GAJAH MADA - Novel Sejarah

Gajah Mada langit kreshna Hadi
Gajah Mada langit kreshna Hadi
Lintang kemukus beberapa kali muncul di langit Majapahit. Dan kini, kabut tebal seperti menyelimuti segenap sudut kotaraja Wilwatikta. Orang-orang bertanya, peristiwa besar apa yang akan terjadi esok hari? Ingatan mereka melayang pada pertempuran Ken Arok dari Tumapel dengan Kertajaya dari kerajaan Kediri. Kertajaya tumpas. Juga ketika Singasari, kerajaan yang dengan susah-payah dibangun Ken Arok dihancurkan oleh Jayakatwang dari Kediri. Kertanegara, raja Singasari saat itu pun, tapis. Juga hal serupa terjadi ketika malam menjelang kematian Ken Dedes, seorang permaisuri Tumapel dan Singasari yang dari rahimnya dilahirkan raja-raja Jawa.

Dan kekhawatiran mereka ternyata terbukti. Rakryan Kuti memberontak. Dengan memanfaatkan pasukan Jala Rananggana dan Jalayuda, Kuti, salah seorang dari Dharmaputra Winehsuka yang paling berpengaruh, madeg kraman, menggempur istana raja Jayanegara dari pintu belakang. Tujuannya hanya satu:
menggulingkan Kalagemet, nama kecil Jayanegara, dan mengangkat dirinya menjadi raja.

Hal ini sama sekali tak pernah disangka-sangka, karena Dharmaputra tidak memiliki pasukan. Tetapi dengan segala tipu-muslihat dan akal bulusnya, Ra Kuti bisa memanfaatkan pasukan lain dan membaca keadaan. Dibantu saudara-saudaranya: Ra Yuyu, Ra Banyak, Ra Pangsa, Ra Wedeng, dan Ra Tanca, juga temenggung Pujut Luntar dan Panji Watang — keduanya adalah pimpinan pasukan Jala Rananggana dan Jalayuda — Ra Kuti berhasil menggerakkan pasukan segelar-sepapan menggilas istana.

Inilah pemberontakan yang banjir darah. Sebuah ambisi menguasai dampar kedaton yang berlepotan darah. Ra Kuti memang berhasil mengusir Jayanegara dari istana. Namun, korban yang jatuh, baik dari pasukan perang maupun rakyat jelata tak terhitung lagi. Termasuk Panji Watang, Pujut Luntar, dan juga Lembu Sora, pimpinan pasukan Jalapati yang lebih memilih berhadapan dengannya. Ketiganya tewas sebagai martir, sekaligus korban.

Lanjutkan ceritanya dengan membaca langsung bukunya. Silahkan Download ebooknya jika berminat

Sinopsis dipetik dari Resensi Bahtiar HS

Download Novel Gajah Mada 1 disini

Download Novel Gajah Mada 2: Bergelut dalam kemelut tahta dan Angkara

Download Novel Gajah Mada 3: Hamukti Palapa

Download Novel Gajah Mada 4: Perang Bubat
 

MADILOG - Tan Malaka

Sampul buku MADILOG - Tan Malaka
Download Ebook MADILOG karya Tan Malaka Disini;
 

Di Jawa karya Niel Mulder


Buku berjudul Di Jawa karya Niel Mulder yang berjudul asli  DOING JAVA, Anthropological Detective Story, adalah catatan seorang antropolog bernama Niels Mulder dalam perjalanannya di Indonesia, utamanya di Jawa.

Buku tersebut lebih banyak bercerita bagaimana interaksinya dengan kehidupan masyarakat jawa. Niel Mulder mengeksplorasi manusia Jawa dalam catatan antropoligis tersbut. Ini sangat baik untuk menambah pengetahuan kita untuk mengenali bagaimana kehidupan masyarakat jawa.

Sebagai antropolog, Niels Mulder tidak hanya membukukan cerita perjalanannya saja, beberapa buku telah diterbitkan, seperti Mistisme Jawa, serta Pribadi dan Masyarakat Jawa.

Untuk mendowload ebook berjudul Di Jawa karya Niels Mulder, silahkan klik link download ddi bawah ini:

 

Membaca SASTRA

Buku ini merupakan kumpulan materi pengajaran sastra untuk berbagai jurusan di program studi yang ada di Fakultas Sastra, Fakultas Ilmu Budaya ataupun Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan yang sangat memadai. Berisikan materi-materi dasar teoritik dan terapan.

Buku ini memberi ruang yang kurang lebih setara bagi penguasaan pengetahuan dan keahlian di bidang kesusasteraan bagi para mahasiswa dari beragam jurusan dan program studi.

Download MEMBACA SASTRA
 

AROK DEDES - Pramoedya Ananta Toer

Arok Dedes - Novel Karya Pramoedya Ananta Toer
Arok Dedes adalah salah satu novel karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan tentang sejarah perlawanan dan pemberontakan oleh Ken Arok terhadap pemerintahan akuwu Tumampel, Tunggul Ametung. Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1999 ini, Pram secara jelas mengungkap kondisi sosial politik pada masa itu.

Novel ini mencoba memberikan suatu perspektif pandang baru terhadap sejarah dengan menggambarkan Ken Arok bukan hanya seorang berandalan pemberontak ,seperti yang banyak dikatakan buku pelajaran sejarah, tetapi disini diceritakan bahwa Ken Arok adalah seorang pemimpin rakyat yang tidak puas dengan pemerintahan yang menindas. Novel ini juga menggambarkan kondisi pemberontakan yang terjadi di dalam suatu negara atau kerajaan yang sarat dengan intrik politik.

Download EbookArok Dedes Disini
 

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu - Pramoedya Ananta Toer

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
"Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" adalah satu-satunya karya non-fiksi Pram, bukan novel. Naskah buku ini disunting dari kertas-kertas berserakan, berisi catatan-catatan Pramoedya Ananta Toer yang ditulisnya semasa menjadi tahanan politik 10 tahun lamaya di Pulau Buru, 1969-1979.
 

Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim, juga esai-esai, yang sebenarnya merupakan rekaman apa yang dia alami sebagai pribadi, suami, ayah, pengarang dan sebagai tahanan politik rezim militerisme yang merampas segala darinya.

Download Ebook Pramoedya Ananta Toer disni
 

Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)

Saga no Gabai Bachan
Saga no Gabai Bachan karya Yoshichi Shimada
Jangan bicara sedih di malam hari.
Kisah sulit bila dibicarakan siang hari, tidak akan begitu sulit.
Saga no Gabai Bachan diangkat dari kisah nyata ini mengambil setting kondisi Hiroshima pasca PD II. Perang memang mengakibatkan kesengsaraan dan kemiskinan bagi banyak orang termasuk seorang anak (Akihiro) yang harus kehilangan ayahnya yang terkena radiasi bom nuklir. Si ibu yang harus bekerja keras dari pagi hingga malam memutuskan untuk mengirim anaknya ke rumah neneknya.

Memang, hidup Akihiro dan nenek di Saga susah. Untuk makan sehari-hari pun sulit. Tapi kehidupan di Saga tidak menyuramkan apalagi mimpi buruk seperti yang dibayangkan Akihiro. Akihiro justru kagum, belajar banyak, dan menikmati cara hidup serta pribadi neneknya yang tegar dan selalu ceria, “Kau ini bicara apa? Ada dua jalan buat orang miskin: miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria. Selain itu, karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri.” Itu jawaban saat Akihiro bilang suatu saat ia ingin kaya.

Lanjutannya adalah filosofi hidup, “Pertama, jadi orang kaya itu susah. Selalu makan enak, selalu bepergian, hidupnya selalu sibuk. Dan karena selalu berpakaian bagus saat bepergian, bahkan di saat jatuh pun harus tetap memerhatikan cara jatuh mereka. Sedangkan orang miskin sejak awal kan selalu mengenakan pakaian kotor. Entah itu saat hujan, saat harus duduk di tanah, mau jatuh, ya bebas, tedrserah saja. Untung kita miskin!”

Di kampung yang serba terbatas inilah Akihiro mendapatkan pengalaman berharga bagaimana neneknya dengan ratusan akal cerdiknya menyiasati kemiskinan. Bisa kita bayangkan seorang nenek memasan jala di sungai untuk mendapatkan berbagai macam barang dan bahan makanan dan barang yang hanyut dari hulu mulai dari lobak, wortel, apel hingga sandal. Atau akal cerdiknya mengikatkan magnet dengan seutas tali ke punggungnya sehingga ia bisa bisa mengikat paku-paku atau serbuk besi yang kemudian ia jual ke toko daur ulang.

Bukan hanya dalam hal mendapatkan barang dan makanan mereka bersiasat. Dalam menghadapi berbagai kesulitan pun mereka masih bisa berkelit, melihat sisi baiknya atau minimal menertawakan kemiskinan mereka.Sulit memang tapi menarik dan mengasyikkan.

Judul : Saga No Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis : Yosichi Shimada
Koord. Penerjemah : Mikihiro Moriyama
Penerjemah : Indah S. Pratidina
Penerbit : Kansha Books
Cetakan : I, April 2011
Tebal : 245 hlm.
 

Dalih Pembunuhan Massal - John Roosa

September dan Kudeta Suhato


Resensi buku Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan kudeta Suhato
Banyak sekali masalah yang menghempas buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roose ini, baik penerbit maupun pengarangnya. Mungkin kita harus bertanya, ada apakah dibalik itu? benarkah sejarah yang telah kita pelajari di sekolah selama bertahun-tahun dan melekat di hati itu tidaklah benar? tujuannya apa? dari pada kita menebak-nebak dan berfikiran negatif terus silahkan aja baca bukunya.

Yang namanya pelarangan penerbitan buku atau bredel sejak jaman orde lama, orde baru hingga reformasi di tanah air sebenarnya masih terus berlangsung. Hanya saja cara dan modusnya agak sedikit berbeda. Ketika era orde lama dan orde baru pemerintah langsung dengan terang-terangan melarang terbit buku yang dianggap bisa meresahkan masyarakat atau berbau SARA.

Namun pada era reformasi yang katanya “terbuka” pelarangan atau pembredelan buku toh masih banyak dijumpai. Walau aturannya agak longgar, buku memang bisa beredar, namun secara tiba-tiba buku menghilang dari rak-rak toko buku. Tentu saja kejadian ini banyak menimbulkan rumor dan spekulasi.

Yang unik adalah ternyata pemerintah sampai sekarang masih “trauma” atau sedikit “paranoid” pada setiap bentuk penerbitan buku yang berbau haluan kiri alias komunis. Apa saja yang ada nuansa komunis walau itu hanya berbentuk simbol atau gambar tak ada ampun, buku itu langsung dilarang beredar.

Kejaksaan Agung baru saja melarang peredaran 5 buah buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Tentu, kontroversi pun tak terelakkan. Isu ini juga baru saja dibahas di program ‘Kick Andy’ Metro TV semalam yang bertajuk “MENGAPA MEREKA DIBUNGKAM?”.

Dari semua buku ‘terlarang’ itu, saya tertarik dengan ‘Dalih Pembunuhan Massal’ yang mengupas gerakan 30 September dari sisi analisa sejarah. Sang penulis, John Rossa, mengaku bahwa bukunya ditulis dengan metode ilmiah yang benar. Jadi, pembredelan tersebut sungguh mengejutkan.

Padahal buku ‘Dalih Pembunuhan Massal’ telah diakui sebagai salah satu buku terbaik di bidang ilmu sosial. Buku ini terpilih sebagai tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007.

Uniknya, mungkin karena saking kesalnya, sang penulis kemudian memutuskan untuk membagi buku tentang G30 S ini secara gratis lewat internet.



Sumber resensi : http://www.blog.mybcshop.com_

Ingin membaca buku ‘Dalih Pembunuhan Masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto’ karya John Rossa? Silahkan Download disini.
 

Novel Revolusi Berganti Sebelum Mati

Judul: Revolusi Berganti Sebelum Mati
Bahasa: Indonesia
Penulis: Reza Nurul Fajri
Jumlah halaman: 254
Format ebook: PDF
Harga: Rp. 0,-
Perekomendasi: Reza Nufa
Gambar ebook Revolusi Berganti Sebelum Mati
Novel Revolusi ini mengisahkan tentang Dira, seorang perempuan muda dengan latar belakang keluarga militer. Hanya sedikit laki-laki yang berani mendekatinya, mengingat lebih banyak orang takut terhadap orang tua nya, hingga suatu ketika seorang polisi mampu menyentuh hatinya.
Semua berawal dari sebuah tilang dan kecelakaan di jalanan. Dira tak lagi ragu bahwa dia memang mencintai Irham (si polisi). Di sisi lain ada fajar, seorang yang selalu diacuhkan Dira. Fajar adalah seorang aktivis kampus, orator yang rutin turun ke jalan untuk menyuarakan kegelisahan’nya terhadap kondisi bangsanya saat ini.
Cinta segi tiga ini menjadi kian rumit mana kala terdapat sentimen kepentingan, Irham juga Fajar bersaing dalam cinta. Dira berada dalam situasi yang sulit, terlebih lagi ketika itu mulai muncul letupan letupan amarah hingga pada akhirnya Irham menghilang dari kehidupan Dira. Hingga pada suatu waktu mereka bertemu kembali pada sebuah Revolusi! sebagai 2 belah pihak yang saling bertentangan!
Download ebooknya dengan mengklik tombol di bawah ini!

Kunjungi juga website penerbit ebooknya di www.rezanufa.wordpress.com
 

Download buku DBR-Bung Karno

Buku Dibawah Bendera Revolusi


Dibawah Bendera Revolusi
Dibawah Bendera Revolusi

Dalam buku di bawah bendera revolusi berisi tentang sepak terjang Ir. Soekarno dari masa muda hingga mencapai jabatan nomor 1 di Indonesia. Soekarno mencoba untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran tentang Nasionalisme, Islamisme Marxisme, Komunisme serta berbagai paham-paham yang ada di dunia dan beliau mencoba menjelaskan melalui perspektifnya sendiri.

Di dalam buku ini, beliau menekankan tentang pengaruh NASAKOM (Nasionalis-Agama-Komunis) yang ingin beliau coba terapkan di Indoneisa namun sayang paham prinsip ini tidak berhasil ia terapkan. Selain NASAKOM juga terdapat sejarah tentang MARHAENISME, di jelaskan secara lengkap dari awal pemikiran hingga penerapan.

Membaca buku ini bagaikan menyimpan catatan otentik awal perjalanan sejarah bangsa ini dan kumpulan kalimat-kalimat penting yang mengubah dunia, karena Soekarno telah merangkumnya untuk menjadi bacaan anak-anak penerus perjalanan bangsa ini.

Sejak tahun 1926 Bung Karno sudah mencita-citakan persatuan antara golongan Nasional, Islam dan Komunis, atau yang lebih dikenal dengan Nasakom. Buku tebal ini menyiratkan bagaimana sosok Sukarno sebagai pemikir besar, sebagai pendekar persatuan, sebagai garda depan pemegang komando pergerakan kemerdekaan bangsa, sebagai seorang Islam modern yang gigih menganjurkan supaya pengertian Islam disesuaikan dengan kemajuan zaman yang begitu pesatnya, sebagai realis dan humanis.

Buku ini merupakan penyegaran kembali atas kesadaran tentang apa sesungguhnya jiwa dan tujuan pergerakan kemerdekaan dimasa lampau. Dengan membaca lagi tulisan-tulisan Ir. Sukarno, kita dapat bercermin "Apakah sikap dan tindakan kita sekarang ini masih sesuai dengan jiwa pergerakan dan perjuangan dimasa lalu, yakni tujuan-tujuan yang tidak berhenti dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia saja, tetapi harus berjalan terus menuju demi terwujudnya cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Ataukah justru kita telah berganti haluan menjadi semacam exponen dari kapitalisme global yang dikutuk dalam tulisan-tulisan Bung Karno?".

Buku di bawah bendera revolusi (akhir bagian buku djilid 1) terlampir salah satu tulisan Soekarno “Menjadi Guru di Masa Kebangunan”, yang unik adalah tulisan ini merupakan tulisan tangan soekarno bukan hasil cetakan dari pabrik percetakan. Soekarno dan buku Dibawah Bendera Revolusi adalah monumen sejarah yang tak terlupakan.

Dibawah Bendera Revolusi
Dibawah Bendera Revolusi

Baca berita buku Dibawah Bendera Revolusi yang dicetak kembali tahun 2004.
 

Download Buku Pohon Filsafat

Mitos-Mitos Seputar Filsafat 
Konon, filsafat itu amat sulit. Sedikit sekali orang yang mampu mempelajarinya. Bahkan, kata orang, jangan terlalu serius belajar filsafat! Bila otak tidak kuat, jangan-jangan kita menjadi gila karenanya! Buat apa mengambil risiko ini, padahal konon filsafat itu sesuatu yang abstrak, jauh dari kehidupan kita sehari-hari? Hmm, memang ada banyak mitos mengenai filsafat seperti itu. Malahan mitos-mitos itu beredar tidak hanya di kalangan awam.

Sebagian agamawan berpandangan, memegang erat-erat kitab suci sebagai pegangan hidup sudah lebih dari cukup, sehingga filsafat yang tidak menjanjikan kebenaran-mutlak tidak diperlukan. Sebagian ilmuwan mengira, mereka berkewajiban untuk melepaskan diri secara total dari filsafat untuk mempertahankan keilmiahan mereka. Sebagian seniman merasa, filsafat tidak akan membantu kita dalam menikmati keindahan. Sebagian usahawan bilang, filsafat hanya membuang waktu karena tidak akan menghasilkan laba.

Dalam buku ini, Stephen Palmquist berusaha mempertanyakan mitos-mitos yang seperti itu. Secara tersirat ia mengatakan, semua orang yang berakal sehat bisa mempelajari filsafat dan bahkan mampu berfilsafat! Dalam beragama ada filsafatnya, dalam bersantap fried chicken pun ada filsafatnya. Begitu pula dalam berilmu, berpolitik, berbahasa, berbisnis, dan lain-lain.

Secara demikian, apakah Palmquist menyarankan agar kita membabat habis segala mitos? Sama sekali tidak. Ia justru menyatakan, ada beberapa mitos yang tidak bisa dilenyapkan. Bahkan, filsafat pun membutuhkan mitos tertentu. Ada banyak mitos yang memiliki potensi yang dahsyat. Apabila dibudidayakan dengan cara sebaik-baiknya, mitos itu bisa memberi hasil positif yang luar biasa. Umpamanya, mitos bahwa “filsafat itu laksana pohon”.

The Tree of Philosophy sebagai Mitos Menyajikan filsafat dalam bentuk mitos adalah sesuatu yang unik. Dengan cara ini, filsafat yang terkesan rumit dan tidak beraturan dapat disampaikan dengan gambaran yang sangat sistematis dan sekaligus seutuhnya. Hubungan antarunsur filsafat pun bisa ditata dengan rapi.

Hal itu penting karena uraian yang tidak utuh, sepenggal-sepenggal, dan tidak teratur, meloncat-loncat, cenderung menyesatkan pembacanya, terutama kalangan pemula. Dalam penggunaan itu, The Tree bisa dibilang sukses dalam menjalankan fungsinya sebagai mitos, setidak-tidaknya pada diri saya dan barangkali pada hampir semua mahasiswa yang memanfaatkan buku ini.

Akan tetapi, sesungguhnya saya pada pandang pertama kurang tertarik akan buku ini ketika melihat judulnya, The Tree of Philosophy (Pohon Filsafat). Kata “pohon”, bagi saya, menyiratkan sesuatu yang cenderung statis--sesuatu yang kurang saya sukai waktu itu tatkala saya berada dalam suasana euforia reformasi. Namun setelah mulai membaca isinya, saya agak tercengang. Ternyata filsafat yang digambarkan di sini merupakan suatu disiplin yang statis (kokoh) dan sekaligus dinamis (berkembang)!

Saya berasumsi, sebagian besar dari pembaca edisi Indonesia ini pun memiliki mitos tertentu tentang pohon. Bila saya menerjemahkan judul The Tree of Philosophy secara harfiah, yakni “Pohon Filsafat”, saya khawatir bahwa anda pada pandang pertama akan berprasangka negatif dan karenanya enggan membuka-buka buku ini lebih lanjut. Oleh sebab itu, saya mengubah judul itu, sepersetujuan penulis asli, menjadi Filsafat Mawas (The Perspectival Philosophy).

Filsafat Mawas di Antara Pengantar Filsafat Lainnya 
Secara garis besar, kelihatannya ada lima jenis pendekatan utama yang dipakai dalam pembelajaran Pengantar Filsafat (Filsafat Umum atau Filsafat Barat).

Yang kesatu adalah pendekatan historis dengan berbagai variasinya. Metode ini sering dipandang baik bagi pemula. Dalam pendekatan ini, pemikiran para filsuf terpenting dan latar belakang mereka dipelajari secara kronologis. Contoh pemanfaat pendekatan historis yang baik ialah Jostein Gaarder, Sophie’s World.

Yang kedua adalah pendekatan metodologis. Cara ini dipandang penting mengingat bahwa cara terpenting untuk memahami filsafat adalah berfilsafat. Dalam pendekatan ini, berbagai metode berfilsafat ditimbang-timbang, kemudian metode yang dipandang terbaik diuraikan lebih lanjut untuk dapat dipergunakan sebagai pedoman berfilsafat. Contoh pemakai pendekatan metodologis yang baik ialah Mark B. Woodhouse, A Preface to Philosophy.

Yang ketiga adalah pendekatan analitis dengan berbagai variasinya. Metode ini memandang bahwa tugas utama pengantar filsafat adalah menjelaskan unsur-unsur filsafat. Dalam pendekatan ini, isi filsafat diuraikan secara sistematis dan diterangkan segamblang-gamblangnya. Contoh pengguna pendekatan analitis yang baik ialah Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy.

Yang keempat adalah pendekatan eksistensial. Metode ini memandang bahwa tugas utama pengantar filsafat adalah memperkenalkan jalan-hidup filosofis tanpa terbelenggu oleh sistematikanya. Dalam pendekatan ini, tema-tema pokok filsafat didalami dengan harapan bahwa pembacanya akan dengan sendirinya memperoleh gambaran tentang filsafat yang seutuhnya. Contoh penerap pendekatan eksistensial yang baik ialah A.C. Ewing, The Fundamental Questions of Philosophy.

Masing-masing dari pendekatan-pendekatan tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri. Untuk memaksimalkan keunggulan-keunggulannya dan meminimalkan kelemahan-kelemahannya, agaknya yang terbaik adalah yang kelima, pendekatan terpadu. Metode ini mensintesis berbagai pendekatan sekaligus dalam satu buku saja. Contoh pelaku pendekatan terpadu yang baik ialah Stephen Palmquist, The Tree of Philosophy!

Untuk mendownload buku/ebook ini siilahkan klik DISINI
 

Catatan Seorang Demonstran : Soe Hok Gie

Buat yang lagi nyari ebook Catatan sang Demonstran Soe Hok Gie. Bisa mendownloadnya melalui link donwload di bawah ini:


download ebook catatan sang demonstran



Untuk catatan saja, ebook Catatan sang Demonstran berkualitas rendah, maklum hasil scan langsung dari bukunya dan dikonversi dalam kualitas yang kurang baik.

Mohon maaf atas kekurangannya.
 

Download UnlockRoot Pro 4.1 Full Serial Number

AspirasiSoft - Free Download Softwares | Full Version | Hacking |Games


Posted: 15 Jul 2013 11:00 AM PDT
UnlockRoot Pro 4.1 Full Serial Number - RGhost
Software Information :
Title : UnlockRoot Pro 4.1 Full Serial Number
Date Released : 2013
Version : 4.1
Category : Android Root
Publisher: Unlockroot.com
Format : RAR
Size : 37.9 MB
Download :
Password : aspirasisoft.us
Informasi:
UnlockRoot Pro 4.1 Full Serial Number merupakan software untuk root perangkat android Anda. Software ini sudah support untuk android versi 2.2-2.3, 4.0-4.1, Samsung Galaxy S3, Galaxy Note 2, Google Nexus, dan berbagai produk yang menggunakan OS android lainnya. Software ini sangat mudah digunakan dan sangat berguna bagi kita untuk mengontrol sistem android kita yang tidak bisa diakses kalau menggunakan pengaturan biasa.
System Requirements :
  • OS:Windows XP/Vista/7/8 (32 dan 64 bit)
UnlockRoot Pro 4.1 Full Serial Number - RGhost
 

Download Counter Strike Full

Posted: 17 Jul 2013 01:57 AM PDT
Counter-Strike: Global Offensive Full RIP - Putlocker
Games Information :
Title : Microsoft Train Simulator Full ISO
Date Released : 2001
Version: 1.0
Category : PC Game - Simulation
Publisher: Microsoft
Format : RAR
Size : 1 GB
Download :
Password : aspirasisoft.us
Informasi:
Microsoft Train Simulator Full ISO merupakan game yang sudah lama dirilis oleh Microsoft. Game bergenre simulasi ini pemain akan mengoperasikan kereta api dalam berbagai rute, yaitu Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Pemain nantinya dapat menjalankan atau memberhentikan kereta, memperbaiki kereta, dll. Walaupun termasuk game jadul, tapi game ini cukup ringan dimainkan dan cukup menyenangkan.
Minimum System requirements: 
  • OS: Windows 98/ME/2000/XP
  • Processor: Pentium 2 266 MHz
  • Memory: 32 MB
  • Hard Drive: 1.9 GB Free
  • Video Memory: 4 MB
  • Sound Card: DirectX Compatible
  • DirectX: 8.0
  • Keyboard & Mouse
Microsoft Train Simulator Full ISO - Putlocker

Microsoft Train Simulator Full ISO - Putlocker
 

Download Photo Makeup Editor



Photo Makeup Editor is a photo retouching and virtual makeup software. You can make your photo more beautiful and even change your style! The program offers 10 unique face enhancement tools. It lets you achieve outstanding results in minutes, making the photo truly glamorous.


FileServe :
http://www.fileserve.com/file/j8C8xzJ/PhotoMakup.rar
 

Windows 7 Ultimate Royale SP3 2010

Bagi yang ingin mencoba Windows Seven terbaru, silahkan sedot disini :)



Microsoft Windows Xp Seven Ultimate Royale SP3 2010
MSDN - IE8 - WMP 8 - SkyDriver v9.9 - Hotfix - OEM logo -MOD Theme - SATA/RAID/SCSI
File size: 630.00 MB


# Operating System: Windows XP Sevice Pack 3 x86 (32 bit).
# Support SATA: Yes.
# Support RAID: Yes.
# SCSI support: Yes.
# Auto drivers get: Yes - SkyDriver v9.9.
# Internet Explorer 8: Yes
# Windows Media Player 11: Yes
# Hotfixes: Yes (updated to April 2010)
# Update online: Yes.
# CD Key: Already available add.
# File Photo: File ISO standard.
# File download: WinRAR.


 

Search SBK Superbike World Championship 2011 RELOADED

http://pc.ign.com/objects/097/097654.html
    Category: PC / Games
    Release Date: 04/25/11
    Video Format: ISO
    Size: 2.03 GB
    Language: English
    Method: Crack
    Publisher: Black Bean Games
    Developer: Milestone
    Genre: Sports





As racing games go, those on two wheels often get the short end of the stick. A shame when you consider the antics of the biking crowd are so often far more thrilling than their over-pampered four-wheeled counterparts – this is a sport that’s all about hairy knuckled derring-do, scraping knees against tarmac, rubbing fairings with rivals and somersaulting across the gravel before dusting yourself off and doing it all over again.

Minimum System Requirements:

Operating System: Windows XP SP2, Windows Vista or Windows 7
Processor: Intel 2.4Ghz or similar
Hard disk space: 3 GB
RAM: 1GB
Video Card: NVIDIA Geforce 7600 or ATI X1600 or higher (it must be able to manage Pixel Shader 3.0) with at least 512MB of display memory
Online Gaming: Broadband internet connection


    http://www.filesonic.com/file/878232881/SBK.Superbike_www.OriForums.com.part1.rar
    http://www.filesonic.com/file/878232911/SBK.Superbike_www.OriForums.com.part2.rar
    http://www.filesonic.com/file/878228891/SBK.Superbike_www.OriForums.com.part3.rar


   
 

Syair Jalanan dari Seorang Tionghoa

Saya membaca karya Tan Teng Kie dalam Buku ”Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia) yang merupakan buku kompilasi dari pengarang-pengarang peranakan Tionghoa diakhir abad ke 19. Di Jilid pertama buku ini, pada permulaan saya sudah disajikan syair tanpa keterangan nama penulis yang bercerita tentang kedatangan Raja Siam (Thailand) pada tahun 1870 ke Batavia, yang disambut oleh Tuan Residen Batavia. Yang menarik justru dugaan penerbit atas syair ini sebagai buah karangan Tan Teng Kie, mengingat gaya penulisannya yang mirip dengan karya-karya Tan sesudahnya.  

            Dalam syair itu dilukiskan bahwa Tuan Residen Batavia menjalin persahabatan dengan Raja Siam. Karena persahabatan itulah Tuan Residen membuat penyambutan yang meriah di Batavia, mengarak Raja keliling kota dan disambut hormat oleh barisan serdadu kolonial dengan penghormatan militer, juga pasukan berkuda, barisan preman, barisan Islam dan barisan keturunan Tionghoa.

            Saat membaca Syair Jalanan Kreta Api, saya ikut pula menggeleng-gelengkan kepala dan kagum luar biasa atas keberanian penulisnya untuk mewakili curahan hati rakyat kecil dengan bahasa yang bisa dimengerti oleh rakyat pribumi. Dengan tulisannya itu, peranakan Tionghoa telah membuktikan keberaniannya memelopori bahasa Melayu dalam tulis menulis, terlebih lagi syairnya ini mengandung protes keras terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda.

            Karena aktifitas sehari-hari Tan Teng Kie sebagai pedagang, saya diajak mengingat kembali definisi ”Orang Dagang” yang oleh Minke[1] di artikan sebagai orang yang berpengetahuan luas tentang kebutuhan hidup, usaha dan hubungannya. Perdagangan membikin orang terbebas dari pangkat-pangkat, tak membeda-bedakan sesama manusia, apakah dia pembesar atau bawahan, bahkan budak pun. Pedagang berpikiran cepat, mereka menghidupkan yang beku dan menggiatkan yang lumpuh (Jejak Langkah: hal. 520). Kaum dagang adalah golongan yang tidak menggantungkan hidupnya kepada pemerintahan kolonial (priyayi).   

            Pramoedya Ananta Toer, dalam Roman ”Anak Semua Bangsa” menyebutkan bahwa bangsa Cina adalah bangsa pengembara akibat kemiskinan ditanah airnya. Bangsa Cina secara bergelombang sudah memasuki daratan Asia Tenggara sejak sebelum masehi. Di Hindia Belanda (Indonesia) sendiri, golongan Tionghoa sudah sangat banyak dan terorganisir. Belanda melalui VOC juga pernah berkonfrontasi dengan golongan ini pada Perang Cina (1741-1743), dan perang yang berlangsung kurang lebih tiga tahun itu telah menumbangkan kekuasaan VOC disepanjang pesisir utara Jawa. Dalam proses internalisasi dengan masyarakat pribumi, orang-orang Tionghoa kemudian bercampur dengan pribumi lewat perkawinan. Dan dari perkawinan inilah lahir angkatan baru, yakni generasi Tionghoa Melayu.

            Tan Teng Kie adalah seorang indo peranakan Tionghoa (untuk membedakannya dengan pribumi totok) yang hidup dimasa Kolonial Belanda dan tinggal di kota Batavia. Tak ada tulisan dan dokumen apapun yang dapat memberikan keterangan riwayat hidupnya menyangkut kelahiran dan masa kecilnya untuk melacak riwayat pendidikannya. Dari buku ”Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia” hanya didapatkan sedikit informasi saja mengenai kehidupan ekonominya, yakni dia adalah seorang pengusaha yang memiliki toko di kota Batavia.

            Syair pertama yang diterbitkan atas namanya sendiri adalah ”Sya’ir Jalanan Kreta Api” yang terbit di Batavia tahun 1890. Syair ini bercerita tentang pembuatan jalan kereta api pertama dari Batavia ke Karawang dengan tujuan mengangkut kayu balok, pasir dan batu Koral. Saya berpendapat bahwa syair ini adalah syair berbahasa Melayu pertama yang paling berani dijamannya, karena melukiskan secara nyata penderitaan kuli-kuli yang bekerja pagi hingga malam untuk menyelesaikan pembuatan jalan kereta api jurusan Batavia – Karawang.

             Pendapat diatas tentunya masih sebuah hipotesa. Pendapat itu tentunya didukung oleh fakta sejarah bahwa penerbitan surat kabar pribumi pertama berbahasa Melayu  (Medan Priyayi) yang dirintis oleh RM. Tirto Adhi Suryo baru dimulai diawal abad ke 20. Pramoedya dalam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa menggambarkan kepada kita bahwa Minke (RM. Tirto Adhi Suryo) sebagai tokoh pelopor pers pribumi pada awal abad kedua puluh masih menulis dalam bahasa Belanda, dan seperti pribumi terdidik lainnya yang masih beranggapan bahwa Belanda (Eropa) adalah guru besar peradaban. Pribumi terdidik ini malah memilih menulis untuk surat kabar – surat kabar milik Belanda dengan bahasa Belanda.          

            Peranakan Tionghoa lebih dahulu membuat organisasi modern dan berserikat sebelum pribumi memulainya, adalah Tiong Hoa Hwee Koan yang disahkan oleh pemerintahan Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1900 di Batavia. Dan diakhir abad ke 19, Tionghoa sudah lahir sebagai pelopor dalam penulisan berbahasa Melayu pada surat-surat kabarnya sendiri.

            Saat saya membaca ”Sya’ir Jalanan Kreta Api” banyak kalimat yang membuat saya bingung. Bahasa yang dipakai oleh peranakan Tionghoa sebelum kemerdekaan Indonesia merupakan campuran bahasa Melayu dengan bahasa Tionghoa, umumnya dengan dialek daerah Fujian atau Hokkian (Myra Sidharta: Kata pengantar Jilid I Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia).

            Pada bait-bait pertama Syair Jalanan Kreta Api, Tan Teng Kie melukiskan kisah penggusuran rumah disepanjang jalan yang akan dibangun perlintasan jalan kereta api, dengan biaya ganti rugi yang sudah ditentukan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Beginilah bunyi bait-bait itu didalam syairnya:

            Banyak puhun di tebangin
            Ongkos Maskapij semuwa bayarin
            Rumah orang pada di buka’in
            Kepada juraganlah di serahin

            Banyak kelanggar rumah kampungan
            Tuwan tanah Tan Kang Ie punya bilangan
            Eretannya beda banyak kurangan
            Ada jambatan aken sebrangan

           
            Maskapij bayarin orang kampungnya
            Apa yang sudah kerusakannya
            Keluwar ongkos dengan sepatutnya
            Yang mana kena di ukurnya

            Tan Teng Kie juga melukiskan penderitaan para pekerja yang didatangkan dari Banten. Koeli dari Banten memang terkenal dengan kebiasaan bekerjanya dalam jam kerja yang sangat lama dan bersedia menerima upah murah. Tan juga menuliskan bait yang menggambarkan ketidakadilan yang dialami pekerja, terutama masalah waktu kerja yang sangat lama dari pagi hingga malam hari dengan upah yang rendah. Tan juga mempersoalkan kesehatan para koeli, yang hanya sedikit waktu tersisa untuk beristirahat. Baginya masalah kurangnya waktu istirahat dengan beban kerja yang amat berat adalah cara mendekatkan diri pada kematian.

            Kuli kerja sesungguh hati
            Siyang dan malam tiyada berhenti
            Kerja cape ta’ takut mati
            Supaya dapat ringgit yang puti

            Dia juga melukiskan penderitaan yang dialami pekerja akibat perlakuan kasar dan juga kecelakaan kerja yang tidak mendapat pertanggungjawaban dari para mandor. Dia juga menggambarkan perasaan pekerja yang sangat takut akan hardikan mandornya. Berikut ini adalah kutipan dari bait-bait yang melukiskan kejadian itu.

            Yang jadi Chef[2] tuwan Merkestijn
            Pantas dilihat seperti kaptein
            Bagus aturannya bagaimana asisten
            Pekerja’annya bajik dengan telaten

            Romannya cakap tinggi besar
            Badannya gemuk serta kasar
            Aturannya beres seperti husar[3]          
            Suwatu pekerja’an tiada tersasar

Lalu baitnya tentang kecelakaan kerja:

            Kolar[4] pasir digerobakin juga
            Banyak kuli tiyada keduga[5]
            Kulon wetan mandor menjaga
            Aken uruk solokan[6] gelaga

            Kuli kerja’in rawa itu
            Uruk tanah pasir dan batu
            Ada yang mati kulinya satu
            Kelanggar salat si setan hantu

            Relnya jatoh ketindes jari
            Hamba melihat sampe mengeri
            Putus duwa yang dipikiri
            Salah badannya diya sendiri

            Si kuli jatuh dari jambatan
            Seperti juga dijorokin setan
            Temannya buru berselabutan
            Diangkat lantas tarik ke daratan

            Serenta dinaeken itu orangnya
            Dipreksa sudah patah kakinya
            Diprentah lantas oleh mandornya
            Disuruh gotong pulang kerumahnya

            Se’orang kuli asalnya Cianjur
            Ketimpa balas sikutnya ancur
            Badannya apes tambahan lacur
            Ambilin ayer lantas dikucur

            Begitulah bait-bait yang mengandung kritikan atas penindasan yang dilakukan pemerintahan kolonial Hindia Belanda terhadap rakyat pribumi. Dan jika membaca keseluruhan syair ini, tampaklah dengan jelas bahwa kritikan tersebut tidak hanya tertuju kepada Kolonial Belanda semata, tapi juga diarahkan kepada golongan tuan tanah Tionghoa yang bersekutu dengan Belanda.

            Sayang sekali tidak banyak referensi yang menyajikan informasi mengenai riwayat hidup Tan Teng Kie yang mengisahkan latar belakang pendidikan, keluarga, pergaulan, dan aktifitas sosialnya. Namun dari profil Lie Kim Hok yang menulis Kitab Eja A.B.C[7] (1884) yang menuntun cara mengeja kata-kata bahasa Melayu, saya menduga bahwa Tan Teng Kie yang jika dilacak dari tahun terbit tulisannya adalah generasi yang sama dengan Lie Kim Hok, dan mungkin juga sebagai salah satu dari para pendiri Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), yang salah satu pendirinya adalah Lie Kim Hok. Sangat mungkin kritik yang digunakan oleh Tan Teng Kie juga berasal dari ajaran Konfusius (seperti yang diamalkan oleh organisasi THHK) yang juga mengajarkan kemanusiaan dan kebajikan sesama.



*Penulis adalah Kader PRD Sumut

           
           


[1] Minke adalah tokoh utama Tetralogi Perburuan karangan Pramoedya Ananta Toer
[2] Kepala
[3] Serdadu Belanda atau Pasukan Berkuda
[4] Maksudnya adalah Batu Koral
[5] Kuat (Sunda)
[6] Maksudnya Selokan atau Parit
[7] Dalam tulisan kata pengantar yang ditulis oleh Myra Sidharta, kitab yang ditulis Lie Kim Hok ini adalah pelopor Bahasa Melayu Tionghoa.
 

BALADA KEMATIAN

Ke……Ma……. Tian…..
Aku tahu kau takkan lupa menghampiri
Seperti yang sudah tertulis dalam kitab suci
Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati
Mati untuk yang hidup
Hidup menyiapkan kematian
Apalah arti kematian bagi sebuah kepastian?

Aku tahu hidupku adalah hidup sehidup-hidupnya hidup
Hidupku menghidupkan yang layu dan lesu
Menggemberikan yang murung
Menjadi obor ditengah gelap
Dan menjadi harapan ditengah keputusasaan
Aku adalah bagian dari orang yang dihidupkan
Dan menghidupkan hidup adalah hasratku
Itulah sebenar-benarnya hidup

Aku sadar tuduhan pemeriksaan atas diriku adalah problem menghidupkan kehidupan
Karena itulah aku bersalah
Biar tuduhan melukai indrawi
Mencederai jasmani
Mencabik kemanusiaan
Toh kematian hanya pelengkap kehidupan

Aku gematar membisu diantara barisan calon mayat                          
Seandainya aku diberi pilihan merasakan mati sekejap
Apakah golok, kelewang, pistol atau belati
Atau tiang gantungan, Atau suntik mati
Atau kematian perlahan seperti kerja rodi
Atau apapun itu
Tak ada yang lebih indah kecuali mati dalam kemenangan

Aku dan rombongan kekalahan
Tiada tawar untuk kematian

Kegentaran hilang, kesadaran memenuhi diri
Martabat runtuh seketika
Kepasrahan, yang dahulu aku caci maki
Harga diri, tinggal harga diri

Aku memilih mati seperti yang pernah kalian pilih sebelumnya
Bukan jalan mundur, tapi jalan terhormat

Medan, 9 Juni 2012

 

KURIKULUM KRITIS

  Menurut Peter L Berger seorang sosiolog (1966), manusia pada hakikatnya memproduksi dirinya sendiri melalui pengalaman dalam realitas sosial. Bagian paling hakiki dari potensi manusia adalah hasrat, sebagai tanda bahwa manusia merasakan kekurangan yang menuntut untuk dipenuhi. Hal inilah yang menjadi watak manusia dalam keterlibatan peserta didik pada proses pembelajaran aktif.
            
Sejak James Watt menemukan mesin uap pada tahun 1796, Revolusi Industri di Inggris yang dimulai sejak tahun 1750, semakin menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Mesin-mesin industri telah mengubah cara kerja manusia dalam menghasilkan “barang” secara revolusioner. Sebelumnya, proses pembuatan barang dilakukan secara manual oleh kerja manusia, namun setelah mesin uap berhasil dikembangkan, mesin telah menggantikan cara kerja manual menjadi cara kerja yang mekanis dan otomatis.
            Sejak itu, manusia yang hanya mengandalkan tenaga saja mulai tergusur dari kegiatan produksi dan begeser menjadi kuli kasar. Sedangkan yang mengerti mengoperasionalkan mesin, mengerti pembukuan dan pekerjaan administratif mendapatkan posisi yang utama dalam corak produksi yang baru ini.
Permintaan pasar yang besar serta perluasan pasar secara terus menerus, berperan penting dalam menggeser orientasi pendidikan. Sejak itu, pendidikan harus mengabdi pada kegiatan industri. Dan kini, pendidikan tak lain adalah warisan dari revolusi industri dalam perkembangannya yang lebih tinggi.
Hari ini, akibat dari meluasnya pasar, berlakunya sistem perdagangan bebas yang diyakini mampu mengatasi krisis over produksi, mau tidak mau industri harus terus mengintervensi potensi pasar baru. Penetrasi pasar dilakukan dengan menggunakan jasa-jasa tenaga pemasaran untuk meluaskan pasar sampai ke pelosok-pelosok perkampungan.   Untuk memuluskan langkah tersebut, lagi-lagi lembaga pendidikan harus terlebih dahulu mengabdi kepadanya. Dan tentunya, Negara jugalah yang pertama sekali merestui langkah ini.

Kurikulum Industri
Sejak Industri mulai berkembang pesat, kegiatan industri pertama-tama harus menyesuaikan diri dengan permintaan pasar yang sudah menjadi “goal” kegiatan industri, dan tentunya “target” menjadi budaya baru dalam proses kerja manusia.
Tak mudah menjadikan target industri sebagai beban yang harus dipikul oleh manusia. Menyadari kesukaran itu, beban target pertama-tama harus menjadi kebiasaan sejak kecil dan selanjutnya dilatih terus menerus dalam lembaga pendidikan (sekolah).
Hegemoni kurikulum pasar dipersiapkan untuk mencetak tenaga-tenaga yang siap menerima pekerjaan yang sesuai dengan keinginan pasar tanpa sanggup mengelak darinya (kehilangan kekritisan).
Prakondisi sudah dimulai dari menciptakan masyarakat yang terprogram, kaku, formalis dan bisu dalam kreatifitas. Salah satu stimulusnya selain target Ujian Nasional (UN), target Indeks Prestasi (IP) atau beban SKS, adalah dengan memberikan penilaian (ponten) kepada peserta didik, tak perduli sekalipun pelajaran menggambar bebas dan mengarang. Tidak ada pelajaran yang bebas dari ponten, bahkan jawaban yang bersifat opini pun tak luput dari penilaian benar dan salah.
Saya masih ingat ketika SD, saat menulis karangan bebas, tanpa saya sadari seluruh peserta didik menulis kalimat pembukanya dengan “Pada suatu hari….” Bahkan dalam pelajaran menggambar bebas, ponten 9 adalah mereka yang menggambar dua bukit gunung dengan matahari ditengahnya dan hamparan sawah di kiri-kanannya. Karena demi mengejar ponten 9, peserta didik kehilangan imajinasi dan kreatifitasnya, lalu ikut-ikutan menggambar yang sama.
Menurut Paulo Freire, pendidikan tak ubahnya seperti kegiatan menabung di mana murid sebagai celengan yang dengan sesuka hati diisi oleh gurunya. Yang terjadi bukan proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh para murid. (Paulo Freire; 1987)
Inilah cikal bakal mindset tenaga kerja industri yang kehilangan kemanusiaannya, kehilangan kreatifitas dan kebebasan berpikir sejak awal, untuk memudahkannya beradaptasi dengan mesin dan cara kerjanya yang mekanik.

Kurikulum Kritis
            Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini adalah negara yang mengadopsi kurikulum industri didalam institusi pendidikan. Hilanglah sudah pelajaran dari Multatuli, Ki Hjar Dewantara dan Tan Malaka soal memanusiakan manusia sebagai tugas pokok lembaga pendidikan.
Mari kembali pada pengertian dasar sekolah. Dalam Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Ada makna kebebasan yang terkandung dalam definisi diatas.
Saya berpendapat, membebaskan peserta didik dalam belajar apapun yang disukainya adalah pilihan bijak untuk menanamkan rasa cinta pada pelajaran. Tugas lembaga pendidikan menurut saya harus diubah, tidak lagi memaksa peserta didik pada pemahaman dan tindakan yang kaku berdasarkan kebenaran-kebenaran yang terprogram. Tugas lembaga pendidikan harus diubah untuk tidak lagi melayani kepentingan pasar dengan terus menerus menciptakan generasi robot-robot industri yang siap bekerja tanpa kreatifitas dan dedikasi pada kemanusiaan.
Dewasa ini, rendahnya minat membaca adalah salah satu kegagalan terbesar yang dialami dunia pendidikan kita. Perpustakaan ditiap-tiap sekolah selalu saja sepi dan tak mampu menarik perhatian mereka, begitu juga toko-toko buku. Peserta didik dari hari ke hari semakin kehilangan cita-cita dan daya imajinasinya dalam mengembangkan kepribadiannya.
Sebagian kecil dari mereka yang memikirkan cita-cita juga masih takut untuk keluar dari penjara kurikulum pasar. Tak sedikit dari mereka memilih belajar diluar (Bimbingan Belajar) dengan tujuan lulus di jurusan yang dicari pasar (industri) pada perguruan-perguruan tinggi favorit.
            Sebagian besar diantaranya malah tidak menyenangi belajar di sekolah, hingga mencari kesibukan lain yang tidak kalah parahnya, seperti ikut geng motor, geng shopping, geng dugem, geng tawuran dll. Ini adalah kegagalan selanjutnya dari kurikulum kita yang kaku.
Apakah jika ada formula baru dari sistem pendidikan kita maka dunia pendidikan kita bisa berubah dalam arti peserta didiknya bisa menjadi manusia yang unggul dan berkrepribadian? Menurut saya bisa. Dan harus diawali dari merubah kurikulum pasar menjadi kurikulum yang kritis.
Dalam kurikulum kritis, yang terpenting adalah bukan bagaimana peserta didik mendapatkan hasil dari standar yang telah ditentukan dengan mengacu pada standar industri, tapi bagaimana sekolah dapat menanamkan rasa keinginan belajar dan belajar lebih dalam lagi tentang pelajaran itu sendiri. Pendeknya, kurikulum kritis adalah upaya menanamkan minat belajar kepada peserta didik, dan minat mengembangkan pelajaran yang didapatnya dalam realitas masyarakat.
Praksisnya, sebuah tugas pelajaran tak perlu dinilai dalam bentuk angka, tak perlu ada kompetisi simbolis. Tugas-tugas pelajaran hanya perlu di apresiasi secara lisan sebagai bentuk penilaian kritis dari usaha–usaha mereka dalam mengenal pelajarannya.
            Mari kembali membuka sedikit lembaran sejarah bangsa kita. Tan Malaka jauh-jauh hari telah memperkenalkan metode belajar yang dapat merangsang peserta didiknya untuk mencintai kegiatan belajar. Tan Malaka mempraktekkan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Murid yang bersekolah di sana diberikan hak-hak hidup “sebenarnya”, yakni kebebasan memilih dan mengeluarkan ekspresi minat dan bakatnya berupa lingkungan pendidikan yang sosial..
Tan Malaka berkeyakinan bahwa pendidikan idealnya menjadi transformasi manusia menuju satu perubahan yang lebih baik. Realita ssosial tidak hanya diterjemahkan secara kognitif tetapi juga bentuk aksi. Sebab, pendidikan bukan semata memproduksi pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan adalah gerak yang mencipta.(Syaifudin; 2012)
Dalam konteks dunia kontemporer, Norwegia menurut saya patut dijadikan contoh. Kebijakan pendidikan Norwegia berakar pada prinsip kesamaan hak terhadap pendidikan bagi semua anggota masyarakat, tanpa memperhitungkan latar belakang sosial dan budaya atau tempat tinggal. Kegiatan mengajar di sekolah Norwegia diadaptasikan dengan kemampuan dan keahlian masing-masing siswa.
 Lalu, bagaimana dengan kita? Masihkah kurikulum pendidikan saat ini kita pertahankan?

Randy Syahrizal, penulis adalah Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara
 

Perang Kebudayaan


Kita tentunya masih ingat pada Trisakti Bung Karno, yakni mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Bung Karno mengaitkan kebudayaan dengan ekonomi dan politik. Bahkan, dalam perjuangan kebangsaan, ketiganya tak dapat terpisahkan. Kebudayaan tidak bisa lepas dari sistem ekonomi politik yang sedang berkuasa di satu negeri. Kesimpulan inilah yang akan membimbing beberapa uraian dalam tulisan singkat ini.

Masa Penjajahan


Belanda dengan kongsi dagangnya (VOC) yang di pimpin oleh Cornelis De Houtman memasuki bumi Nusantara (1595), mendarat di Banten dengan tujuan merampok kekayaan alam dengan kedok berdagang rempah-rempah. Pada awal abad ke 17 (tahun 1602), kedok itu terbuka. Parlemen Belanda menabalkan VOC sebagai wakil dari pemerintahan Belanda, yang bertugas untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara dan mengisi kas Belanda yang pada masa itu sedang menghadapi perang dengan Spanyol.

Dalam usaha mempertahankan dominasinya, VOC merasa perlu melakukan penyelidikan kebudayaan masyarakat Nusantara. Awalnya para misionaris dibebankan tugas untuk melakukan penelitian terhadap kebudayaan dan masyarkat Nusantara. Kegiatan tersebut tidak berjalan dengan baik karena pemuka agama Islam dengan cepat mengantisipasinya dengan cara menghalang-halangi misionaris masuk ke daerahnya.  Pada tahun 1778, Inggris menyerbu Jawa, dan kekuasaan VOC direbut oleh Inggris. Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jendral. Raffles mempunyai perhatian serius terhadap kajian ilmu pengetahuan dan kajian terhadap masyarakat Jawa. Raffles mendirikan Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen sebuah lembaga penelitian yang akan bekerja untuk mempelajari bahasa, hubungan sosial, adat dan kebudayaan masyarakat Jawa. Dari data-data yang telah dikumpulkan lembaga tersebut, Thomas Stamford Raffles menulis ”History of Java” pada abad ke 19.

Kesimpulan masyarakat Jawa kuno seperti yang dilukiskan Pramoedya dalam tetralogi Pulau Buru dengan mengutip Mpu Tantular menerangkan bahwa bangsa Jawa adalah masyarakat yang mudah menyesuaikan diri akibat peristiwa peperangan-peperangan masa lalu (konflik Mahayana dan Hinayana dalam Budha) yang banyak memakan korban nyawa, yang akhirnya melahirkan watak kompromi, karena hanya ada dua pilihan bagi bangsa yang kalah, yakni menyesuaikan diri atau melarikan diri. Kompromi ini juga bisa di lacak dari penggabungan dua keyakinan, yakni Wangsa Syailendra yang Budha dan Wangsa Sanjaya yang Hindu, hingga melahirkan Shiwa Budha ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Untuk persatuan Shiwa – Budha, dalam kitab Sutasoma, Mpu Tantular Menulis: ”Siwa Budha Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.

Akhirnya, Jawa juga menyesuaikan diri dengan pemerintahan kolonial Belanda, dengan menerima beban pajak, sewa tanah, tanam paksa (culturstelsel), dan hukum kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda mereorganisasi tatanan pemerintahan raja-raja di Jawa dalam beberapa jabatan kepegawaian, yakni: Bupati, Wedana dan Asisten Wedana yang semuanya berada dibawah kendali Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (Bogor).

Untuk mengukuhkan kekuasaannya, Belanda mendirikan sekolah–sekolah berbahasa Belanda, menyebarkan agamanya (Kristen), mengeluarkan hukum kolonial untuk mengadili perkara pribumi, mengajarkan kebiasaan–kebiasaan Belanda sebagai kebiasaan yang terpuji dan beradab, mengeluarkan paket kebijakan rasial yang intinya rakyat pribumi berkedudukan lebih rendah dari peranakan Belanda (Indo) dan Belanda totok, dan menghegemoni pikiran masyarakat pribumi dengan koran-koran berbahasa belanda.

Koran sebagai produk kebudayaan mempunyai arti penting dalam menundukan kebudayaan suatu bangsa. Didalam koran terbitannya sendiri, Belanda selalu memuji-muji pemerintahannya yang lebih baik daripada pemerintahan raja-raja Jawa yang memandang rendah kemanusiaan, gemar kawin dan berlaku bebas untuk mengambil anak gadis siapa saja yang hendak di peristrinya. Belanda mengutuk kekuasaan raja-raja jawa terdahulu dengan memberi label ”terbelakang dan biadab”, sementara dibawah pemerintahannya, Hindia Belanda menjadi beradab. Pendeknya, koran dijadikan media untuk membenarkan apa saja yang diperbuat pemerintahan Belanda.

Dalam hal ini, Belanda sudah mengukuhkan kebudayaan baru yang hendak ditujukan untuk menghabisi kebudayaan lama. Generasi awal intelektual Indonesia pun memuji-muji kemajuan Belanda dan Eropa, serta enggan berpakaian daerah (Jawa) dan lebih menyukai cara berpakaian Belanda, dan juga menulis dalam Belanda. Sedangkan bahasa Melayu di cap sebagai bahasa terbelakang dan hanya dipakai oleh rakyat pribumi yang terbelakang.

Perjuangan Membangun Kebudayaan Nasional di Zaman Pergerakan

Sumpah Pemuda (1928) adalah sebuah tekad untuk membentuk nation yang mempunyai arti penting dalam perkembangan membangun kebudayaan nasional. Satu bahasa Indonesia adalah tekad meruntuhkan dominasi bahasa Belanda sebagai bahasa penguasa, dan menjadikan bahasa Melayu (yang disempurnakan) menjadi bahasa persatuan nasional, menjadi bahasa pergerakan, dan bahasa perjuangan untuk kemerdekaan.
Perjuangan untuk mengukuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan (resmi) juga mengalami perdebatan yang panjang. Periode 1935–1939 adalah masa penyempurnaan bahasa Indonesia dengan beberapa karya tulis dari intelektual Indonesia sebagai bahan acuannya, antara lain, karangan St. Takdir Alisyahbana, Amrin Pane, Amir Hamzah dan angkatan Balai Pustaka lainnya. Sebelum periode ini, beberapa tulisan Bung Karno dan Bung Hatta masih merupakan bahasa campuran, yakni bahasa Melayu bercampur Belanda. Lalu diadakan kongres Bahasa Indonesia di Solo pada tahun 1938 untuk menyempurnakan bahasa Indonesia.

Sejak Medan Priyayi merintis kelahiran koran pribumi dan dapat diterima baik oleh rakyat pribumi, beberapa koran berbahasa melayu pun bermunculan dan berposisi sebagai organ-nya organisasi pergerakan, seperti Pewarta Oemoem (Parindra), Adilpalametra dan Toentoenan Desa (Budi Utomo), Oetoesan Hindia (SI), Sinar Djawa dan lain-lain. Koran pribumi adalah counter opini dari koran-koran Belanda yang pro pada kepentingan politik dan akumulasi modal Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, lagu-lagu perjuangan menjadi bagian yang tak kalah penting dalam menyuarakan kemerdekaan kepada rakyat pribumi. Tahun 1942, saat negara sekutu dikalahkan oleh Jepang, lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR. Supratman dikumandangkan radio pusat di Jakarta. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang juga mengumandangkan lagu tersebut bersamaan dengan lagu Nippon Hosyo Kanri di radio Jepang yang berpusat di Tokyo. Tapi ternyata kegiatan itu hanya berlangsung singkat dan hanya bertujuan untuk menjinakkan bangsa Indonesia, dan segera melarangnya saat bangsa Indonesia tengah serius menyempurnakan kemerdekaannya dengan membentuk sistem pertahanan rakyat. Jepang yang sejak semula ingin berkuasa atas Asia lantas menghentikan sandiwara empati tersebut, dan menggantikannya dengan kewajiban mengumandangkan lagu ”Kimigayo” dalam setiap upacara kenaikan bendera Jepang.

Lahirnya lagu-lagu perjuangan Indonesia seperti ”Maju Tak Gentar” yang diciptakan oleh Cornel Simanjuntak, ”Satu Nusa Satu Bangsa” ciptaan Liberty Manik, ”Berkibarlah Bendera-ku” ciptaan Bintang Sudibyo (Ibu Sud), ”Syukur” ciptaan Husein Mutahar, dan ”Halo-halo Bandung” ciptaan Ismail Marzuki adalah hasil dari persatuan seniman yang tergabung didalam Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) pada tahun 1942 yang dipimpin oleh Sanusi Pane dan Mr. Sumanang, dan nama-nama diatas yang juga menjadi pengurusnya.

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, tantara NICA (Belanda) masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng pada pasukan sekutu yang dikomandoi Inggris selaku wakil negara sekutu pada tahun 1945. Dua tahun kemudian muncullah ketegangan yang berlanjut pada Agresi Militer Belanda pertama dan setahun kemudian tindakan yang sama terulang yakni Agresi Militer Belanda ke II. Lagu-lagu perjuangan seperti yang tersebut diatas juga berperan penting dalam membakar semangat juang tentara rakyat yang masih bayi, laskar-laskar rakyat dan pemuda-pemuda Indonesia untuk berjuang mengangkat senjata membela dan mempertahankan kemerdekaan.

“Imperialisme Budaya” dan peran Media Massa

Herb Schiller dalam Communication and Cultural Domination berpendapat bahwa kemunculan teori Imperialisme Budaya dapat dilihat dari dominasi barat atas media diseluruh dunia. Barat sebagai perwakilan kekuatan modal, dengan kekuatan modalnya menguasai pemberitaan di dunia ini. Mereka cukup mempunyai akses diseluruh dunia, begitu juga dengan jaringannya. Dengan kecanggihan tekhnologi, kekuatan modal dan luasnya jaringan, media barat menjadi sangat mengesankan bagi dunia ketiga.

Barat kemudian meracuni alam pikiran rakyat dunia ketiga dengan berita-beritanya yang mewakili kepentingan korporasi modal dunia, menyensor berita-berita perjuangan rakyat dunia ketiga dan berita-berita lain yang menentang dominasinya, menyensor berita bahkan tidak memberitakan kejahatan-kejahatan yang dilakukannya (seperti kudeta terhadap Hugo Chavez tahun 2002), membelokan sejarah dengan film-filmnya (seperti film perang Vietnam misalnya), meracuni para pemuda dengan style berpakaian ala mereka, berpenampilan glamour, budaya kekerasan liar, gengster, mafia, sex bebas, narkoba, menayangkan kedermawanan mereka terhadap orang miskin dengan tayangan reality show dll.

Kehebatan media barat dengan propaganda massif yang terus menerus di konsumsi oleh negara dunia ketiga akan berbuah menjadi pengekoran, yakni peniruan secara vulgar apa-apa saja yang mereka lihat dan ditayangkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses peniruan ini terjadi tanpa sadar dan nyaris berjalan tanpa counter yang sepadan. Proses peniruan inilah yang menghancurkan budaya asli negera dunia ketiga.
Kita tentunya masih ingat bagaimana media barat mempropagandakan ”terorisme dan penjahat perang” serta merasionalisasi tindakan AS menginvasi Irak sebagai upaya menciptakan demokrasi di Irak, begitu juga di Libya, Afghanistan, dan yang baru-baru ini sedang menghangat, yakni ketegangan AS dengan Iran dan Korea Utara. Begitulah media barat menyebarkan kebohongan-kebohongan di pikiran rakyat dunia ketiga.

Media barat juga mengkampanyekan ”klub malam” sebagai gaya hidup kaum profesional, sebagai hiburan pelepas penat bekerja, merendahkan derajat perempuan dengan menjadikannya bintang iklan mobil mewah (berpose seksi dengan menari eksotis dibadan mobil), mengkampanyekan kelestarian alam dan hutan padahal perusahaan mereka adalah pelaku pembalakan liar, menghapus ingatan sejarah dengan cerita-cerita kepahlawanan super hero dari negeri paman Sam, hingga anak-anak di Indonesia lebih mengenal Spider Man ketimbang Untung Suropati yang gagah berani, lebih mengenal Cat Women ketimbang Kartini dll.
Sepak terjang media barat yang begitu hebat dan massif juga di jadikan standard oleh media massa kita.

Stasiun TV kita misalnya, berlomba-lomba mirip dengan media barat. Bahkan beberapa acara memang sengaja di impor ke Indonesia, seperti Indonesian Idol, Take Me Out dan Xfactor misalnya. Begitu juga dengan perfilm-an kita, yang ramai-ramai memproduksi film horror dengan kombinasi cerita porno di dalamnya. Tayangan-tayangan yang menjauhkan orang miskin dari kesadaran kritisnya, dipelopori oleh tayangan reality show yang ber-empati terhadap orang miskin dan mengaburkan masalah kemiskinan menjadi persoalan takdir hidup dan tidak menyentuh akar persoalannya yakni tanggung jawab negara menyejahterakan rakyat-nya. Dan banyak lagi yang teramat panjang untuk disebutkan satu persatu.

Saya sendiri merasa beruntung pernah hidup di zaman Soeharto, dan besar di era reformasi. Paling tidak, peristiwa 1998 masih hangat diperbincangkan di kampus-kampus, termasuk kampus tempat saya kuliah. Saya ingat saat pertama kali bergabung kedalam organisasi pergerakan di USU, dan rangsangan itu saya terima karena peristiwa 1998 menjadi atmosfir dalam pergerakan mahasiswa. Sekarang, setelah 11 tahun berlalu, peristiwa itu tak lagi menarik dan hangat, tidak lagi menjadi atmosfir, dan dikalahkan dengan komunitas Sahabat NOAH, kelompok fans artis dan band ”ngak-ngik-ngok” dan yang tak kalah hebatnya, fenomena K-Pop yang ditiru habis-habisan, mulai dari musik, pakaian, sibak rambut, sampai apa saja yang berbau Korea (juga film bersambungnya).

Perjuangan kebudayaan di Indonesia memang akan menjadi berat, terutama karena saat ini yang sedang dilawan adalah ”Imperialisme budaya” yang berbentuk Industri (komersil) yang mengedepankan laba (keuntungan) dan pelipatgandaan keuntungan (akumulasi). Yang dilawan saat ini adalah dominasi kebudayaan ala ”Amerika” yang mengedepankan ”life style” rupanya tengah menjerumuskan rakyat dunia ketiga dalam pola hidup konsumtif, berbeda dengan dominasi kebudayaan kolonial yang berupa sekolah dan perguruan-perguruan tinggi yang mewakili gagasan kolonialismenya.

Imperialisme budaya mempunyai struktur (jaringan) dan infrastruktur yang kuat. Menghasilkan produk yang massif dengan perubahan terus menerus. Dia juga masuk ke institusi-institusi pendidikan (negara dunia ketiga) terutama untuk tetap mengokohkan akumulasi modalnya dengan mengembangkan kurikulum pendidikan yang hanya bisa melahirkan para konsumen, tidak lagi produsen. Dia juga masuk kedalam institusi agama untuk menyebarkan kepasrahan akan nasib kemiskinan yang di derita sebagai takdir dan ketetapan Tuhan.

Perang Gagasan adalah Perang Kebudayaan

Sekarang, dalam masa demokrasi liberal jalannya kesenian dan kesastraan berjalan dalam bingkai industri. Musik dimonopoli industri, tari-tarian juga demikian, film apa lagi, bahkan karya sastra pun begitu. Dalam masa demokrasi liberal sekarang ini, jalannya kebudayaan tidak identik dengan haluan politik tertentu. Sesuai bangunan sistemnya yang ”liberal” maka kesenian dan kesastraanya juga demikian nasibnya. Namun secara keseluruhan, kehadirannya justru merusak fikiran rakyat dan membikin demoralisasi berkepanjangan.

Perang gagasan adalah hal penting yang harus dilakukan terus menerus. Gagasan akan kebudayaan yang bergaris ”Realisme Revolusioner”  harus lahir mengiringi setiap karya yang mewakilinya. Menjadi sangat penting untuk mengurai sejarah lagu-lagu perjuangan dimasa pergerakan kemerdekaan saat mengulas sebuah album yang berisikan lagu-lagu perjuangan. Begitu juga dengan uraian  sejarah seni rupa yang melukiskan tentang penderitaan dan cita-cita perjuangan kemerdekaan, dan hal yang sama untuk karya-karya sastra yang mewakili semangat revolusioner. Uraian sejarah menjadi penting sebagai upaya mengembalikan ingatan sejarah, bahwa lahirnya seniman musik Indonesia berawal dari lagu-lagu perjuangan, lahirnya karya sastra Indonesia juga demikian bahkan film ”Nyai Dasima” produksi tahun 60-an juga lahir dari semangat yang sama.

Perang gagasan juga harus beriringan dengan perang media. Perang media adalah upaya membikin media massa alternatif untuk berdiri dengan jujur dalam pemberitaan, meng-counter opini sesat dan berpihak pada rakyat sebagai pelaksana perubahan kemajuan jaman.

Tentunya hal ini tak mudah, terutama jika kita sadari musuh yang kita hadapi adalah industri besar. Menjadi tidak mudah karena situasi sekarang berbeda dengan situasi dahulu dimana idiologi-idiologi politik sangat berakar kuat dalam pikiran masyarakat. Bagaimanapun sulit dan peliknya jalan revolusi kebudayaan, kita tetap harus membuka jalan.

Randy Syahrizal, Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara. Ia bisa dihubungi di email: randy.syahrizal@yahoo.com
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger