Pada tahun 1920-an, ketika benih marxisme mulai masuk
 ke Indonesia, yang menyebarkannya ke bumi—rakyat—adalah para Haji. 
Mereka mengibarkan panji-panji “Islam Komunis”.
Di Jawa, penggerak utamanya bernama Haji Misbach. Ia adalah seorang 
mubaligh didikan pesantren. Selain itu, Misbach sudah menunaikan ibadah 
Haji di Tanah Mekah. Dan, jangan salah, dia bisa berbahasa Arab.
Di Sumatera Barat, orang seperti Haji Misbach juga ada. Namanya: Haji
 Ahmad Khatib alias Haji Datuk Batuah. Ia lahir tahun 1895, di Koto 
Laweh, Padang Panjang. Ayahnya, Syekh Gunung Rajo, adalah seorang 
pemimpin Tarekat Syattariyah.
Datuk Batuah sempat mengenyam pendidikan dasar di sekolah Belanda. 
Setelah tamat, ia menuntut ilmu di Tanah Mekah selama 6 tahun, yakni 
dari tahun 1909 hingga 1915. Di sana ia berguru pada Syech Ahmad Khatib 
al-Minangkabawi.
Saat itu, di Sumatera Barat, sudah berdiri perguruan Islam bernama 
“Sumatra Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh kaum modernis Islam, 
yang berusaha melakukan pembaruan Islam melalui pendidikan. Salah satu 
gurunya bernama Haji Rasul—ayah dari Buya Hamka.
Audrey Kahin, dalam bukunya “Dari Pemberontakan ke Integrasi”,
 mencatat bahwa beberapa guru di Sumatera Thawalib tidak melarang 
murid-muridnya mempelajari teori-teori radikal, termasuk marxisme.
Begitu pulang dari Mekah, Datuk Batuah langsung bergabung dengan 
Sumatera Thawalib. Awalnya, ia menjadi murid Haji Rasul. Dia dianggap 
murid paling cerdas dan dinamis. Karena itu, ia pun diangkat menjadi 
Asisten pengajar oleh Haji Rasul.
Namun, karena pengaruh teori-teori radikal, Datuk Batuah sering 
berseberangan pendapat dengan Haji Rasul. Haji Rasul sendiri sangat 
otokratis dan konservatif. Ia menentang ide-ide radikal yang digandrungi
 oleh muridnya.
Pada tahun 1920-an, Haji Datuk Batuah ditugasi oleh Haji Rasul untuk 
meninjau keadaan sekolah Thawalib di Aceh. Namun, siapa sangka, di 
perjalanan inilah Ia bertemu dengan Natar Zainuddin, seorang propagandis
 serikat buruh kereta api (VSTP).
Datuk Batuah dan Natar Zainuddin langsung berkawan akrab. Pada tahun 
1923, keduanya berangkat ke Jawa. Entah sengaja atau tidak, 
keberangkatan mereka bertepatan dengan Kongres Partai Komunis Indonesia 
(PKI)/Sarekat Rakyat (SR) di Bandung, Jawa Barat.
Datuk Batuah dan Natar Zainuddin jadi peserta di kongres itu. Saat 
itu, seorang Haji dari Surakarta, yaitu Haji Misbach, tampil berpidato 
di Kongres. “Saya bukan Haji, tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa, yang 
telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan 
suci ke Mekah dan Medinah,” begitulah Misbach memperkenalkan dirinya.
Namun, begitu Misbach masuk ke inti pidatonya, Datuk Batuah langsung 
terperangah. Menurut Misbach, ada kesesuaian antara ajaran Al-Quran dan 
Komunisme. Antara lain, Al-Quran mengajarkan bahwa setiap muslim harus 
mengakui hak azasi manusia. Tetapi hal itu juga menjadi prinsip dalam 
program komunis.
Selain itu, kata Misbach, Tuhan memerintahkan untuk melawan segala 
bentuk penghisapan dan penindasan. Hal itu juga menjadi jiwanya kaum 
komunis. Lebih penting lagi, komunisme tidak mentolerir diskriminasi 
pangkat dan ras. Ajaran Karl Marx ini juga mengutuk klas-klas di dalam 
masyarakat. Slogannya: Sama rasa, Sama rata!
“Siapa yang tidak bisa menerima prinsip-prinsip komunisme berarti dia
 belum benar-benar muslim,” kata Misbach di akhir pidatonya.
Pidato Misbach sangat membekas dalam pikiran Datuk Batuah. Begitu 
pulang ke Sumatera Barat, ia segera menyebarkan pandangan “Islam 
Komunis” ala Misbach itu kepada murid-muridnya di Perguruan Thawalib dan
 melalui koran “Pemandangan Islam”.
Sementara Natar Zainuddin, yang kembali ke Sumatera Barat pada Mei 1923, segera menyebarkan gagasannya melalui koran “Djago-Djago”. Dua koran ini pula yang menjadi terompet perjuangan menentang kolonialisme di Sumatera Barat.
Pada tanggal 20 November 1923, berdirilah PKI seksi Padang Panjang 
dengan susunan pengurus: Haji Dt. Batuah (Ketua), Djamaluddin Tamim 
(sekretaris dan bendahara), Natar Zainuddin (anggota), dan Dt. Machudum 
Sati (anggota).
Sejak itu, Datuk Batuah menjelma menjadi “propagandis komunis”. Rakyat banyak menyebutnya “ilmu kuminih”.
 Banyak pedagang terseret dalam propaganda “Islam Komunis”. Maklum, 
Islam mengharamkan praktek “Riba” dan melarang umatnya menumpuk harta. 
Ini selaras dengan propaganda Marxisme menentang kapitalisme.
Haji Datuk Batuah menikah dengan Saadiah. Hasil perkawinannya 
dikaruniahi tiga anak. Salah seorang anaknya diberinama: LENIN. Lalu, 
Datuk Batuah menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Zainab. Ia 
dikaruniai seorang putri bernama KARTINI.
Sebagai seorang komunis, Haji Datuk Batuah tetap taat pada agamanya. 
Audrey Kahim mengutip pernyataan Buya Hamka tentang Haji Datuk Batuah: “Rupanya
 dia menjadi pengikut setia komunisme hanya untuk hal-hal yang 
menyangkut (ajaran) ekonomi, tidak dalam hal-hal materialisme 
historisnya. Jadi, dia komunis tulen yang masih memeluk agama Islam. 
Konon kabarnya, orang-orang komunis yang anti-agama harus hormat 
kepadanya. Sebab dia tidak keberatan bersikap keras terhadap orang-orang
 yang mencela agamanya.”
Propaganda “Islam Komunis” sangat membumi. Rakyat pun 
berbondong-bondong menjadi anggoat PKI. PKI Padang Panjang punya pusat 
propaganda bernama: International Debating Club (IDC). Namun, 
rupanya, Belanda sangat khawatir dengan hal itu. Maklum, PKI adalah 
organisasi paling radikal dan paling keras menentang kolonialisme 
Belanda.
Akhirnya, baru 2 bulan beraktivitas di Padang Panjang, Belanda 
menggeledah IDC. Itu terjadi tanggal  11 November 1923. Saat itu, 
aktivis IDC sedang melipat-lipat koran Djago-Djago! Tiba-tiba datang Polisi bersenjata lengkap menggeledah tempat itu.
Natar Zainuddin dan Datuk Batuah ditangkap. Sehari kemudian, para 
aktivis PKI Padang Panjang dan anggota Redaksi Djago-Djago juga mulai 
ditangkapi oleh Belanda. Sebulan kemudian, Djamaluddin Tamin juga 
ditangkap.
Datuk Batuah dan Natar Zaimuddin dibuang ke Timor (NTT). Natar 
Zainuddin dibuang ke Kafannanoe (Kefamenanu), sedangkan Datuk Batuah 
dibuang ke Kalabai (Kalabahi, Alor). Namun, meski di pembuangan, Datuk 
Batuah tetap aktif berjuang.
Bersama dengan  Christian Pandie, aktivis Timor, mendirikan 
organisasi bernama Partai Serikat Timor. Tak lama kemudian, partai ini 
berganti nama menjadi Partai Serikat Rakyat. Azasnya tetap: Komunisme! 
Sayang, ketika meletus pemberontakan PKI tahun 1926, aktivis Partai 
Sarekat Rakyat turut ditumpas Belanda.
Pada tahun 1927, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dipindahkan ke 
Boven Digul, Papua. Tidak banyak dokumentasi terkait kehidupan Datuk 
Batuah dan Natar selama di Digul. Begitu Jepang merengsek masuk 
Indonesia, Datuk Batuah dipindahkan New South Wales, Australia.
Konon kabarnya, Datuk Batuah dan istrinya, Saadiah, sempat kembali ke
 Indonesia dan tinggal di Solo, Jawa Tengah. Dalam buku Soe Hok Gie, Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan,
 disebutkan bahwa Datuk Batuah masuk daftar anggota Komite Nasional 
Indonesia Pusat (KNIP). Ia mewakili Solo bersama DN Aidit dan Alimin.
Tahun 1948, Ia kembali ke kampung halamannya: Koto Laweh, Padang 
Panjang. Di sana ia tetap berpropaganda komunisme. Datuk Batuah 
meninggal dunia tahun 1949.
Risal Kurnia, Kontributor Berdikari Online
    









