Awas Kau PKS..!!! (Kritik Pemakan Bakso)


Oleh: Randy Syahrizal

Salah sendiri jika tulisan ini lebih memilih kritik moral ketimbang politik meskipun yang dikritik adalah seorang petinggi partai politik. Karena dagangan partai ini lebih dominan moral, maka kritiknya akan tertuju pada moralitas pelakunya. Tentunya tulisan ini bukan diperuntukkan bagi mereka yang gemar sekali dengan debat politik, atau orang yang mempunyai (setidaknya merindukan) kritik politik pada partai dakwah seperti PKS. Tentu saja saya akan memulai kritiknya.

Moralnya PKS tentu saja Islam, setidaknya begitulah mereka menyebutnya. Partai ini memang bukanlah partai sekuler seperti partai lainnya, melainkan partai yang menjadikan Islam sebagai landasan moral dan politiknya. Partai yang tidak baru ini memang berhasil membesar, terutama dikota-kota besar.

Dengan sekejap saja kebesaran itu runtuh justru karena moral dan sepak terjang pelaku politiknya. Bukan tanggung-tanggung, pelakunya justru orang nomor satu di PKS, yakni Luthfi Hasan.

Luthfi Hasan adalah tersangka kasus suap impor sapi (politik) dan gratifikasi seks (moral) sebagai pelengkapnya. Soal moral tentu saja bukan yang pertama kalinya, beberapa tahun yang lalu Anggota fraksi PKS juga tertangkap kamera wartawan saat melihat video porno ditabletnya justru saat berlangsungnya rapat diparlemen.

Namun sebagai konsumen Bakso yang baik, saya hanya membatasi kritikan ini hanya pada persoalan suap impor sapi. Saat terkuaknya kasus ini, hati saya panas (moral), betapa Bakso yang saya konsumsi itu, saya ragukan keasliannya. Faktanya beberapa bulan yang lalu, saat daging sapi melambung tinggi dipasaran, media memberitakan kasus daging bakso oplosan yang dicampur dengan daging babi hutan (celeng) membuat saya jijik mengkonsumsi bakso, meskipun saya sangat menggemarinya. Saya seorang Islam (moral), yang tentu saja mengharamkan Babi. Untuk beberapa saat saya sempat menyalahkan pedagang bakso yang mencari untung besar dengan mencampurkan yang halal dan yang haram (moral).

Saat malam hari saya sering melihat tayangan investigasi di Tv yang menceriterakan awal mula pedagang mencampurkan daging celeng kedalam bakso. Alasannya ekonomis. Untuk tetap bertahan berdagang bakso ditengah langkanya dan melambungnya harga daging dipasaran, dan untuk tetap mempertahankan harga (tidak menaikkan harga sepiring bakso) maka cara itupun ditempuh. Saya persis sangat yakin keppolosan pedagang bakso yang berani mengakui kesalahannya itu. Terlebih lagi saya yakin bahwa ilmu agamanya mungkin sangat minim, hingga dia tak merasa begitu bersalah dengan mencampurkan yang haram dan yang halal.

Tibalah saat yang mencengangkan itu, tepat seminggu yang lalu (awal februari 2013), media memberitakan penangkapan Luthfi Hasan sebagai tersangka kasus suap impor sapi, bersamaan dengan itu tertangkap juga tangan kanan sang presiden dengan PSK muda yang juga seorang mahasiswi di Jakarta. Media memberitakannya sebagai gratifikasi seks.

Ingatan saya kembali kepada Bakso oplosan. Indonesia bukanlah negara yang tak memiliki sapi (langka). Sebagai negara pertanian, peternakan adalah salah satu mata pencaharian utama. Tentu saja pilihan mengimpor bukanlah pilihan yang bijak. Impor sapi tentu saja dapat membunuh usaha peternak sapi, sama halnya dengan impor beras yang banyak menyengsarakan petani padi.

Kasus impor beras telah menempatkan harga daging sapi kita menjadi salah satu peringkat termahal didunia, yakni mencapai 9,3 USD, atau kurang lebih Rp100.000/kg, disusul India 7,3USD/kg, sedangkan Jepang, negeri yang tandus itu malah berada diposisi harga daging sapi terendah, yakni hanya 3,2USD/kg. Dengan kenyataan seperti itu tentu saja sebagian pedagang bakso yang tipis imannya (moral) mengambil jalan pintas dengan mengoplos.

Saya kaget bukan kepalang, ternyata pelakunya adalah petinggi nomor satu PKS yang berbasis moralitas Islam itu. Dia bertanggung jawab terhadap membumbung tingginya harga daging sapi dipasaran, dan juga akhirnya sebagai muara, dia juga harus memikul dosa-dosa pedagang bakso yang buta pengetahuan Islami itu. Dosa orang-orang yang mengutuk pedagang bakso curang itupun harus juga ikut dipikul olehnya, karena dirinya adalah otak dari krisis harga daging sapi.(Moral)

Pelakunya tentu sangat tahu dampak impor sapi bagi masyarakat. Tentunya sudah mengukur dampak negatifnya. Tentunya sudah faham betul ayat-ayat yang mengharamkan daging Babi berikut penjelasan rincinya. Pelaku tentunya tahu yang bakal dihina tentu saja bukan hanya dirinya, melainkan partainya juga, dan bisa jadi merembet pada moralitas Islam yang dipersalahkan (meskipun moralitas Islam tak pernah mengajarkan demikian)

Sebagai konsumen setia Bakso, saya sangat mengutuk orang ini, dan berharap sembari berdoa agar dia dan golongan yang membelanya mati-matian dimasukkan kedalam neraka Jahanam (Moral). Sekian.
 

Demokrat Sudah Gagal Sejak Awal Pendiriannya

Demokrat Sudah Gagal Sejak Awal Pendiriannya

Oleh : Randy Syahrizal


Demokrat, Partai Politik pemenang pemilu 2009 ini sangat panik menanggapi hasil survey Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menunjukkan pemerosotan elektabilitas, yakni berada diurutan ke tiga setelah PDI Perjuangan. Kubu Cikeas ramai-ramai angkat bicara dengan suara yang sama, yakni mengaitkan persoalan dugaan korupsi Hambalang yang melibatkan Anas Urbaningrum sebagai problem pokok menurunnya hasil survey tersebut.

Sebaliknya kubu Anas Urbaningrum sangat meragukan validitas hasil survey tersebut. Terlepas dari keraguan itu, hasil survei ini ternyata mampu menyedot perhatian sang ketua dewan pembina, yang notabene adalah Presiden RI. Seperti kebakaran jenggot, SBY pun merespon serius, hingga mengambil langkah-langkah darurat dengan mengeluarkan 5 poin pokok keputusan rapat Majelis Tinggi Partai.

Kepemimpinan harian partai diambil alih langsung oleh ketua Majelis Tinggi Partai, dan memberikan kesempatan bagi Anas untuk menyelesaikan persoalan dugaan korupsi Hambalang. Tidak hanya itu, Majelis Tinggi Partai juga meminta seluruh fungsionaris dan struktur partai untuk menjalankan instruksi partai yang tunduk dibawah kepemimpinannya. Kepanikan yang teramat serius berada di poin 4 dalam keputusan tersebut, yakni akan memecat siapa saja yang tidak patuh pada keputusan MTP. Bagi kubu Anas, tentunya ini sebuah ancaman serius.

Tentu saja dalam tradisi Partai Politik Modern, keputusan MTP adalah keputusan yang inkonstitusional, karena mengambil kewenangan eksekutif DPP dengan sepihak. DPP diangkat dan dipilih langsung didalam kongres, hanya kongres ataupun KLB lah yang dapat menurunkannya. Namun masalah kisruh yang akan saya bahas tentunya tidak hanya persoalan inkonstitusional semata, melainkan problem yang lebih besar tentang ketidakpercaya dirian Partai Politik yang tak membumi, tidak berbasis, dan bergantung pada satu tokoh, membuat Partai ini berada pada posisi ”Galau segalau galaunya”

Mendefinisikan (ulang) Partai Politik

Dalam realitas politik, Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiarjo).

Berpijak dari definisi diatas, harusnya yang jadi ”dagangan” Partai Politik adalah Idiologi dan Program politiknya, yang menjadi bahan propaganda utama dalam merebut hati dan pikiran rakyat untuk menjadi simpatisan dan pendukung setia, hingga memberikan suara, dan memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan (Pemilu).

Bisa jadi Demokrat sebagai Partai Politik memang sudah salah sejak awal pendiriannya. Demokrat nyaris tidak punya pandangan politik sebagai kompas pemandu jalannya Republik ini. Pendirian Partai Demokrat semata-mata hanya untuk mendudukkan SBY sebagai Presiden RI setelah sebelumnya kalah dalam sidang pemilihan Cawapres oleh MPR pada 2001 silam (baca Sejarah Partai Demokrat/ http://www.demokrat.or.id/sejarah/. Sangat disesalkan, saya justru tak menemukan Manifesto Politik dalam website resminya.

Secara kasar, saya berani menyimpulkan bahwa Partai Demokrat adalah suatu kesatuan kelompok elit yang berinvestasi (modal) untuk memajukan dan memenangkan SBY (sebagai figur utama) dalam pertarungan pemilu. Partai Politik hanya kendaraan (pragmatis) untuk mengantarkannya pada pertarungan tersebut.

Dari satu sudut pandang yang utama ini, Demokrat memang sudah gagal sejak awal menjadi Partai Politik yang baik. Partai Demokrat lebih mirip realitas perkoncoan sekelompok elit yang ingin berkuasa dengan membokongi kenyataan politik (programatik) Indonesia dengan segala problematikanya, terlebih paska transisi 1998, dimana masyarakat Indonesia mendambakan kehidupan yang lebih baik setelah kediktatoran Soeharto (Orde baru).

Galau dengan Survei

Pemilu tentunya bukan barang baru dalam realitas politik di Indonesia. Pemilu sudah ada sejak tahun 1955 dengan puluhan Partai Politik. Tentunya partai-partai terdahulu (1955) tidak pernah risau akan hasil survei, karena memang belum ada lembaga survei pada masa itu. Namun, sepertinya Parpol-Parpol terdahulu faham betul bahwa politik adalah satu kesatuan tindakan yang terorganisir dalam memenangkan perebutan kekuasaan (pemilu) dan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mewujudkan cita-cita politik partainya. Berangkat dari kesadaran tersebut, Partai Politik menghimpun basis pendukungnya dalam wadah-wadah politik partai, baik di struktur partai maupun organisasi pendukung partai (underbouw).

Kita tahu tahun 1955 adalah masa polarisasi politik dikalangan akar rumpun. Realitas tersebut membuktikan bahwa kesadaran politik masyarakat sangat tinggi meskipun persoalan baca tulis masih menjadi yang utama. Ada pendidikan politik yang kuat tentunya, baik melalui kursus-kursus lisan, ataupun pagelaran budaya yang sarat akan politik partai dan cita-cita partai. Lekra misalnya, lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI ini ambil bagian dalam memperkenalkan politik partainya dalam serangkaian kegiatan seni dan budaya, begitu juga LKN yang berafiliasi dengan PNI.

Dengan pendidikan politik yang baik dan kesadaran politik yang tinggi, basis dukungan partai dapat diukur. Mereka tidak pernah khawatir akan hasil survei manapun karena mesin dan perangkat politik partainya bekerja sehari-hari, ada atau tidak ada pemilu sekalipun. Kesetiaan politik tersebut bisa saja masih melekat sampai hari ini. Kita tahu masih banyak yang mengaku simpatisan Masyumi, PNI bahkan PKI.

Kemenangan Demokrat tentunya bukan berbasis pada kesadaran politik rakyat yang tinggi seperti kemenangan PNI dimasa lalu. Kemenangan Demokrat pada pemilu 2004 adalah buah dari ekspektasi rakyat yang mendambakan perubahan namun buta sejarah dan gelap politik, sehingga emosi lebih dominan memimpin nalar logika mereka. Ini akibat depolitisasi selama 32 tahun kekuasaan Soeharto.

SBY nyaris tidak punya program Ekonomi konsentrasi seperti Repelita di jaman ORBA. Akhirnya perekonomian diserahkan pada pasar bebas dan Indonesia jatuh menjadi sumber pasar, sumber tenaga kerja murah dan sumber bahan baku oleh kekuatan modal asing. SBY tidak mampu membuat bangsa yang besar ini menjadi mandiri dan berdikari seperti yang diamanatkan oleh para pendiri dan pejuang kemerdekaan. SBY tidak punya sikap atas penjajahan modal didalam negeri, tak punya sikap atas penggusuran tanah oleh korporasi modal asing, tak punya sikap dengan politik upah murah, tak punya sikap atas monopoli kekayaan alam oleh asing dll. Namun rakyat yang buta sejarah seperti tak melihat korelasi modal asing dengan kemiskinan yang mereka alami secara berkepanjangan.

Terobosan baru yang dipraktekkan SBY adalah Pemberantasan Korupsi melalui badan yang dibentuknya sendiri, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain digunakan untuk melibas lawan-lawan politiknya yang korup, SBY juga menjadikan isu pemerintahan bersih sebagai dagangan politiknya. Tentu saja pemerintahan bersih juga hal yang paling ditunggu-tunggu oleh investor asing, yang sering kali mengeluh karena banyaknya pungli oleh pejabat-pejabat pemerintahan. Namun ironis, pelaku korupsi yang tertangkap adalah orang-orang disekeliling SBY sendiri, baik pengurus teras Partai Demokrat maupun pejabat tinggi pemerintahannya. Yang terbaru justru mengaitkan keterlibatan sang ketua umum Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi besar Hambalang.

Lembaga Survei Saiful Mujani (SMRC) pun mengumumkan elektabilitas Demokrat yang merosot, sontak membuat panik para petinggi Partai Demokrat termasuk SBY (utamanya kubu Cikeas). Kepanikan tersebut justru sangat apolitis dan ahistory. Anas Urbaningrum menjadi satu-satunya pihak yang dipersalahkan tanpa melihat sejarah. ”Demi menyelamatkan Partai” adalah keyakinan kolektif kubu Cikeas yang berharap survei Partainya bisa meningkat setelah menghakimi Anas. Sungguh sangat apriori.

SBY sebagai Figur adalah Sebab Awal dan Akhir

Awal dan akhir, Alpha dan Omega. Partai yang berawal dari Figur akan berakhir dengan figur juga. Sesuati yang dimulai dengan niat yang keliru akan berakhir dengan kegagalan yang sempurna. Sangat benar adanya kalimat ini:”Semua berawal dari Niat”

Hasil survei SMRC adalah bagian dari realitas politik. Galau menghadapi survei adalah bukti dari kegagalan Demokrat menjadi Partai Politik. SBY gagal menempatkan realitas politik yang menimpa partainya dengan jalan keluar yang justru apriori dan dapat menuai serangan balik.

Kasus korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi Demokrat bermuara pada Cost Politik yang tinggi. Tertangkapnya Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, dan kasus lain yang booming sebelumnya yakni Century yang melibatkan Sri Mulyani dan Budiono juga terkait masalah pembiayaan politik 2009. Sindikat ini seperti bekerja untuk memenuhi Cost yang tinggi. Yayasan yang dikelola oleh keluarga Cikeas (Baca Gurita Cikeas/George Adi Tjondro) juga disinyalir memberikan kontribusi yang besar bagi pemenangan SBY.

Sejak awal periode ke 2 pemerintahan SBY, kasus korupsi yang menimpa petinggi Demokrat selalu dikaitkan dengan pembiayaan pemenangan Partai Demokrat. Sejak awal periode kedua, kasus korupsi memang lebih dominan dikaitkan sebagai kegagalan pemerintahan SBY, yang gagal mewujudkan Pemerintahan Bersih, dan sebaliknya malah tersandung kasus korupsi.

Dengan mengorbankan Anas, SBY sepertinya ingin membuktikan bahwa dia dan kubu Cikeas adalah kubu yang bersih dari korupsi dan tak ingin partainya tercemar oleh kader-kader yang korup (kader yang sudah tertangkap adalah orang-orang dekatnya Anas).

SBY mungkin berpandangan bahwa kemerosotan Demokrat lebih didasari pada kasus korupsi yang menimpa petinggi-petinggi partainya. SBY ingin membokongi realitas kegagalan pemerintahannya sebagai penyebab utama merosotnya kepercayaan rakyat kepada partai penguasa itu.

Jika saja benar bahwa uang hasil korupsi para petinggi Demokrat itu digunakan juga sebagai dana kolektif pemenangan Pemilu Demokrat ditahun 2009, maka SBY sedang menggali kuburan Partai Demokrat sendiri.





 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger