Beda Mayjend Agus Sutomo dengan SBY si kepala batu

Ada tiga contoh yang diberikan oleh Mayjen Agus Sutomo (Danjen Kopasus), dan itu membedakan dirinya dengan SBY :

1. Dia mengakui kesalahan prajuritnya dan menanggung beban tanggung jawab atas kesalahan tersebut. kesalahan bawahan adalah kesalahan pimpinan, begitulah katanya. tidak seperti SBY yang selalu mencari kambing hitam kesalahan pemerintahannya, termasuk kesalahan di partainya (kasus korupsi bawahannya di partai demokrat)

2. Didalam diri Mayjend Agus Sutomo ada "Leadership" mempertimbangkan kasus yang menimpa korps-nya dengan pertimbangan keutuhan NKRI yang dapat terancam akibat disintegrasi sosial, sedangkan SBY bermental "Bawahan" yang patuh pada nasehat Asing.

3. Mayjend Agus Sutomo sudah berlaku jujur, sedangkan SBY selalu berbohong tentang kondisi perekonomian rakyat yang dikatakannya selalu meningkat, padahal puluhan orang mati kelaparan di Papua.
 

Kisah ‘Haji Merah’ Dari Sumatera Barat

Pada tahun 1920-an, ketika benih marxisme mulai masuk ke Indonesia, yang menyebarkannya ke bumi—rakyat—adalah para Haji. Mereka mengibarkan panji-panji “Islam Komunis”.
Di Jawa, penggerak utamanya bernama Haji Misbach. Ia adalah seorang mubaligh didikan pesantren. Selain itu, Misbach sudah menunaikan ibadah Haji di Tanah Mekah. Dan, jangan salah, dia bisa berbahasa Arab.
Di Sumatera Barat, orang seperti Haji Misbach juga ada. Namanya: Haji Ahmad Khatib alias Haji Datuk Batuah. Ia lahir tahun 1895, di Koto Laweh, Padang Panjang. Ayahnya, Syekh Gunung Rajo, adalah seorang pemimpin Tarekat Syattariyah.

Datuk Batuah sempat mengenyam pendidikan dasar di sekolah Belanda. Setelah tamat, ia menuntut ilmu di Tanah Mekah selama 6 tahun, yakni dari tahun 1909 hingga 1915. Di sana ia berguru pada Syech Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Saat itu, di Sumatera Barat, sudah berdiri perguruan Islam bernama “Sumatra Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh kaum modernis Islam, yang berusaha melakukan pembaruan Islam melalui pendidikan. Salah satu gurunya bernama Haji Rasul—ayah dari Buya Hamka.

Audrey Kahin, dalam bukunya “Dari Pemberontakan ke Integrasi”, mencatat bahwa beberapa guru di Sumatera Thawalib tidak melarang murid-muridnya mempelajari teori-teori radikal, termasuk marxisme.
Begitu pulang dari Mekah, Datuk Batuah langsung bergabung dengan Sumatera Thawalib. Awalnya, ia menjadi murid Haji Rasul. Dia dianggap murid paling cerdas dan dinamis. Karena itu, ia pun diangkat menjadi Asisten pengajar oleh Haji Rasul.

Namun, karena pengaruh teori-teori radikal, Datuk Batuah sering berseberangan pendapat dengan Haji Rasul. Haji Rasul sendiri sangat otokratis dan konservatif. Ia menentang ide-ide radikal yang digandrungi oleh muridnya.

Pada tahun 1920-an, Haji Datuk Batuah ditugasi oleh Haji Rasul untuk meninjau keadaan sekolah Thawalib di Aceh. Namun, siapa sangka, di perjalanan inilah Ia bertemu dengan Natar Zainuddin, seorang propagandis serikat buruh kereta api (VSTP).

Datuk Batuah dan Natar Zainuddin langsung berkawan akrab. Pada tahun 1923, keduanya berangkat ke Jawa. Entah sengaja atau tidak, keberangkatan mereka bertepatan dengan Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI)/Sarekat Rakyat (SR) di Bandung, Jawa Barat.

Datuk Batuah dan Natar Zainuddin jadi peserta di kongres itu. Saat itu, seorang Haji dari Surakarta, yaitu Haji Misbach, tampil berpidato di Kongres. “Saya bukan Haji, tapi Mohammad Misbach, seorang Jawa, yang telah memenuhi kewajibannya sebagai muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Mekah dan Medinah,” begitulah Misbach memperkenalkan dirinya.

Namun, begitu Misbach masuk ke inti pidatonya, Datuk Batuah langsung terperangah. Menurut Misbach, ada kesesuaian antara ajaran Al-Quran dan Komunisme. Antara lain, Al-Quran mengajarkan bahwa setiap muslim harus mengakui hak azasi manusia. Tetapi hal itu juga menjadi prinsip dalam program komunis.
Selain itu, kata Misbach, Tuhan memerintahkan untuk melawan segala bentuk penghisapan dan penindasan. Hal itu juga menjadi jiwanya kaum komunis. Lebih penting lagi, komunisme tidak mentolerir diskriminasi pangkat dan ras. Ajaran Karl Marx ini juga mengutuk klas-klas di dalam masyarakat. Slogannya: Sama rasa, Sama rata!

“Siapa yang tidak bisa menerima prinsip-prinsip komunisme berarti dia belum benar-benar muslim,” kata Misbach di akhir pidatonya.

Pidato Misbach sangat membekas dalam pikiran Datuk Batuah. Begitu pulang ke Sumatera Barat, ia segera menyebarkan pandangan “Islam Komunis” ala Misbach itu kepada murid-muridnya di Perguruan Thawalib dan melalui koran “Pemandangan Islam”.

Sementara Natar Zainuddin, yang kembali ke Sumatera Barat pada Mei 1923, segera menyebarkan gagasannya melalui koran “Djago-Djago”. Dua koran ini pula yang menjadi terompet perjuangan menentang kolonialisme di Sumatera Barat.

Pada tanggal 20 November 1923, berdirilah PKI seksi Padang Panjang dengan susunan pengurus: Haji Dt. Batuah (Ketua), Djamaluddin Tamim (sekretaris dan bendahara), Natar Zainuddin (anggota), dan Dt. Machudum Sati (anggota).

Sejak itu, Datuk Batuah menjelma menjadi “propagandis komunis”. Rakyat banyak menyebutnya “ilmu kuminih”. Banyak pedagang terseret dalam propaganda “Islam Komunis”. Maklum, Islam mengharamkan praktek “Riba” dan melarang umatnya menumpuk harta. Ini selaras dengan propaganda Marxisme menentang kapitalisme.

Haji Datuk Batuah menikah dengan Saadiah. Hasil perkawinannya dikaruniahi tiga anak. Salah seorang anaknya diberinama: LENIN. Lalu, Datuk Batuah menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Zainab. Ia dikaruniai seorang putri bernama KARTINI.

Sebagai seorang komunis, Haji Datuk Batuah tetap taat pada agamanya. Audrey Kahim mengutip pernyataan Buya Hamka tentang Haji Datuk Batuah: “Rupanya dia menjadi pengikut setia komunisme hanya untuk hal-hal yang menyangkut (ajaran) ekonomi, tidak dalam hal-hal materialisme historisnya. Jadi, dia komunis tulen yang masih memeluk agama Islam. Konon kabarnya, orang-orang komunis yang anti-agama harus hormat kepadanya. Sebab dia tidak keberatan bersikap keras terhadap orang-orang yang mencela agamanya.”

Propaganda “Islam Komunis” sangat membumi. Rakyat pun berbondong-bondong menjadi anggoat PKI. PKI Padang Panjang punya pusat propaganda bernama: International Debating Club (IDC). Namun, rupanya, Belanda sangat khawatir dengan hal itu. Maklum, PKI adalah organisasi paling radikal dan paling keras menentang kolonialisme Belanda.

Akhirnya, baru 2 bulan beraktivitas di Padang Panjang, Belanda menggeledah IDC. Itu terjadi tanggal  11 November 1923. Saat itu, aktivis IDC sedang melipat-lipat koran Djago-Djago! Tiba-tiba datang Polisi bersenjata lengkap menggeledah tempat itu.

Natar Zainuddin dan Datuk Batuah ditangkap. Sehari kemudian, para aktivis PKI Padang Panjang dan anggota Redaksi Djago-Djago juga mulai ditangkapi oleh Belanda. Sebulan kemudian, Djamaluddin Tamin juga ditangkap.

Datuk Batuah dan Natar Zaimuddin dibuang ke Timor (NTT). Natar Zainuddin dibuang ke Kafannanoe (Kefamenanu), sedangkan Datuk Batuah dibuang ke Kalabai (Kalabahi, Alor). Namun, meski di pembuangan, Datuk Batuah tetap aktif berjuang.

Bersama dengan  Christian Pandie, aktivis Timor, mendirikan organisasi bernama Partai Serikat Timor. Tak lama kemudian, partai ini berganti nama menjadi Partai Serikat Rakyat. Azasnya tetap: Komunisme! Sayang, ketika meletus pemberontakan PKI tahun 1926, aktivis Partai Sarekat Rakyat turut ditumpas Belanda.
Pada tahun 1927, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dipindahkan ke Boven Digul, Papua. Tidak banyak dokumentasi terkait kehidupan Datuk Batuah dan Natar selama di Digul. Begitu Jepang merengsek masuk Indonesia, Datuk Batuah dipindahkan New South Wales, Australia.

Konon kabarnya, Datuk Batuah dan istrinya, Saadiah, sempat kembali ke Indonesia dan tinggal di Solo, Jawa Tengah. Dalam buku Soe Hok Gie, Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan, disebutkan bahwa Datuk Batuah masuk daftar anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia mewakili Solo bersama DN Aidit dan Alimin.

Tahun 1948, Ia kembali ke kampung halamannya: Koto Laweh, Padang Panjang. Di sana ia tetap berpropaganda komunisme. Datuk Batuah meninggal dunia tahun 1949.

Risal Kurnia, Kontributor Berdikari Online
 

Rakyat Kecil Menjadi Korban Ketidakadilan Hukum (Bercermin Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda)

Pada tahun 1903, Sastrawan Peranakan Tionghoa bernama Gouw Peng Liang juga turut menuliskan kisah yang bertemakan ”kriminalisasi” terhadap Tan Hin Seng seorang rakyat kecil (pedagang sayur) oleh seorang tuan tanah Lo Fen Koei, dimana kasus yang diperkarakan telah diskenariokan oleh Tuan Demang Tabri (Priyayi) untuk menawar pasal-pasal hukum dengan anak gadisnya yang cantik jelita. 

            Dalam cerita yang diambil dari kisah nyata di Jawa, Lo Fen Koei, seorang Tuan Tanah dan Pachter Opium di Residen Benawan, Afdelling Banjar Negara, punya keinginan untuk mengangkat gadis cantik bernama Tan San Nio sebagai istri mudanya, alias gundik. Ayah gadis cantik ini adalah seorang penjual sayur yang menyewa tanah di lahan milik Lo Fen Koei. Kehidupannya sangat miskin. Ayah gadis ini menyimpan rasa benci kepada tuan tanah Lo Fen Koei atas tindakan semena-mena terhadap para koeli dan tindakannya juga yang selalu menaikkan sewa atas tanah. Akhirnya, sang Ayah menolak lamaran Lo Fen Koei dengan sangat kasar meskipun di iming-iming mendapat rumah besar di Banjar Negara dan uang sebesar 500 Gulden, ditambah tidak perlu lagi membayar uang sewa tanah.
            Tuan tanah Lo Fen Koei marah atas penolakan itu. Kemudian menyuruh pesuruhnya untuk memasukan candu kedalam bakul sayur milik Ayah gadis cantik tersebut, dan juga mencari sekutu di dalam birokrasi pemerintahan Afdelling dengan membayar Tuan Demang Tabri untuk melakukan penggeledahan isi rumahnya bersama polisi Afdelling Banjar Negara. Setelah proses penggeledahan, Tuan Demang menjumpakan sang Ayah kepada Lo Fen Koei dengan bujuk rayuan untuk mendapatkan kebebasan dengan menukar pasal candu gelap menjadi candu kongsi, dan karena perubahan pasal itu dia tidak akan ditahan. Bujuk rayu itu tentunya mensyaratkan kerelaan sang Ayah untuk merestui pergundikan anaknya. 

            Tapi dia menolak mengakui kepemilikan candu itu, dan tetap berkeras untuk tidak menikahkan putrinya kepada tuan tanah Lo Fen Koei. Akhirnya, sang ayah harus mendekam di penjara, dan bertambah ingin nafsunya si tuan tanah karena si nona cantik sudah tanpa perlindungan ayahnya.

Masa Sekarang Ini
            Baru baru ini ketidakadilan hukum ditunjukkan oleh vonis ringan yang ditujukan pada Rasyid Amrullah, anak menteri perekomian Hatta Radjasa, terdakwa tabrakan maut yang menghilangkan nyawa orang lain, dengan hukuman percobaan selama 6 bulan. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum telah menjerat Rasyid dengan dua dakwaan, pertama dakwaan primer, yakni Pasal 310 ayat (3) dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara, karena menyebabkan luka berat, dan kedua dengan pasal yang sama ayat (2) dengan ancaman 1 tahun penjara karena telah menyebabkan kerusakan kendaraan dan atau barang. Sementara tabrakan ini tidak hanya menyebabkan kerusakan kendaraan dan luka berat saja, namun telah menewaskan dua korban jiwa sekaligus. Bagaimana tuntutan berat berubah menjadi sangat ringan?

            Di Medan, pada bulan Juli 2012, setelah diberlakukannya ketetapan MA mengenai perubahan pasal Tipiring, saya juga menyaksikan sendiri jalannya persidangan seorang buruh yang dituduh mencuri kabel baja sepanjang kurang dari satu meter. Kebetulan saya dekat dengan buruh ini, dan saya mengikuti kasusnya. 

            Sepulangnya dari pabrik (masih dilokasi pabrik) dia mendapati kabel bekas ditengah jalan pabrik, dan dia mengutipnya. Dia menyangka kabel itu tak dipakai lagi. Dalam pemeriksaan rutin di pos satpam sebelum pulang, satpam menemukan kabel bekas tersebut didalam tas nya. Kemudian buruh yang bekerja di Pabrik Keramik (PT. Jui Shin Indonesia) ini langsung dibawa ke kantor polisi Medan Labuhan dan diproses. 

            Dalam pembelaannya, dia mengaku keberatan dengan tuduhan pelapor bahwa kabel itu dicuri dan hendak dijual kembali. Dia mengatakan bahwa kabel bekas itu akan dipergunakan untuk menambah panjang tali jemuran dirumahnya. 

            Buruh tersebut mendapat hukuman 7 bulan kurungan. Hukuman ini bertentangan dengan amandemen soal Tipiring yang telah ditetapkan MA (Februari 20120) bahwa tindak pidana ringan alias Tipiring (dibawah 2,5 juta) tidak perlu dilakukan penahanan. Namun para priyayi dilingkungan kepolisian dan pengadilan ini tak pernah peduli ketetapan itu meskipun sudah pasti menerima sosialisasinya. 

            Sebelumnya, ancaman hukuman 5 tahun juga dialami seorang siswa SMK yang mencuri sendal seorang polisi. Juga seorang nenek yang bernama Minah, yang dilaporkan Perusahaan Perkebunan dengan tuduhan mencuri buah Kakao (Cokelat). Nenek ini kemudian menjalani hukuman tahanan rumah selama 1 bulan 15 hari. Motif Minah sebenarnya sederhana saja, mengambil buah kakao untuk dijadikan bibit tanaman, dan setelah dipergoki oleh petugas Perusahaan, nek Minah kemudian meminta maaf dan mengembalikannya. Namun tindakan ini menjadi tidak termaafkan oleh Perusahaan.
           
Mengapa Hukum Pidana dapat diperjual-belikan?

            Setelah Belanda merdeka dari penjajahan Prancis, Pemerintah Belanda pada tahun 1881 membuat kitab hukum pidana, yang secara otomatis juga berlaku bagi orang-orang Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Dan setelah Indonesia merdeka (1945) kitab ini (KUHP) juga-lah yang dipakai dalam mengadili kasus pidana di Indonesia hingga hari ini. Padahal, Belanda sendiri sudah lama meninggalkan kitab tersebut dan merevisinya berkali-kali.

            Menurut saya, tindakan copy paste tersebut membuat penerimaan masyarakat akan hukum menjadi kabur (karena tidak lahir dari ide kolektif masyarakat), bahkan hampir tidak dimengerti secara detail. Kurangnya pendidikan hukum kepada masyarakat menambah semakin kaburnya persoalan ini. Apalagi para Sarjana Hukum  yang berprofesi sebagai Pengacara tidak menempatkan hukum pada fitrahnya, melainkan menjadikannya sebagai pekerjaan (mata pencaharian) baru yang membuat persoalan hukum menjadi persoalan yang banyak memakan biaya.      Bagi rakyat kecil yang tidak mampu membayar pengacara, dia tidak akan mendapat pembelaan, bahkan tidak mendapat penjelasan hukum mengenai kasus yang menimpnya.

            Hal ini kemudian memudahkan para petugas hukum untuk bertindak sesukanya dengan menukar, menghilangkan bahkan menambahkan pasal-pasal didalam mengadili terdakwa.

            Bagi orang-orang ber-uang, seperti Perusahaan Perkebunan yang menuntut Nek Minah atau Perusahaan Bakri Group yang menuntut seorang nenek lainnya yang mencuri ubi untuk makan karena kehidupannya yang miskin, patut dicurigai bahwa hukum dibeli untuk menghukum siapa saja yang diduga sebagai ancaman terhadap Perusahaan, terutama ancaman terhadap akumulasi modalnya. Tak peduli seberapa kecil barang curian dan alasan apa yang mengiringi tindakannya

            Bagi rakyat kecil, pada umumnya mereka baru mengerti hukum setelah tersangkut persoalan hukum, dan menjadi korban penegakkan hukum. Mereka kemudian mengenal hukum sebagai permainan kotor orang yang ber-uang dengan petugas penegak keadilan.


Randy Syahrizal (randy.syahrizal@yahoo.com)
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger