Ceritaku ini
kumulai sejak tahun 1952, sejak aku sekolah di Sekolah Rakyat, Kabanjahe.
Mungkin inilah
tulisan pertamaku. Yang sengaja aku buat untuk kenang-kenangan kepada
keluargaku kelak. Siapa tahu, ya siapa yang bisa tahu persis jumlah umurku ini?
Aku bisa baca tulis, dan tentu harus kupergunakan sebaik-baiknya. Saat mulutku
tak mampu lagi meneruskan cerita turun temurun ini, aku harap tulisan sederhana
ini bisa menggantikan tugas mulutku, dan cerita ini harus pula sampai kepada
generasi yang aku lahirkan.
Namaku Tjuram.
Lahir disebuah desa kecil bernama Kandibata, sekarang menjadi daerah ibukota
Tanah Karo, Kabanjahe. Aku lahir bulan september tahun 1945, tanggal berapa aku
kurang tahu persis. Orang tuaku tak pernah mengingatnya. Demi kepentingan
admisnitratif sekolah, orangtuaku menuliskan tanggal 1 September 1945. Bapaku
waktu itu baru saja bisa membaca. Dan ditahun 1947, beliau meninggal dunia. Aku
lahir beberapa hari sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dan kabar
proklamasi itu belum sampai ke Tanah Karo.
Keluargaku
adalah keluarga pergerakkan. Tak ada satu orangpun diantara kami yang tidak
berorganisasi. Bapaku sudah mengenal organisasi ditahun 1920-an, dan ikut
memikul senjata melawan Belanda, saat partainya mengambil tindakan perlawanan
bersenjata ditahun 1926. Pemberontakan itu dapat ditumpas, dan Bapaku dibuang
ke Binjai untuk menjadi pekerja perkebunan Belanda. Dia mengalami masa hukuman
tiga tahun, dan setelah masa hukumannya habis, beliau kembali ke Kandibata
bersama kami. Saat dia kembali, aku masih belum lahir.
Banyak cerita kepahlawanan yang
kudengar sejak kecil. Cerita itu secara turun-temurun dikisahkan kepada kami,
dan generasiku juga mengenalnya secara baik. Pa Garamata adalah yang paling
kukenal. Matanya selalu merah menyala, penuh amarah, dan selalu kurang tidur
karena terlibat pertempuran demi pertempuran melawan Belanda. Begitulah cerita
yang kudengar.
Di Kandibata ini adalah benteng
pertahanan pasukannya yang paling depan, dari lintasan Kandibata – Kacaribu.
Ditanah kelahiran dan ditempat aku dibesarkan ini, banyak darah pejuang Karo
yang tertumpah demi melawan niat Belanda, niat keserakahannya yang ingin
memperluas perkebunan kolonial.
Sunggal, Binjai dan Langkat telah
jatuh ketangan Belanda, setelah Perang Sunggal dimenangkan oleh Kolonial. Ya,
perang ini memang dimenangkan oleh Belanda, tapi perang ini juga yang membawa
nilai-nilai solidaritas, persaudaraan antara kami, rakyat Karo dengan rakyat
Aceh, dan rakyat Melayu.
Aku hafal betul cerita kepahlawanan
Pasukan Simbisa, pasukan yang dipimpin Pa Garamata. Pasukan berpedang, tombak,
parang, dan piso kecil ini dikenal sadis terhadap musuh, pantang mundur, dan
tak henti-henti mengorganisir rakyat Karo, lelaki maupun wanita, untuk
mengangkat Sumpah setia melawan Belanda. Karena sumpah setia itu, pasukan
Simbisa bertambah banyak. Namun sangat sulit bagi mereka menang melawan serdadu
Marsose Belanda yang berjumlah ratusan ribu dengan persenjataan lengkap.
Pasukan Simbisa di Kandibata akhirnya mampu bertahan setelah mendapat bantuan
dari Pasukan Gayo dari Kesultanan Aceh. Dan siapa pun bisa meramalkan, bahwa
senjata mesin pastilah bisa mengalahkan senjata tradisionil.
Cerita turun temurun ini juga yang
kusadari membentuk kepribadianku. Abangku telah lebih dahulu berorganisasi. Dia
lima tahun diatasku. Sejak berusia 15 tahun, dia telah bergabung dengan Pemuda
Rakyat (PR). Dan aku tentu saja masih pelajar tingkat akhir di Sekolah Rakyat
Kabanjahe. Aku sering melihat baris-berbaris, dan diantara barisan tersebut
terdapat abangku. Mereka berseragam, mungkin seragam organisasinya. Mereka
membawa panji-panji organisasi, berjalan tegap menuju Jambur (seperti Pendopo
dalam Jawa). Dan banyak sekali orang-orang yang aku lihat, mereka meneriakkan
kata-kata yang belum aku ketahui artinya. Saat itu aku berumur 10 tahun, dan
disini aku menemani Bi Malem berjualan jagung bakar, dan baru aku tahu sekarang,
acara itu adalah acara konferensi Partai, dan abangku mungkin telah menjadi
anggota Partai seperti Bapaku. Lalu acara-acara serupa juga aku lihat dua tahun
kemudian, dan itu adalah acara kampanye partai untuk pemilihan umum.
Pemandangan itu aku jadikan
kenang-kenangan yang luar biasa, dan kebanggaanku menjadi-jadi saat kuketahui
diri ini berasal dari keluarga pejuang. Dan aku adalah generasi baru, generasi
yang bisa baca tulis, generasi yang diharapkan Paduka Yang Mulia Presiden
Soekarno sebagai generasi pengisi kemerdekaan.
Aku mengenal nama Bung Karno saat
melewati rumah pembuangannya di Berastagi, saat aku bersama kawan-kawan Sekolah
Rakyat sedang berjalan-jalan di Berastagi, rencana hendak menuju kampung
Cingkes, lalu berputar arah menuju bukit Gundaling, ingin menghabiskan sore
melihat perkampungan dari atas. Waktu itu umurku sudah 11 tahun, dan dari keterangan
abangku, Bung Karno hanya sebentar saja di Berastagi, lalu pindah ke Parapat,
sebuah kota kecil dipinggiran Danau Toba yang menjadi bagian Keresidenan
Tapanuli.
Sekarang usiaku 13 tahun. Saat ini
aku juga aktif berorganisasi. Aku adalah pelajar, aktif di Ikatan Pemuda Pelajar
Indonesia (IPPI) cabang Tanah Karo. Diusia lima belas tahun, posisiku menjadi
penting di IPPI. Aku menjabat sebagai wakil ketua cabang. Dua tahun kemudian,
aku diutus menjadi peserta Kongres ke VII yang dibuka oleh Presiden Soekarno di
Jakarta. Aku mendapat beasiswa melanjut ke perguruan tinggi di Uni Sovyet, dan
tentunya aku senang sekali.
Saat itu aku sudah menaruh hati pada
seorang penari, Bru Sembiring, yang juga anggota Lekra. Aku memang berniat
melamarnya, dan sudah pernah ku utarakan niat itu kepadanya. Kami memang
menaruh perasaan yang sama. Dia sangat cantik, dan bagiku tidak ada alasan
untuk tidak menyukainya.
Sepulangnya aku dari ibukota, dan
sepulang sekolah, aku jumpai dia dirumahnya, tak jauh dari rumahku. Beginilah
ceritanya. Aku katakan kepadanya :
“Masihkah kam[1]
menungguku, jika aku merantau kenegeri orang barang lima tahun?”
“Aku sudah mendengar ceritanya dari
teman ndu.[2]
Kapan kam berangkat?”
“Tahun depan, setelah kelulusan.
Mengapa belum kam jawab pertanyaanku?”
“Kalau memang kam jodohku, pasti ada
jalan dan kesabaran buat menunggu kam kembali.” Jawabnya.
“Terimakasih. Aku akan jaga
kepercayaan ndu ini.”
Kabanjahe
1965
Aku lulus. Dan saatnya tinggal
menunggu undangan beasiswa dan tiket keberangkatan ke Jakarta. Rasa takut
menghampiriku. Akan bagaimana nantinya Bru Sembiring saat aku tinggalkan?
Apakah dia tidak terlalu tua untuk menungguku? Apa kata orang jika dia belum
juga menikah? Aku tak yakin dia sanggup melewatinya. Sementara abangku sudah
lima tahun menikah, dan sudah dua orang anak ada padanya.
Dan hanya tinggal abangku, hanya dia
waliku nanti diperkawinan. Masyarakat kampung ini tahu kalau aku menjalin
perasaan dengan Bru Sembiring. Abangku pasti juga mengetahuinya. Aku berniat
hendak membicarakannya hari ini kepada abang, dan hendak bertukar pikiran.
“Lebih baik nikahi dia sekarang, itu
akan membuatnya tenang dan menghindari prasangka buruk orang-orang.” Saran
abang.
Selama dua hari aku pertimbangkan,
baik buruknya, dan aku putuskan juga, aku akan menikahinya jika dia setuju
menikah dalam waktu dekat ini. Jika dia tidak bersedia, maka akan aku jauhi
dia, dan memutuskan hubungan ini, dan aku akan fokus pada studiku diluar
negeri.
“Ya, aku setuju. Betapa senang hati
ini mendapat lamaran dari kam. Bicaralah kepada Bapa ras [3]Nande,
aku tunggu dirumah nanti malam.” Kata Bru Sembiring.
Begitulah ceritanya, sampai aku
lamar dia dihadapan orang tuanya, dan abangku turut juga hadir sebagai wali,
dan kami membicarakan acara peradatannya. Dan menikahlah kami secara Islam dan
juga upacara adat, di Jambur Kandibata.
Kini aku dan Bru Sembiring tidak
lagi sepasang kekasih, tapi juga suami istri, dan juga teman seperjuangan. Bru
sembiring semakin meninggi aktifitasnya di Lekra, di bagian seni tari. Bersama
teman-teman Lekra-nya, dia sering menampilkan pertunjukan-pertunjukan tarian
daerah di Jambur-jambur, maupun diacara-acara pemerintahan.
Kami berdua juga bersama-sama ke
Juma (ladang), untuk mengurusi tanaman jeruk, ladang yang secara turun temurun
berpindah kepada kami, mungkin juga akan berpindah ke anak cucu kami kelak.
Empat bulan kemudian, istriku sudah
mengandung. Saat itu alamat pos untuk surat menyurat masih ku alamatkan dirumah
abangku. Pagi itu juga abangku memberikan surat kepadaku, dia menemuiku
diwarung kopi tempat biasa aku membaca koran, di Kabanjahe. Surat dari seorang
sahabat di Jawa. Aku buka, dan aku baca isinya.
“Kepada
kawanku tercinta, Tjuram. Hari ini, saat aku menulis surat ini kepadamu, adalah
hari terkutuk buatku. Aku dikeluarkan dari sekolah secara tidak hormat melalui
sebuah surat, bahwa aku turut terlibat dalam Gerakan 30 September. Aku tak tahu
harus kepada siapa membela diri. Penyangkalan atas tuduhan itu sudah aku
berikan kepada pimpinan sekolah, tapi tidak mendapat balasan. Aku berniat pergi
ke Jakarta untuk menemui kawan ketua umum, untuk mendapat keterangan darinya.
Tapi niat itu sia-sia. Segera aku mendapat larangan untuk bepergian
meninggalkan kota Semarang. Aku ditahan, dan sudah sampai pula surat penahanan
ini dirumahku. Sementara ini aku berstatus wajib lapor. Aku kirimkan surat ini
kepadamu dan kepada kawan-kawan lainnya yang aku tahu persis alamatnya dengan
tujuan agar kalian bisa bersikap. Dan sejujurnya aku membutuhkan solidaritas
kalian atas kondisi yang menimpaku saat ini. Ketidakadilan harus dilawan.
Demikian surat singkatku ini, dan semoga kau senantiasa sehat dan bersemangat.
Aku harap surat ini bisa sampai ditanganmu. Aku harap, kau cukup kenal dengan
tulisan ini, meski aku memakai nama samaran. Ini demi keselamatan kita.”
“Dua minggu yang lalu, ada kejadian
hebat di Jakarta. Pertentangan Dewan Jendral dan Dewan Revolusi yang dikomandoi
Letkol Untung telah mencapai puncaknya, dan klimaksnya adalah terbunuhnya 6
Jendral dan 1 orang perwira menengah, di malam 1 Oktober. Pihak militer menuduh
partai kita sebagai otak dari tindakan Letkol Untung. Lupakan beasiswamu, dan
segera pergi dari sini. Dimana-mana, kita sudah diserang dan dipukul. Kita
kehilangan arahan. Dan belum ada perintah untuk merespon keadaan ini.” Kata
Abangku.
“Lalu istriku?” tanyaku.
“Istrimu masih beruntung. Dia lahir
dari seorang Ayah yang Masyumi. Suruh dia bersembunyi dirumah mertuamu, dan dia
akan aman. Militer mungkin hanya akan menghabisi Partai dan pengikut-pengikutnya.
Dan kau, kau adalah kader partai, tingkatkan kewaspadaanmu, dan bersembunyilah.
Bicaralah kepada istrimu dengan sangat sederhana, agar ia mengerti dan
memakluminya.”
“Baiklah. Jaga juga keselamatan kam,
abangku.”
Buru-buru aku pulang ke Kandibata.
Kudapati istriku sedang membaca surat.
“Apa yang sedang kam baca?”
“Surat dari Kodim, tak jelas siapa
yang mengantarnya, aku temui surat ini dibawah pintu, saat aku baru pulang dari
ladang. Kam dipanggil Kodim untuk diperiksa.”
“Sialan, secepat itu?”
“Apa yang terjadi?” tanya istriku.
“Sekarang kam pergi kerumah Bapa
ndu, dan jangan pernah keluar dari rumah itu. Ambil barang-barang berharga dari
rumah ini, dan sekarang juga kita tinggalkan rumah ini.” Kataku.
“Kam mau kemana?” tanya istriku.
“Aku janji, akan kembali lagi
bersama kam setelah situasi ini aman.”
Istriku menurutinya. Dia pergi
setelah memelukku dan menangis. Tapi tak lama tangisan ini berlangsung. Aku
segera menyuruhnya cepat pergi. Aku amati dia dari jauh untuk memastikan keselamatannya.
Dia menaiki bendi, dan pergi menuju Kabanjahe.
Aku sendiri masih bingung hendak
pergi kemana. Aku keluar dari pintu belakang rumah, dan aku dapati pemandangan
gunung Sinabung yang tinggi berselimut kabut. Tidak mungkin aku kesana. Apa
yang hendak aku makan disitu?
Aku kembali kedapur, dan duduk
sambil memanaskan air ditungku. Pintu rumah digedor, dan aku hampiri perlahan
sambil mengintip. Aku akan ingat pesan abang agar mempertinggi kewaspadaan.
Yang aku lihat adalah Pa Tengah, saudara kandung Bapa ku. Aku buka pintu.
“Abang ndu ditangkap tentara saat
hendak pulang kerumah. Pergilah kau sekarang. Cari tempat yang paling aman. Aku
tak bisa lama-lama. Jaga dirimu nak.”
Aku menangis. Abangku telah
tertangkap. Dia tidak hanya abangku, tapi juga pimpinanku. Saran dan nasehatnya
juga harus berarti instruksi buatku sebagai bawahannya dipartai. Aku kembali
menatap pemandangan pintu belakang rumah. Gunung Sinabung lagi yang kulihat.
Baiklah, hanya tempat itu yang paling aman,
Aku menunggu hari gelap. Tidak ada
yang boleh tahu kepergianku. Tetanggapun tak seorang pun boleh tahu. Kandibata
belum lagi mengenal listrik sebagai penerangan. Lampu-lampu hanya aku lihat di
Kabanjahe, tapi tidak disini. Aku tak tahu persisnya sekarang pukul berapa.
Tapi hari sudah sangat gelap, dan dingin sudah terasa menusuk tulang. Aku ambil
jaket hitam tebal, dan aku bawa bekal secukupnya, beras dan kentang, juga korek
api sebanyak mungkin.
Ditanganku hanya ada senter kecil,
kudapat dari pedagang alat elektrik di pasar Berastagi. Aku pakai sepatu boot,
sepatu yang biasa aku pakai ke ladang. Sepatu ini akan melindungiku dari
gigitan ular berbisa. Aku berjalan menyisiri hutan yang lebat, hutan yang
lembab. Ketakutan pada hewan berbisa sudah terkalahkan, dan aku sudah berjanji
pada istriku, untuk kembali dalam keadaan sehat tanpa kurang sedikitpun.
Sudah enam jam aku berjalan. Kabut
semakin tebal, dan jarak pandangku hanya tinggal setengah meter saja. Rasa haus
dan lapar menyerangku. Tapi aku tak tahu hendak dimana aku meletakkan tubuh
yang telah lelah ini. Aku duduk dibawah pohon besar, dan bersandar pada
batangnya. Baru kusadari aku sudah berjalan mendaki keatas gunung. Baru ini aku
tempuh perjalanan kesini. Astaga, mengapa jalan ini begitu mudah? Apakah sudah
ada yang membuat jalan menuju puncak gunung?
Aku melihat kebawah ada beberapa
cahaya penerang disana, mungkin saja berasal dari perkampunganku, mungkin dari
Kandibata atau Kacaribu. Akhirnya aku baringkan tubuh, dan sekarang mataku
menatap keatas. Astaga, aku melihat cahaya, seperti obor, dan cahaya itu
bergerak keatas. Aku harus waspada, tentu ada orang disana. Mungkin saja mereka
tak melihatku. Aku tertidur.
Dinginnya pagi membangunkanku.
Dingin sekali, dan jaket tebal ini juga mampu ditembus dingin. Aku lihat
kembali, tempat ini terlalu terbuka. Aku harus naik lagi, mencari tempat
tertutup dan akan kuperiksa keamanannya, aman dari manusia dan juga aman dari
binatang buas.
Aku bertemu sebuah tenda, tapi tak
menemukan orang-orang disekelilingnya. Tenda siapakah ini? Aku memperhatikannya
dari jarak yang lumayan jauh. Aku dekati, dan telah aku timbang masak-masak,
tidak mungkin tentara berada disini. Apalagi, tenda itu bukan tenda tentara.
Aku semakin mendekati lagi, dan aku lihat ada seorang pria, mungkin lebih tua
dariku 10 tahun, sedang tertidur. Aku perhatikan lagi dari dekat. Ya, kau Bapa
Ginting.
Aku beranikan untuk duduk
disampingnya, dan kini aku berada didalam tendanya. Dia terbangun, dan terkejut
melihat kehadiranku.
“Kam itu Tjuram?”
“Ya, Pa.” jawabku.
Bapa Ginting langsung mengintip
keluar melalui lubang-lubang kecil yang terdapat pada kain tenda.
“Tidak ada siapa-siapa Pa, hanya aku
seorang.”
Kami berdua terlibat percakapan, dan
saling bertanya alasan masing-masing hingga sampai disini. Rupanya kami
sama-sama mendapat pesan untuk menyelamatkan diri. Darinya aku ketahui banyak
juga yang lari hingga ke Gayo (Aceh), ke Dairi, ke Tanah Pakpak, dan ada juga
yang menyusuri hutan belantara untuk tiba di Pancur Batu dan Medan. Dan mungkin
saat ini masih hanya kami berdua yang memilih tempat yang paling dekat, namun
paling aman.
“Kita bisa bergantian kembali
kerumah masing-masing untuk melihat istri dan jika mungkin, untuk membawa
kawan-kawan yang bisa kita selamatkan disini.”
“Baik Pa.” jawabku menyepakatinya.
Begitulah akhirnya, selama beberapa bulan
kami disini, memakan apa saja yang bisa kami makan, dari buah-buahan hingga
berburu Monyet dan Ayam hutan, dan juga burung-burung. Pendeknya apa saja yang
terlihat akan kami makan.
Hingga genaplah 4 bulan aku dan Bapa
Ginting berada ditengah hutan, Gunung Sinabung. Sekarang aku mengutarakan
niatku untuk turun gunung, dan dia menyetujuinya. “Ingat pesanku, bawalah
kawan-kawan yang bisa kau selamatkan.” Katanya.
Aku berjalan menuruni badan gunung
ini. Perjalanan menurun ini memakan waktu kurang lebih 4 jam. Dan sudah
terlihat dari kejauhan pintu belakang rumahku. Pelan-pelan aku masuk, dan belum
ada yang berubah didalamnya. Tidak ada yang berserakan. Aku mengambil baju putih
dan kopiah haji didalam lemari pakaian. Aku pakai semuanya demi penyamaran.
Kumis dan janggut sudah tak terawat dan tumbuh sesukanya. Sebelumnya, setiap
tiga hari sekali pasti aku cukur. Sekarang jika aku berjalan dimalam hari,
orang-orang akan mengiraku sebagai Masyumi, apalagi aku hendak pergi menuju
rumah seorang Masyumi, mertuaku sendiri.
Aku masuk kedalam rumah mertuaku
yang tak terkunci, dan aku disambut oleh istriku yang sedang duduk diruang
tamu. Lalu Bapa mertua keluar kamar.
“Kau kah itu Tjuram?”
“Ya Pa.” jawabku.
Lalu dengan pelan dia berbicara
dihadapanku, juga istriku.
“Sudah pernah aku minta kau untuk
meninggalkan aktifitasmu di partai itu. Beginilah jadinya kalau tidak menurut
pada nasehat orang tua. Kau juga anakku, menari bisa dimana saja, asal jangan
di Lekra. Berapa kali sudah aku katakan kepadamu. Untung saja kau anak
kandungku.”
Aku diam saja, tak berani berdebat
dengannya. Sudah kupikir-pikir dalam hati, memang tak penting berdebat
dengannya. Aku hanya butuh perlindungannya dalam beberapa hari ini. Biarlah aku
dengarkan saja petuah-petuahnya. Besok pagi aku akan jumpai beberapa kawan. Dan
aku banyak mendapat informasi dari istriku, ternyata kawan-kawanku banyak
bersembunyi di desa Guru Kinayan, sebuah desa yang sangat tertutup. Baguslah,
mereka mungkin aman.
Aku berencana pergi ke Kabanjahe
pagi ini, tetap dalam pakaian penyamaran. Aku hendak mencari tahu keberadaan
abangku. Aku tiba di dekat warung kopi biasa tempat aku membaca koran.
Keadaannya sepi. Tapi warung tetap buka seperti biasa. Aku beranikan masuk. Aku
jumpai pemilik kopi dan bertanya perihal abangku kepadanya.
Menurut keterangan darinya, dan
menurut informasi yang beredar, dan juga dari berita-berita koran, beberapa
pimpinan partai yang ditangkap akan segera dieksekusi di Lau Gerbong. Dan tentu
termasuk abangku didalam daftar eksekusi. Aku tak tahu pasti apa dia sudah
meninggal atau belum. Tapi aku sudah merasa berpisah dengannya, untuk
selamanya.
Aku segera keluar dari warung, dan
dua orang berpakaian militer menangkapku. Rupanya, namaku sudah beredar
dimasing-masing papan pengumuman dikantor-kantor kelurahan, dan kantor-kantor
kepala desa. Dan seorang dari tentara itu adalah teman sekolahku di SR. dan
seorang lagi, mungkin tentara dari Jawa. Dari nama yang tertera diseragamnya
bisa kutebak dia bukan orang Karo. Lalu aku berkata dengan bahasa Karo kepada
tentara yang juga kawanku di SR. aku gunakan bahasa Karo agar seorang lagi
tidak mengetahui percakapan kami. Beginilah percakapanku dengannya:
“Mengapa aku harus kau tangkap? Tak
pandaikah kau bersetia kawan?” tanyaku.
“Tidak hanya aku yang tahu kau
sedang berada disini, jadi lebih baik aku yang menangkap kam dari pada tentara
lain. Inilah caraku bersetia kawan. Harap kam juga bisa bersetia kawan
kepadaku.” Jawabnya.
Tentu aku tak punya pilihan selain
percaya pada kesetiakawanannya. Memang dari keterangannya, dia hanya menyatakan
bahwa aku adalah pengurus di IPPI Tanah Karo, tapi aku tak mempunyai
persinggungan langsung dengan PKI. Dan aku hanya diam saja saat diperiksa
dikantor militer. Setelah pemeriksaan, aku ditahan tanpa sidang, dan tanpa
putusan pengadilan, dan entah berapa lama. Dan mungkin kisah hidupku akan
berakhir disini. Untuk melanjutkan cerita ini, aku tak tahu lagi harus bicara
tentang apa. Dan aku sudahi cerita ini.
Didalam penjara ini aku bertemu
dengan beberapa kawan. Dipenjara ketidakadilan ini, aku masih harus bersyukur
masih diberikan pena dan kertas. Dan istriku juga diperbolehkan mengantarkan
makanan. Dan perut istriku sudah terlihat membesar.
Dari kertas dan pena itu aku
menulis. Dan tulisan itu sudah aku rampungkan. Sudah beberapa kali aku baca,
dan sudah aku tuliskan secara jujur. Aku berikan beberapa lembar tulisan ini
kepada istriku.
“Jika aku mati sebelum bisa
kusaksikan kau melahirkan anak kita, aku harap tulisan ini bisa kau bacakan
kepada anak kita agar dia mengenal siapa Ayahnya. Dan sudah beberapa hari ini
aku pikirkan, jika dia lahir, berikanlah nama “Idaman” kepadanya. Karena dia
sangat aku idam-idamkan.
Istriku menangis.
“Apa kau akan dibunuh?” tanyanya
dengan suara tertahan, dan terisak tangis.
“Siapa yang akan tahu. Nyawaku
tergantung maunya mereka. Baru aku rasakan kekalahan itu tiada indahnya.
Berdoalah kau agar aku masih bisa berkumpul lagi dengan kam dan anak kita. Kelak
akan aku jadikan kekalahan ini sebagai pelajaran berharga.”
“Dan kam, istriku, teruslah belajar,
jangan berhenti. Kehidupan ini lahir dari golonganmu, juga peradaban ini. Ibu
yang baik dan bijak, akan melahirkan peradaban yang baik pula.” Mataku basah,
dan meneteslah air mata.
Jam besuk sudah habis. Istriku
diminta pulang, dan aku masih tertunduk sedih.
Randy Syahrizal (randy.syahrizal@yahoo.com)
Juga dimuat di Berdikari Online http://www.berdikarionline.com/suluh/20130324/cerpen-surat-untuk-idaman.html
[1] Kam
dalam bahasa Karo berarti Kamu
[2] Teman
ndu berarti teman mu (kamu)
[3] Ras
dalam bahasa Karo berarti Bersama, bisa juga berarti Dan atau Ikut.