan yang akurat dalam mensukseskan pogram Jamkesmas.

Akan menjadi sangat memilukan ketika banyak rumah tangga miskin terpaksa tidak mendapatkan hak kesehatannya akibat luput dari pendataan dan tidak memiliki Kartu jamkesmas. Kepada siapa mereka akan mengadu dan meminta pertolongan..? maka sudah menjadi sangat mendesak sifatnya bagi DPRD kota Siantar dan Pemko Siantar untuk segera menerbitkan Perda Jamkesda untuk menanggung pasien miskin yang luput dari pendataan. Pemko Siantar dan DPRD Siantar patut mengikuti jejak Kota Balik Papan yang sejak tahun 2001 sudah menerbitkan perda jaminan kesehatan. Kota Medan juga pada tahun 2008 menerbitkan program sejenis dengan nama Program Medan Sehat, dan Kabupaten Sinjai yang resmi menerbitkan perda Jamkesda pada tahun 2008.

Perjuangan Menuntut Perda Jamkesda

Hari Jum’at 16 Januari 2009 adalah aksi kedua kalinya yang dilakukan oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Cab. Siantar dalam menuntut diterbitkannya perda Jamkesda kota Siantar. Sebelumnya aksi dilakukan pada tahun 2008, tepatnya tanggal 22 September 2008. Hasil yang didapat pun sangat mengecewakan. Pada aksi kedua, tidak satu pun anggota DPRD kota Siantar dapat dijumpai dan menemui massa SRMI. Aneh memang, Seharusnya anggota DPRD sudah selayaknya berada di kantor dan mendengarkan serta memperjuangkan aspirasi rakyat. DPRD yang memiliki fungsi legislasi dan fungsi budgeting seharusnya bersedia menemui dan menampung aspirasi massa. Apalagi DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat, yang dipilih setiap lima tahun sekali.

Namun ada sedikit harapan, ketika Pemko Siantar yang diwakili oleh Asisten I Lintong Siagian menerima delegasi SRMI sebanyak 2 orang, yang diwakili oleh Randy Syahrizal dan Reinhard Sinaga untuk mendiskusikan tuntutan Perda Jamkesda. Pemko mengakui kesilapan pada saat pendataan. Meskipun bukan tugas SRMI, Pemko Siantar mencoba terbuka dan akomodatif pada persoalan tersebut, dan meminta masukan berupa draft Perda Jamkesda kepada SRMI Kota Siantar.

Apakah itu pertanda titik cerah dari masa depan usulan perda Jamkesda atau hanya lipservice dari pihak pemerintah, akan terjawab dikemudian hari. Semoga perjuangan penerbitan Perda Jamkesda tak berhenti sampai disitu. Dukungan dari masyarakat luas akan membantu perjuangan penerbitan Jamkesda. Semoga saja wakil rakyat di DPRD Siantar tergerak hati nya untuk mengusulkan perda Jamkesda. Semoga.


* aktif di Sukarelawan Perjuangan Rakyat untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN) Siantar – Simalungun.
 

RAKYAT DAN AKTIVIS PRO-DEMOKRASI DALAM MENGHADAPI PEMILU 2009

Oleh : Randy Syahrizal


Pemilu 2009 ini akan diramaikan oleh tiga puluh delapan (38) partai politik nasional, enam partai politik lokal (khusus di Aceh), kurang lebih seribu kandidat DPD, dan lebih dari sebelas ribu calon anggota DPR RI. Keseluruhan jumlah tersebut memperebutkan 560 kursi DPR RI dan 132 kursi DPD. Dengan demikian, fragmentasi masih menjadi sajian dominan dalam kompetisi politik lima tahunan kali ini. Dapat dikatakan lebih parah dibandingkan pemilu periode sebelumnya.

Sedangkan ditataran lokal (baik provinsi maupun Kabupaten Kota), tak bisa dipungkiri akan menjadi pertarungan fragmentasi politik yang paling tajam. Ini dapat dipahami, melihat bahwa ukuran keberhasilan sebuah partai politik ditingkatan pusat (DPR-RI dan DPD) tak bisa lepas dari keterukuran (maksimalisasi) suara ditingkatan Kabupaten/Kota, sebagai basis konstituen para politisi yang akan bertarung memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Dari wacana fragmentasi diatas, pelajaran apa kemudian yang akan ditarik oleh Rakyat dan Aktivis Pro-Demokrasi sebagai basis konstituen pada pemilu 2009..?

Benarkah Rakyat akan Bingung..?

Bisa dipastikan bahwa konsentrasi domisili masyarakat umum secara luas berada diteritori tingkat 2 (dua) dalam logika teritori negara. Dengan begitu, sosialisasi (kampanye) garis politik masing-masing partai politik akan dikonsentrasikan diteritori tingkat 2 (dua). Lantas pertanyaannya adalah, “Seberapa rasionalkah masyarakat kita (Indonesia) dalam mengambil pilihan politik dipanggung Pemilu 2009..?” jika kemudian sebagian besar pengamat politik mengatakan bahwa pemilih di Indonesia masih bersifat feodalistik dan jauh dari nilai-nilai rasionalitas, pertanyaannya kemudian “Apakah Rakyat dibingungkan oleh Kampanye Partai-Partai Politik yang secara massif berbicara Nasionalisme dan Program-program populis..?

Saat ini menurut saya, secara garis besar, keterwakilan garis politik bisa dilihat dari latar belakang para pendiri partai politik tersebut. Bisa dilihat bagaimana fragmentasi politik diisi oleh bukan aliran idiologi sejatinya, melainkan mewakili sekte-sekte dalam idiologi agama, varian-varian semu (palsu) dari idiologi Pancasila dan sisa-sisa Dwi Fungsi ABRI yang dicerminkan melalui “kelatahan” mantan Perwira ABRI yang turut membangun Partai Politik. Sudah jelas bahwa ini adalah fragmentasi semu yang menurut saya akan membuat bingung rakyat. Pemilih bisa saja terjebak pada propaganda palsu, yakni meyakini fenomena politik “trendsetter” partai politik, para Caleg, maupun para Capres yang saat ini gemar berbicara “Anti Penjajahan Asing”. Fragmentasi politik semu ini lah yang akan meramaikan panggung pemilu 2009. bagaimanalah fragmentasi berjalan ditengah-tengah masyarakat..?

Fragmentasi Politik

Tokoh-tokoh berlatar belakang militer saat ini juga banyak terlibat (membangun) partai-partai politik sebagai alat merebut kekuasaan politik. Anehnya tokoh-tokoh berlatarbelakang militer saat ini tidak bisa bersatu dalam sebuah partai politik, yang bisa diamsumsikan mewakili kepentingan pihak militer.

Setidaknya lebih dari empat partai politik (Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKPB, PKPI, dll) adalah partai-partai yang diisi oleh mantan pimpinan ABRI. Sejumlah elit sipil yang sebelumnya berafiliasi ke Partai Golkar (sebagai instrumen politik ABRI di masa Orde Baru) turut menyebrang, terutama ke partai-partai yang disebut di atas. Kelompok Muhamadiyah yang sebelumnya diklaim oleh PAN, kini sebagian kalangan mudanya bergeser ke Partai Matahari Bangsa (PMB). Nasib serupa dialami oleh PKB, yang setelah terbelah ke dalam PKNU, kemudian kembali terbelah akibat konflik internal (Gus Dur vs Muhaimin). Sementara PDIP, setelah perpecahan menjelang Kongres di Bali yang melahirkan PDP (Partai Demokrasi Pembaruan), tampak mulai menuai peningkatan popularitas sebagai hasil sebagai sikap oposisi loyal terhadap pemerintahan SBY-JK.

Kemunculan parpol-parpol baru dapat dipandang sebagai bagian dari fragmentasi politik, dengan terlibatnya sejumlah tokoh politik dalam membidani partai dimaksud, untuk kepentingan pemilihan presiden. Misalnya Partai Hanura untuk Wiranto, Gerindra untuk Prabowo, Partai Republiku dan beberapa partai lain untuk Sutiyoso, dll.

Kita dapat mengurai berbagai faktor yang mengakibatkan fragmentasi tersebut di atas. Namun, yang terpenting, dan menjadi persoalan umum dari fragmentasi tersebut, adalah ketiadaan ideologi yang dipegang oleh para politisi sebagai pembimbing langkah politik, menuju cita-cita kolektif rakyat Indonesia. Fragmentasi pada level elit politik ini berpotensi menjalar pada level rakyat, terutama dalam corak sosial masyarakat yang masih menganut sisa-sisa budaya feodalisme (patronase, primordial, dll). Namun kekosongan ideologi ini juga dapat menjadi potensi revolusioner (perubahan), disaat rakyat semakin kritis dan tidak puas terhadap langkah-langkah yang diambil oleh para pejabat negara maupun pemerintahan, yang mereka pilih pada pemilihan umum lalu.

Rakyat dan Aktivis Prodem Tak Boleh Bingung, Masih Ada Alternatif

Dalam situasi sekarang, ketika arus serangan neoliberalisme dibiarkan (bahkan justru dilayani untuk) merajalela oleh pemerintah berkuasa (SBY-JK), secara tidak terhindakan memunculkan berbagai kritik, ketidakpuasan, protes, dan perlawanan. Keluhan tentang kesulitan hidup telah menjadi hal yang umum bagi mayoritas rakyat, baik di kota maupun di pedesaan, dan tanpa mengenal batas keyakinan ideologi-politik. Semakin banyak rakyat (buruh, petani, pengangguran, pedagang dan pengusaha kecil, bersama keluarga dan anak-anaknya) yang terjerembab lebih dalam ke kubang kemiskinan. Semakin banyak golongan masyarakat yang melihat dan merasakan dampak dari ketidakadilan korporasi, keserakahan yang mengorbankan rakyat banyak, seperti yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan asing. Secara teoritis, seharusnya spektrum politik (atau ideologi) nasionalis (progresif dan konservatif), Sosialis/Kerakyatan, dan Religius Progresif, dapat merangkai sebuah platform bersama.
Harus diakui bahwa tindakan duduk bersama untuk memecahkan persoalan bangsa hampir tidak pernah dilakukan dan tidak pernah menjadi program utama partai-partai politik beserta politisi-politisinya. Politik yang dijalankan sangat mencerminkan tindakan yang pragmatis, yakni hanya sekedar mengejar kekuasaan semata. Kondisi ini mau tidak mau membuat rakyat menjadi bingung.

Rakyat Indonesia hari ini mutlak membutuhkan terobosan baru yang berani dan mendasar, dan memiliki harapan (prospek) jangka panjang untuk memperbaiki benang kusut nasib rakyat kedepan. Hampir pada setiap momentum pemilu, para aktivis berkumpul untuk membicarakan dan mengkampanyekan sebuah Gerakan Anti politisi Busuk. Efeknya adalah, semakin bertambahnya angka Golput. Ini bisa dipahami, karena para aktivis saat ini tidak pernah berbicara sebaliknya, yakni Mendukung Politisi Bersih dan Pro Terhadap Rakyat. Maka keyakinan rakyat (yang mayoritas Golput) saat ini tidak bergeser sedikitpun, yakni masih saja menganggap semua Parpol itu adalah busuk dan politisinya juga politisi busuk.

Dalam hal tetap berkomitmen berjuang merubah nasib rakyat miskin, saya menantang para aktivis untuk berani mendukung (membuat sebuah gerakan) Politisi Bersih yang Programatik dan Pro Rakyat Miskin. Wujud terobosan baru ini adalah, mengikat seluruh Parpol dan Politisinya untuk berani berbicara luas dihadapan Rakyat mengenai visi-misinya kedepan untuk perubahan nasib rakyat. Ini akan lebih jelas mengukur kesiapan para politisi dan komitmennya berjuang merubah nasib rakyat. Jika parpol serta politisi itu tidak berani mempresentasekan visi-misi dan mengikat komitmennya dihadapan rakyat, para aktivis tersebut tinggal memblacklist saja parpol dan politisi tersebut, sedangkan bagi parpol yang berani dan siap mempresentasekan dan mengikat komitmen perjuangannya, maka kemudian para aktivis dan masyarakat juga harus berani mendukungnya. Mudah-mudahan borok-borok kepalsuan parpol-parpol dan politisi yang selalu mengatasnamakan rakyat dalam berbicara tapi tidak dalam tindakan, akan terasing dari rakyat Indonesia. Bagi saya, wacana ini layak dipraktekkan, sebagai embrio politik alternatif kedepan, untuk kesejahteraan rakyat sesejati-sejatinya.


Sekretaris Wilayah Serikat Tani Nasional (STN) Sumatera Utara, dan Mahasiswa FISIP UT – UPBJJ Medan
 

KEMANA ARAH KAUM PERGERAKAN PRO-DEMOKRASI PADA PEMILU 2009?

Oleh: Randy Syahrizal*

Sebuah perhelatan politik yang rutin dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali dalam waktu dekat akan dilaksanakan kembali. Pemilu kali ini (2009) adalah Pemilu ketiga setelah Indonesia memasuki babakan baru; REFORMASI. Perhelatan ini setidaknya menyita perhatian politisi dan partai-partai politik peserta pemilu sebagai actor utama, kaum intelektual (bisa berposisi sebagai pengamat, pemerhati dan juga konstituen), dan kaum pergerakan prodem yang isinya adalah mayoritas kaum intelektual yang bercita-cita membangun peradaban bangsa Indonesia yang baru, menjamin solidaritas dan mengagungkan nilai-nilai kemanusiaan (humanitas).
Berbagai motif pun menghiasi panggung elektorald tersebut. Sebagian besar politisi-politisi terkemuka lebih bermotifkan capaian-capaian yang pragmatis. Berusaha agar bisa menang (biasanya sudah memulai pertarungan di internal dengan berebut nomor jadi/nomor urut 1) kemudian menuai kekuasaan dan mengabdikannya untuk kepentingan pribadi maupun golongan (kroniisme).

Motif politik seperti diatas lebih didominasi oleh reruntuhan bangunan politik Orde Baru yang diwakilkan oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat, yang paska reformasi tengah sibuk menata diri dengan (seolah-olah) berpihak kepada rakyat - dengan jargon “paradigma baru” dan (tetap menggunakan) metode “money politic”. Puncak kebangkitan golongan pewaris orde baru ini adalah kemenangan paket SBY (Demokrat) dan Jusuf Kalla (Golkar) sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Puing-puing berserakan akibat keruntuhan Orde Baru mulai dikonsolidasikan lagi demi kepentingan yang lebih pragmatis lagi. Para aktivis pro-demokrasi menyebut paket ini (serta keterwakilan orientasi politiknya) beserta kroninya sebagai “pengawal setia dan agen Imperialisme AS). Golongan ini lah yang memegang kekuasaan saat ini.

Motif politik berikutnya adalah motif persaingan diantara unsur-unsur pragmatis untuk menjadi orang/golongan nomor 1 (satu) dalam mengawal serta memberikan umur panjang bagi demokrasi procedural (liberalisme) yang tengah berlangsung di Indonesia saat ini. Grand issue yang diusung oleh golongan ini adalah nilai-nilai fundamentalisme. Acap kali berbicara syariat Islam dan selalu berada pada sikap politik yang mengambang. Biasanya karena menerka-nerka dan menakar reaksi masyarakat terhadap paket-paket kebijakan pemerintah. Terbukti ketika reaksi masyarakat sebelum dan sesudah dinaikkannya harga BBM oleh pemerintah, yang terwakili oleh aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, organisasi masyarakat (ekstra parlemen) yang tidak tahan lama dalam menolak kenaikan harga BBM, golongan ini malah bersikap dingin saja (cari aman), pada awalnya menolak dan belakangan menerima kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat banyak tersebut. Gaya politik ini bisa disimpulkan dengan sebutan Politik Oportunis. Faktanya bisa kita lihat, bagaimana PKS di Sumatera Utara, pada awalnya begitu konsisten mengusut kasus korupsi Samsul Arifin, kemudian malah menjadi paket Cagub-Cawagub Sumut. Banyak yang berasumsi dengan kenyataan yang berbalik ini. Dan bagi saya, asumsi tersebut sah-sah saja, karena golongan ini ternyata lebih gemar dengan abstraksi dan posisi yang mengambang.

Kemudian ada golongan yang lebih bermotifkan sentiment anti penjajahan modal asing dan mengusung platform perjuangan. Sentiment ini memang bersumber dari gerakan arus bawah (grass root) yang sering dikumandangkan oleh organisasi-organisasi pro-demokrasi, yang kemudian sering dipakai secara abstrak oleh politisi-politisi orde baru didalam iklan-iklan, seperti iklan Wiranto yang berbicara mengenai angka kemiskinan dan Prabowo yang berbicara kemandirian ekonomi bangsa. Yang menarik dari golongan ini adalah menerima masuknya beberapa mantan aktivis pro-demokrasi, seperti Budiman Sujatmiko (PDIP), Pius Lustrilanang (GERINDRA) dll. Sedangkan PBR (Partai Bintang Reformasi) yang bukan keterwakilan dari politik kroni orde baru lebih memilih jalan lain, yakni membuka diri bagi aktivis pro-demokrasi yang sampai saat ini masih getol berjuang dijalanan, seperti Dita Indah Sari. Dengan kehadiran unsur-unsur aktivis prodemokrasi dalam kancah pertarungan Pemilu 2009, penulis berkeyakinan, bahwa pemilu kedepan lebih memiliki warna dan daya saing yang idieologis dan pertarungan komitmen kerakyatan yang nyata, yang akan mempertarungkan Komitmen kerakyatan yang SEJATI melawan komitmen kerakyatan yang PALSU.

Fragmentasi Politik dan Masukan Buat Gerakan Prodem

Perlu dijelaskan kembali, bahwa konsolidasi puing-puing reruntuhan orde baru ternyata gagal dan menimbulkan fragmentasi yang besar. Antara lain yang lahir dengan partai baru adalah Wiranto dengan Parta Hanura, Prabowo dengan Partai Gerindra, Sutiyoso dengan Partai RepublikaN dll. Fragmentasi tersebut bukanlah mencerminkan perbedaan idieologi yang meminta perhatian publik secara serius. Fragmentasi tersebut lahir atas dasar pragmatisme elit politik orde baru dalam pertarungan yang sangat menentukan untuk menjadi penguasa nomor 1 di Republik ini. Ketiadaan latar belakang yang konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat adalah basis bagi rakyat dan aktivis prodem dalam menilai bahwa, baik siapa pun yang mempunyai latar belakang orde baru, sangat tidak bisa dipercaya, apalagi bagi aktivis prodem untuk memaafkan dosa-dosa masa lalu Rezim Orde Baru dan kroni-kroninya.

Fragmentasi tersebut sangat tidak memperlihatkan tanda-tanda kejayaan bagi kroni orde baru. Harus diingat, bahwa kejatuhan Soeharto, juga didukung fakta bahwa mulai terjadi fragmentasi ditingkatan kroni-kroninya. Memang ditengah krisis ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia, fragmentasi politik menjadi tak terhindarkan. Meningkatnya angka golput dalam setiap pertarungan pilkada menjadikan basis analisis bagi setiap politisi dan partai politik untuk mengkaji fenomena tersebut. Dalam situasi seperti ini, politisi dan partai-partai politik bisa saja berspekulasi, dan tindakan ini didasari oleh keinginan tersendiri menjadi alternatif bagi konstituen. Atas dasar itu lah, secara beramai-ramai para politisi kemudian membentuk partai-partai baru sebagai kendaraan politik menuju RI-1.

Sementara, fragmentasi yang harus disikapi secara serius bagi aktivis prodem dan rakyat adalah munculnya aktivis-aktivis prodem yang ikut meramaikan pemilu 2009. Fragmentasi ini, seperti yang sudah saya singgung diatas adalah pertarungan yang sengit, sesengit Partai Demokrat dan partai Republik di AS, dimana ketika Partai Demokrat AS yang menang, kebijakannya lebih cenderung populis, sedangkan kalau Partai Republik yang menang, maka kebijakannya akan mendukung liberalisasi ekonomi dan mendukung proyek-proyek perang.

Pertarungan sengit ini lah yang saya maksud dengan Pertarungan komitmen kerakyatan yang SEJATI dengan Pertarungan Komitmen Kerakyatan yang PALSU. Mungkin akan muncul pertanyaan, ada apa dengan yang SEJATI dan yang PALSU..? sederhanya saja jawabannya. Bagaimana bisa mempercayai seorang yang ahli tinju tiba-tiba berbicara bahwa si petinju tersebut bisa mengobati penyakit jantung..? bagaimana mungkin seorang politisi yang berlatar belakang pendukung kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat banyak, tiba-tiba berbicara menyelamatkan nasib rakyat banyak. Akan tetapi lain hal dengan para aktivis yang mencoba bertarung dalam pemilu 2009. Mereka (para aktivis) tersebut sudah pernah teruji dan konsisten dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, akan tetapi tidak mempunyai saluran resmi dijalur pemerintahan, sehingga suaranya hanya menjadi protes jalanan saja.

Inilah faktanya. Medan yang paling menentukan untuk nasib bangsa Indonesia kedepan diuji pada pertarungan 2009. Fragmentasi yang menajam itu menurut saya layak untuk terus dimajukan. Dengan memilih politisi muda dan berlatar belakang aktivis pro-demokrasi tentunya, untuk mencoba kembali menjadi Indonesia yang berhari depan cerah, bersolidaritas dan berkemanusiaan.

******

• Aktivis Serikat Tani Nasional (STN) Sumatera Utara
 

MENCARI SOSOK ALTERNATIF DALAM PEMILU 2009

Oleh: Randy Syahrizal *)

Pemilu 2009 akan digelar pada 9 April 2009. Sebuah ritual demokrasi yang secara rutin digelar 5 tahun sekali ini menjadi babakan baru bagi lembaran sejarah pemerintahan di Indonesia. Kemajuan space demokrasi yang tak terhempang telah mewujudkan sebuah sistem pemilihan langsung secara umum bagi rakyat, baik dalam memilih anggota parlemen(DPR/DPRD Propinsi/DPRD kab/Kota) maupun pemerintahan (Eksekutif/Kepala Daerah) serta Presiden.

Sistem pemilihan secara langsung ini berawal dari asumsi mencari sosok pemimpin alternatif ditengah keberadaan elit-elit politik lama yang telah di vonis gagal dalam menyejahterakan rakyat selama bertahun-tahun. Asumsi ini juga dilatarbelakangi oleh kemuakan berbagai pihak, khususnya bagi elit-elit politik pro status quo dan orde baru, baik di Jakarta maupun dibeberapa daerah lainnya. Efek Reformasi 1998 memang telah menyumbangkan paradigma positif, khususnya bagi keterbukaan trend-trend maupun mainstream politik. Sejak reformasi bergulir, isu politik yang paling bertahan menjelang pemilu adalah soal sikap anti terhadap politisi busuk dan elit politik berlatar belakang militer.

Pemilu Paska Reformasi: Memusuhi Politisi Busuk
Meskipun kalimat “Gerakan Anti Politisi Busuk” sudah ramai diperbincangkan dalam seminar-seminar, lokakarya, pelatihan-pelatihan, pendidikan politik, kursus-kursus politik, maupun debat-debat politik, tapi belumlah menjadi sebuah wacana yang konkret dengan melahirkan solusi yang baik. Alhasilnya, konsolidasi-konsolidasi yang biasanya massif diselenggarakan setiap akan diselenggarakannya pemilu tersebut hampir menjadi sia-sia.

Secara garis besar, hasil-hasil perdebatan/perdiskusian pada forum-forum diatas adalah menemukan formula politik baru yang berkemampun memobilisasi, menyadarkan, bekerja dalam praktek nyata, fleksibel dalam menghadapi perubahan iklim politik, bertahan (resisten), dan berkemampuan dalam melahirkan sosok-sosok politisi alternatif, ataupun melahirkan alat-alat politik alternatif. Namun gagasan tersebut, meskipun tengah berjalan, juga menuai hasil yang belum maksimal. Kendala utama selain karena adanya upaya penggagalan dari kelompok reaksioner yang anti terhadap demokrasi (seperti contoh kasus kekerasan yang dilakukan FPI (Front Pembela Islam) dan FBR (Front Betawi Rempug) terhadap massa aksi PAPERNAS di Jakarta), maupun kendala yang datangnya dari internal gerakan itu sendiri, yakni tidak konsisten dan tidak setianya kaum pergerakan dengan buah hasil pemikirannya sendiri. Kesimpulannya secara singkat adalah “Berani berpikir tapi tidak berani bertindak.”

Politisi busuk memang seperti momok yang sangat menakutkan. Namun kata-kata seperti Politisi busuk perlu dijelaskan secara detail, jika ingin ditujukan kepada masyarakat. Gunanya tak lain adalah agar masyarakat luas mengerti dan memahami kata-kata tersebut. Saat ini, wacana tersebut berhenti ditengah jalan. Kegagalan yang paling utama dalam gerakan anti politisi busuk adalah karena gerakan tersebut tidak “berani” menunjuk elit-elit politik yang masuk dalam kategori elit politik busuk. Sehingga masyarakat kesulitan dalam mengenali wajah-wajah politisi busuk, yang seharusnya dibusukkan agar tidak lagi berkuasa. Yang paling menggelikkan adalah pantun-pantun atau kalimat-kalimat jenaka yang dikeluarkan dengan maksud menyindir, akan tetapi tidak memiliki muatan politik alternatif sedikitpun, misalnya “Pemilu 1999 memilih kucing dalam karung, Pemilu 2004 memilih maling secara langsung”.

Persoalan tersebut, secara pasif sebenarnya ingin mengajak masyarakat untuk melupakan pemilu (golput), karena hasilnya akan sama saja. Inilah yang saya maksud dengan ketidakkonsistenan cara berpikir dan bertindak.

Gelora Pemimpin Alternatif 2009: Dapatkah diterima Rakyat..?
Paradigma alternatif memang hal yang baru, jika Orde Baru sebagai ukurannya. Kita bisa pastikan bahwa tidak ada alam demokrasi dalam pemerintahan Orde Baru. Celakanya, sosok-sosok kritis dengan begitu cepat dibungkam dengan tembok penjara, penculikan maupun penembakan misterius (petrus). Begitulah adanya, sehingga embrio “alternatif” berjalan lamban dan tidak dinamis.

Seharusnya, dengan berkembangnya alam liberalisme politik di Indonesia, politik alternatif mudah untuk berkembang subur. Namun tidaklah mudah bagi rakyat untuk mengetahui dan memahami keseriusan dan tujuan-tujuan fundamental gerakan alternatif itu sendiri.

Dalam tekanan krisis ekonomi yang mengglobal dan negara dunia ketiga sebagai subjek utama penderitanya, politik populis memang menjadi “jualan” yang menjanjikan bagi partai-partai politik beserta politisinya. Ada 38 partai politik nasional yang bertarung dalam pemilu 2009, dan sebagian besar dari mereka tak lagi gemar memainkan propaganda abstrak dan tak populis. Tingkat kesadaran dan kekritisan rakyat memang sedang ditempah dengan keberadaan gerakan ekstraparlemen (aktivis pro-demokrasi) yang terus memajukan jalan keluar dari persoalan-persoalan mendesak rakyat. Meskipun dibilang celaka, karena pada akhirnya sebagian besar partai politik menumpang ketenaran dalam situasi tersebut, dengan berlagak “seolah-olah” berpihak pada rakyat, dan tanpa rasa malu menimbun kebobrokan dan kegagalan-kegagalannya dengan menerbitkan iklan-iklan politik yang populis.

Kenyataan ini sangat wajar dalam sejarah perkembangan masyarakat. Situasi objektif yang sedemikian rupa, memang memaksa siapapun (terutama politisi) untuk lebih aktif berbicara rakyat. Namun yang paling penting adalah bagaimana melahirkan program-program jangka pendek (mendesak) untuk menjawab problem-problem masyarakat. Dalam kenyataan sebagian besar Parpol-parpol yang berlagak bagaikan Dewa penyelamat, seharusnya gerakan ekstra parlemen (aktivis pro demokrasi) mengambil peran aktif ditengah-tengah masyarakat untuk menjelaskan dan membimbing kesadaran rakyat agar memahami gelora alternatif tersebut. Adalah sebuah kabar gembira dimana banyak aktivis-aktivis pro-demokrasi sudah memandang penting arti sebuah pemilu sebagai mekanisme suksesi kekuasaan dan masuk dalam arena tersebut, baik sebagai Capres, Caleg/Caleg DPD dll. Ini adalah langkah maju untuk memahami makna penting merebut kekuasaan dalam arena pemilu.

Kekuasaan jika berada ditangan orang-orang yang menaruh perhatian serius terhadap persoalan-persoalan rakyat, pastilah menjadikan kekuasaan sebagai jalan untuk kesejahteraan. Ini adalah sebuah refleksi panjang, dan jawaban dari kegagalan reformasi 1998.

Tak berlebihan kiranya jika seruan-seruan untuk memilih pemimpin berwajah baru dan memiliki visi-misi yang konkret dan kerakyatan, dikumandangkan dalam setiap seminar-seminar, diskusi, debat-debat dan ruang-ruang lainnya. Politisi lama sudah terbukti gagal, dan masa depan politik alternatif ada ditangan kita semua. Mendukung politik alternatif untuk perubahan atau tetap meyakini dan mengikuti politik feudal/patronase untuk langkah kemunduran, semua memang terserah kepada rakyat. Semoga dengan berkembangnya perpolitikan nasional saat ini bisa mengugah hati rakyat untuk dapat memahami mana politik alternatif/populis sejati dan yang gadungan. Wallahuaa’lam.

*) Penulis adalah Koordinator Politik Sukarelawan Perjuangan untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN) Siantar-Simalungun dan Aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) P. Siantar
 

ALIANSI RAKYAT MEDAN (ARMed)

Sekretariat: Jl. Karya Dame Gg. Rukun, No. 5 D, Medan – Sumatera Utara
Kontak Person : 0878 6821 8622



Profil Singkat Aliansi Rakyat Medan

Aliansi Rakyat Medan adalah kelanjutan dari Aliansi yang pernah dibangun sebelumnya dengan nama Komite Aksi Rakyat Medan (KARAM) yang diprakarsai oleh 3 Organisasi, yakni : Lembaga Swadaya Masyarakat Pijar Keadilan (LSM Pijar Keadilan) Medan, Eksekutif Wilayah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Sumatera Utara dan Komite Pimpinan Kota Partai Rakyat Demokratik (PRD) Kota Medan. Aliansi Rakyat Medan atau yang disingkat dengan ARMed dibentuk pada tanggal 25 Maret 2010 di Jalan Karya Dame, Medan. Aliansi ini dibangun untuk menyikapi dan merespon Pilkada di Kota Medan, dengan program perjuangan pokok yakni “Menciptakan Pilkada Bersih, Jujur dan Adil dalam Melahirkan Pemimpin yang Berkualitas”. Dalam perjalanannya, kami menilai bahwa pelaksanaan Pilkada kota Medan 2010 belum lah mencerminkan suatu pelaksanaan Pilkada yang berkualitas. Atas dasar itu lah kami membentuk sebuah Aliansi yang bersifat terbuka untuk individu maupun organisasi yang sama-sama ingin berjuang dalam mewujudkan Pilkada Bersih, Jujur, Adil dan Berkualitas.

Kami juga percaya bahwa Pilkada sejatinya adalah konsolidasi ulang kekuasaan, yang banyak ditunggangi kepentingan-kepentingan kapitalis (pemodal), baik modal dalam negeri maupun modal asing, yang dalam hal ini sering kali berposisi sebagai sponsor para kandidat. Menurut kami tujuan mereka sangat jelas, yakni agar mudah menguasai birokrasi dan tidak dipersulit dalam hal pengurusan administrasi penanaman modal di Kota Medan. Kami juga menilai bahwa Pilkada hanyalah sebuah suksesi kekuatan, dimana Rakyat sebagai konstituen bukanlah sebuah yang bersifat aktif, melainkan pasif. Rakyat hanya aktif (itupun digerakkan dan bukan tergerak) sebagai pemilih, tapi tidak aktif sebagai pelaku Kontrol kebijakan. Kepala Daerah harus dipilih langsung oleh rakyat, tapi tidak bias sebaliknya, dapat diturunkan langsung oleh rakyat. Inilah yang kami maksud sebagai objek pasif dalam pelaksanaan Pilkada. Meskipun demikian kami tetap menilai peran sentral rakyat dalam menentukan arah Pilkada kedepan, dan menurut kami, kekuatan rakyat harus menjadi posisi tawar bagi para kandidat untuk berbicara dan menyikapi serius persoalan-persoalan ekonomi rakyat dan merumuskan jalan keluarnya bagi rakyat. Hanya pertarungan yang programatik dan bervisi-misi kerakyatan lah yang akan membuat Pilkada Medan berkualitas dan menggerakkan rakyat untuk mau memilih dan dating berbondong-bondong ke TPS.

Struktur Kepengurusan Aliansi Rakyat Medan

Koordinator Umum : Randy Syahrizal

Wakil Koordinator : Ryan Nata Koesoema S.T

Humas/Jubir : Elbiando Lumban Gaol

Koordinator Lapangan : Reinhard Sinaga SH
Wakil Koord.Lapangan : Daniel Silaban

Divisi Propaganda : Reguna Ginting SH
Bonatua Pakpahan SH

Divisi Posko : Drs. Amir Sitompul
Dodi Siagian SH
Fredy Togatorop

SIFAT ALIANSI
Aliansi Rakyat Medan (Armed) bersifat terbuka, baik individu maupun organisasi, yang bertujuan sama sesuai dengan platform ARMed dan perjuangan menegakkan demokrasi di Kota Medan. Aliansi ini juga tidak membatasi diri kepada siapa pun tanpa memandang Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan.
ORGANISASI PENDUKUNG ARMed

1. DPC – LSM Pijar Keadilan Kota Medan
2. EW – LMND Sumatera Utara
3. KPK – PRD Kota Medan


PROGRAM PERJUANGAN

Umum
Menciptakan Pilkada Bersih, Jujur, Adil, Berkualitas dan Kerakyatan sebagai Syarat Membangun Pemerintahan Kota yang Demokratis dan Kerakyatan

Darurat
- Mencabut SK Mendagri tentang Pj. Walikota Medan yang Mengangkat Gubsu Syamsul Arifin sebagai Pj. Walikota Medan yang berarti melanggar PP No.06 tahun 2006

- Menolak Rahudman Harahap – Eldin sebagai Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan karena terbukti Anti Rakyat, pelaku terbesar penggusuran di Kota Medan.

Khusus
1. Mendesakkan Program Tinjau Ulang Kontrak dengan Modal Asing dan Menetapkan Pajak Progresif bagi kalangan Pengusaha Besar dalam membiayai subsidi kebutuhan pokok rakyat.
2. Menolak Eksplorasi Kekayaan Alam oleh Modal Asing
3. Membangun Perusahaan Negara (BUMD) untuk Menyerap Tenaga Kerja
4. Mendesakkan Kontrak Politik Kenaikan Upah Buruh (UMR) sesuai Kebutuhan Hidup Layak (Rp 1.500.000/bulan mengacu pada hasil Survei Pengurus Pusat Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia/PP-FNPBI)
5. Mendesakkan Kontrak politik untuk kepentingan kaum buruh, yakni segera menetapkan status kerja tetap bagi pekerja yang telah bekerja selama 2 bulan dan menolak system kerja kontrak.
6. Mendesakkan Kontrak Politik untuk Kepentingan Kaum Pedagang Kecilan (Kaki Lima dan Asongan) untuk menjamin tempat usaha yang layak, dan menolak segala bentuk penggusuran.
7. Mendesakkan kontrak Politik untuk Kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM) yakni dengan pemberian modal lunak dan sarana produksi yang memadai.
8. Mendesakkan kontrak politik reformasi birokrasi untuk memudahkan segala urusan administrasi rakyat (KPT, Kartu Keluarga, Surat Nikah dll), dan menciptakan birokrasi yang bersih dan bekerja cepat untuk rakyat.
9. Mendesakkan Kontrak Politik untuk kepentingan peserta didik, yakni mewujudkan program pendidikan gratis 12 tahun (SD s/d SMA) dan menjamin terpenuhinya gizi peserta didik.
10. Mendesakkan kontrak politik untuk kepentingan kesehatan rakyat miskin (sesuai ketentuan dan standarisasi kemiskinan versi PBB) dengan menggratiskan biaya rumah sakit yang ditanggung oleh APBD.

SLOGAN
1. Perkuat Persatuan Rakyat untuk Menciptakan PILKADA Bersih, Jujur, Adil, Berkualitas dan Kerakyatan..!!
2. Perkuat Persatuan Gerakan Intervensi Pilkada Medan untuk Kemenangan Program Perjuangan Rakyat
3. Tunda Pilkada, Copot Syamsul Arifin sebagai Pj. Walikota Medan Sekarang Juga..!!


SEKRETARIAT
Alamat: Jalan Karya Dame Gang Rukun No. 5 D, Medan – Sumatera Utara, Cp. 0878 6821 8622
 
APA HARUS BUNUH DIRI...?
Randy Syahrizal *)

Bangun pagi disini serasa tak alami lagi. Tak ada lagi udara segar. Sepertinya ayam jantan pun sudah telat untuk berkokok. Sungguh berbeda dengan suasana di kampung. Jangan lagi bicara kicauan burung yang mengomel panjang dipagi hari, mustahil kita jumpai. Apalagi tetangga disekitar rumahku tidak ada yang memelihara burung. Pagi di kotaku dibisingkan oleh suara klakson angkutan kota yang sibuk menawarkan jasa kepada para pedagang kaki lima yang sudah terjaga sejak pukul 04.00 subuh tadi. Mereka berjongkok dan berdiri, sebagian ada yang duduk-duduk dibibir jalan. Pemandangan ini tak lagi aneh aku dapati. Kelang beberapa jam setelah itu, pedagang jamu mulai memanggil-manggil langganannya, bersepeda dari gang- ke gang. Banyak diantara langganannya adalah ibu-ibu rumah tangga.

Suasana ini mungkin yang membedakan sebagian besar aktifitas di pedesaaan. Anak muda penganggurannya seakan malas menghadapi hari yang tak berpengharapan itu. Bangun pagi pun sudah tak mampu lagi. Apa karena kefrustasian mencari pekerjaan atau dijenuhkan dengan suasana yang kian hari kian mencekik leher. Sungguh disadari maupun secara tidak sadar, iklim ini adalah iklim yang dapat mendemoralisasi siapapun, terutama yang miskin aktifitas.

Aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Pukul 06.17 pagi. Ketika aku mendengar suara gaduh yang berasal dari tetangga sebelah. Aku mendengar seorang bocah perempuan yang menangis karena tidak diberi cicilan uang buku yang sudah jatuh tempo pembayaran. Kemaren gurunya mengancam bocah kecil.

“ Bilang sama mamak ya, kalau besok belum membayar cicilan uang buku, maka kau tidak boleh ikut ujian.” Kata bu guru yang mengajar di sekolah bocah kecil itu, di sebuah SD Negeri di Kelurahanku.

Si bocah hanya mengangguk saja. Dia sama sekali tak memahami kesulitan orangtuanya yang hanya pedagang jamu keliling tersebut. Sedangkan bapaknya hanyalah seorang kuli bangunan yang bekerja kalau ada borongan dengan upah Rp.25.000/hari. Tahun-tahun sebelumnya orangtua bocah kecil itu masih sanggup membayar cicilan uang buku sampai lunas. Namun dari tahun ke tahun beban ekonomi mereka kian berat dan tak mampu lagi tertutupi. Bocah kecil itu masih mempunyai 3 orang lagi saudara sekandungnya. 1 orang sudah tidak lagi melanjutkan kuliah, sejak tamat SMA setahun yang lalu. 2 orang lagi masih duduk di bangku SMA. Diantara kedua kakaknya, seorang diantaranya adalah siswa di sebuah SMA Negeri terkenal di Kotaku. Dengan asumsi bahwa sekolah negeri bisa meringankan biaya sekolah, karena biasanya sekolah-sekolah negeri biayanya murah, si bapak-pun akhirnya memberanikan diri untuk mendaftarkan anaknya di sekolah tersebut. Namun apa mau dikata, zaman sudah berubah.

Tahun pertama si anak tersebut menjalani sekolah di SMA negeri tersebut, sudah banyak biaya yang harus dikeluarkannya. Dari uang buku yang mencapai harga Rp.536.000,00 dan uang komite yang tiap bulannya harus dilunasi sebesar Rp.60.000,00 ditambah lagi uang insidental. Haaaahhh, jenis biaya apa ini..? aku belum pernah mendengar jenis biaya ini semasa sekolahku. Batinku bertanya, apa setiap tahunnya sekolah itu kecelakaan..?

Ibu bocah itu pernah bertanya panjang lebar kepadaku. Sewaktu kakak si bocah yang sekolah di SMA negeri itu mendapat surat keputusan dari pihak Komite Sekolah yang menjelaskan keberadaan uang Insidental tersebut. Aku membaca surat itu dengan sedikit kesal, geram bercampur marah. Katanya uang insidental itu dikenakan untuk dipergunakan sebagai biaya memperbaiki pagar sekolah. Besarnya uang yang harus dibayar adalah sebesar Rp.500.00,00 persiswa tahun ajaran baru. Sungguh gila. Apalagi itu bukan hasil dari keputusan seluruh orang tua siswa. Sebelumnya orang tua siswa memang diberi surat pengantar untuk menyepakati hasil rapat dari komite sekolah tersebut. Kakak si bocah itu juga pernah diancam dengan nada serupa oleh gurunya. Karena orangtuanya panik dan merasa tidak sanggup, akhirnya ibu bocah itu meminta bantuanku untuk menghadiri panggilan dari pihak sekolah. Akupun menghadirinya. Aku sungguh terheran dengan kenyataan ini. Katanya uang SPP ditiadakan untuk meringankan beban orang tua, tapi kenapa lahir program sejenisnya yang bernama UANG KOMITE..? akhirnya aku sadar bahwa pemerintah kita tidak sedang serius untuk mengurusi pendidikan dinegeri ini. Bukannya malah ringan tapi biaya semakin berat.

Aku yang merasa tidak punya beban, akhirnya berbicara dengan nada keras saja di ruang kantor guru itu. Aku bertanya:

“Apa ada hak guru atau pihak sekolah mengancam anak muridnya untuk tidak diperbolahkan ikut ujian hanya karena uang cicilan bukunya belum dibayar...?”
“Mengenai biaya-biaya lain-lain itu adalah urusan sekolah dengan orang tua siswa, sedangkan tugas siswa hanya untuk belajar, jadi tolong ibu sebagai guru jangan mengganggu konsentrasinya belajar. Tentang utang uang buku itu pasti dilunasi orang tuanya, tapi tolong kasih tenggang waktu, karena beban ekonomi orangtuanya sulit.”
“Oh tidak bisa, tapi kalau tempo seminggu-dua minggu bisalah kami pikirkan. Agar kamu tahu, sekolah itu memang mahal. Ilmu pendidikan itu mahal. Kalau tidak mampu, harusnya pilih sekolah yang lebih murah saja.” Jawab Bu guru tersebut.
Aku tidak mau banyak komentar lagi. Aku takut kalau sampai aku marah dikantor itu. Akhirnya aku bicara yang pasti-pasti saja.

“Ok. Dalam waktu 2 minggu cicilan uang buku dan biaya lain-lain itu akan kami lunasi. Tapi tidak dulu untuk uang insidental itu. Karena aku belum melihat pagar sekolah ini rusak. Kalaupun rusak, mintalah uang kepada pemerintah, karena itu sudah dianggarkan oleh pemerintah, bukan kepada orangtua siswa. Trimakasih. Permisi.” Aku langsung meninggalkan ruangan tersebut, dan tidak lagi mau menghormati mereka.
Sekarang nasib kakaknya menimpa si bocah itu. Tangisan bocah itu kian keras. Si bocah itu menangis karena tidak mendapat jalan keluar dari ibunya. Seketika ibunya langsung pergi menjual jamu dan meninggalkan bocah itu menangis. Bersamaan dengan itu aku melihat dan mendengar siaran berita dari tv tentang anak SD yang mati bunuh diri karena tidak mampu membayar uang buku. Astaga..,,aku jadi sangat mengkhawatirkan bocah perempuan itu. Mudah-mudahan dia tidak sedang menonton TV.


Randy Syahrizal
Sastrawan Amatir
 

Apakah Kegagalan Itu (Masih) Biasa ?

oleh: Randy Syahrizal*

Tim Indonesia Bangkit (TIB) dalam catatan akhir tahunnya, secara gamblang memaparkan, pemerintah SBY-JK telah gagal menyejahterakan rakyat Indonesia. Indikasinya, tahun ketiga pemerintahaan mereka (2007), jumlah rakyat miskin tetap banyak dan mencapai angka 40 juta jiwa. Angka ini berbanding terbalik dengan dana kemiskinan di APBN yang meningkat setiap tahunnya (Batak Pos : 27 Desember 2007).

Angka diatas tentunya bukan angka yang kecil bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Apalagi untuk level negara sekaya Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, khususnya sektor pertambangan dan minyak Bumi ditambah dengan kesuburan tanah dan cadangan gas alam yang besar. Namun akan menjadi nasib yang berbalik jika dipimpin oleh pemerintahan yang mengakomodir kepentingan “neoliberalisme” dengan menerapkan sistem perekonomian kapitalisme. Hal ini justru terlihat dari fakta bahwa 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia, hanya 20 di antaranya yang merupakan perusahaan dalam negeri. Hingga tahun 2001 sebanyak 890 ijin Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dan PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara) telah diberikan negara yang setara dengan penguasaan lebih dari 35% daratan kepulauan Indonesia (Gede Sandra: 2007).

Neoliberalisme sebagai aturan main ekonomi kapitalisme dunia juga tengah dijalankan oleh pemerintahan SBY-JK. Tidak susah mengenali ciri-ciri neoliberalisme tersebut. Pokok-pokok utama neoliberalisme itu tercermin dari kebijakan aturan pasar yang membebaskan perusahaan asing atau perusahaan swasta (nasional) dari kewajiban-kewajiban yang diterapkan oleh pemerintah (negara), dan tidak peduli sebanyak apa kerugian sosial yang diakibatkannya. Hasilnya tidak ada lagi kontrol harga dipasaran oleh pemerintah. Inti dari pasar bebas ini adalah kebebasan mutlak bagi pergerakan modal, barang, dan jasa tanpa kontrol dari pemerintah. Ciri yang kedua adalah memotong anggaran belanja publik bidang pelayanan sosial seperti pendidikan dan pemeliharaan kesehatan. Mengurangi dana jaring pengaman untuk rakyat miskin, dan bahkan dana pemeliharaan jalan raya, jembatan, pengadaan air. Tentu saja, mereka (pelaku ekonomi neoliberalisme) tidak menentang subsidi pemerintah dan keuntungan pajak bagi dunia bisnis (Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia: 2006). Berikutnya adalah Deregulasi, yakni pengurangan peraturan pemerintah dalam segala hal yang bisa menurunkan keuntungan, termasuk dalam hal perlindungan alam dan keselamatan kerja. Terakhir adalah Privatisasi yakni menjual badan-badan usaha milik negara, barang-barang dan jasa kepada investor swasta. Ini termasuk bank-bank, industri-industri strategis, jaringan rel kereta api, jalan-jalan tol, pembangkit listrik, sekolah-sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walaupun biasanya dikerjakan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama sekali berpengaruh dalam pemusatan kemakmuran yang lebih besar lagi ke tangan segelintir orang dan membuat masyarakat membayar lebih banyak lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Tentunya ciri-ciri diatas dapat kita lihat melalui kebijakan-kebijakan yang lahir dari tangan pemerintah kita saat ini.

Hal ini tentunya sangat berpengaruh bagi sebuah negeri yang perekonomiannya didominasi oleh negara asing yang mewakili kekuatan “neoliberalisme” seperti AS dan Uni Eropa. Presiden RI pertama, Soekarno sudah sejak lama mempertimbangkan pengaruh buruk dari dominasi ekonomi nasional oleh kekuatan modal asing tersebut. Ada baiknya untuk memahami pengaruhnya kita kutip pendapat dari Soekarno: “…kita punja daja menghasilkan mendjadi mati sama sekali, kita punja daja cipta alias kepandaian dan kemampuan-membikin padam sama sekali, hantjur sama sekali, binasa sama sekali! Imperialisme industrialisme asing itu telah merebut tiap-tiap akar daripada daja menghasilkan ekonomis kita, membakar tiap-tiap semi daripada daja menghasilkan ekonomis kita menjadi debu, merosotkan Rakjat Indonesia itu mendjadi suatu Rakyat yang hidup dengan memakai barang-barang –luaran”.

Pendapat tersebut dapat dilihat salah satunya dengan merujuk data tahun 1995, di areal Freeport saja tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS, yang baru akan habis selama 45 tahun. Berapa yang jatuh kepada Indonesia? Kita hanya kebagian 7,9% kepemilikan saham, pajak dan royalty. Sementara dari Blok Cepu, ke depan Exxon akan menikmati pendapatan senilai Rp. 170 triliun per tahun. Bandingkan dengan kontribusi sektor pertambangan yang hanya Rp. 70-80 triliun terhadap APBN per tahunnya.

Kontribusi sektor pertambangan bagi pendapatan negara, terhitung dari tahun 2005 sampai dengan 2007, hanya memberi rata-rata 80-90 triliun rupiah per tahun. Padahal Indonesia adalah negeri yang memiliki cadangan minyak bumi (yang terlacak) sebesar 4,6 milyar barrel, cadangan gas (terlacak) hampir 90 TSCF yang dengan produksi 2,9 TSCF yang baru akan habis 30 tahun ke depan, penghasil 25% timah dunia, 2,2% dari produksi batubara dunia, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia.

Dampak sosial dari situasi perekonomian yang demikian ini adalah perkembangan industri nasional yang stagnan, bahkan dengan kebangkrutan di sektor riil yang belum juga berhenti gagal menyerap pengangguran, dan justru membantu menambah jumlah pengangguran. Laporan Bank Dunia tahun 2006 menunjukan bahwa hampir 50% penduduk Indonesia masih tergolong miskin dengan asumsi golongan penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 2 dollar per hari. Akses rakyat miskin terhadap kesehatan, pendidikan, perumahan juga semakin sulit. Tak heran penderita busung lapar, anak putus sekolah tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan tergolong tinggi.
Dengan dukungan syarat-syarat obyektif kekayaan alam serta sumber daya manusia yang cukup banyak, kenapa pemerintah kita masih saja gagal menyejahterakan rakyat Indonesia..? padahal kekayaan alam yang terkandung di Bumi Indonesia sudah sangat cukup menjadi modal dasar untuk memodernisasikan dan meningkatkan produktifitas perekonomian Indonesia. Apakah kegagalan tersebut masih bisa dipandang hal yang biasa ?


* Sekretaris DPD I - PAPERNAS (Partai Persatuan Pembebasan Nasional) Sumatera Utara
 

BICARALAH TENTANG POLITIK ALTERNATIF

Randy Syahrizal*

Diskursus mengenai partai politik alternatif memang sangatlah menarik. Wacana ini dapat dikatakan baru saat ini, yang saat ini hampir mencapai “booming” nya dipentas politik Indonesia. Jika sebelumnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengukuhkan dirinya sebagai partai oposisi, maka saat ini gaung atas wacana tersebut-pun telah kehilangan legitimasinya. Hal ini disebabkan oleh PDI-P sendiri yang tidak dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras berada dekat diposisi masyarakat yang saat ini dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak bepihak kepada rakyat.

Sayap keoposisian yang coba dikembangkan oleh PDI-P ternyata berjalan dengan dinamika yang lambat dan tidak populis. Oposisi yang dimaksud tidak lebih sebatas “enggan” atau “malu-malu” menyepakati kebijakan pemerintah, seperti misalkan penolakan yang “malu-malu” pada kasus impor beras pada tahun 2006 yang lalu. Praktis resistensi gugatan kepada pemerintah hanya berjalan kurang lebih selama 1 bulan. Setelah itu diam ditelan ketukan palu. Penulis menilai bahwa sikap oposisi seperti ini bukanlah oposisi dalam makna yang sejati, yang memiliki visi dan misi yang jelas, serta memiliki pandangan pemerintahan yang memang berbeda secara prinsipil dengan pemerintah/partai yang berkuasa.

Akibatnya, kata “oposisi” tidak lagi mendapat “semangat garang” nya dipentas perpolitikan dewasa ini. Kata “oposisi” persis seperti “macan ompong” untuk partai politik besar, dan “Small is Beautifull” untuk organisasi pro-demokrasi yang kehilangan tenaga ditengah liberalisasi politik saat ini.

Politik alternatif lahir atas kritik pada pentas perpolitikan di Indonesia yang memiliki variasi buruk dan tidak memiliki perspektif politik yang jelas. Variasi-variasi yang memiliki mainstream buruk tersebut bisa dilihat dari praktek politik transaksi sebagai pengganti dari politik kekeluargaan. Saat ini ingin menjadi kepala daerah saja harus memiliki uang yang banyak untuk meminang partai politik, organisasi massa, organisasi kepemudaan, dan kepala-kepala desa/lurah serta tokoh-tokoh masyarakat yang diyakini memiliki kantong-kantong suara. Belum lagi membutuhkan dana yang tidak kecil untuk membuat panggung-panggung kampanye.

Tidak hanya itu, kelahiran politik alternatif juga didasarkan pada fakta bahwa pemerintah dan partai berkuasa semakin sibuk menebar konsesi ekonomis untuk menjaga agar api dalam sekam tidak meluas. Berbagai program populis pun bermunculan seperti Askeskin, Gakin, BOS, kenaikan gaji PNS, bantuan kredit UKM, dsb. Dalam jumlah yang lebih kecil, korporasi-korporasi asing di Indonesia terpaksa juga ikut menebar receh dalam kantong (dalam bentuk Community Development atau yang sekarang bernama Corporate Social Responsibility) demi keamanan modal mereka nantinya. Dari membiayai lomba baca puisi (Inco), beasiswa (Freeport), membuat kursus menjahit (Newmont), sampai ke drama perubahan iklim, yang tak lain hanyalah negoisasi harga karbon, di Bali akhir tahun ini (Freeport) selalu dikampanyekan oleh banyak media sebagai maksud baik korporasi untuk memberantas kemiskinan dan melestarikan lingkungan di Indonesia. Kalaupun ada yang cukup bergaung di kalangan kelas menengah, seperti MDG’s, yang konkretisasinya tidak dirasakan oleh rakyat.

Lahirnya arus liberalisasi politik juga diikuti pada menjamurnya organisasi-organisasi, dari yang berbentuk ormas, LSM, OKP, Parpol maupun organisasi-organisasi pro-demokrasi. Tokoh-tokoh yang sebelumnya tidak populis pun bisa saja muncul kepermukaan jika memiliki uang banyak. Latar belakang majunya tokoh-tokoh baru pun memiliki keberagaman tersendiri, dari yang murni memiliki visi dan misi membawa perubahan, numpang tenar melalui momentum politik sampai mencari “uang mundur” dari calon kepala daerah yang memiliki kekuatan financial lebih kuat.

Saatnya Bicara Alternatif
Saat ini ramai sekali organisasi-organisasi maupun tokoh-tokoh politik yang mulai mendeklarasikan dan mengkampanyekan keberadaan politik alternatif. Sebut saja beberapa organisasi-organisasi rakyat seperti Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Serikat Buruh Makanan dan Minuman (SBMM), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Gerakan Rakyat Miskin (GERAM) dll, yang berkumpul di Cibinong pada Juli 2006 lalu dan berhasil mendeklarasikan Komite Persiapan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (KP-PAPERNAS). KP-PAPERNAS mendeklarasikan dirinya sebagai partai politik alternatif pada Januari 2007, lewat Kongres I PAPERNAS di Kaliurang, Yogyakarta. Partai ini lahir atas keprihatianan kepada nasib rakyat miskin Indonesia yang kian hari kian dimiskinkan oleh kebijakan negara yang mengabdi kepada sistem ekonomi kapitalisme berwajah baru, yakni neoliberalisme. Sistem ini termanifetasi pada penguasaan kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport, Newmont, Siemens, dll yang menguasai kekayaan alam dibidang pertambangan, seperti gas, minyak bumi, tembaga, baja dsb. Hal diatas masih ditambah dengan dasar pemikiran yakni saat ini kepercayaan rakyat akan partai-partai politik yang ada kian pudar. Banyak janji-janji populis pada saat kampanye - tidak pernah terealisasi sama sekali.

Begitu juga dengan Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang didirikan oleh tokoh-tokoh LSM yang memandang bahwa kemandirian ekonomi rakyat adalah jalan keluar dari krisis perekonomian yang dialami rakyat hari ini. Sama halnya dengan Syarikat Islam Indonesia (SII) yang berkesesuaian dengan amanat kongresnya: membentuk partai politik baru. Pilihan SII tersebut dilatarbelakangi oleh kebuntuan politik yang dialami rakyat (apatisme) karena banyak partai politik yang berkuasa sudah benar-benar melupakan rakyat.

Yang harus menjadi catatan penting dari fenomena ini adalah gerakan politik alternatif dimotori oleh kebangkitan kaum muda untuk memimpin Republik ini dari kehancuran sekian puluh tahun pada kepemimpinan kaum tua. Sudah banyak deklarasi-deklarasi yang lahir, mulai dari Kaum Muda Bangkit yang mempunyai pandangan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” sampai Komite Bangkit Indonesia (KBI) yang dimotori Rizal Ramli bersama sekelompok politisi dan ekonom muda dengan wacana: Jalan baru (Konsep ekonomi anti penjajahan Neoliberal (mafia Berkeley); Pemimpin baru. Selain KBI yang cukup besar, juga bermunculan konsolidasi-konsolidasi kecil lainnya yang bersifat non-permanen di panggung politik nasional yang juga dengan tema kepemimpinan baru (kaum muda) dan kemandirian bangsa. Perspektif baru semacam ini, yang tak muncul pada pemilu 2004, diharapkan akan menjadi terobosan politik di ajang 2009- yang dapat memilah situasi politik nasional menjadi: anti- dan pro- penjajahan asing. Di luar perspektif tersebut, situasi politik nasional hanya marak oleh traksaksi dan lobi politik elit menjelang pemilu (eksekutif dan legislatif) 2009.

Sepertinya sentimen-sentimen politik masa lalu yang bermuara pada kebijakan ekonomi-politik kapitalistik mendapat sambutan serius dari kaum muda Indonesia. Situasi ini mencerminkan kontradiksi yang pastinya sangat menarik antara kaum tua versus kaum muda. Saatnya sekarang bertarung. Ini adalah buah dari kian maraknya pembicaraan dan konsolidasi wadah-wadah politik alternatif. Akankah yang baru tumbuh akan mekar dan mewangi ?


*Dept. Pendidikan dan Bacaan KP-FPRM, Sekwil DPD I PAPERNAS Sumatera Utara dan Sekwil STN (Serikat Tani nasional) Sumatera Utara.
 

Ekonomi Makin Sulit, Rakyat Menjerit

Oleh: Randy Syahrizal

Terjadi kelangkaan BBM dan pemadaman listrik yang merata di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara. Kondisi ini sebenarnya berbasiskan pada situasi di mana pemerintah kita telah berkomitmen untuk lebih memprioritaskan ekspor minyak dan gas bumi ke negeri-negeri imperialis serta telah dikuasinya sumur-sumur minyak dan gas bumi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar dari Amerika, Eropa, dan Jepang serta negara-negara imperialis lainnya.

Komitmen pemerintah ini telah dibuktikan dengan diberikannya pengeksplorasian blok cepu terhadap exxon mobil. Exxon mobil telah disahkan oleh SBY-JK sebagai pemilik kekayaan minyak bumi rakyat Indonesia sebesar 2,6 miliar barel (atau mendekati separuh cadangan minyak Indonesia seluruhnya).

Hal yang sama juga terjadi di Sumut. Pada pertengahan tahun 2005 terjadi eksplorasi gas oleh tiga perusahan pertambangan asing yaitu Tiga Investor asing masing-masing SINOPEC Internasional Petroleum, COSTA dan Asia Petroleum Development (Asahan) LTD (APD) akan melakukan eksplorasi ladang dan gas di Kabupaten Langkat, Sumut. Perusahaan ketiga yakni Asia Petroleum Deveploment (Asahan) LTD (APD), merupakan anak perusahaan dari Serica Energy Coorperation yang terdaftar dibursa Kanada dan memilki blok-blok di Inggris, Spanyol dan Indonesia. Menurut pemerintah, eksplorasi ini diharapkan akan memenuhi kebutuhan PLN dan Perum Gas. ''Dengan ketersediaan energi ini diharapkan akan mendukung pertumbuhan industri, membuka lapangan kerja dan menigkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, proyek ini nantinya akan memberikan nilai tambah terhadap APBD serta merupakan potensi energi bagi daerah ini,''kata Gubsu H T Rizal Nurdin saat menerima Kepala Perwakilan Sumbagut Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Milik Gas dan Bumi, Drs Rahmat Priyatna MM. Gubsu mengatakan bahwa kebutuhan gas PLN saat ini sekitar 100 juta CUFT per hari, sementara yang dapat dipenuhi Pertamina baru 60 juta CUFT, dan sisanya memakai BBM. justru saat ini rakyat di Sumatera Utara mengalami krisis kelangkan BBM dan padamnya aliran listrik (Berita BAPPEDA, 2005 – 06 – 17).

Namun kenyataan berkata lain, justru kelangkaan gas dan minyak tanah terjadi di mana-mana. Pada tahun 2006 terjadi kelangkan gas. Kelangkaan ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah di Sumatera utara. Pada akhir 2006, pihak PN Gas Sumbagut menghentikan sementara pasokan gasnya ke semua perusahaan di Sumatera Utara. Tidak hanya itu, PN gas juga tidak dapat memenuhi kebutuhn gas bagi PLN sehingga akhirnya berdampak pada pemadaman bergilir yang dialami oleh warga sumut. Hal ini akhirnya memicu terjadinya gelombang aksi yang dimotori oleh APINDO yang menuntut agar PN gas segera mendistribusikan pasokan gas ke perusahaan-perusahaan mereka atau bila tidak akan mengakibatkan banyaknya perusahaan yang akan tutup dan memicu terjadinya PHK missal. Di samping itu kelangkaan BBM (minyak tanah) akhirnya juga memicu naiknya harga minyak tanah, dan hancurnya industri terutama industri menengah dan kecil yang menggunakan bahan baku energi minyak tanah dan listrik.

Atas persoalan ini lagi-lagi pemerintah masih tetap saja beretorika. Seperti yang dilansir harian KOMPAS (27/9), Pengurangan kuota minyak tanah yang dilakukan pemerintah mulai bulan September 2006 diperkirakan akan membuat wilayah Sumatera bagian utara mengalami kelangkaan bahan bakar tersebut. Kuota minyak tanah di wilayah Unit Pemasaran I Pertamina yang meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau tahun 2006—yang semula 1.248.420 kiloliter—dikurangi menjadi 1.100.000 kiloliter. "Dalam kondisi kuota sebesar 1,25 juta kiloliter saja sudah ada riak kelangkaan, apalagi ini dikurangi," ujar Kepala Humas Pertamina UPMS I Joko Sasono Putranto di Medan, Rabu (27/9). Tahun 2005 kuota minyak tanah untuk Pertamina UPMS I masih 1.395.757 kiloliter. Pengurangan kuota kali ini, menurut Joko, bagian dari pengurangan subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak (BBM). "Tahun lalu kuotanya terpenuhi.

Sungguh licik upaya-upaya pemerintah untuk “membuang badan” dan cari selamat atas persoalan kelangkaan BBM dan gas yang tidak hanya terjadi di Sumut, tapi terjadi juga di hampir seluruh wilayah Indonesia. Padahal sejatinya adalah karena pemerintah harus tunduk dan takluk atas semua kepentingan imperialis (telah tergambarkan secara gamblang dalam sitnas kita).

Menyongsong Pilkada Gubsu 2008
Awal 2007 adalah masa-masa kampanye-nya elit-elit politik borjuis ditengah-tengah massa rakyat, dalam kepentingan menang Pilkada 2008. Ada banyak elit politik borjuis yang menjadi bakal calon Gubernur, mereka berasal dari Partai-partai lama (tradisional) dengan watak yang juga sama ‘lamanya’ dengan partainya. Namun, kekuatan-kekuatan elit politik borjuis tersebut juga terpolarisasi secara politis (adu program). Ada sebagian Partai Politik yang ‘katanya’ memposisikan diri sebagai partai oposisi (PDI-P dan PKS) dan sudah berani ‘mengkritisi penetrasi’ modal asing (neo-liberalisme). Akan tetapi hal tersebut tidak-lah tegas, hanya ditujukan demi kepentingan popularitas partai saja (dalam makna suara pemilih), namun akan larut juga dalam keputusan-keputusan rezim SBY-JK, yang juga berarti tunduk pada kebijakan-kebijakan neoliberal (sudah terbukti ketika mereka berkuasa). Hal ini adalah rahasia umum yakni watak sejati dari partai borjuis.

Pilkada 2008, Partai Golkar sebagai partai terbesar di Sumatera Utara dalam hal ini juga masih bimbang dan ambigu dalam penempatan kader-kadernya dalam pertarungan pilkada. Ada dua kader utama Golkar Sumut yang akan ikut bertarung dalam Pilkada, yakni Ali Umri (Walikota Binjai) dan Abdillah (walikota Medan). Entah apa yang membedakan (secara prinsipil) keduanya, tapi yang pasti, keduanya tetap akan berlomba menjadi agen (no 1) neo-liberalisme di Sumut. Abdillah sendiri popularitasnya menurun, seiring makin tidak percayanya Rakyat Medan dengannya. Rasa tidak percaya ini dipacu oleh praktek-praktek penggusuran anak jalanan, PKL (Pedagang Kaki Lima), dan prioritas programnya yang menempatkan sektor pertamanan lebih besar dari pada sektor pendidikan dan kesehatan (untuk memajukan tenaga produktif rakyat Medan).

PDIP juga akan menjagokan kadernya, yakni dan T. Chairuman (pusat). Konstalasi politik juga sedang memanas antara PDIP dengan partai-partai Islam (beserta Ormasnya), dan langsung menohok Rudolf Pardede (Gubernur Sumut) dengan isu Ijazah palsu. PPP malahan lebih berani berhadap-hadapan langsung dengan PDIP (perang terbuka) dengan digelarnya aksi besar-besaran (mobilisasi massa mencapai ratusan) dengan tuntutan agar Rudolf Pardede segera turun. T. Chairuman memang kelihatan lebih siap ketimbang yang lain, dengan sedari dini (pertengahan 2006) melakukan kampanye-kampanye, lewat metode seminar dikampus-kampus dan Lokakarya dengan tema yang termasuk seksi di SUMUT, yakni HAM (Hak Asasi Manusia). Namun sampai sejauh ini, belum ada kempanye programatik yang popular (kerakyatan) yang sudah disusunnya (tim suksesnya) secara sistematis tentang persoalan-persoalan mendesak Rakyat Sumut. Ini sudah bisa kita duga sebelumnya, melihat karakter sejati borjuasi nasional yang pengecut dan tidak berani secara tegas menghempang kebijakan-kebijakan neoliberal.
PKS juga akan bertarung dalam Pilkada Gubernur. Setelah pasangannya dalam Pilkada Medan (Maulana Pohan-Sigit Pramono) kalah bertarung dengan pasangan Abdillah dan Ramli, PKS kembali mencoba menjagokan Sigit Pramono dalam pertarungan Pilkada 2008. Seperti yang kita lihat, PKS memang lebih popular dikota-kota besar (termasuk Medan). Ini adalah gambaran tingkat kekritisan masyarakat perkotaan dalam menyikapi tuntutan-tuntutan popular (baca : program popular yang tanggung-tanggung dari PKS), karena tuntutan-tuntutan populis dari PKS tidak mendasar dan menohok kepada persoalan inti rakyat, melainkan hanya mempopulerkan tuntutan-tuntutan moralitas saja (seperti tuntutan PKS tentang korupsi yang tidak structural). Sedangkan PBR juga akan menjagokan Romo Raden Syafi’I sebagi bakal calon Gubernur. PBR adalah perwakilan dari kaum konservatif di parlemen, yang sampai sekarang masih saja mempraktekkan politik konservatif. Hal ini dapat dipastikan mengingat platform partainya yang memang tidak pernah menohok persoalan imperialisme kepada persoalan structural (kebijakan rezim boneka), namun masih beranggapan (dengan propaganda yang moralis) tentang nilai-nilai moralitas yang semu (mistik) dan tidak ilmiah.

Sebagai kekuatan tradisional Islam, PPP memang sudah sangat luas dikenal Massa rakyat. Namun popularitasnya semakin menurun setelah menjamurnya partai-partai yang berhaluan islam, ditambah track record PPP sebagai partai pendukung Orde Baru. Akan tetapi (secara internal) PPP masih percaya diri untuk tetap berpengharapan bahwa partainya mampu menjadi pemersatu kekuatan-kekuatan islam dalam satu payung. Besar kemungkinan PPP akan bertarung dalam pilkada gubsu 2008, walaupun sampai saat tulisan ini dibuat, PPP belum menempatkan kadernya dalam pertarungan tersebut.
Kalangan akademisi juga tidak mau ketinggalan pertarungan. Sebagai bukti bahwa Chairuddin Lubis (Rektor USU) juga mencalonkan dirinya sebagai bakal calon Gubsu. Namun belum kelihatan bahwa Chairuddin akan memilih kendaraan yang mana (baca: partai) untuk menghantarkannya menjadi peserta pilkada gubsu 2008. Akan tetapi, popularitas Chairuddin juga sedang menurun, terutama dikalangan akademisi, terkait persoalan dugaan korupsi milyaran rupiah di USU.

Propinsi Tapanuli : Ada Kepentingan Apa….?
Pro tentang pembentukan Propinsi Tapanuli saat ini terus menguat di Sumut. Dalam beberapa waktu lalu ada mobilisasi besar di Tarutung dalam bentuk rapat akbar menyatakan kebulatan tekad. Menurut informasi, rapat akbar ini di hadiri lebih dari 20.000 massa dari 10 kabupaten yaitu kabupaten Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir, Pak pak Barat, Humbang Hasundutan, Dairi, Kotamadya Sibolga, Tapteng, Nias dan Nias Selatan dan juga dihadiri beberapa anggota DPR-RI. Sejauh ini hampir mayoritas pejabat-pejabat Negara seperti bupati dan anggota dewan di 10 kabupaten tersebut telah menyatakan dukungannya. Meski tidak secara terbuka partai-partai borjuis di parlemen menyatakan dukungannya, namun tokoh-tokoh politik dari beberapa partai politik ikut berperan dalam upaya pembentukan propinsi Tapanuli, diantaranya dari PDIP dan GOLKAR.

Dalam pandangan lain, kontra terhadap pembentukan propinsi Tapanuli juga menguat. Beragam pandangan atas propinsi Tapanuli bermunculan. Sebagai tandingan atas mobilisasi besar, pada awal Januari 2007 terjadi juga mobilisasi besar di kota Sibolga dan menyatakan menolak bergabung dengan propinsi Tapanuli. Di beberapa kabupten seperti Dairi, Nias dan Nias Selatan juga terjadi aksi menolak bergabung dengan Propinsi Tapanuli. Belakangan isu yang muncul atas pro dan kontra dari pembentukan Propinsi Tapanuli justru isu sara.

Apapun itu, itulah konsekuensi atas pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan. Ya, imperialis telah berhasil memecah belah bangsa Indonesia, mengilusi impian-impian borjuis lokal di daerah atas makna kebebasan dan kekuasaan. Namun sejatinya adalah otonomi daerah hanyalah alat bagi imperialis untuk mempermudah penguasaan kekayaan alam yang ada di negeri ini. Oh.., sungguh malang bangsaku….

Situasi perlawanan rakyat: Polarisasi masih menjadi masalah utama gerakan rakyat.
Secara umum, gerakan perlawanan menentang kebijakan-kebijakan neoliberal masih tercerai berai (terpolarisasi). Dalam hal ini, yang paling menjadi persoalan adalah perdebatan yang belum berakhir mengenai pandangan kondisi objektif masyarakat Indonesia. Sebagian kaum gerakan memandang bahwa musuh pokok rakyat Indonesia bukanlah Neoliberalisme dan rezim boneka SBY-JK (dalam hal ini sebagai kontradiksi pokoknya). Sehingga, sebagian kaum gerakan tersebut masih memandang tetap relevannya ‘memblejeti’ rezim boneka saja tanpa harus menggulingkannya. Tentunya kaum gerakan ini tidak memandang pemilu ataupun pembentukkan partai front sebagai langkah maju untuk terus memompa gerak maju kesadaran Rakyat, dengan propaganda seluas-luasnya mengenai persoalan-persoalan mendesak rakyat besert jalan keluar yang benar. Atau jika tidak, tidak ada jalan keluar (strategi-taktik perjuangan) yang lain untuk secara bersama (front) menawarkan program-program popular kepada rakyat.

Secara umum, Rakyat Indonesia merindukan perubahan nasib kearah yang lebih baik, dan pembuktian pemilu 2004, rakyat menggantungkan harapannya kepada ‘yang baru’ yakni SBY-JK. Tapi ini bukanlah mutlak kesadaran sejati rakyat untuk berubah, pertanyaannya adalah, dari mana rakyat menemukan kesadaran palsunya…? yang pertama, kita harus jeli menilai massif atau tidaknya propaganda-propaganda perlawanan terhadap imperialisme neolib, serta kita juga harus melihat bahwa kesadaran yang kita injeksikan (program populis) tidak sebanding dengan bentuk organisasi kita dalam menjawab setiap perubahan kondisi. Sebagai contoh, kita tidak bisa merawat Front, sehingga tidak menjamin adanya tindakan praktek politik bersama.

Kesimpulannya, lemahnya persatuan gerakan rakyat, hanya membuahkan hasil kesadaran palsu massa untuk berubah, namun belum sejati (revolusioner). Dan kita berkewajiban memompa terus-menerus dengan propaganda persatuan dalam wadah politik alternative..
Secara umum seperti halnya pembacaan pada sitnas, gambaran yang terlihat adalah :

• Sama halnya dengan pembacaan sitnas, hancurnya industri nasional dan diberlakukannya sistem buruh kontrak menjadikan serikat-serikat buruh kehilangan massanya. Serikat-serikat buruh di sibukkan dengan kerja-kerja advokasi anggotanya yang terus menerus di ancam PHK dan kemerosotan tarap hidupnya. Hanya pada momentum-momentum politik tertentu saja (terutama dalam merespon kasusnya), kaum buruh dapat termobilisasi. Di Sumut, belum ada satu pandangan yng sama terhadap isu Tri Panji Persatuan Nasional. Banyak serikat buruh di Sumut lebih terfokus pada isu-isu tentang kenaikan upah, dan isu-isu ekonomis lainnya yang dialami kaum buruh di tempat kerja.

• Pada kaum tani, kemunduran serikat-serikat tani saat ini tak lepas dari belum adanya kesatuan pandangan dikalangan para aktifis serikat tani dan adanya intervensi dari LSM-LSM yang berkepentingan menjadikan kaum tani sebagai “massa dagangannya” serta kekalahan-kekalahan aksi perebutan tanah yang dengan sendirinya menghancurkan serikat-serikat tani tersebut. Posisi kaum tani yang dihancurkan oleh penetrasi imperialisme ini (karena kekalahan modal, tekhnologi dan sistem pertanian), menempatkan kaum tani sebagai kaum urban di perkotaan yang bekerja secara musiman, hal ini pula yang menyulitkan pengorganisasian kaum tani. Secara umum gerakan tani masih bersifat ekonomis dan tradisional, seperti misalnya masih berkutat dalam tuntutan Tanah saja, yang tentunya sifatnya sangat konservatif. Sedangkan tuntutan tuntutan yang lebih maju seperti menuntut modal dan tekhnologi masih sangat minimal. Padahal, tuntutan modal dan tekhnologi sangat relevan dilakukan melihat kemampuan produksi petani yang minim. Perjuangan Kaum tani juga masih terpolarisasi, karena karakter perjuangannya ekonomis. Sedangkan kelahiran front-front tani masih sangat minimal sebagi kesatuan konkret pilitik kaum tani.

• Gerakan mahasiswa sendiri yang selama ini menjadi sektor termaju dalam penerimaan kesadaran politik, terpukul mundur jauh kebelakang. Gerakan mahasiswa terjebak dengan kepentingan-kepentingan, dan belum mampu keluar dari politik para seniornya (politik ke’i), ditambah dengan adanya perubahan sistem pendidikan yang meminimalisir mahasiswa bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan (ekstra maupun intra), sehingga menyulitkan organ-organ mahasiswa melakukan pembasisan. Kemunduran gerakan mahasiswa ini dapat dilihat dari keberadaan organisasi-organisasi mahasiswa 98 yang hanya tinggal papan nama, tak ada lagi kemampuan mobilisasi.Disisi lain, masih kentalnya eksistensi gerakan mahasiswa membuat gerakannya menjadi ekslusif, dan belum mampu maju ketindakan politik yang lebih konkret, yakni Front.

• Bisa dikatakan tidak ada kelompok-kelompok yang berbasiskan sektor ini berkembang di sumut. Perlawanan-perlawanan yang muncul dari sector KMK lebih bersifat sporadis dan mengelomppok pada isu-isu tertentu saja dan hanya berbasiskan pada satu teritori saja, tidak meluas. Perlawanan yang muncul sebenarnya terus meluas. Yang marak saat ini adalah perlawanan pedagang kaki 5 melawan penggusuran, namun itu belum mampu menyatukn kekuatan KMK dalam satu isu bersama.

• Gerakan kebudayaan masih berkutat dalam persoalannya sendiri (berkarya baik dalam bentuk individual ataupun komunitas) yang memiliki kecenderungan ekslusif, walaupun begitu, banyak karya-karyanya yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat.

• Begitu juga dengan gerakan perempuan yang masih berkutat dengan persoalan-persoalan gender dan KDRT. Para aktifis perempuan masih belum mau melepaskan dirinya dari baju ke-LSM-annya dalam membangun gerakan perempuan, hal ini mengakibatkan sangat minim terbangunnya organisasi-organisasi perempuan. Dari pengalaman pemilu 2004, di keseluruhan sektor, sikap dan posisi terhadap pemilu justru menguat di sektor perempuan (walau tidak berbentuk dalam sebuah gerakan) terutama dengan isu kuota 30%.

*) Diajukan sebagai Draft Situasi Daerah pada Konfrensi Daerah Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS)Sumatera Utara
 

Menggagas Gerakan Intervensi Pilkada Medan

Oleh: Randy Syahrizal

Dalam demokrasi, pemilihan umum mendapat tempat terhormat dalam proses suksesi kekuasaan. Dalam perkembangannya, di Negara kita, Pemilihan Umum juga dilakukan di daerah (Pilkada) yang dilakukan secara langsung. Alam demokrasi prosedural terbuka selebar-lebarnya dan memaksa kompetisi menjadi sengit, dan bahkan sarat kecurangan. Otonomi daerah memang membuat elit politik tergiur untuk menjadi penguasa nomor 1 (satu) didaerahnya masing-masing. Kekuasaannya pun hampir tak terbatas, bahkan meliputi pengelolaan sumber daya alam masing-masing. Hal ini juga yang membuat para kandidat sangat akrab dengan investor dan konon sudah menjadi rahasia umum bahwa para investor tersebut berebut menjadi sponsor pada kandidat yang berkemungkinan menang. Dan jika ini adalah kenyataan, maka harapan perubahan nasib rakyat akan menjadi mimpi ditangan para kandidat.

KPU Medan sebagai penyelenggara Pilkada telah mengumumkan 10 dari 12 pasangan yang mendaftar yang memenuhi persyaratan menjadi calon walikota/wakil walikota Medan. Lima pasangan diantaranya berasal dari partai atau koalisi partai dan lima pasangan lainnya berasal dari calon perseorangan (independent). Dalam perkembangannya terjadi “ribut-ribut” antara massa yang menolak pembatalan pasangan Rudolf Pardede – Afifudin Lubis. Namun tulisan ini bukanlah ingin membahas persoalan tersebut secara terperinci. Menurut saya, KPU Medan sebagai penyelenggara memang berhak mengambil keputusan, namun harus tetap mengacu pada Hukum dan Undang-Undang yang berlaku, agar masyarakat kota Medan mendapatkan kepastian hukum terkait persoalan tersebut.

Gerakan Memaknai Pilkada Medan

Mau tidak mau, suka tidak suka, pilkada sebagai proses politik pergantian kekuasaan yang dipilih langsung oleh rakyat akan tetap berlangsung. Namun saya percaya, tanpa intervensi kaum pergerakan, Pilkada Medan tidak akan berbuah apa-apa, khususnya untuk kemajuan demokratisasi dan perluasan kesadaran akan masalah dan jalan keluar kemiskinan yang dialami masyarakat.


Kaum pegerakan pernah memenangkan opini dalam pertarungan pemilu, dan itu adalah politik intervensi ekstra parlemen. Ada baiknya bercermin dari pengalaman pemilu 2009 dan pilpres kemaren, saat itu betapa banyak kandidat yang keberatan dirinya disebut berbau “neolib”, artinya dari fokus konsentrasi intervensi pemilu, kaum pergerakan berhasil menjadikan “neolib” sebagai musuh bersama, sehingga banyak pihak, termasuk pemerintahan incumbent menjadi risih dengan cap “neolib” yang dilekatkan kepada dirinya. Neolib menjadi popular dan dipopulerkan juga oleh media, dan hingga saat ini perjuangan kaum pergerakan melangkah maju setapak dalam merumuskan musuh idiologis dan musuh bersama, yakni idiologi pasar bebas (neoliberalisme) dan pemerintahan yang mengabdikan diri kepada mekanisme neolib.

Gerakan Intervensi Pilkada Medan

Pilkada Medan akan menghabiskan anggaran Negara (uang rakyat) sebesar Rp 61 Milyar, jumlah yang tidak sedikit tentunya, untuk dihabiskan dalam pesta elit politik tersebut. Lantas apa kepentingan kita dalam kompetisi elit-elit politik tersebut..? kepentingan kita adalah mengawal dan memberikan perpektif kerakyatan seminimalis apa pun dalam proses tersebut. Mengawalnya sama artinya dengan tidak membiarkan uang rakyat (anggaran Negara) hanya dipakai untuk menciptakan proses politik pilkada yang korup dan curang. Mengawal itu tidak hanya sebatas normative dan apolitis, namun juga harus menggagalkan potensi-potensi kecurangan yang akan dilakukan oleh kandidat yang paling pro terhadap neolib.

Potensi tersebut sudah tercium dari diangkatnya Syamsul Arifin menjadi Pj Walikota Medan, yang artinya beliau saat ini sedang bertugas rangkap jabatan. Rangkap jabatan tersebut menyalahi aturan, yakni PP no. 06 tahun 2005 pasal 132 ayat 1, mengenai Pj kepala daerah haruslah diangkat dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan beberapa criteria. Pj Gubsu harus dari eselon I jabatan strukturalnya sekurang-kurangnya IV/c, sedangkan Pj walikota Medan harus eselon II jabatan strukturalnya sekurang-kurangnya IV/b. Menurut kami ini bukan persoalan pelanggaran tekhnis semata, tapi kami menduga bahwa ini adalah scenario untuk mempertahankan dan menancapkan sedalam-dalamnya dominasi neoliberalisme di daerah-daerah termasuk Medan. Sudah sangat jelas, bahwa Syamsul Arifin bukanlah PNS, dia adalah politisi dari Partai Golkar yang tidak akan mungkin bersikap netral dalam pilkada Medan.

Saat ini Syamsul Arifin atas SK Mendagri adalah pemimpin tertinggi sementara di kota Medan yang membawahi pemerintahan terkecil seperti Kecamatan dan Kelurahan serta banyak instansi yang berada dibawah koordinasinya (termasuk KPU bukan..?) Saya berani bertaruh, bahwa tak ada satu orang pun politisi yang dapat bersikap netral dalam proses politik, atas keyakinan saya diatas, maka saya menduga bahwa ini adalah persoalan untuk memenangkan sang agen neolib yang dipercaya oleh partainya para neolib-neolib bersarang, yakni Partai Demokrat (Rahudman – Eldin). Hal ini menjadi lumrah mengingat posisi Demokrat yang sedang babak belur di hajar partai koalisi SBY dalam kasus Bailout Century. Jadi kepentingan kaum pergerakan dalam Pilkada, selain mendorong terselenggaranya proses Pilkada yang adil, jujur, bersih, demokratis dan berkualitas, yang syarat pokoknya adalah Pemerintah RI (Mendagri) harus mencabut SK Pj Walikota Medan, juga berkepentingan untuk mengawal potensi kecurangan yang akan dilakukan oleh Incumbent. Kepentingan yang tak kalah pentingnya adalah segera mendesakkan program-program darurat rakyat kepada para kandidat yang bertarung, agar rakyat dengan cepat faham, mana yang layak dipilih dan mana yang layak disingkirkan.

Capaian maksimalnya, menurut sayai, Kaum pergerakan harus mampu mendesakkan ketetapan/peraturan yang mengatur tentang pencabutan mandat oleh rakyat atas kepala daerah yang terbukti gagal membawa perubahan, terbukti korup, dan melakukan perbuatan tercela. Proses pilkada langsung oleh rakyat juga harus diimbangi dengan proses pencabutan mandat langsung yang dijamin oleh Undang-Undang. Randy Syahrizal Ketua Komite Pimpinan Kota – Partai Rakyat Demokratik (PRD) Medan, dan Humas Komite Aksi Rakyat Medan (KARAM)
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger