Sajak buat si kurus

Hai kau yang bertubuh kurus
Tubuhmu tak ubah selembar triplek
Dan sperti tak tahu diri
Mulutmu terus nyrocos soal situasi

Dan aku seperti tergelitik
Kutatap kau duduk tak bersandar
Alahmaakkk…aku benar-benar ingin menaruh sandaran
Dipunggungmu…

Gelitik itu berhenti
Kau menatap seperti ingin menelanku
Sekejap aku bergumam
“Serius benar orang pucat ini”

Katamu perlawanan itu harus
Hari ini dan esok hari

Lagi lagi kau jabarkan situasi
Dan aku mulai mengerti


Medan, 21 Agustus 03
Randy Syahrizal
 

Perlukah Sejarah Nasional Indonesia?

SIKAP penguasa kita yang menjadi perdebatan laten adalah turut mencampuri sejarah orang lain. Lalu memaksakan sejarahnya sebagai dominasi atas sejarah orang lain itu. Begitu seterusnya, tiap pergantian rezim kekuasaan pasti diikuti serangkaian kritik terhadap penulisan sejarah konvensionalnya. Apakah dengan demikian sejarawan akademis justru akan tampil sebagai rezim baru yang akan menebarkan tirani memoria? Yang selalu menulis tanpa ada jaminan obyektivitas yang konsisten? Karena tiap orang pasti takut menulis obyektif di bawah todongan pistol.

PENULISAN sejarah pada masa Soeharto atau kerap disebut rezim Orde Baru (Orba) dilihat selalu dekat dengan penguasa. Penonjolan peran militer dan pengultusan personal sebagai orang yang paling berjasa bagi negara memenuhi buku-buku sejarah dengan label "standar nasional". Dalam hal ini, interpretasi penulis sejarahnya tidak bisa disalahkan begitu saja.

Labelisasi itu sejak awal dilukiskan sebagai stigma positif berlakunya nasionalisme baru Indonesia. Sejarawan akademis sebagai pilar penting penulisan sejarah terlibat aktif memaparkan interpretasinya dan menyuguhkan desain konstruksi memoria bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah militer. atau paling tidak mempunyai masa lalu yang berisi para pecundang, kriminal, pembunuhan, dan pengkhianatan.

Herbert Butterfield dalam buku The Whig Interpretation of History (1931) mencoba memberi batasan penilaian yang bisa diberikan oleh sejarawan. Dia mencatat, lepas dari kesalahan penafsiran, sejarawan bertugas untuk memberi argumentasi yang lebih kepada upaya kritik dan moralitas serta menjauhi hasrat untuk menghakimi.
Ilham positif yang bisa diterimakan dari "debat kusir" seputar interpretasi adalah kesalahan sejarawan dalam memberi tujuan dari interpretasi sejarah. Jika sejarah obyektif adalah peristiwa (moment) itu sendiri, maka sejarah subyektif berdekatan dengan penafsir (interpreter) yang memberi makna bagi historiografi (penulisan sejarah). Kita masih belum biasa menempatkan sejarawan yang berstatus merdeka dan bebas untuk menulis apa yang perlu dituliskan.

Dalam masa Orba, yang paling bertanggung jawab terhadap penulisan sejarah nasional adalah sejarawan akademis. Beranjak dari pengertian, sejarah obyektif harus tunggal dan negara (penguasa) berhak mendistribusikannya demi kepentingan ideologis atau segala sesuatu yang membutuhkan sejarah sebagai legitimasinya.

Sejarah dibawa untuk melanjutkan tradisi hegemonik dari pendahulunya, yakni mitologi. Konsep terakhir ini adalah pilar tegaknya pusat-pusat kekuasaan. Ada benarnya jika dikatakan, sejarawan Orba hanya merekonstruksi mitos kepahlawanan (epos), bukan menyajikan sebuah rekonstruksi sejarah.

TUNTUTAN untuk mereinterpretasi sejarah nasional merupakan imbas yang tidak terelakkan. Tesis Ralph Waldo Emerson, There is Properly No History; Only Biography agaknya lebih cocok dengan rentang perjalanan sejarah nasional Indonesia. Sejak dimulainya penulisan sejarah istana-centris pada masa kerajaan-kerajaan, sejarawan selalu dekat dengan kekuasaan. Demikian juga dengan historici kolonial. Mereka akan menulis orang-orang di seputar kekuasaan dan reputasi baiknya tanpa kritik. Belum ada sejarawan amatir yang diakui sebagai bagian besar optimalisasi yang mandiri dari penulisan sejarah dan menulis keadaan masyarakat secara umum yang diakui setara.

Tragisnya, sampai hari ini sejarawan akademis tidak pernah merasa bersalah apalagi menangisi kematian kebebasan menafsirkan sejarah obyektif bangsanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan setiap personal. Sejarawan senior, Kuntowijoyo, dalam pembuka buku Metodologi Sejarah menandaskan, sejarawan adalah penulis sejarah! Tidak peduli dia bekerja sebagai apa. Kenyataan ini sering diingkari karena setiap penulisan sejarah selalu didominasi sejarawan akademis yang terpayungi otoritas keilmiahan sampai kenegaraan.

Sejak seminar nasional sejarah pertama dekade 1960-an, yang kedua (1970), sampai ketiga (1981), isu besar yang dibahas adalah pencarian bentuk kesepahaman penulisan sejarah nasional yang bisa mencakup semua titik-titik puncak sejarah lokal yang berdimensi nasional. Pada saat yang sama juga dirumuskan berbagai macam urusan metodologi dan aneka pendekatan yang lebih mutakhir dalam penulisan ilmu sejarah. Hasilnya adalah buku sejarah nasional 7 jilid yang kini dikritik habis-habisan, bahkan oleh pihak-pihak yang dulu mendukungnya.

Titik tolak usulan untuk mereinterpretasi sejarah nasional yang awalnya datang dari kelompok "pinggiran" dan "terpinggirkan" oleh kekuasaan Orba, tidak akan banyak membantu. Selama mentalitas sejarawan yang mengusung dominasi penulisan sejarah di puncak menara gading atas nama akademis dilanggengkan, bisa dikhawatirkan sejarawan akan tetap dekat dengan kekuasaan. Tidak ada upaya kritis untuk menafsirkan peristiwa sejarah dengan leluasa, merdeka, dan variatif.

Setiap negara mempunyai kepentingan untuk menegaskan eksistensi historisnya dengan membuat buku standar. Jika unsur seperti nasionalisme amat kuat pada penulisan sejarah awal kemerdekaan, tidak perlu dimungkiri, nasionalisme membuahkan kedekatan sejarawan dengan kekuasaan. Sejarawan dan penguasa mempunyai tugas sama, yakni menghakimi.

Tuntutan reinterpretasi sejarah nasional pascareformasi 1998 akhirnya membuahkan hasil dengan upaya revisi buku standar Sejarah Nasional Indonesia yang melibatkan ratusan sejarawan. Meski proyek ini belum selesai, namun upaya sosialisasi kepada masyarakat luas belum sepenuhnya terwujud. Penulisan itu terkesan eksklusif karena semua tim berdiri dan dibentuk oleh rezim yang berkuasa.

Dalam negara demokrasi, kekuatan-kekuatan sipil seharusnya lebih optimal. Negara hanya sebagai fasilitator untuk menjembatani pemenuhan kebutuhan warga negaranya untuk bertutur tentang masa lalunya. Pengembangan dan penguatan wahana penulisan sejarah di luar sejarawan akademisi ini sudah banyak diterapkan di negara-negara dengan sistem demokrasi yang mapan. Lebih tepat dinyatakan, negara akan mendukung setiap usaha historiografi alternatif.

HAMBATAN terbesar di Indonesia adalah rapuhnya pemahaman mengenai arti penting sejarah sebagai bagian kebutuhan pendewasaan masyarakatnya. Beberapa waktu lalu sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mengusulkan dibentuknya Komisi Nasional (Komnas) Sejarah yang berfungsi sebagai komisi independen yang berwenang mengurusi persoalan sejarah, mencakup reinterpretasi, pelurusan sejarah, penyelidikan untuk kepentingan rekonsiliasi yang berada di bawah presiden.

Menurut saya, gagasan ini harus diletakkan dalam posisi yang tegas dan didukung aspek legalitas bahwa kekuasaan tidak berhak mengintervensi kerja-kerja Komnas Sejarah. Tetapi apakah bisa? Karena di saat yang sama ada tumpang tindih tugas dan wewenang antara Komnas HAM dan KKR.

Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.

Akhirnya, sejarah nasional bisa diartikan sebagai rangkuman sejarah masyarakat dalam tingkatan lokal yang tertulis dengan lebih beragam. Sejarawan akademis tidak lagi memegang proses tunggal normalisasi sejarah nasional dan interpretasinya yang bersifat menghakimi.

Sejarawan akan kembali menjadi milik masyarakat, bukan negara, dan setiap penulisan sejarah dalam semua level akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk tujuan universal penulisan sejarah.

Bukan sebagai hegemoni penguasa, tetapi sebagai jati diri personal, masyarakat lebih-lebih sebuah bangsa. Sehingga cukup diperlukan Sejarah Indonesia saja.
Sumber Data http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/sejarah/sejarah1.htm
 

Rakyat tanpa Sejarah, Sejarah tanpa Rakyat

Rakyat tanpa Sejarah, Sejarah tanpa Rakyat

PAULO Freire pernah menulis, adaptasi adalah tindakan yang paling maksimal bagi mereka yang "kalah". Beradaptasi, meski dalam banyak kasus harus ditempuh dengan cara keras, hakikatnya hanyalah suatu bentuk yang paling lunak untuk mengeliminasi diri, menghilangkan keberdirian, dan menumpas kemandirian. Mereka yang memilih untuk menempuh cara beradaptasi adalah mereka yang sadar maupun tidak telah menyerahkan diri dan kemandiriannya pada keadaan yang belum tentu sesuai dengan keinginan kemanusiaannya.

Freire bisa jadi benar, hanya barangkali bagi sebagian besar orang Indonesia, pandangan tersebut justru cenderung "menyakitkan". Betapa tidak, hingga saat ini, kita masih berada pada fase "beradaptasi". Fase ini kita tempuh dengan sangat susah payah, bahkan hingga luka parah. Dalam analogi Freire, masyarakat Indonesia kira-kira berada pada fase antara "masyarakat tertutup" (closed society) menuju "masyarakat terpecah", namun belum menjadi "masyarakat terbuka".

Kesadaran masyarakatnya pun masih belum beranjak dari kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya, menuju kesadaran naif yakni kesadaran yang lebih melihat "aspek indivudu-individu manusia" menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Kita belum sepenuhnya masuk dalam kategori kesadaran kritis, yakni kesadaran dalam melihat permasalahan secara sistematis dan terstruktur.

Lihat saja, demi beradaptasi dengan pergaulan internasional, petinggi-petinggi Republik yang dimerdekakan dengan darah dan peluh rakyat ini, di masa lalu pernah bersedia mengorbankan ratusan ribu hingga jutaan nyawa rakyatnya sendiri agar bisa duduk sejajar dengan negara-negara lain yang kabarnya lebih maju. Tidak hanya itu, kita bersedia menerima pendiktean dari para pemberi utang, hanya untuk mendapat predikat "negara pengutang yang paling rajin bayar utang". Demi mencapai kata "tinggal landas", kita bersedia meliberalkan sistem perbankan kita, meskipun justru harus tersungkur dalam krisis keuangan.

Namun perilaku itu bukan hanya milik para petinggi. Lihat saja keseharian diri kita sendiri. Sebagai contoh, penulis belum pernah membaca pemberitaan tentang adanya gerakan masyarakat yang menolak klaim MTV atas anak-anak muda Indonesia dicap "generasi anak nongkrong MTV". Yang penulis lihat justru gerakan masyarakat menolak penerbitan "Playboy Indonesia". Mengapa klaim MTV "diterima", namun penerbitan "Playboy" ditolak? Bukankah keduanya memiliki substansi yang sama?

Mengapa kita mempersoalkan aksi 42 warga Papua yang meminta suaka ke Australia, sementara ratusan ribu lainnya sebenarnya sudah putus harapan hidup di Indonesia dan memilih bekerja di luar negeri meski harus mendapatkan siksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan, bahkan diperdagangkan tak ubahnya seperti budak belian? Lagi-lagi, bukankah substansinya sama?

Keadaan seperti di atas tentu tidak memuaskan kita. Demikian pula bagi Freire. Dalam berbagai tulisannya, Freire mengemukakan ajakan pada semua orang --khususnya mereka yang disebut Freire sebagai "kaum tertindas"-- untuk memilih cara yang paling berwibawa. Cara itu dirangkumnya dalam istilah "berintegrasi". Maksudnya, kita tidak harus hanya berhenti pada mengetahui keadaan. Lebih jauh dari itu, memahaminya, dan berbuat untuk terus mengubahnya. Dengan begitu, kita tidak akan kehilangan kemerdekaan. Bahkan tidak hanya itu, kita pun dapat menegakkan kemanusiaan.

Namun lagi-lagi kita mungkin akan menyatakan bahwa saran Freire benar, namun tidak aplikatif. Bila integrasi mensyaratkan pengetahuan keberdirian dan tingkat perkembangan kita sendiri, bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi bila sarana untuk itu tidak tersedia secara memadai. Sarana itu tidak lain adalah pengetahuan sejarah yang menjadi impuls untuk menumbuhkan kesadaran sejarah.

Sejarah, dengan meminjam pernyataan Pramoedya Ananta Toer, adalah rumah bagi setiap orang melanglangi dunia. Jika seseorang tidak mengerti sejarahnya, sama dengan tidak memahami asalnya dan tidak akan mengerti tujuannya. Untuk mencapai tujuan itu, Bapak Sejarawan modern Leopold von Ranke pernah berujar, dengan menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi (wie es eigentlich gewesen), historiografi diharapkan bisa menunaikan tugas untuk "mengadili masa lalu, mengajar masa kini, untuk kepentingan masa yang akan datang".

Masalahnya, tulisan-tulisan sejarah (historiografi) yang berkembang di negeri ini memang tidak lebih dari prosopografi dari "orang-orang besar" yang pernah hidup dalam momen-momen besar di masa lalu. Dalam perspektif Sartono Kartodirdjo (1982), umumnya karya sejarah Indonesia itu masih berada dalam suasana kolonial-sentris dan istana-sentris. Meskipun gairah penulisan dan penerbitan karya-karya sejarah tengah mengalami gelombang pasang, namun secara esensi sedikit sekali kemajuan-kemajuan --khususnya secara metodologi-- yang bisa dilihat dan dirasakan secara inklusif.

Hingga sekarang, karya-karya sejarah Indonesia masih saja dihantui oleh kontradiksi-kontradiksi yang memicu ketegangan antara sejarah dengan masa lalu. Sepertinya, kontradiksi tersebut masih belumlah usai. Setidaknya, seperti diakui Prof. Dr. Taufik Abdullah --Ketua Tim Penulisan Sejarah Nasional Indonesia-- yang secara terbuka menyatakan bahwa buku sejarah tidak dimaksudkan untuk meluruskan sejarah.

Suasana ini sebenarnya telah secara terbuka dikritik dalam "Seminar Nasional Sejarah" tahun 1954 yang mengeluarkan beberapa resolusi penting dalam penulisan sejarah, seperti diperkenalkannya prinsip-prinsip keilmiahan sejarah untuk mengikis pandangan-pandangan romantis, dan dekolonisasi historiografi sebagai antitesis dari kolonial-sentris dan istana-sentris dalam historiografi. Sesungguhnya, resolusi tersebut memiliki konsekuensi metodologis yang cukup kompleks, namun tidak banyak yang memahaminya.

Alhasil, seperti dirangkum oleh Henk Schulte Nordholt dari KITLV Leiden dalam sebuah simposium mengenai penulisan sejarah Indonesia tahun 2004 lalu, sejarah --tepatnya historiografi-- Indonesia belum mengalami fase yang disebut dengan "dekolonisasi". Historiografi Indonesia masih cenderung berada dalam atmosfer kolonial dan istana sentris dengan konsekuensi terciptanya "sejarah tanpa rakyat" (history without people) yang memunculkan keadaan rakyat yang seolah tidak memiliki basis sejarah (people without history).

Akibatnya, tidak salah bila rakyat cenderung absen dalam berbagai momentum yang menentukan. Bahkan antusiasme massa dalam momentum-momentum kolosal seperti pemilu tidak bisa dijadikan barometer kesadaran politik rakyat, ketika dominasi politik uang atas politik akal sehat masih belum tergantikan. Inilah faktor yang menentukan derasnya eradikasi kemerdekaan sehingga penjajahan kembali hadir secara vulgar tanpa perlawanan yang berarti.

Inilah yang menyebabkan bangsa kita dalam percaturan internasional ibarat pemain cadangan dalam permainan sepak bola. Duduk di pinggir lapangan sambil mengamati pertandingan, sambil menunggu giliran untuk dimainkan. Terpaksa memberikan pertandingan-pertandingan besar pada pemain utama sambil sesekali berharap, pelatih mengubah strategi atau ada pemain inti yang cedera. Masalahnya, apakah kita akan sudah memastikan masa depan kita hanya sebagai "pemain cadangan"? Atau sudah berpikir untuk menjadi "pemain utama"?***

Oleh: Oleh SYAMSUL ARDIANSYAH

Penulis, Alumni Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Kepala Departemen Riset dari Institute for National and Democratic Studies (INDIES).
 

Siswa SMAN 4 Minta Gubernur Sumut Turun Tangan

Selasa, 21 Juli 2009 | 15.00 WIB

BERDIKARI ONLINE, Medan : Puluhan orang dari Poros Kota melakukan aksi di Kantor Gubernur Sumatera Utara. Mereka merupakan gabungan dari murid SMAN 4 Siantar, Alumni, Wali dan orang tua, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), dan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI).

Dalam aksinya, mereka menuntut agar pemerintahan propinsi turun tangan untuk menghentikan proses ruislag SMAN 4 Siantar, serta melakukan pencopotan terhadap Walikota Siantar, RE Siahaaan. Selain itu, mereka meminta agar asset sekolah yang telah disita Pemkot agar segera dikembalikan kepada sekolah.

Setelah menggelar orasi secara bergantian, beberapa perwakilan peserta aksi diterima berdialog dengan perwakilan Pemerintah Provinsi. Pihak gubernur mengaku kesulitan untuk mengintervensi hal ini, karena sekolah tersebut merupakan asset dari Pemkot Siantar.

Sementara itu, pihak sekolah menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses ruislag ini. misalnya, ada aturan bahwa asset yang bernilai diatas 10 milyar harus mendapat persetujuan presiden, jika mau dipindah tangankan. Sementara, asset SMAN 4 Siantar ditaksir berkisar 34 Milyar. Jadi, pihak walikota Siantar sudah melakukan penyalah-gunaan wewenang.

Pihak Gubernur berjanji akan mengambil langkah-langkah penting untuk mengatasi persoalan ini. Pihaknya berjanji akan segera menyurati Walikota Siantar untuk mempertanyakan beberapa hal mengenai kasus ini.


ULFA ILYAS
 

Kubu Neolib Menghalalkan Segala Cara




Minggu, 5 Juli 2009 | 19.41 WIB

BERDIKARI ONLINE, Jakarta : Sedikitnya 60 orang aktifis dari Sukarelawan Perjuangan Rakyat untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN) menggelar aksi di persimpangan Tol Reformasi, makasar, minggu (05/07).

Dalam aksinya, massa memprotes sikap kubu capres dan cawapres pro neoliberal yang terkesan menghalalkan segala cara, seperti kampanye satu putaran, penggunaan isu rasisme, hingga tanda-tanda kecurangan dalam pemilu. selain itu, mereka juga mengutuk kasus pemukulan wartawan di Papua dan Pontianak beberapa waktu yang lalu.

Menurut Anshar manrulu, koordinator aksi ini, pemilu seharusnya menjadi sarana untuk mengartikulasikan kehendak politik rakyat, bukan memaksakan sebuah pilihan politik. Dalam beberapa kasus, menurut dia, kubu neoliberal begitu “ngotot” memaksakan kemenangan di pihak mereka, seperti tercermin dalam iklan Pilpres satu putaran. “kubu neolib sedang mempraktekkan cara-cara kotor untuk melanjutkan kekuasaanya. Ini harus kita lawan bersama-sama,” ujarnya.

Anshar mengatakan, intentasitas kecurangan juga akan tinggi dalam pilres ini, sebab ada pihak atau kubu yang terlalu memaksakan kemenangan politik, tanpa menghiraukan rambu-rambu demokrasi. Tanda-tanda kecurangan ini, menurut dia, sangat nampak dalam beberapa fakta seperti persoalan DPT yang belum tuntas, pengurangan jumlah TPS, iklan sosialisasi pilpres KPU yang mengarahkan pencontrengan kepada pasangan tertentu, serta spanduk sosialisasi KPU yang mendukung satu putaran.

“Kadar demokratis dalam pilpres ini akan merosot. Penyebabnya, KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak bisa menjadi lembaga yang netral, dan tunduk kepada pilihan politik rakyat,” tegasnya.

Untuk itu, dalam aksinya, SPARTAN mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengontrol dan mengawasi pelaksanaan pilpres 2009. selain itu, mereka juga mendorong rakyat untuk tetap memperkuat persatuan dan perjuangan menghadapi neoliberalisme.

ULFA ILYAS
 

Dunia Ketiga Harus Bersatu Atau Mati



Fidel Castro

Pengelompokan negeri-negeri dunia ketiga di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Kelompok-77 (G77), yang dibentuk tahun 1964 dan kini berjumlah 133 negeri. Pada pertengahan April tahun 2000, bangsa-bangsa yang mewakili mayoritas rakyat sedunia ini bertemu di Havana, Kuba, dan mengeluarkan proklamasi yang sangat kritis terhadap kebijakan Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pidato berikut oleh Presiden Kuba saat itu Fidel Castro disambut dengan tepukan tangan yang menggeluruh pada saat KTT G77, tapi pers di AS tidak meliput pidato Castro maupun kritik lainnya yang berasal dari G77.

Belum pernah umat manusia memiliki potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian hebatnya dengan kapasitas yang luar biasa untuk menghasilkan kekayaan dan kesejahteraan, namun belum pernah pula terdapat kesenjangan dan ketaksetaraan yang begitu mendalam di dunia.

Keajaiban teknologi yang telah menyusutkan planet ini dalam hal komunikasi dan jarak, kini hadir bersamaan dengan jurang yang semakin lebar memisahkan kekayaan dan kemiskinan, pembangunan dan ketertinggalan.

Globalisasi adalah realitas obyektif yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal yang sama - planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.

Sejumlah kecil minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan seni budaya.

Sejumlah besar mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakan ke dalam lambung kapal yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.

Tentunya, kapal ini mengangkut terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah es. Bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam di dalamnya.

Para kepala negara dan pemerintahan yang bertemu di sini, yang mewakili mayoritas besar manusia yang mengalami penderitaan, tidak saja berhak tapi juga berkewajiban mengambil kepemimpinan dan mengoreksi arah perjalanan yang menuju bencana. Adalah tugas kita untuk mengambil tempat kita yang selayaknya sebagai pemimpin kapal dan menjamin bahwa semua penumpang dapat melakukan perjalanan dalam kondisi solidaritas, setara dan adil.

Dogma Pasar Bebas

Selama dua dekade, Negeri Dunia Ketiga telah berulangkali mendengarkan diskursus tunggal yang simplistik, sementara hanya terdapat satu kebijakan tunggal. Kita telah diberitahu bahwa pasar yang terderegulasi, privatisasi maksimum dan penarikan-diri negara dari aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip terampuh yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.

Dalam dua dekade terakhir, segaris dengan ini, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan transnasional besar yang diuntungkan oleh kebijakan di atas dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah merancang tatanan ekonomi dunia yang paling merugikan kemajuan negeri-negeri kita dan paling tidak berkesinambungan dalam melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.

Globalisasi telah dicengkram erat oleh pola-pola neoliberalisme; maka, bukanlah pembangunan yang menjadi global melainkan kemiskinan; bukanlah saling menghormati kedaulatan nasional negara-negara kita tapi pelanggaran sikap saling menghormati tersebut; bukannya solidaritas antara rakyat tapi sauve-qui-peut [masing-masing orang memikirkan dirinya sendiri] dalam kompetisi tak adil yang berlangsung di pasar.

Dua dekade dari apa yang disebut dengan penyesuaian struktural neoliberal telah memberikan kita kegagalan ekonomi dan bencana sosial. Adalah tugas para politikus yang bertanggung-jawab untuk menghadapi situasi yang menyulitkan ini dengan mengambil keputusan yang tak dapat dihindarkan dan kondusif untuk menyelamatkan Dunia Ketiga dari gang buntu.

Kegagalan ekonomi sudah terbukti. Di bawah kebijakan neoliberal, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan global antara 1975 dan 1998 yang besarnya tidak mencapai setengah tingkat pertumbuhan yang diraih antara tahun 1945 dan 1975 dengan kebijakan regulasi pasar Keynesian dan partisipasi aktif negara dalam ekonomi.

Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan dengan ketat menurut doktrinnya, pertumbuhan ekonomi dalam tahap neoliberal lebih rendah daripada yang dicapai dalam kebijakan pembangunan negara sebelumnya. Setelah Perang Dunia II, Amerika Latin tidak memiliki utang tapi sekarang kita berutang sebesar hampir $1 trilyun. Inilah jumlah utang per kapita terbesar di dunia. Kesenjangan pendapatan antara miskin dan kaya di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia. Terdapat lebih banyak rakyat miskin, menganggur, dan lapar di Amerika Latin pada saat ini dibandingkan pada saat mana pun dalam sejarahnya.

Di bawah neoliberalisme, ekonomi dunia tidaklah berkembang lebih cepat dalam hal-hal yang riil; justru terjadi lebih banyak ketakstabilan, spekulasi, utang luar negeri dan pertukaran yang tidak adil. Begitu juga, terdapat kecenderungan lebih besar bagi lebih sering terjadinya krisis finansial, sementara kemiskinan, ketaksamaan dan jurang antara negeri Utara yang kaya dan negeri Selatan yang jadi korban penjarahan terus melebar.

Krisis, ketakstabilan, gejolak dan ketakpastian merupakan kata-kata yang paling umum digunakan dalam dua tahun terakhir untuk menggambarkan tatanan ekonomi dunia.

Deregulasi yang menyertai neoliberalisme dan liberalisasi rekening kapital memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap ekonomi dunia di mana berkembang subur spekulasi mata-uang asing dan pasar derivativ; sementara transaksi harian yang kebanyakan spekulatif, besarnya tak kurang dari 3 trilyun dolar AS.

Negeri-negeri kita dituntut untuk lebih transparan dalam informasi dan lebih efektif dalam pengawasan bank tapi institusi finansial seperti hedge funds tidak perlu membuka informasi tentang aktivitasnya, dan sepenuhnya tak teregulasi dan menjalankan operasi yang melebihi semua cadangan devisa yang dimiliki oleh negeri-negeri Selatan.

Dalam atmosfir spekulasi yang tak terkendali, pergerakan kapital jangka-pendek membuat negeri-negeri Selatan rentan terhadap ancaman di masa depan. Dunia Ketiga dipaksa untuk menahan sumber daya finansialnya dan semakin banyak berhutang untuk mempertahankan cadangan devisa mata uang asing dengan harapan dapat digunakan untuk bertahan dari serangan spekulator. Sebesar 20% pemasukan kapital dalam beberapa tahun belakangan ditahan sebagai cadangan devisa tapi mereka tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut sebagaimana dibuktikan dalam krisis finansial baru-baru ini di Asia Tenggara.

Saat ini, cadangan devisa Bank-bank Sentral di dunia sebesar 727 milyar dolar AS berada di Amerika Serikat. Ini menciptakan paradoks bahwa dengan cadangan devisanya, negeri-negeri miskin memberikan pendanaan murah berjangka-panjang kepada negeri terkaya dan terkuat di dunia, padahal cadangan devisa tersebut dapat diinvestasikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Tuntut Pembubaran IMF

Bila Kuba berhasil menjalankan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, ilmu pengetahuan, olah-raga dan program-program lainnya dengan sukses, yang mana hal ini tidak lagi dipertanyakan oleh dunia, meskipun selama empat dekade diblokade ekonomi, dan melakukan revaluasi mata uangnya terhadap dolar AS sebanyak tujuh kali dalam lima tahun terakhir, itu berkat posisi istimewanya sebagai non-anggota Dana Moneter Internasional (IMF).

Suatu sistem finansial yang dengan paksa menahan mobilisasi sumber daya yang demikian besar, yang amat dibutuhkan oleh negeri-negeri itu untuk melindungi diri dari ketakstabilan yang diakibatkan oleh sistem tersebut, yang menyebabkan rakyat miskin mendanai kaum kaya - itu harus dihapuskan.

Dana Moneter Internasional adalah organisasi yang melambangkan sistem moneter saat ini dan Amerika Serikat menikmati hak veto terhadap segala keputusannya. Terkait krisis finansial terakhir, IMF menunjukkan ketidakmampuan dalam membayangkan apa yang akan terjadi dan telah menangani situasi dengan ceroboh. Ia menerapkan klausa persyaratan yang melumpuhkan kebijakan pembangunan sosial pemerintah sehingga menciptakan bencana domestik yang serius dan menghalangi akses terhadap sumber daya yang penting justru ketika mereka sedang paling dibutuhkan.

Sudah saatnya negeri-negeri Dunia Ketiga menuntut keras pembubaran institusi yang tidak memberikan stabilitas kepada ekonomi dunia maupun berfungsi memberikan dana pencegahan kepada peminjamnya untuk menghindari krisis likuiditas; sebaliknya, ia justru melindungi dan menolong para pemberi pinjaman.

Di manakah letak kerasionalan dan etika dari suatu tatanan moneter internasional yang memungkinkan segelintir teknokrat, yang posisinya bergantung pada dukungan Amerika, untuk merancang di Washington program-program ekonomi yang identik untuk diterapkan ke dalam beragam negeri untuk menghadapi problem-problem spesifik Dunia Ketiga?

Siapa yang bertanggung-jawab ketika program-program penyesuaian menghadirkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan mendestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia dan alam yang besar, seperti kasus Indonesia dan Ekuador?

Adalah suatu keharusan yang krusial bagi negeri-negeri Dunia Ketiga untuk mengupayakan pembubaran institusi sinister tersebut, dan filosofi yang dipertahankannya, untuk digantikan dengan badan regulasi finansial internasional yang akan beroperasi atas landasan demokratik di mana tak satu pun memilik kekuasaan veto; sebuah institusi yang tak hanya mempertahankan para kreditor kaya dan menerapkan syarat-syarat yang mengintervensi, tapi akan memungkinkan penerapan regulasi pasar finansial untuk menghentikan spekulasi liar.

Cara yang mungkin untuk ini adalah menerapkan - bukannya pajak sebesar 0,1 persen terhadap transaksi finansial spekulatif sebagaimana diusulkan dengan brilian oleh Mr Tobin - tapi pajak sebesar minimum 1 persen yang akan memungkinkan pembentukan dana yang besar, yang melebihi $1 trilyun pertahunnya untuk menggalakkan pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif di Dunia Ketiga.

Utang Dunia Ketiga Sudah Dilunasi

Utang-utang luar negeri dari negeri kurang berkembang telah melebihi $2,5 trilyun dan dalam tahun 1990an itu telah bertambah dengan lebih berbahaya dibandingkan tahun 1970an. Sebagian besar dari utang baru tersebut dapat dengan mudah berpindah tangan dalam pasar sekunder; ia saat ini lebih tersebar luas dan lebih susah untuk dijadwal ulang.

Sebagaimana telah kami katakan sejak 1985: Utang tersebut sudah dilunasi, bila kita memperhatikan cara pembayarannya, peningkatan yang cepat dan semena-mena terhadap tingkat suku bunganya dalam dolar AS pada tahun 1980an dan penurunan harga komoditas dasar - suatu sumber pendapatan fundamental bagi negeri-negeri berkembang. Utang tersebut terus memakan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan di mana uang dipinjam untuk membayar bunga dari utang lama.

Saat ini, terlihat lebih jelas bahwa utang bukanlah persoalan ekonomi tapi politik, oleh karena itu, ia membutuhkan solusi politik. Tidaklah mungkin menutup mata dari kenyataan bahwa solusi terhadap problem ini harus berasal dari mereka yang memiliki sumber daya dan kekuasaan, yakni, negeri-negeri kaya.

Inisiatif Pengurangan Utang Negeri-negeri Miskin (Heavily Indebted Poor Countries Debt Reduction Initiative - HIPC) menunjukkan nama yang besar tapi hasil yang kecil. Ia hanya dapat digambarkan sebagai upaya konyol untuk menghapus 8,3 persen total utang negeri-negeri Selatan. Hampir empat tahun setelah penerapannya hanya empat di antara tiga-puluh-tiga negeri termiskin telah menyusuri proses yang rumit hanya untuk menghapus angka yang tak seberapa sebesar $2,7 milyar, yakni sepertiga dari jumlah uang yang dibelanjakan Amerika Serikat untuk kosmetik tiap tahunnya.

Saat ini, utang luar negeri adalah rintangan terbesar bagi pembangunan dan bom waktu yang siap meledakkan fondasi ekonomi dunia saat krisis ekonomi.

Sumber daya yang dibutuhkan sebagai solusi yang mengarah pada akar permasalahan ini tidaklah besar bila dibandingkan dengan kekayaan dan pembelanjaan negeri-negeri kreditor. Tiap tahun $800 milyar digunakan untuk membiayai persenjataan dan pasukan, bahkan setelah usai Perang Dingin, sementara tak kurang dari $400 milyar dihabiskan untuk narkotika, dan milyaran lainnya untuk publisitas komersial yang menciptakan alienasi yang sebanding dengan narkotika.

Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, pada kenyataannya, utang luar negeri Dunia Ketiga adalah tak dapat dibayarkan dan tak dapat dipungut.

Perdagangan Dunia

Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia adalah alat dominasi. Di bawah globalisasi neoliberal, perdagangan telah memelihara ketimpangan dan menjadi ruang penyelesaian sengketa antara negeri-negeri maju dalam upaya mereka mengontrol pasar pada saat ini maupun masa depan.

Diskursus neoliberal menyarankan liberalisasi komersial sebagai formula terbaik dan satu-satunya bagi efisiensi dan perkembangan. Sementara neoliberalisme terus menerus mengulangi diskursusnya tentang peluang yang diciptakan oleh pembukaan perdagangan, partisipasi negeri-negeri miskin dalam ekspor dunia menurun pada tahun 1998 dibandingkan tahun 1953. Brasil dengan area 3,2 juta mil persegi, penduduk sebesar 168 juta dan nilai ekspor sebesar $51,1 milyar pada 1998, ekspornya lebih sedikit dibandingkan Belanda yang berarea 12.978 mil persegi, dengan populasi 15,7 juta dan nilai ekspor sebesar $198,7 pada tahun yang sama.

Liberalisasi perdagangan pada intinya terdiri atas penyingkiran instrumen proteksi negeri-negeri Selatan secara sepihak (unilateral). Sementara, negeri-negeri berkembang tidak bisa melakukan hal yang serupa untuk membolehkan ekspor-ekspor Dunia Ketiga memasuki pasar mereka.

Bangsa-bangsa yang kaya telah membangun liberalisasi dalam sektor-sektor strategis yang diasosiasikan dengan teknologi maju - jasa, teknologi informasi, bioteknologi, dan telekomunikasi - di mana mereka menikmati keuntungan besar yang semakin meningkat dengan deregulasi pasar.

Di sisi lain, pertanian dan tekstil, dua sektor yang secara khusus signifikan bagi negeri-negeri kita, tidak mampu menyingkirkan rintangan yang telah disetujui dalam Putaran Uruguay karena ini bukanlah kepentingan negeri-negeri maju.

Dalam OECD [Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi], kelompok negeri-negeri terkaya, tarif rata-rata yang diterapkan pada ekspor manufaktur dari negeri-negeri kurang berkembang adalah empat kali lebih tinggi daripada yang diterapkan pada negeri anggota kelompok tersebut. Tembok penghalang antara tarif dan non-tarif sesungguhnya telah ditegakkan untuk menyingkirkan produk-produk negeri Selatan.

Komoditas dasar tetaplah rantai terlemah perdagangan dunia. Bagi 67 negeri Selatan, komoditas semacam itu berjumlah setidaknya lima puluh persen pendapatan ekspornya. Gelombang neoliberal telah menyapu skema pertahanan yang termuat dalam panduan (terms of reference) komoditas dasar. Diktum supremasi pasar tak dapat mentolerasi distorsi apa pun, dengan demikian Kesepakatan Komoditas Dasar (Basic Commodities Agreements) dan formula lainnya yang membahas ketimpangan pertukaran (unequal exchange) ditinggalkan begitu saja. Atas alasan inilah maka kini daya beli komoditas seperti gula, kokoa, kopi dan lainnya hanya dua puluh persen dari angka sebelumnya pada 1960; akibatnya, pendapatan penjualan bahkan tidak menutupi biaya produksi.

Perlakuan khusus dan berbeda bagi negeri-negeri miskin telah dipandang sebagai, bukannya tindakan adil dan kebutuhan yang tak dapat diabaikan, melainkan tindakan kemurahan hati yang hanya sementara. Sesungguhnya, perlakuan berbeda bagi negeri-negeri miskin bukan saja merupakan pengakuan terhadap perbedaan besar dalam perkembangan tiap negeri, sehingga mencegah digunakannya penggaris yang sama bagi negeri kaya dan miskin, tapi juga menyadari masa lalu kolonial yang menuntut kompensasi.

Signifikansi Perlawanan di Seattle

Kegagalan pertemuan WTO di Seattle menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal menciptakan oposisi yang semakin intensif di antara semakin banyak rakyat, baik di negeri Selatan dan Utara. Amerika Serikat mempresentasikan Putaran Negosiasi Perdagangan yang seharusnya dimulai di Seattle sebagai langkah liberalisasi perdagangan yang lebih maju, padahal negeri itu masih memberlakukan Akta Perdagangan Asing-nya sendiri yang agresif dan diskriminatif. Akta tersebut menyertakan peraturan seperti "Super 301", sebuah pertunjukkan diskriminasi dan ancaman yang sesungguhnya dalam menerapkan sangsi bagi negeri-negeri lainnya atas alasan yang berkisar dari asumsi bahwa suatu negeri menerapkan rintangan untuk menolak produk-produk Amerika, hingga penilaian yang sewenang-wenang dan sering kali sinis oleh pemerintah AS terkait situasi hak asasi manusia di negeri-negeri lainnya.

Di Seattle, terjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Preseden terkininya adalah penolakan terhadap penerapan Multilateral Agreement on Investments (MAI). Ini menunjukkan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang telah mengakibatkan kerusakan besar terhadap negeri-negeri kami, menghadapi penolakan sedunia yang keras dan sudah sepantasnya.

Jurang Teknologi

Dalam sebuah ekonomi global di mana pengetahuan adalah kunci bagi pembangunan, jurang teknologi antara Utara dan Selatan cenderung melebar dengan meningkatnya privatisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.

Negeri-negeri maju di mana berdiam lima belas persen penduduk dunia, pada saat ini mengonsentrasikan delapanpuluh-delapan persen pengguna Internet. Terdapat lebih banyak komputer di Amerika Serikat dibandingkan dengan gabungan seluruh jumlah komputer di negeri lainnya di dunia. Negeri-negeri kaya mengontrol sembilanpuluh-tujuh persen hak paten secara global dan menerima lebih dari sembilan-puluh persen hak lisensi internasional, sementara bagi banyak negeri-negeri Selatan penerapan hak milik intelektual tidaklah eksis.

Dalam riset swasta, elemen lukratif (keuntungan besar) mendahului pertimbangan kebutuhan; hak milik intelektual menjadikan pengetahuan berada di luar jangkauan negeri-negeri kurang berkembang, dan legislasi tentang hak paten tidak mengakui transfer pengetahuan atau pun sistem kepemilikan tradisional yang begitu penting di Selatan. Penelitian oleh swasta berfokus pada kebutuhan konsumen yang kaya.

Vaksin telah menjadi teknologi yang paling efisien untuk mempertahankan pembelanjaan kesehatan yang rendah karena dapat mencegah penyakit dengan hanya menggunakan satu dosis. Walau begitu, karena itu memberikan profit yang rendah, vaksin dikesampingkan untuk mengutamakan pengobatan yang membutuhkan dosis berulang kali dan memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi.

Pengobatan baru, bibit terbaik, dan, pada umumnya, teknologi terbaik telah menjadi komoditas yang harganya hanya dapat dijangkau oleh negeri-negeri kaya.

Akibat sosial yang suram dari perlombaan neoliberal menuju bencana ini sudah ada di depan mata. Dalam seratus negeri, pendapat perkapita lebih rendah dibandingkan lima belas tahun lalu. Pada saat ini, 1,6 milyar orang bernasib lebih buruk dibandingkan pada awal 1980an.

Lebih dari 820 juta orang kekurangan gizi dan 790 juta di antaranya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 milyar orang yang hidup di Selatan saat ini tidak akan menyaksikan ulang-tahunnya yang ke-40.

Dalam negeri-negeri Dunia Ketiga yang terwakili di sini, dua dari lima anak menderita hambatan pertumbuhan dan satu dari tiga menderita kekurangan berat badan; 30.000 anak yang dapat diselamatkan, tiap harinya menderita sekarat; 2 juta anak perempuan terpaksa menjalani prostitusi; 130 juta anak tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar dan 250 juta anak di bawah 15 tahun terpaksa bekerja. Tatanan ekonomi dunia berfungsi baik bagi dua puluh persen penduduknya tapi mengabaikan, memojokkan dan memperburuk delapan puluh persen sisanya.

Kita tak dapat begitu saja memasuki abad baru dalam barisan akhir yang terbelakang, miskin, dan tereksploitasi; korban rasisme dan xenofobia dihalangi dari akses pengetahuan, dan menderita alienasi budaya kita akibat pesan-pesan asing berorientasi-konsumerisme yang diglobalisasikan oleh media.

Bagi Kelompok 77, ini bukanlah saat untuk mengemis dari negeri-negeri maju atau untuk patuh, mengalah, atau saling menghancurkan. Inilah saatnya untuk mengembalikan semangat berlawan kita, kesatuan dan kohesi kita dalam mempertahankan tuntutan kita.

Lima puluh tahun lalu kita diberikan janji bahwa suatu hari nanti tidak akan ada lagi jurang antara negeri-negeri maju dan kurang-berkembang. Kita dijanjikan roti dan keadilan; tapi hari ini kita memiliki semakin sedikit roti dan semakin banyak ketidakadilan.

Dunia dapat diglobalisasi di bawah kekuasaan neoliberalisme, tapi tidaklah mungkin menguasai milyaran lebih orang yang lapar akan roti dan haus akan keadilan. Gambaran ibu-ibu dan anak-anak di bawah derita kekeringan dan bencana lainnya di seluruh wilayah Afrika mengingatkan kita akan kamp konsentrasi di Jerman Nazi; mereka mengembalikan memori tentang tumpukan mayat dan orang sekarat, perempuan, dan anak-anak.

Perlu digelar semacam Nuremberg untuk mengadili tatanan ekonomi yang dipaksakan ke kita: sebuah sistem yang dengan menggunakan kelaparan dan penyakit yang tersembuhkan telah membunuh lelaki, perempuan, dan anak-anak tiap tiga tahun dalam jumlah yang melebihi korban jiwa Perang Dunia II yang berlangsung enam tahun.

Di Kuba kami biasa berkata: "Merdekalah Tanah Air atau Mati!" Pada KTT Dunia Ketiga ini kita akan harus berkata: "Bersatulah dan Bangun Kerjasama Erat, atau kita mati!"

Diterjemahkan oleh Data Brainanta, diambil dari Media NEFOS (http://www.nefos.org)
 

Prachanda diluar Kekuasaan ?

Oleh: AJ SUSMANA

BERDIKARI ONLINE, Jakarta: Prachanda mengundurkan diri hari Senin, setelah pemecatannya atas Jenderal Katawal dihalangi. Prachanda menyalahkan ”kekuatan luar” atas jatuhnya pemerintahannya, merujuk pada India. Sebelum mengundurkan diri, Prachanda mulai mendekat ke China. Begitulah gambaran singkat mutakhir untuk kondisi Nepal seperti yang dilaporkan Kompas, 8 Mei 2009.


Kondisi pertarungan politik di Nepal ini menunjukkan betapa tarik ulur arah pembangunan Nepal pasca kejatuhan sistem kerajaan, belum menemukan langkah pasti dan kuat termasuk langkah-langkah Maois di bawah Prachanda yang memenangkan pemilu parlemen tahun lalu. Sebagai catatan, Nepal merupakan satu-satunya kerajaan Hindu di dunia yang tersisa sebelumnya. Namun, bersamaan dengan kemenangan Maois dalam pemilu 2008 pasca Maois meletakkan senjata setelah melakukan perjuangan bersenjata selama satu dasawarsa pada 2006, pada 28 Mei 2008, Nepal mengganti sistem pemerintahannya dari kerajaan yang sudah bertahan selama 250 tahun itu menjadi republik.


Kondisi ini juga menunjukkan betapa penting posisi Nepal di tengah persaingan dua bangsa raksasa Asia ini: China dan India dalam usaha menjadi pemimpin (baca juga: penjaga perdamaian) kawasan Asia. Memang, India dan China sendiri sampai sekarang masih menghadapi bahaya latent meledaknya konflik perbatasan. Sebagai catatan, dua negara yang sama-sama memiliki senjata nuklir dan berpenduduk luar biasa banyaknya ini pernah terlibat pertempuran sengit soal perbatasan pada 1962 dan belum terselesaikan dengan baik sampai kini. Situasi konflik ini masih ditambah dengan sikap India yang mendukung konfrontasi Tibet terhadap China dengan memberikan perlindungan dan dukungan bagi aktivis Tibet yang pro kemerdekaan. Begitu pula perluasan pengaruh China atas Nepal dengan condongnya Prachanda ke China tentu membuat was-was India. Kondisi api dalam sekam ini tentu tak hanya mengkhawatirkan bagi perdamaian yang sudah tercapai di Nepal tapi juga mengancam perdamaian Kawasan Asia yang saat ini juga sedang digelisahkan dengan krisis global.


Sebagai kekuatan besar yang patut diperhitungkan dunia, China dan India tentu saja mempunyai peluang besar untuk memajukan harkat dan martabat bangsa-bangsa Asia, sebagaimana pernah diusahakan dalam momentum besar bangsa-bangsa yang baru saja lepas dari kemerdekaan kolonialisme di Bandung tahun 1955. Indonesia, yang saat itu juga merupakan motor penggerak kawasan Asia, barangkali dalam melihat kondisi Nepal saat ini bisa juga memberikan dukungan solidaritas untuk perdamaian di Nepal dan membiarkan Nepal untuk terus melanjutkan masa depannya sendiri dengan jalan baru republik yang sedang ditempuhnya, termasuk membentuk pemerintahan baru lagi tanpa gangguan pihak asing.


Langkah-langkah Prachanda memang tampak mengkhawatirkan dan bisa saja tersingkir dari roda pemerintahan baru yang hendak dibentuk pasca pengunduran dirinya. Skenario asing tentu saja berusaha menyingkirkan kekuatan politik yang anti neoliberalisme dan percaya pada kekuatan nasional sendiri dalam mengubah kondisi kehidupan rakyat. Prachanda kini berada di luar kekuasaan. Pracandha sendiri sampai rabu malam, menegaskan, partainya tidak akan menghancurkan proses perdamaian di Nepal dan dia juga meyakini pemerintahan baru akan dibentuk dengan tetap dipimpin partainya.


Hanya saja pengunduran diri Perdana Menteri Prachanda atau Pushpa Kamal Dahal ini dari kekuasaan Perdana Menteri, mengingatkan pada kejatuhan Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang beruntun pasca pengunduran dirinya dari jabatan Perdana Menteri yang kemudian digantikan Hatta, pasca Perjanjian Renville tahun 1948. Amir Syarifuddin pun berharap kabinet yang dibentuk akan tetap menyertakan dirinya atau sayap kiri dan program-program kiri di dalamnya tapi sejarah berkata lain. Dan kritik atas Amir pun berlaku: tak seharusnya Amir dengan mudah meletakkan jabatan tanpa perlawanan hingga tragedi yang memilukan itu pun terjadi: “Revolusi memakan anaknya sendiri”: hidup dan perjuangan Amir ditutup bersamaan dengan operasi penumpasan “pemberontakan” Madiun 1948, yang dilancarkan Perdana Menteri Hatta.


Tentu Prachanda dan partainya punya perhitungan sendiri apalagi partainya pun memenangkan suara mayoritas dalam pemilu April 2008 yakni 120 kursi parlemen dari 240 kursi yang diperebutkan. Kita pun berharap, bukan pertumpahan darah yang kembali terjadi di Nepal tapi proses perdamaian tetap berlanjut dan demokrasi yang sedang dibangun di Republik Nepal yang baru semakin juga menyejahterakan rakyat.

AJ SUSMANA, Wasekjend Bidang Kaderisasi dan Komunikasi Massa DPP Papernas.
 

Utang Luar Negeri dan Kelanjutan Rejim SBY



Rudi Hartono

Dalam sebuah kampanye partai Demokrat di Magelang, Jawa Tengah, pada 5 April lalu, SBY menjawab pertanyaan salah seorang simpatisan partai mengenai kebijakan utang luar negeri. Pada kesempatan itu, SBY menyatakan, "Ngemplang itu enggak punya harga diri. Mau minjam, kok enggak bayar. Saya tidak mau mencoreng bangsa, dan dicap sebagai bangsa yang ngemplang utang.


Pernyataan diatas, sebetulnya, menjelaskan garis besar kebijakan politik dan ekonomi pemerintahan SBY, yakni tetap mengadvokasi neoliberalisme dan pro-imperialisme. Seperti diketahui, perangkap utang (debt trap) merupakan instrumen bagi negeri-negeri kapitalis maju dan korporasinya untuk menjalankan “perampokan” di negeri-negeri dunia ketiga. Bahkan Rizal Ramli menyatakan, karena para pemimpin kita bermental orang terjajah (inlander), cawan-cawan emas itu cuma dipakai untuk mengemis uang pinjaman recehan kepada lembaga multilateral seperti IMF dan Bank Dunia. Uang pinjaman harus “ditukar” dengan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang sesuai dengan garis neoliberal dan kebijakan Washington Consensus. UU Migas, UU Privatisasi Air dan UU Privatisasi BUMN adalah contoh UU yang dibuat dengan iming-iming uang pinjaman dari lembaga multilateral. Dengan kata lain, kebijakan ekonomi Indonesia telah “diijonkan” dan “digadaikan” demi uang pinjaman. Tidak ada lagi kedaulatan dalam bidang ekonomi. Itulah bentuk baru dari neokolonialisme .

SBY dan Utang Luar Negeri

Tidak ada yang berbeda antara SBY dengan rejim sebelumnya. dalam lima tahun masa pemerintahannya, pemerintahan SBY berhasil mengakumulasi jumlah utang yang jauh lebih besar. Untuk diketahui, outstanding Utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004-2009 terus meningkat dari Rp1275 triliun menjadi Rp1667 triliun . sementara itu, tercatat terjadi peningkatan total utang luar negeri secara signifikan dari Rp. 662 triliun (2004) menjadi Rp. 920 triliun (2009). Artinya Pemerintah “berhasil” membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan 392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun. Atau peningkatan utang negara selama pemerintah SBY naik rata-rata 80 triliun per tahun. Angka penambahan jumlah utang rata-rata ini mengalahkan utang di era Soeharto yakni 1500 triliun dalam jangka 32 tahun .

Sementara itu, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun. Sedangkan total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp101,9 triliun .

Ketika krisis financial mengguncang dunia, termasuk Indonesia, pemerintah kemudian buru-buru mencari pinjaman baru. Alasannya, menurut Paskah Suzeta, pemerintah memerlukan dana segar untuk mengatasi keterbatasan kapasitas belanja pemerintah agar menopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Sampai dengan sekarang pemerintah menyatakan ”berhasil” mendapat komitmen pinjaman siaga hingga US$6 miliar (setara Rp. 66 triliun) yang bersumber dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Islam (IDB), Bank Pembangunan Asia (ADB), Pemerintah Australia, dan Pemerintah Jepang .

Akhirnya, keputusan SBY untuk menceraikan IMF pun patut dipertanyakan. Pasalnya, jejak dan kuku-kuku IMF masih menancap tajam di Indonesia. Hal ini tidak sulit untuk dibuktikan; pertama, pemerintah masih memberi tempat utama kepada menteri-menteri dan ekonom pro-IMF, seperti Budiono dan Sri Mulyani. Bahkan, Budiono yang ditunjuk sebagai gubernur BI, adalah bekas menteri keuangan era Megawati yang dikenal dekat dengan IMF. Kedua, perpisahan dengan IMF tidak mengakhiri politik utang ala imperialisme. Sampai saat ini, kebijakan politik dan ekonomi masih dominan oleh campur tangan asing, yang juga merupakan kreditor.

Program BLT-BOS-PNP Mandiri dan Utang Luar Negeri

Banyak pihak yang menuding, peningkatan suara partai demokrat dalam pemilu legislatif lalu tidak terlepas dari program populis SBY, seperti BLT, PNP-mandiri, dan BOS. Bahkan, beberapa pihak mencoba menyamakan program-program SBY tersebut dengan program sosial demokrasi—sistim jaminan sosial?

Baiklah, kita bisa memperdebatkannya. Jika diteliti, program seperti Bantuan Operasional Sekolah, PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Tunai, tidak dapat dilepaskan dari pinjaman utang luar negeri. Untuk diketahui, sebagian besar pendanaan program-program itu berasal dari pinjaman utang, terutama Bank dunia (melalui IBRD). Untuk tahun 2008 saja, Bank Dunia menggelontorkan dana untuk Program Nasional Pemberdayaan Nasional (PNPM) Mandiri sebesar USD 400 juta. Seperti yang dituliskan oleh Ishak Rahman, dalam Pembangunan Berbasis Utang vs. Kemandirian Bangsa, dikatakan, utang-utang tersebut harus dikembalikan pada tahun 2030, seperti yang tercantum dalam Loan Agreement Nomor 7504-ID yang ditandatangani pada tanggal 6 Juni 2008 .

Selain PNP Mandiri, Bank dunia juga mendanai program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) senilai USD 600 juta, dan harus dibayar hingga 2033. Data ini akan semakin "mengerikan" jika kita tambahkan dengan berbagai pembiayaan untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Peningkatan Kapasitas Sistem Pendidikan Tinggi (yang disebut-sebut sebagai imbalan atas kepatuhan Indonesia memprivatisasi pendidikan tinggi melalui BHP), dan lain-lain .

Dengan demikian, tidak pantas menyebut program BLT, BOS, ataupun PNP Mandiri sebagai program populis, apalagi sosial demokrasi, karena beberapa hal; pertama, kebijakan ini merupakan salah satu cara mengintensifkan utang. Melalui kebijakan ini, proses akumulasi utang berlansung secara agresif dan menimbulkan masalah di masa mendatang (2030). Kedua, kebijakan ini tidak dapat mempertahankan standar kesejahteraan rakyat yang terus merosot. Dari segi efektifitas, dampak dari program ini benar-benar tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh neoliberalism.

Jika jaminan sosial ala sosial demokrasi cenderung menjadi “penawar” bagi racun kapitalisme, maka program BLT, BOS, dan PNPM mandiri lebih merupakan “sogokan” agar rakyat tidak marah karena kebijakan pencabutan subsidi. Jadi, disini, kebijakan BLT, BOS, dan PNPM mandiri sama sekali tidak melanggar mekanisme pasar.

Justru, dengan sedikit bumbu kampanye dan iklan, program-program ini coba ditampakkan seolah-olah sebagai program populis oleh pemerintah. Dan keterkaitan Bank Dunia dalam mempromosikan program ini, menjelaskan bahwa kapitalis internasional benar-benar mendukung kelanjutan rejim neoliberal di Indonesia.

Utang Luar Negeri dan Neoliberalisme

Pada tahun 1970an, pemerintahan di negeri-negeri dunia ketiga begitu mudah untuk mendapatkan pinjaman di bank-bank di Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Jepang. Jutaan dollar uang kemudian dituangkan dalam proyek-proyek investasi, tetapi sangat sedikit yang memberi manfaat kepada rakyat negeri dunia ketiga. Rejim-rejim korup di negeri dunia ketiga, yang dibackup oleh kekuasaan di barat, menggunakan pinjaman-pinjaman tersebut untuk proyek seperti stadion olahraga, lapangan golf, dam, persenjataan, dsb, dan sebagian lagi dimasukkan ke kantong pribadi.

Pada akhir 1970an, paska perang berkepanjangan, suku bunga di AS mengalami kenaikan drastis. Hal ini mendorong apa yang disebut krisis utang (debt crisis), dimana Meksiko pertama kali mengawali kejadian ini pada 1982. Meksiko dinyatakan tidak lagi punya kemampuan membayar utangnya.

Pada tahun 1980an, lebih dari 80 negara yang mengalami “debt crisis” dipaksa untuk menjalankan “structural adjustment programs/SAP”, dimana pemerintahnya didorong untuk mengurangi subsidi dan jaminan sosial kepada rakyatnya. Selain itu, “debt crisis” dijadikan sebagai senjata untuk membuka pintu tebal “nasional” negara dunia ketiga dan mengijinkan dominasi korporasi-korporasi raksasa internasional menggantikan perusahaan domestik.

Utang luar negeri, bagaimanapun, bukan hanya alat untuk memaksakan pengaliran capital dari negeri-negeri berkembang ke negara maju, tetapi lebih jauh dari itu adalah instrumen untuk mengontrol kebijakan politik dan ekonomi negara debitur, sehingga membuka jalan untuk menguasai sumber dayanya. Tidak salah, seperti juga yang dicatat oleh Susan George, bahwa utang telah memupuk kesenjangan antara negara dunia pertama dan negara dunia ketiga. Seperti di catat Susan George , pada abad 18 gap antara negeri kaya dan miskin adalah 2:1. Setelah perang dunia ke II, gap ini meningkat menjadi 40:1. Dan sekarang ini, posisi gap nya sudah berada pada 60:1.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Teresa Hayter mengenai hal ini, juga memberikan kesimpulan menarik. Menurut Hayter, hal-hal yang dipersyaratkan dalam pemberian utang luar negeri biasanya adalah: (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) peniadaan kebebasan dalam melakukan kebijakan ekonomi tertentu, misalnya, nasionalisasi perusahaan asing (khususnya yang dilakukan tanpa kompensasi); (c) permintaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikehendaki, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi.

Berdasarkan ketiga persyaratan tersebut, menurut Hayter, utang, secara umum, memungkinkan bagi negara-negara menyesuaikan politik internalnya, menyeleraskan kebijakan luar negerinya, perlakuan yang baik bagi investasi, kebijakan prioritas ekspor, dan sebagainya, yang pada dasarnya merupakan kondisi yang diinginkan, dikehendaki oleh lembaga atau negara pemberi bantuan, supaya tidak mengancam kepentingan mereka.

Apa yang dijalankan oleh pemerintahan SBY, setidaknya dalam lima tahun terakhir, mengkonfirmasi apa yang menjadi kesimpulan Susan George dan Hayter . Disini, saya hanya membeberkan beberapa fakta besarnya; pertama, Berlanjutnya kebijakan pencabutan subsidi sosial, seperti pencabutan subsidi BBM, kesehatan, pendidikan, dll. Dalam hal subsidi BBM, SBY bahkan menaikkan harga BBM sebanyak tiga kali, sebuah rekor tertinggi dibandingkan rejim sebelumnya. kedua, berlanjutnya kebijakan privatisasi. Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup menggemparkan, bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi, privatisasi kali ini disertai penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Ketiga, lahirnya produk perundangan yang sangat “ramah” dan mengakomodasi kepentingan asing, terutama bagi perusahaan multi-nasional, seperti UU Penanaman Modal, UU Ketenagakerjaan, UU Privatisasi Air, UU Migas, UU minerba, dsb. Semua hal yang saya sebutkan diatas, merupakan bukti penyelerasan bentuk kebijakan politik dan ekonomi kita kepada kepentingan imperialis dan korporasinya.

Jadi, takkala SBY menolak me-ngemplang utang dengan alasan martabat bangsa, tentunya ini pernyataan absurd. Tidak pantas SBY berbicara martabat dan kemandirian bangsa, selama kebijakan politik dan ekonominya masih menghamba pada neoliberalisme. Utang luar negeri, kebijakan yang dibanggakan SBY, telah menyeret milyaran umat manusia di bumi ke dalam kemiskinan absolut. Raksasa-raksasa seperti General motor, ExxonMobile, Rio Tinto, Shell, Newmont, British Petroleum, dll, telah menikmati “rejeki nomplok” dari kebijakan utang, sedangkan 230-an juta rakyat Indonesia menanggung “beban penderitaan”.

Rudi Hartono, Pengelola Berdikari Online, Jurnal Arah Kiri, dan Jurnal Nefos.

Catatan:
http://bangkit.or.id/profile.php?&page_id=4
www.dmo.or.id
Sumber Koalisi Anti Utang (KAU) , pada release 7 April 2009.
Sumber Koalisi Anti Utang (KAU)
Sumber Koalisi Anti Utang (KAU)
http://www.facebook.com/home.php?#/note.php?note_id=60037764130
ibid
Susan George, A Fate Worse Than Debt, (New York: Grove Weidenfeld, 1990
Teresa Hayter, Aid as Imperialism, 1971
 

Neoliberalisme Yang Hendak Disembunyikan (1)

Rudi Hartono

Ketika SBY akhirnya menunjuk Budiono sebagai cawapresnya, sejumlah pihak kemudian mengasosiasikan ini sebagai ekspresi “neoliberalisme”. Bahkan, karena kerasnya tuduhan neoliberal kepada Budiono, SBY akhirnya mengklarifikasi bahwa pemerintahannya bukanlah pemerintahan neoliberal. Klarifikasi tersebut disampaikan berkali-kali, mulai dari pidato deklarasi Sabuga, Bandung, hingga klarifikasi SBY pada acara temu capres yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang Industri Indonesia (KADIN).

Dalam klarifikasi itu, SBY menggunakan keterlibatan negara dalam menstimulus sektor financial dan kaum kaya sebagai pembenaran bahwa pemerintahannya bukan neoliberal. Menurut SBY, pemerintahannya bukan penganut neoliberalisme karena tidak pernah menyerahkan semua kebijakan ekonomi pada mekanisme pasar. Bahkan, menurut SBY, pemerintahannya begitu aktif dalam memproteksi ekonomi rakyat kecil dan mengalirkan pertumbuhan. Di akhir acara tersebut, SBY menegaskan dirinya bukan seorang ultranasionalis yang mengartikan nasionalisme secara sempit, namun bukan juga penganut neoliberalisme.

Dalam kaitan ini, bagi saya, setiap orang pantas untuk menghindar (mengelak) ketika berhadapan dengan sebuah gelombang besar yang bisa menyapu kepentingannya. Dalam hal ini, kubu neoliberal di Indonesia menyadari betul bahaya besar jika gerakan anti-neoliberal semakin membesar.

Memperdebatkan Soal Negara

Saya tidak akan masuk dalam analisa historis kemunculan negara dan perkembangan sistim kapitalisme, tetapi lebih fokus mengenai hubungan negara dan pasar dalam neoliberalisme. Dalam hal ini, saya hendak membantah pendapat yang mengatakan bahwa negara sama sekali “absen” dalam ekonomi neoliberalisme.

Dalam memperdebatkan peran negara, dunia akademis kita sering dijangkiti kerancuan ketika menganggap esensi dari kapitalisme adalah pasar dan esensi dari sosialisme adalah negara. Menurut Leo Panitch, fungsi sentral dan historis dari negara dalam masyarakat kapitalis adalah perannya sebagai penjamin kepemilikan pribadi dan, yang terpenting bagi kelancaran beroperasinya pasar finansial, yakni bahwa negara akan selalu menghormati utang-utangnya, yaitu, pinjamannya dari bank-bank swasta.

Jadi, disini kita hanya memperdebatkan mengenai seperti apa bentuk intervensi negara dan bagaimana batas-batasnya (limit). Bagi penganut neoliberal, negara harus menyokong kuat hak kepemilikan pribadi individu, aturan hukum, dan institusi yang membebaskan berfungsinya pasar dan perdagangan bebas. Selain itu, kebebasan membuat perjanjian dan hak individu untuk bebas bertindak, bernegosiasi, berekspresi, dan memilih harus dilindungi. Oleh karena itu, negara berhak menggunakan monopolinya atas alat-alat kekerasan (polisi, militer, pengadilan, dsb) untuk menjamin kebebasan ini. Jadi bagi penganut neoliberal, intervensi negara diperlukan sepanjang tidak mengganggu mekanisme pasar bebas dan perdagangan bebas.

Dalam merespon dampak lebih luas krisis financial, sejumlah pemimpin negara eropa dan AS menggunakan “peran” mereka sebaik mungkin untuk menyelematkan perusahaan financial. Jadi, apa yang terjadi sebetulnya adalah: Pertama, negara bereaksi untuk melindungi dan menyelamatkan para kapitalis keuangan dari kebangkrutan yang lebih besar. Tanpa ada intervensi seperti ini, kita sulit berkhayal bahwa pasar bebas dan perdagangan masih dapat hidup hingga sekarang ini. Kedua, bentuk intervensi mereka adalah negara menggunakan uang public sebagai dana talangan untuk menutupi kerugian para kapitalis keuangan.

Seperti disebutkan David Harvey, salah satu prinsip utama sejak 1970an (baca; neoliberalisme diperkenalkan) adalah bahwa kekuasaan negara harus melindungi institusi financial, dengan segala pembiayaannya. Prinsip ini bekerja pada saat krisis New York City pada pertengahan 1970-an, dan dikenal secara internasional ketika Meksiko berada di ujung kebangkrutan pada tahun 1982. Pada saat itu, mereka membaliout bank-bank bankrupt dengan mengorbankan populasi. Hal itu, misalnya, sangat berbeda dengan kebijakan new-deal rosevelt yang justru mengarahkan dana stimulus pada penciptaan lapangan kerja melalui pembangunan infrastruktur secara padat karya, pengucuran kredit kepada jenis usaha yang mempunyai multiplayer effect, mensubsidi petani, dan sebagainya.

Menelusuri Intervensi Negara Versi SBY

Di bidang ekonomi, pemerintahan SBY disebut-sebut sejumlah pihak sebagai yang paling liberal di seluruh dunia. Bahkan, untuk menopang dan memastikan proses liberalisasi berjalan dengan maksimal, maka sejumlah produk perundangan dan konstitusi dibuat mengikuti alur liberalisasi, seperti UU penanaman modal, UU minerba, UU BHP, UU Sumber daya air, dan sebagainya. Banyak diantara UU itu mendapat pendanaan dari lembaga asing, khususnya ADB, Bank Dunia, dan USAID.

Seiring dengan proses liberalisasi ekonomi ini, pemerintahan SBY telah mengizinkan dan memfasilitasi pihak asing dan korporasinya mendominasi perekonomian nasional. di sektor migas, misalnya, pihak asing mengontrol hingga 85-90% pengelolan migas nasional, akibatnya 85% produksi migas nasional dikontrol oleh pihak asing. Sebanyak 65% kepemilikan saham di pasar modal adalah asing. Sebesar 14 milyar dollar AS kepemilikan SBI dan SUN adalah asing. Di sektor perbankan, karena UU 22 tahun 1999 menginjinkan kepemilikan asing hingga 99%, maka pihak asing semakin menguasai dan mengontrol perbankan nasional. Di bidang telekomunikasi, karena SBY benar-benar mematuhi keinginan WTO, maka kepemilikan asing terhadap penyelenggaraan jasa telekomunikasi di Indonesia bisa mencapai 35%.

Selama 5 tahun berkuasa, dalam kacamata neoliberal, SBY telah menempatkan peran negara “persis” yang dikehendaki oleh pihak asing. Liberalisasi telah menjamin keleluasan bagi investasi untuk menemukan outlet-outlet baru, plus upah buruh yang murah dan pasar tenaga kerja yang liberal.

Situasi ini menimbulkan hal yang paradoksial. Liberalisasi dan pasar bebas tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat Indonesia. Dalam 10 tahun periode liberalisasi dan pasar bebas diberlakukan, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia merosot secara tajam dan terus jatuh tanpa henti. Lebih dari separuh populasi dinyatakan miskin oleh Bank Dunia. Terdapat 59% penduduk Indonesia yang tidak lagi regular menyimpan uang. Kemudian, 59% penduduk Indonesia yang harus menghabiskan 20-30% anggaran bulannya hanya untuk membeli bahan makanan. Dengan kondisi demikian, dapat dipastikan bahwa sekitar 60% populasi Indonesia kesulitan dalam mengakses tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan.

Di bawah tekanan struktural adjustment programme (SAP), Indonesia dipaksa melepaskan sektor pendidikan, kesehatan, dan berbagai kegiatan pelayanan publik kepada mekanisme pasar. Di bidang pendidikan, misalnya, menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Dalam tahun 2008 angka tersebut meningkat, karena terjadi pertambahan putus sekolah sekitar 841.000 siswa sekolah dasar dan 211.643 siswa SMP/madrasah tsanawiyah . Jadi, total kepala yang tak mampu dididik oleh Negara hingga tahun 2009 adalah sebesar 13 juta jiwa. Inilah mungkin yang disebut perlindungan oleh negara versi SBY.

Di bidang pertanian, pemerintah juga tidak berbuat apapun untuk melindungi petani Indonesia. Bahkan, Karena tekanan WTO, pemerintah SBY buru-buru mencabut subsidi pertaniannya, menurunkan tariff impor produk pertanian, dan segala bentuk proteksi dihilangkan. Modal asing bukan saja menjarah pasar dan kesempatan para petani Indonesia, tetapi juga merampas tanah-tanah mereka yang subur (produktif). Dari berbagai konflik agrarian antara petani melawan perusahaan asing, pemerintahan SBY dan aparatusnya tidak sedikitpun memihak kepada petani.

Ketika menghadapi ancaman krisis financial, SBY menggunakan dana public untuk mendanai kaum kaya. Sebagai contoh, untuk menyelamatkan kelompok usaha Bakrie, pemerintah langsung mengalokasikan dana rekapitalisasi pasar saham untuk kelompok tersebut sebesar Rp 262,73 triliun. Selanjutnya, pada dana stimulus sebesar Rp. 71,3 trilyun, sebanyak 80% digunakan untuk mensubtitusi pajak orang kaya, sebanyak 6% dipergunakan untuk penggatian biaya diskon solar dan beban listrik, dan hanya 14% yang dipergunakan untuk menstimulus pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi rakyat.

Kemudian mana yang diklaim SBY sebagai program atau bentuk intervensi negara terhadap pasar untuk melindungi rakyatnya? Iya, Bantuan Langsung Tunai (BLT), KUR, dan PNP-mandiri. Perlu diketahui, BLT adalah program sogokan untuk menggantikan pencabutan subsidi BBM. Nilai yang dibayarkan oleh pemerintah melalui BLT sama sekali tidak setara dengan biaya yang harus ditanggung oleh rakyat akibat pencabutan subsidi BBM. Sementa itu, jika diperiksa asal-usul pendanaannya, maka diketahui bahwa dana BLT, KUR, dan PNP-mandiri berasal dari utang luar negeri.

Secara umum, SBY dikatakan pendukung neoliberal karena beberapa hal; pertama, agenda liberalisasi ekonomi. SBY begitu aktif dalam meliberalkan perekonomian Indonesia. Kedua, kebijakan ekonominya selalu berputar pada upaya stabilitas makro, seperti menekan inflasi, kontrol nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi. ketiga, kepatuhan menjalankan pencabutan subsidi, privatisasi, deregulasi, dan sebagainya.

Rudi Hartono, Peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pengelola Jurnal Arah Kiri, dan Berdikari Online.
 

Mendiskusian Gerakan Anti Neoliberalisme




RUDI HARTONO

Dalam beberapa bulan terakhir, atmosfer perdebatan politik diantara para petarung pilpres kian memanas. Dan diantara kolong langit perdebatan politik itu, isu anti neoliberalisme juga mendapatkan tempat yang tidak kalah sengitnya. Sampai-sampai, karena kecenderungan orang melihat neolib sebagai hal yang buruk, tidak ada satu capres pun yang mau dikatakan neolib atau mendukung neoliberalisme.


Dan dikalangan gerakan, isu mengenai anti-neoliberalisme ditanggapi secara beragam. Ada unsur pergerakan yang menyambut ini dengan suka cita, sebagai hasil dari investasi panjang perjuangan anti-neoliberalisme, setidaknya sejak 1999-2000. Sementara bagi sebagian yang lain, isu ini patut dicurigai karena pemumculannya tidak terlepas dari “kerajinan tangan” para elit politik yang sementara bertarung di Pilpres.

Dalam kaitan ini, artikel Hervin Saputra berjudul “Yang Sekali-kali Melupakan Sejarah” merupakan salah satu contoh sikap yang curiga, kalau bukan menentang, pemunculan sentiment anti neoliberalisme. Dalam artikel panjang lebar itu—yang didalamnya sama sekali tidak ada yang membeberkan neolibnya SBY-Budiono, Hervin mencoba membongkar kepalsuan sikap politik anti-neliberal MEGA-PRO. Saya bukan hendak membantah sejumlah fakta yang disampaikan, tapi mencoba berdiskusi mengenai arti penting mendorong maju perjuangan anti neoliberal ini.


Salah Kaprah

Dari hiruk pikuk politik Pilpres, pro-kontra neoliberalisme memang sebagian besar dihembuskan oleh para capres dan cawapres. Dan karena hal itu, banyak pihak kemudian menuduh isu anti neoliberal yang mencuat sekarang ini sebagai permainan elit belaka. jadinya, mereka menganggap sikap politik anti-neolib itu tidak tulus alias palsu. Akhirnya, mereka pun menolak berpartisipasi dalam membesarkan isu anti-neoliberal ini.

Dalam kepentingan anti-neoliberal ini, beberapa komentator memiliki cara pandang sebagai berikut;

Pertama, isu anti-neoliberalisme dianggap sebagai isu spesifik bagi kelas bawah atau rakyat—Pekerja, petani, kaum miskin kota, dsb. Sehingga, ketika isu anti neoliberal dihembuskan oleh sektor sosial diluar sektor itu, khususnya kapitalis nasional, maka mereka segera menuduh itu palsu.

Gerakan anti-neoliberal bersifat multi sektor dan sangat luas. Penyebabnya, sektor-sektor sosial dan kelompok yang menjadi korban atau dirugikan oleh neoliberalisme bersifat meluas. Neoliberalisme bukan hanya mengorbakan sektor-sektor tradisional (yang sering menjadi acuan kaum kiri) seperti pekerja, petani, dan kaum miskin kota (urban) dan desa, tapi juga memiskinkan strata menengah, kelompok pemilik usaha kecil dan menengah, sektor informal, produsen kecil dan menengah di desa dan kota, kelompok professional, prajurit rendahan, dan juga sebagian kapitalis nasional.

Selain itu, korban neolib bukan saja sektor-sektor yang dirugikan secara ekonomis, seperti sektor-sektor yang kusebutkan diatas, tetapi juga mencakup mereka yang didiskriminasi dan ditindas oleh sistim ini, meliputi; perempuan, anak-anak, remaja, masyarakat ada, kelompok agama tertentu, homoseksual, dan kelompok minoritas lainnya. Tidak salah, jika Antonio Negri dan Hardt menyebut gerakan anti neoliberal sebagai multi sektor dan multi-warna (multi-colour).

Kedua, Seringkali para komentator mendudukkan seluruh anti-neoliberalisme sama dengan anti-kapitalisme, ataupun anti-imperialisme. Dalam prakteknya, tidak semua aktifis yang menentang neoliberalisme adalah anti-kapitalisme. Dalam banyak kasus, umpamanya, aktifis anti-neoliberal berasal dari begitu banyak varian, mulai dari yang kiri revolusioner, reformis, hingga kelompok fundamentalis.

Dalam konteks ini, Fued Ercan dan Sebnem Oguz dalam “Rethinking Anti-Neoliberal Strategy” membagi kelompok anti-neoliberal dalam tiga kelompok; (1) Pembangunan nasional. Strategi ini menekankan kepada daya saing dan proteksionisme, yang menggabungkan sebuah konsepsi aliansi antara negara dan sektor-sektor rakyat (pekerja, petani, kaum miskin) melawan proyek neoliberal dan imperialisme. (2) kiri liberal. Strategi ini melawan neoliberalisme dalam tekanan ekonomi yang sempit, tapi tidak melawan neoliberalisme secara keseluruhan. Mereka membuat pembedaan antara institusi ekonomi neoliberal seperti IMF dan Bank Dunia, di satu sisi; dan institusi seperti Uni eropa, ASEAN, disisi yang lain. (3) perpektif atau orientasi kelas. Strategi ini mencoba melampaui pendekatan pembangunan nasional dan kiri liberal, yang banyak berfokus pada satu sisi dari dikotomi masyarakat sipil versus negara. Mereka menekankan teori kelas pada hubungan keduanya. Mereka juga menganggap mempertentangkan antara financial versus kapital produktif, atau antara kapital internasional versus nasional, sebagai pendekatan yang menyesatkan. Mereka mau menarik strateginya pada pertentangan antara kapital dan tenaga kerja.


Kapitalis Nasional atau Elit Nasional

Karena isu anti-neoliberal dibesarkan sedikit banyak oleh tangan elit, maka sebagian orang pun menuduh isu ini; tidak murni. Lantas, siapa dan gerakan mana yang murni? Saya tidak akan memasuki perdebatan soal anti-neoliberal yang murni dan tidak murni, tapi mencoba melihat sikap kapitalis nasional yang anti-neolib dari persepktif kepentingan mereka.

Seperti diketahui, beberapa kapitalis nasional kelihatan begitu bersemangat dalam mendorong isu kemandirian nasional. Karena beberapa klausul proposal mereka berbau menuntut proteksionisme dan punya orientasi pada sebuah ekonomi nasional yang kuat, maka sebetulnya ini sudah berbau anti-neoliberal. setelah ditelusuri, ternyata, situasi yang mendorong pemunculan sikap ini adalah neoliberalisme, yang dalam beberapa tahun terakhir memicu kehancuran industri dalam negeri.

Dalam membicarakan kapitalis nasional yang anti-kapitalis, saya tidak sama sekali mengacu pada konsep borjuis nasional progressif atau kapitalis yang dapat menjalankan proyek pembangunan nasionalnya. Akan tetapi, kapitalis nasional yang saya maksud adalah sektor yang tidak dapat hidup (eksis) di bawah tekanan neolib tanpa memasukkan dirinya pada aliansi dengan sektor popular; sebuah projek nasional yang membuat mereka survive, dimana negara memberikan bantuan kredit dan mengkondisikan pasar internal yang didorong oleh kebijakan sosial negara.

Dalam hal ini, saya menelusuri pertentangan kapitalis nasional dan multinasional dalam pusaran sistim neoliberalisme. Apa yang menggerakkan aktifitas kapitalis adalah keinginan mendapatkan laba (profit).Dalam kaitannya ini, ekonom Anwar Shaikh mengatakan, dalam mengejar keuntungan (profit), maka individu atau perusahaan kapitalis harus menghadapi dua medan pertempuran: pertama, didalam proses produksi, mereka melawan kepentingan buruh upahannya; dan kedua, di dalam proses sirkulasi, mereka menghadapi kompetitornya (kapitalis lain) dalam rangka merealisasikan keuntungan.

Kita tidak membahas yang pertama, karena, menurut saya, hal tersebut sudah benar-benar dipahami oleh banyak orang. Kita akan membahas yang kedua, medan pertukaran, dimana seorang individu kapitalis akan dipaksa untuk menggunakan segala macam cara untuk memenangkan pesaingnya (kompetitornya). Dalam menyingkirkan pesaingnya, para kapitalis akan menggunakan segala macam cara; mulai dari memasang iklan produk, perang tariff (harga), hingga penggunaan cara-cara sabotase.

Dalam neoliberalisme, perdagangan bebas (free trade) dan pasar bebas (free trade) menjadi motor penggeraknya. Dalam pertarungan ini, bagaimanapun, setiap kapitalis tidak memiliki kemampuan yang sama; kapitalis kecil, menengah dan besar. Demikian pula dengan kapitalis nasional dan multinasional, jelas mereka memiliki kemampuan yang berbeda. Untuk menjelaskan hal ini, kita bisa mengacu kepada beberapa hal sebagai penyebab;

pertama, perkembangan kapitalisme yang tidak merata (underdevelopment capitalism). Dalam proses sejarah, masyarakat-masyarakat yang pada awalnya terpisah satu sama lain, yang berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda, ketika mulai saling berhubungan (sambil menampilkan cara-cara produksi yang berbeda) sama-sama saling mempengaruhi proses sejarah masing-masing, baik melalui perdagangan, perang, penyebaran teknologi maupun lain sebagainya. Proses interaksi itu lah yang membuat sejarah memiliki kompleksitas yang rumit. Dan, sekalipun Marx yakin bahwa kapitalisme saat itu sedang berusaha mengatasi perbedaan-perbedaan nasional, namun kapitalisme itu sendiri juga menimbulkan bentuk-bentuk baru perkembangan yang tak-merata (David Fernbach, Revolusi 1848 dan Perkembangan Pemikiran Marx).

Kedua, proses kolonialisme dan imperialisme yang berlangsung beratus-ratus tahun, bahkan hingga sekarang dalam bentuknya yang modern, benar-benar menghambat perkembangan negara jajahan dan semi-jajahan. Dengan tangan-tangan imperialisme yang menguasai sektor-sektor ekonomi yang penting (sumber daya, tenaga kerja, dan pasar), negara-negara jajahan dan dunia ketiga sulit berkembang atau bertransformasi menjadi sejajar dengan negara2 kapitalis maju. Dan imperialisme, dalam segala hal, berusaha memelihara hubungan yang timpang ini.

Di Indonesia, dampak neoliberalisme bagi kapitalis nasional mungkin dapat dijelaskan pada gejala de-industrialisasi yang semakin meningkat. Dalam lima tahun masa pemerintahan SBY, telah terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Gejala industrialisasi, menurut banyak ekonom dan kalangan pengusaha sendiri, disebabkan oleh penerapan liberalisasi perdagangan dan investasi.

Di sini, kapitalis nasional yang menentang neoliberalisme, merupakan kapitalis yang kepentingan bisnisnya, secara objektif, masuk dalam pertentangan dengan kepentingan kapitalis multinasional. Untuk itu, bagi kapitalis seperti ini, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan kepentingan bisnisnya selain meminta perlindungan dari negara. Pada masa lalu, borjuasi nasional dapat tumbuh dengan memanfaatkan proteksionisme. Pada masa itu, proyek-proyek borjuasi nasional berjalan karena ditopang oleh aliansi negara dengan klas pekerja, petani, sector-sektor social terhisap di negeri-negeri tertindas. Pada masa neoliberal, dimana peran negara sebagian besar dilucuti pada wilayah ekonomi, sehingga kapitalis nasional hampir tidak punya tameng lagi untuk melindungi diri.


Kepentingan Politik Elit Nasional dan Pilpres

Berdasarkan pendapat diatas, maka saya berkesimpulan bahwa pertentangan kepentingan ini, sedikit banyaknya, mempengaruhi pertarungan kepentingan politik mereka. Bukankah teori mengajarkan, politik adalah arena mengekspresikan kepentingan masing-masing klas dan perjuangan klas. Karena itu, wajar jika para kapitalis dan elit nasional menggunakan pilpres untuk mengekspresikan kepentingan ekonomis (bisnisnya). Dalam konteks ini, saya melihat bahwa ekspresi anti-neoliberal di kalangan elit ini juga sebenarnya cukup beragam; mulai dari kapitalis eks orde baru, kapitalis nasional yang besar, menengah, dan kecil.

Karena itu, setiap elit nasional yang bertarung masing-masing mengekspresikan kekuatan ekonomi yang ada di belakangnya. Saya tidak menyangkal watak neoliberalisme rejim Megawati –Hamzah haz, dimana Budiono dan Dorojatun menjadi arsiteknya. Selain itu, ketika berkuasa, Mega-Haz merupakan lokomotif yang berhasil menerobos sejumlah rintangan bagi penerapan neoliberal yang lebih massif di Indonesia, khususnya dalam mendongkel Gusdur yang meminta bernegosiasi dengan IMF. Dan ditangan Mega-Haz pula, sejumlah fondasi atau dasar dari sistem ekonomi neoliberal dipancangkan. Sebagai misal, pemerintahan Mega-Haz meletakkan dasar sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel (LMF) melalui pengesahan UU ketenagakerjaan.

Namun begitu, pergeseran politik Megawati dari pro-neoliberalisme menjadi pro-ekonomi kerakyatan (?) tidak bisa dijelaskan sekedar sebagai oportunisme elit. Ini harus dicarikan penjelasan yang memadai. Menurut saya, ada beberapa hal yang menandai hal ini; Pertama, perubahan komposisi kekuatan ekonomi di belakang Megawati, yang mungkin awalnya banyak diisi oleh arsitek neolib seperti Budiono, Dorojatun, maupun Laksamana Sukardi, dan sekarang ini relatif diisi oleh kapitalis nasional. Apalagi, misalnya, neoliberalisme sudah menemukan agen yang benar-benar efektif dan patuh, yaitu SBY-Budiono. Kedua, neolib tidak menyukai partai politik yang mencoba membangun akar politik tradisional; nasionalis, populis, agamais, dan lain-lain. Mungkin ini alasan neolib menendang Megawati dan partainya sebagai agen yang dapat diandalkan.

Dalam soal perbandingan; lebih neolib mana Mega dan SBY? Saya kira ini tidak penting, karena toh kita tidak mau membela salah satunya. Hanya saja, dalam beberapa publikasi, terjadi kecenderungan tidak adil (fair) ketika menunjukkan Mega sebagai pengobral BUMN. Padahal, menurut data, Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup menggemparkan, bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Soal utang luar negeri, misalnya, Semasa pemerintahan Megawati, yaitu 3,5 tahun, jumlah utang luar negeri Indonesia bertambah sebesar Rp 12 triliun. Sementa itu, di bawah pemerintahan SBY, tercatat terjadi peningkatan total utang luar negeri secara signifikan dari Rp. 662 triliun (2004) menjadi Rp. 920 triliun (2009). Dalam tiap tahunnya, misalnya, Megawati menambah utang rp 4 triliun pertahun, sementara pemerintahan SBY menambah utang sebesar 80 trilyun pertahun. Jika dibandingka dengan era Soeharto pun, SBY masih jauh lebih “beringas”, dimana SBY menambah 80 trilyun pertahun, sementara soeharto menambah 1500 trilyun dalam 32 tahun.

Hanya saja, menurut saya, orang cenderung melupakan hal-hal sepele seperti ini, sehingga menciptakan sebuah irasionalitas berfikir. Padahal, menurut saya, beberapa argumentasi orang semacam itu cukup menguntungkan SBY.

Memang, tidak semua elit nasional yang menumpang di gerbong anti-neoliberal ini adalah mereka yang benar-benar serius, sehingga harus bersatu dengan sektor popular. Sebagian dari mereka adalah penumpang gelap, yakni kapitalis nasional yang pernah berjaya di masa lalu, ketika periode kapitalisme kroni berjaya, tapi kini mereka menjadi korban privatisasi dan liberalisasi ekonomi. kapitalis seperti ini, pada waktu itu, hidup dan berkembang melalui fasilitas khusus dari negara, yang diperoleh malalui hubungan kronisme.


Kemajuan Penting

Banyak yang meremehkan signifikansi politik dan sosial dari mencuatnya isu anti-neoliberalisme ini. Tetapi, bagi kami, pro-kontra neoliberalisme telah menciptakan kemajuan positif bagi perjuangan kedepan;

Pertama, ini merupakan kemenangan wacana. Neoliberalisme kini bukan lagi konsumsi segelintir aktifis dan bahan diskusi di forum-forum kecil, tapi telah menjadi isu nasional yang mempengaruhi dinamika politik secara nasional. Biarpun kalangan bawah belum tentu faham dengan baik istilah neolib ini, tetapi sudah muncul sebuah kesadaran baru bahwa neolib adalah sesuatu yang jelek, berbahaya.

Dalam pilpres ini, misalnya, hampir semua capres menolak untuk dikatakan sebagai penganut atau pendukung neoliberalisme. Ini artinya, kesanggupan menjelaskan neoliberal sebagai hal yang buruk, sudah mulai dipahami secara umum. Sehingga, tidak ada satupun capres dan cawapres yang mau mengambil resiko disebut sebagai penganut neoliberalisme.

Setelah perdebatan ini menguat, literature dan material-material yang berisikan anti neoliberalisme pun mulai diakses banyak orang. Dalam catatan kami, tema-tema anti neoliberal banyak dimunculkan kembali di internet, maupun dibahas di Koran-koran dan majalah. Dalam konteks ini, kaum pergerakan justru harus memproduksi literature dan bacaan anti neoliberalisme secara massal dan regular, serta dengan mempergunakan bahasa yang dicerna.

Kedua, Membesarnya isu anti neoliberalisme, dalam pandangan saya, telah menghidupkan kualitas baru dalam perdebatan politik yang ideologis dan konseptual di Indonesia. Setelah berpuluh-puluh tahun pertikaian politik tidak punya kandungan ideologis, maka sekarang ini peluang itu terbuka. Tinggal sekarang, bagaimana mengkonversi perdebatan ini tidak hanya terjadi di kalangan atas; intelektual, politisi, dan pemilik media, tetapi mendorongnya menjadi perdebatan di tingkatan bawah; massa rakyat.

Sebagai misal, Faisal Basri menilai, mereka yang menentang neoliberalisme berarti identik dengan komunisme (media Indonesia). menurutnya, jika neoliberalisme membebaskan pasar beroperasi secara bebas, maka komunisme justru menghendaki negara mengendalikan segalanya, termasuk ekonomi.

Absennya kalangan pergerakan dalam isu ini, justru akan menjadikan pro-kontra neoliberal menggelinding tanpa arah yang jelas, dan hanya akan menjadi konsumsi akademis semata (perdebatan mashab). Harus diterangkan, neoliberalisme mengorbankan rakyat di kalangan bawah lebih parah, sehingga sektor di bawah inilah yang punya kepentingan untuk memperjuangkannya lebih serius dan sekuat tenaga.


Proposal Kedepan

Saya tidak lagi memperdebatkan soal berpartisipasi dan tidak berpartisipasi dalam menentukan sikap terhadap pemilu presiden 2009. Bagi saya, tidak berpartisipasi pun akan menjadi baik, sepanjang punya agenda konkret dalam memajukan gerakan rakyat Indonesia kedepan. Disini, dalam posisi berpartisipasi dalam pilpres, saya mencoba memberikan sedikit gambaran yang sangat mungkin untuk dimenangkan dalam perjuangan ini;

Pertama, membangun blok (persatuan) anti-neoliberalisme yang lebar, dimana tercipta ruang bersama untuk menampung kepentingan seluruh sektor-sektor yang menjadi korban neoliberalisme. Buat saya, dalam konteks pilpres, sangat perlu untuk menaungi sentiment anti neoliberalisme yang sedang menguat, baik diantara dua pasang capres yang menyatakan diri anti neolib dan pro-kemandirian bangsa maupun kepada seluruh sektor sosial yang berada diluarnya; berserakan dan terfragmentasi.

Terhadap kedua capres-cawapres yang mengaku anti-neolib dan pro-kemandirian bangsa, posisi kita bukanlah memberikan dukungan suara supaya mereka menang, tapi memberikan dukungan kritis terhadap program anti-neoliberalnya. Dalam hal ini, kita mensupport program-program anti-neoliberalisme mereka, dan mendorongnya supaya itu bisa lebih konkret dan dapat dibuktikan jika kelak berkuasa.
Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu dijawab dengan tegas oleh para kandidat tersebut. (1) menciptakan garis demarkasi (pembeda) yang jelas dan terang antara mana yang pro-neoliberal dan mana yang anti neoliberal. Untuk ini, kubu anti neoliberal harus menelanjangi tampa ampun watak dan tujuan sejati dari kubu neoliberalisme. (2) bagaimana menjamin persoalan kesejahteraan rakyat dan pembangunan kapasitas produktifnya. Untuk melakukan ini, kubu anti-neoliberal tidak bisa hanya dengan bersandar pada janji-janji abstrak, tetapi mulai memformulasikan program yang terang dan jelas berpihak kepada rakyat. (3) untuk menumbangkan dan mengalahkan neoliberalisme dan kaki tangannya, maka kubu anti-neoliberal harus mendukung politik mobilisasi rakyat dan partisipasi politik rakyat, baik dalam menstimulasi perjuangan sosial ekonomi maupun dalam pengambilan keputusan politik.

Kedua, Untuk menarik kepentingan seluruh sektor yang bermacam-macam itu, maka kita dituntut untuk memformulasikan sebuah program atau platform yang konkret. Program konkret ini, selain dapat mengkonversikan seluruh sektor-sektor korban neoliberal yang bermacam-macam, juga harus mampu menjawab tuntutan mendesak seluruh rakyat sekarang ini; sembako (pangan), perumahan, energi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Selanjutnya, dalam kerangka itu, gerakan anti-neoliberal dituntut untuk menyodorkan sebuah projek nasional yang merupakan alternatif terhadap kegagalan kapitalisme neoliberal. Secara global, sejujurnya, beberapa kawasan memperlihatkan pembangunan ekonomi yang berada diluar kerangka neoliberalisme, khususnya Amerika Latin. Amerika latin, misalnya, yang telah mengharu biru dalam membangun alternative terhadap kapitalisme neoliberalisme, bisa dijadikan salah satu bahan pelajaran yang penting, tapi bukan di copy paste secara membabi buta.

RUDI HARTONO, pengelola Jurnal Arah Kiri dan Berdikari Online.
 

RAKYAT DAN AKTIVIS PRO-DEMOKRASI DALAM MENGHADAPI PEMILU 2009


Oleh : Randy Syahrizal


Pemilu 2009 ini akan diramaikan oleh tiga puluh delapan (38) partai politik nasional, enam partai politik lokal (khusus di Aceh), kurang lebih seribu kandidat DPD, dan lebih dari sebelas ribu calon anggota DPR RI. Keseluruhan jumlah tersebut memperebutkan 560 kursi DPR RI dan 132 kursi DPD. Dengan demikian, fragmentasi masih menjadi sajian dominan dalam kompetisi politik lima tahunan kali ini. Dapat dikatakan lebih parah dibandingkan pemilu periode sebelumnya.

Sedangkan ditataran lokal (baik provinsi maupun Kabupaten Kota), tak bisa dipungkiri akan menjadi pertarungan fragmentasi politik yang paling tajam. Ini dapat dipahami, melihat bahwa ukuran keberhasilan sebuah partai politik ditingkatan pusat (DPR-RI dan DPD) tak bisa lepas dari keterukuran (maksimalisasi) suara ditingkatan Kabupaten/Kota, sebagai basis konstituen para politisi yang akan bertarung memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Dari wacana fragmentasi diatas, pelajaran apa kemudian yang akan ditarik oleh Rakyat dan Aktivis Pro-Demokrasi sebagai basis konstituen pada pemilu 2009..?

Benarkah Rakyat akan Bingung..?

Bisa dipastikan bahwa konsentrasi domisili masyarakat umum secara luas berada diteritori tingkat 2 (dua) dalam logika teritori negara. Dengan begitu, sosialisasi (kampanye) garis politik masing-masing partai politik akan dikonsentrasikan diteritori tingkat 2 (dua). Lantas pertanyaannya adalah, “Seberapa rasionalkah masyarakat kita (Indonesia) dalam mengambil pilihan politik dipanggung Pemilu 2009..?” jika kemudian sebagian besar pengamat politik mengatakan bahwa pemilih di Indonesia masih bersifat feodalistik dan jauh dari nilai-nilai rasionalitas, pertanyaannya kemudian “Apakah Rakyat dibingungkan oleh Kampanye Partai-Partai Politik yang secara massif berbicara Nasionalisme dan Program-program populis..?

Saat ini menurut saya, secara garis besar, keterwakilan garis politik bisa dilihat dari latar belakang para pendiri partai politik tersebut. Bisa dilihat bagaimana fragmentasi politik diisi oleh bukan aliran idiologi sejatinya, melainkan mewakili sekte-sekte dalam idiologi agama, varian-varian semu (palsu) dari idiologi Pancasila dan sisa-sisa Dwi Fungsi ABRI yang dicerminkan melalui “kelatahan” mantan Perwira ABRI yang turut membangun Partai Politik. Sudah jelas bahwa ini adalah fragmentasi semu yang menurut saya akan membuat bingung rakyat. Pemilih bisa saja terjebak pada propaganda palsu, yakni meyakini fenomena politik “trendsetter” partai politik, para Caleg, maupun para Capres yang saat ini gemar berbicara “Anti Penjajahan Asing”. Fragmentasi politik semu ini lah yang akan meramaikan panggung pemilu 2009. bagaimanalah fragmentasi berjalan ditengah-tengah masyarakat..?

Fragmentasi Politik

Tokoh-tokoh berlatar belakang militer saat ini juga banyak terlibat (membangun) partai-partai politik sebagai alat merebut kekuasaan politik. Anehnya tokoh-tokoh berlatarbelakang militer saat ini tidak bisa bersatu dalam sebuah partai politik, yang bisa diamsumsikan mewakili kepentingan pihak militer.

Setidaknya lebih dari empat partai politik (Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKPB, PKPI, dll) adalah partai-partai yang diisi oleh mantan pimpinan ABRI. Sejumlah elit sipil yang sebelumnya berafiliasi ke Partai Golkar (sebagai instrumen politik ABRI di masa Orde Baru) turut menyebrang, terutama ke partai-partai yang disebut di atas. Kelompok Muhamadiyah yang sebelumnya diklaim oleh PAN, kini sebagian kalangan mudanya bergeser ke Partai Matahari Bangsa (PMB). Nasib serupa dialami oleh PKB, yang setelah terbelah ke dalam PKNU, kemudian kembali terbelah akibat konflik internal (Gus Dur vs Muhaimin). Sementara PDIP, setelah perpecahan menjelang Kongres di Bali yang melahirkan PDP (Partai Demokrasi Pembaruan), tampak mulai menuai peningkatan popularitas sebagai hasil sebagai sikap oposisi loyal terhadap pemerintahan SBY-JK.

Kemunculan parpol-parpol baru dapat dipandang sebagai bagian dari fragmentasi politik, dengan terlibatnya sejumlah tokoh politik dalam membidani partai dimaksud, untuk kepentingan pemilihan presiden. Misalnya Partai Hanura untuk Wiranto, Gerindra untuk Prabowo, Partai Republiku dan beberapa partai lain untuk Sutiyoso, dll.

Kita dapat mengurai berbagai faktor yang mengakibatkan fragmentasi tersebut di atas. Namun, yang terpenting, dan menjadi persoalan umum dari fragmentasi tersebut, adalah ketiadaan ideologi yang dipegang oleh para politisi sebagai pembimbing langkah politik, menuju cita-cita kolektif rakyat Indonesia. Fragmentasi pada level elit politik ini berpotensi menjalar pada level rakyat, terutama dalam corak sosial masyarakat yang masih menganut sisa-sisa budaya feodalisme (patronase, primordial, dll). Namun kekosongan ideologi ini juga dapat menjadi potensi revolusioner (perubahan), disaat rakyat semakin kritis dan tidak puas terhadap langkah-langkah yang diambil oleh para pejabat negara maupun pemerintahan, yang mereka pilih pada pemilihan umum lalu.

Rakyat dan Aktivis Prodem Tak Boleh Bingung, Masih Ada Alternatif

Dalam situasi sekarang, ketika arus serangan neoliberalisme dibiarkan (bahkan justru dilayani untuk) merajalela oleh pemerintah berkuasa (SBY-JK), secara tidak terhindakan memunculkan berbagai kritik, ketidakpuasan, protes, dan perlawanan. Keluhan tentang kesulitan hidup telah menjadi hal yang umum bagi mayoritas rakyat, baik di kota maupun di pedesaan, dan tanpa mengenal batas keyakinan ideologi-politik. Semakin banyak rakyat (buruh, petani, pengangguran, pedagang dan pengusaha kecil, bersama keluarga dan anak-anaknya) yang terjerembab lebih dalam ke kubang kemiskinan. Semakin banyak golongan masyarakat yang melihat dan merasakan dampak dari ketidakadilan korporasi, keserakahan yang mengorbankan rakyat banyak, seperti yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan asing. Secara teoritis, seharusnya spektrum politik (atau ideologi) nasionalis (progresif dan konservatif), Sosialis/Kerakyatan, dan Religius Progresif, dapat merangkai sebuah platform bersama.
Harus diakui bahwa tindakan duduk bersama untuk memecahkan persoalan bangsa hampir tidak pernah dilakukan dan tidak pernah menjadi program utama partai-partai politik beserta politisi-politisinya. Politik yang dijalankan sangat mencerminkan tindakan yang pragmatis, yakni hanya sekedar mengejar kekuasaan semata. Kondisi ini mau tidak mau membuat rakyat menjadi bingung.

Rakyat Indonesia hari ini mutlak membutuhkan terobosan baru yang berani dan mendasar, dan memiliki harapan (prospek) jangka panjang untuk memperbaiki benang kusut nasib rakyat kedepan. Hampir pada setiap momentum pemilu, para aktivis berkumpul untuk membicarakan dan mengkampanyekan sebuah Gerakan Anti politisi Busuk. Efeknya adalah, semakin bertambahnya angka Golput. Ini bisa dipahami, karena para aktivis saat ini tidak pernah berbicara sebaliknya, yakni Mendukung Politisi Bersih dan Pro Terhadap Rakyat. Maka keyakinan rakyat (yang mayoritas Golput) saat ini tidak bergeser sedikitpun, yakni masih saja menganggap semua Parpol itu adalah busuk dan politisinya juga politisi busuk.

Dalam hal tetap berkomitmen berjuang merubah nasib rakyat miskin, saya menantang para aktivis untuk berani mendukung (membuat sebuah gerakan) Politisi Bersih yang Programatik dan Pro Rakyat Miskin. Wujud terobosan baru ini adalah, mengikat seluruh Parpol dan Politisinya untuk berani berbicara luas dihadapan Rakyat mengenai visi-misinya kedepan untuk perubahan nasib rakyat. Ini akan lebih jelas mengukur kesiapan para politisi dan komitmennya berjuang merubah nasib rakyat. Jika parpol serta politisi itu tidak berani mempresentasekan visi-misi dan mengikat komitmennya dihadapan rakyat, para aktivis tersebut tinggal memblacklist saja parpol dan politisi tersebut, sedangkan bagi parpol yang berani dan siap mempresentasekan dan mengikat komitmen perjuangannya, maka kemudian para aktivis dan masyarakat juga harus berani mendukungnya. Mudah-mudahan borok-borok kepalsuan parpol-parpol dan politisi yang selalu mengatasnamakan rakyat dalam berbicara tapi tidak dalam tindakan, akan terasing dari rakyat Indonesia. Bagi saya, wacana ini layak dipraktekkan, sebagai embrio politik alternatif kedepan, untuk kesejahteraan rakyat sesejati-sejatinya.

Ditulis oleh : Randy Syahrizal
Penulis adalah Wakil Ketua DPC – Partai Bintang Reformasi (PBR) Pematangsiantar
dan Aktivis Serikat Tani Nasional (STN) Sumatera Utara, dan Mahasiswa FISIP UT – UPBJJ Medan
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger