Rakyat Kecil Menjadi Korban Ketidakadilan Hukum (Bercermin Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda)

Pada tahun 1903, Sastrawan Peranakan Tionghoa bernama Gouw Peng Liang juga turut menuliskan kisah yang bertemakan ”kriminalisasi” terhadap Tan Hin Seng seorang rakyat kecil (pedagang sayur) oleh seorang tuan tanah Lo Fen Koei, dimana kasus yang diperkarakan telah diskenariokan oleh Tuan Demang Tabri (Priyayi) untuk menawar pasal-pasal hukum dengan anak gadisnya yang cantik jelita. 

            Dalam cerita yang diambil dari kisah nyata di Jawa, Lo Fen Koei, seorang Tuan Tanah dan Pachter Opium di Residen Benawan, Afdelling Banjar Negara, punya keinginan untuk mengangkat gadis cantik bernama Tan San Nio sebagai istri mudanya, alias gundik. Ayah gadis cantik ini adalah seorang penjual sayur yang menyewa tanah di lahan milik Lo Fen Koei. Kehidupannya sangat miskin. Ayah gadis ini menyimpan rasa benci kepada tuan tanah Lo Fen Koei atas tindakan semena-mena terhadap para koeli dan tindakannya juga yang selalu menaikkan sewa atas tanah. Akhirnya, sang Ayah menolak lamaran Lo Fen Koei dengan sangat kasar meskipun di iming-iming mendapat rumah besar di Banjar Negara dan uang sebesar 500 Gulden, ditambah tidak perlu lagi membayar uang sewa tanah.
            Tuan tanah Lo Fen Koei marah atas penolakan itu. Kemudian menyuruh pesuruhnya untuk memasukan candu kedalam bakul sayur milik Ayah gadis cantik tersebut, dan juga mencari sekutu di dalam birokrasi pemerintahan Afdelling dengan membayar Tuan Demang Tabri untuk melakukan penggeledahan isi rumahnya bersama polisi Afdelling Banjar Negara. Setelah proses penggeledahan, Tuan Demang menjumpakan sang Ayah kepada Lo Fen Koei dengan bujuk rayuan untuk mendapatkan kebebasan dengan menukar pasal candu gelap menjadi candu kongsi, dan karena perubahan pasal itu dia tidak akan ditahan. Bujuk rayu itu tentunya mensyaratkan kerelaan sang Ayah untuk merestui pergundikan anaknya. 

            Tapi dia menolak mengakui kepemilikan candu itu, dan tetap berkeras untuk tidak menikahkan putrinya kepada tuan tanah Lo Fen Koei. Akhirnya, sang ayah harus mendekam di penjara, dan bertambah ingin nafsunya si tuan tanah karena si nona cantik sudah tanpa perlindungan ayahnya.

Masa Sekarang Ini
            Baru baru ini ketidakadilan hukum ditunjukkan oleh vonis ringan yang ditujukan pada Rasyid Amrullah, anak menteri perekomian Hatta Radjasa, terdakwa tabrakan maut yang menghilangkan nyawa orang lain, dengan hukuman percobaan selama 6 bulan. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum telah menjerat Rasyid dengan dua dakwaan, pertama dakwaan primer, yakni Pasal 310 ayat (3) dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara, karena menyebabkan luka berat, dan kedua dengan pasal yang sama ayat (2) dengan ancaman 1 tahun penjara karena telah menyebabkan kerusakan kendaraan dan atau barang. Sementara tabrakan ini tidak hanya menyebabkan kerusakan kendaraan dan luka berat saja, namun telah menewaskan dua korban jiwa sekaligus. Bagaimana tuntutan berat berubah menjadi sangat ringan?

            Di Medan, pada bulan Juli 2012, setelah diberlakukannya ketetapan MA mengenai perubahan pasal Tipiring, saya juga menyaksikan sendiri jalannya persidangan seorang buruh yang dituduh mencuri kabel baja sepanjang kurang dari satu meter. Kebetulan saya dekat dengan buruh ini, dan saya mengikuti kasusnya. 

            Sepulangnya dari pabrik (masih dilokasi pabrik) dia mendapati kabel bekas ditengah jalan pabrik, dan dia mengutipnya. Dia menyangka kabel itu tak dipakai lagi. Dalam pemeriksaan rutin di pos satpam sebelum pulang, satpam menemukan kabel bekas tersebut didalam tas nya. Kemudian buruh yang bekerja di Pabrik Keramik (PT. Jui Shin Indonesia) ini langsung dibawa ke kantor polisi Medan Labuhan dan diproses. 

            Dalam pembelaannya, dia mengaku keberatan dengan tuduhan pelapor bahwa kabel itu dicuri dan hendak dijual kembali. Dia mengatakan bahwa kabel bekas itu akan dipergunakan untuk menambah panjang tali jemuran dirumahnya. 

            Buruh tersebut mendapat hukuman 7 bulan kurungan. Hukuman ini bertentangan dengan amandemen soal Tipiring yang telah ditetapkan MA (Februari 20120) bahwa tindak pidana ringan alias Tipiring (dibawah 2,5 juta) tidak perlu dilakukan penahanan. Namun para priyayi dilingkungan kepolisian dan pengadilan ini tak pernah peduli ketetapan itu meskipun sudah pasti menerima sosialisasinya. 

            Sebelumnya, ancaman hukuman 5 tahun juga dialami seorang siswa SMK yang mencuri sendal seorang polisi. Juga seorang nenek yang bernama Minah, yang dilaporkan Perusahaan Perkebunan dengan tuduhan mencuri buah Kakao (Cokelat). Nenek ini kemudian menjalani hukuman tahanan rumah selama 1 bulan 15 hari. Motif Minah sebenarnya sederhana saja, mengambil buah kakao untuk dijadikan bibit tanaman, dan setelah dipergoki oleh petugas Perusahaan, nek Minah kemudian meminta maaf dan mengembalikannya. Namun tindakan ini menjadi tidak termaafkan oleh Perusahaan.
           
Mengapa Hukum Pidana dapat diperjual-belikan?

            Setelah Belanda merdeka dari penjajahan Prancis, Pemerintah Belanda pada tahun 1881 membuat kitab hukum pidana, yang secara otomatis juga berlaku bagi orang-orang Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Dan setelah Indonesia merdeka (1945) kitab ini (KUHP) juga-lah yang dipakai dalam mengadili kasus pidana di Indonesia hingga hari ini. Padahal, Belanda sendiri sudah lama meninggalkan kitab tersebut dan merevisinya berkali-kali.

            Menurut saya, tindakan copy paste tersebut membuat penerimaan masyarakat akan hukum menjadi kabur (karena tidak lahir dari ide kolektif masyarakat), bahkan hampir tidak dimengerti secara detail. Kurangnya pendidikan hukum kepada masyarakat menambah semakin kaburnya persoalan ini. Apalagi para Sarjana Hukum  yang berprofesi sebagai Pengacara tidak menempatkan hukum pada fitrahnya, melainkan menjadikannya sebagai pekerjaan (mata pencaharian) baru yang membuat persoalan hukum menjadi persoalan yang banyak memakan biaya.      Bagi rakyat kecil yang tidak mampu membayar pengacara, dia tidak akan mendapat pembelaan, bahkan tidak mendapat penjelasan hukum mengenai kasus yang menimpnya.

            Hal ini kemudian memudahkan para petugas hukum untuk bertindak sesukanya dengan menukar, menghilangkan bahkan menambahkan pasal-pasal didalam mengadili terdakwa.

            Bagi orang-orang ber-uang, seperti Perusahaan Perkebunan yang menuntut Nek Minah atau Perusahaan Bakri Group yang menuntut seorang nenek lainnya yang mencuri ubi untuk makan karena kehidupannya yang miskin, patut dicurigai bahwa hukum dibeli untuk menghukum siapa saja yang diduga sebagai ancaman terhadap Perusahaan, terutama ancaman terhadap akumulasi modalnya. Tak peduli seberapa kecil barang curian dan alasan apa yang mengiringi tindakannya

            Bagi rakyat kecil, pada umumnya mereka baru mengerti hukum setelah tersangkut persoalan hukum, dan menjadi korban penegakkan hukum. Mereka kemudian mengenal hukum sebagai permainan kotor orang yang ber-uang dengan petugas penegak keadilan.


Randy Syahrizal (randy.syahrizal@yahoo.com)
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger