Demokrat
Sudah Gagal Sejak Awal Pendiriannya
Oleh : Randy Syahrizal
Demokrat, Partai Politik pemenang
pemilu 2009 ini sangat panik menanggapi hasil survey Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) yang menunjukkan pemerosotan elektabilitas, yakni berada
diurutan ke tiga setelah PDI Perjuangan. Kubu Cikeas ramai-ramai angkat bicara
dengan suara yang sama, yakni mengaitkan persoalan dugaan korupsi Hambalang
yang melibatkan Anas Urbaningrum sebagai problem pokok menurunnya hasil survey
tersebut.
Sebaliknya kubu Anas Urbaningrum sangat meragukan validitas hasil survey
tersebut. Terlepas dari keraguan itu, hasil survei ini ternyata mampu menyedot
perhatian sang ketua dewan pembina, yang notabene adalah Presiden RI. Seperti
kebakaran jenggot, SBY pun merespon serius, hingga mengambil langkah-langkah
darurat dengan mengeluarkan 5 poin pokok keputusan rapat Majelis Tinggi Partai.
Kepemimpinan harian partai diambil alih langsung oleh ketua Majelis Tinggi
Partai, dan memberikan kesempatan bagi Anas untuk menyelesaikan persoalan
dugaan korupsi Hambalang. Tidak hanya itu, Majelis Tinggi Partai juga meminta
seluruh fungsionaris dan struktur partai untuk menjalankan instruksi partai
yang tunduk dibawah kepemimpinannya. Kepanikan yang teramat serius berada di
poin 4 dalam keputusan tersebut, yakni akan memecat siapa saja yang tidak patuh
pada keputusan MTP. Bagi kubu Anas, tentunya ini sebuah ancaman serius.
Tentu saja dalam tradisi Partai Politik Modern, keputusan MTP adalah
keputusan yang inkonstitusional, karena mengambil kewenangan eksekutif DPP
dengan sepihak. DPP diangkat dan dipilih langsung didalam kongres, hanya
kongres ataupun KLB lah yang dapat menurunkannya. Namun masalah kisruh yang
akan saya bahas tentunya tidak hanya persoalan inkonstitusional semata, melainkan
problem yang lebih besar tentang ketidakpercaya dirian Partai Politik yang tak
membumi, tidak berbasis, dan bergantung pada satu tokoh, membuat Partai ini
berada pada posisi ”Galau segalau galaunya”
Mendefinisikan (ulang)
Partai Politik
Dalam realitas politik, Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan
cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam
Budiarjo).
Berpijak dari definisi diatas, harusnya
yang jadi ”dagangan” Partai Politik adalah Idiologi dan Program politiknya,
yang menjadi bahan propaganda utama dalam merebut hati dan pikiran rakyat untuk
menjadi simpatisan dan pendukung setia, hingga memberikan suara, dan
memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan (Pemilu).
Bisa jadi Demokrat sebagai Partai Politik
memang sudah salah sejak awal pendiriannya. Demokrat nyaris tidak punya pandangan
politik sebagai kompas pemandu jalannya Republik ini. Pendirian Partai Demokrat
semata-mata hanya untuk mendudukkan SBY sebagai Presiden RI setelah sebelumnya
kalah dalam sidang pemilihan Cawapres oleh MPR pada 2001 silam (baca Sejarah
Partai Demokrat/ http://www.demokrat.or.id/sejarah/.
Sangat disesalkan, saya justru tak menemukan Manifesto Politik dalam website
resminya.
Secara kasar, saya berani menyimpulkan
bahwa Partai Demokrat adalah suatu kesatuan kelompok elit yang berinvestasi
(modal) untuk memajukan dan memenangkan SBY (sebagai figur utama) dalam
pertarungan pemilu. Partai Politik hanya kendaraan (pragmatis) untuk
mengantarkannya pada pertarungan tersebut.
Dari satu sudut pandang yang utama ini,
Demokrat memang sudah gagal sejak awal menjadi Partai Politik yang baik. Partai
Demokrat lebih mirip realitas perkoncoan sekelompok elit yang ingin berkuasa
dengan membokongi kenyataan politik (programatik) Indonesia dengan segala
problematikanya, terlebih paska transisi 1998, dimana masyarakat Indonesia
mendambakan kehidupan yang lebih baik setelah kediktatoran Soeharto (Orde
baru).
Galau dengan Survei
Pemilu tentunya bukan barang baru dalam
realitas politik di Indonesia. Pemilu sudah ada sejak tahun 1955 dengan puluhan
Partai Politik. Tentunya partai-partai terdahulu (1955) tidak pernah risau akan
hasil survei, karena memang belum ada lembaga survei pada masa itu. Namun,
sepertinya Parpol-Parpol terdahulu faham betul bahwa politik adalah satu kesatuan
tindakan yang terorganisir dalam memenangkan perebutan kekuasaan (pemilu) dan
menggunakan kekuasaan tersebut untuk mewujudkan cita-cita politik partainya.
Berangkat dari kesadaran tersebut, Partai Politik menghimpun basis pendukungnya
dalam wadah-wadah politik partai, baik di struktur partai maupun organisasi
pendukung partai (underbouw).
Kita tahu tahun 1955 adalah masa
polarisasi politik dikalangan akar rumpun. Realitas tersebut membuktikan bahwa
kesadaran politik masyarakat sangat tinggi meskipun persoalan baca tulis masih
menjadi yang utama. Ada pendidikan politik yang kuat tentunya, baik melalui
kursus-kursus lisan, ataupun pagelaran budaya yang sarat akan politik partai
dan cita-cita partai. Lekra misalnya, lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan
PKI ini ambil bagian dalam memperkenalkan politik partainya dalam serangkaian
kegiatan seni dan budaya, begitu juga LKN yang berafiliasi dengan PNI.
Dengan pendidikan politik yang baik dan
kesadaran politik yang tinggi, basis dukungan partai dapat diukur. Mereka tidak
pernah khawatir akan hasil survei manapun karena mesin dan perangkat politik
partainya bekerja sehari-hari, ada atau tidak ada pemilu sekalipun. Kesetiaan
politik tersebut bisa saja masih melekat sampai hari ini. Kita tahu masih
banyak yang mengaku simpatisan Masyumi, PNI bahkan PKI.
Kemenangan Demokrat tentunya bukan
berbasis pada kesadaran politik rakyat yang tinggi seperti kemenangan PNI
dimasa lalu. Kemenangan Demokrat pada pemilu 2004 adalah buah dari ekspektasi
rakyat yang mendambakan perubahan namun buta sejarah dan gelap politik,
sehingga emosi lebih dominan memimpin nalar logika mereka. Ini akibat
depolitisasi selama 32 tahun kekuasaan Soeharto.
SBY nyaris tidak punya program Ekonomi
konsentrasi seperti Repelita di jaman ORBA. Akhirnya perekonomian diserahkan
pada pasar bebas dan Indonesia jatuh menjadi sumber pasar, sumber tenaga kerja
murah dan sumber bahan baku oleh kekuatan modal asing. SBY tidak mampu membuat
bangsa yang besar ini menjadi mandiri dan berdikari seperti yang diamanatkan
oleh para pendiri dan pejuang kemerdekaan. SBY tidak punya sikap atas
penjajahan modal didalam negeri, tak punya sikap atas penggusuran tanah oleh
korporasi modal asing, tak punya sikap dengan politik upah murah, tak punya
sikap atas monopoli kekayaan alam oleh asing dll. Namun rakyat yang buta
sejarah seperti tak melihat korelasi modal asing dengan kemiskinan yang mereka
alami secara berkepanjangan.
Terobosan baru yang dipraktekkan SBY
adalah Pemberantasan Korupsi melalui badan yang dibentuknya sendiri, yakni
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain digunakan untuk melibas lawan-lawan
politiknya yang korup, SBY juga menjadikan isu pemerintahan bersih sebagai dagangan
politiknya. Tentu saja pemerintahan bersih juga hal yang paling ditunggu-tunggu
oleh investor asing, yang sering kali mengeluh karena banyaknya pungli oleh pejabat-pejabat
pemerintahan. Namun ironis, pelaku korupsi yang tertangkap adalah orang-orang
disekeliling SBY sendiri, baik pengurus teras Partai Demokrat maupun pejabat
tinggi pemerintahannya. Yang terbaru justru mengaitkan keterlibatan sang ketua
umum Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi besar Hambalang.
Lembaga Survei Saiful Mujani (SMRC) pun
mengumumkan elektabilitas Demokrat yang merosot, sontak membuat panik para
petinggi Partai Demokrat termasuk SBY (utamanya kubu Cikeas). Kepanikan
tersebut justru sangat apolitis dan ahistory. Anas Urbaningrum menjadi
satu-satunya pihak yang dipersalahkan tanpa melihat sejarah. ”Demi
menyelamatkan Partai” adalah keyakinan kolektif kubu Cikeas yang berharap
survei Partainya bisa meningkat setelah menghakimi Anas. Sungguh sangat
apriori.
SBY sebagai Figur adalah
Sebab Awal dan Akhir
Awal dan akhir, Alpha dan Omega. Partai
yang berawal dari Figur akan berakhir dengan figur juga. Sesuati yang dimulai
dengan niat yang keliru akan berakhir dengan kegagalan yang sempurna. Sangat
benar adanya kalimat ini:”Semua berawal dari Niat”
Hasil survei SMRC adalah bagian dari
realitas politik. Galau menghadapi survei adalah bukti dari kegagalan Demokrat
menjadi Partai Politik. SBY gagal menempatkan realitas politik yang menimpa
partainya dengan jalan keluar yang justru apriori dan dapat menuai serangan
balik.
Kasus korupsi yang melibatkan
petinggi-petinggi Demokrat bermuara pada Cost Politik yang tinggi. Tertangkapnya
Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, dan kasus lain yang booming
sebelumnya yakni Century yang melibatkan Sri Mulyani dan Budiono juga terkait
masalah pembiayaan politik 2009. Sindikat ini seperti bekerja untuk memenuhi
Cost yang tinggi. Yayasan yang dikelola oleh keluarga Cikeas (Baca Gurita
Cikeas/George Adi Tjondro) juga disinyalir memberikan kontribusi yang besar
bagi pemenangan SBY.
Sejak awal periode ke 2 pemerintahan
SBY, kasus korupsi yang menimpa petinggi Demokrat selalu dikaitkan dengan
pembiayaan pemenangan Partai Demokrat. Sejak awal periode kedua, kasus korupsi
memang lebih dominan dikaitkan sebagai kegagalan pemerintahan SBY, yang gagal
mewujudkan Pemerintahan Bersih, dan sebaliknya malah tersandung kasus korupsi.
Dengan mengorbankan Anas, SBY sepertinya
ingin membuktikan bahwa dia dan kubu Cikeas adalah kubu yang bersih dari
korupsi dan tak ingin partainya tercemar oleh kader-kader yang korup (kader
yang sudah tertangkap adalah orang-orang dekatnya Anas).
SBY mungkin berpandangan bahwa
kemerosotan Demokrat lebih didasari pada kasus korupsi yang menimpa
petinggi-petinggi partainya. SBY ingin membokongi realitas kegagalan
pemerintahannya sebagai penyebab utama merosotnya kepercayaan rakyat kepada
partai penguasa itu.
Jika saja benar bahwa uang hasil korupsi
para petinggi Demokrat itu digunakan juga sebagai dana kolektif pemenangan
Pemilu Demokrat ditahun 2009, maka SBY sedang menggali kuburan Partai Demokrat
sendiri.