Pernyataan Sikap: Hentikan Kriminalisasi Aktivis & Petani! Tegakkan Pasal 33 UUD 1945!

Aparat kepolisian kembali merepresif perjuangan petani. Sebanyak 29 petani asal Pulau Padang, Bengkalis, Riau, dijadikan target kriminalisasi. Salahsatu aktivis petani, Muhamad Ridwan, ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan pasal-pasal karet (Penghasutan: Pasal 160 dan 163 KUHP, serta 355 KUHP).
Praktek kriminalisasi perjuangan petani ini sekaligus menambah daftar konflik agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyebutkan, selama 8 tahun Pemerintahan SBY berkuasa, tidak kurang dari 618 konflik agraria yang meletus: sebanyak 941 orang dipenjarakan, 459 luka-luka terkena peluru aparat, serta 44 orang tewas.
Selain itu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) juga mencatat sebanyak 7000 konflik agraria di Indonesia berpotensi meletus. Daftar konflik agraria tersebut, terus akan bertambah sepajang politik agraria kita masih bercorak kolonialistik dengan ciri sebagai berikut:
Pertama, cara negara dalam mengelolah tanah menyingkirkan rakyat dari proses penguasaan dan pemanfaatan tanah tersebut. Cara yang sama dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda dengan merampas tanah rakyat atas nama Undang-undang (Agraris Wet) 1870.
Akhir-akhir ini, lahir berbagai regulasi yang serupa Agraris Wet untuk melegalisir perampasan tanah milik rakyat, misalnya: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; dan UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah.
Semua produk Undang-Undang tersebut gagal menciptakan keadilan agraria atau keadilan sosial yang menjamin kebutuhan rakyat atas tanah. Sebaliknya, regulasi yang berwatak kolonial tersebut memberikan ruang kriminalisasiterhadap perjuangan petani; atau membolak-balik logika perjuangan atas tanah yang seharusnya mulia (benar), menjadi tercela (kriminal).
Kedua, posisi rakyat tidak pernah setara di depan hukum. Dari berbagai pasal yang ada di dalam sejumlah UU tersebut, justru hanya untuk mengkriminalisasi perjuangan petani. Semenara pihak perusahaan mendapat perlindungan hukum sekalipun mereka menggunakan praktek kekerasan: penembakan, pemabakaran rumah, penggusuran, dan sebagainya yang mengorbankan rakyat.
Pemerintah selalu menempatkan rakyat disudut yang bersalah. Ketika protes petani digelar, maka pengusaha dan pemerintah, serta aparat keamanan mencapnya sebagai aksi gangguan stabilitas (civil disturbances) atas jalannya investasi.
Cara-cara aparat keamanan dalam menyelesaikan konflik-konflik agraria sejak Orba tidak berubah, tindakan represif selalu dibenarkan atas nama Undang-Undang, dengan pasal-pasal karet (haatzai artikelen) petani dipaksa tunduk kepada kepentingan pemodal.
Ketiga, Cara pandang negara dalam pengelolaan tanah sangat berorientasi profit dan pro modal asing. Padahal, jika merujuk kepada pasal 33 UUD 1945, penggunaan tanah di Indonesia mestinya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Bukti bahwa tata-kelola tanah di Indonesia sangat pro-pebisnis besar adalah; dari 200-an Juta Hektar luas daratan Indonesia, 70 persen adalah sektor kehutanan yang sebagian besar habis diprivatisasi atau diserahkan kepada pemodal asing/dan swasta.
Inkonsisteni pemerintah terhadap konstitusi bukan saja menyebabkan konflik agraria terjadi dimana-mana, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, yang haknya dijamin oleh konstitusi.
Penangkapan terhadap aktivis dan petani yang sedang berjuang mempertahankan haknya, seperti di Pulau Padang (Riau), di Blitar (Jawa Timur), di Betung (Sumatera Selatan), atau di daerah lainnya,  merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat. Tak ubahnya seperti kekuasaan kolonial tempo dulu yang memandang perjuangan rakyat untuk keadilan sebagai pemberontak, ekstrimis, provokator, dan berbagai stempel sejenis lain.
Karena itu, Partai Rakyat Demokratik menyampaikan sikap sebagai berikut:
  1. Menuntut kepada pemerintah untuk konsisten dan setia menjalankan amanat konstitusi khususnya: Pasal 33 UUD 1945, dan melaksanakan UU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960.
  2. Mengecam tindakan represif aparat dan menuntut penghentian kriminalisasi seluruh perjuangan petani.
  3. Menuntut pembebasan Sdr. Muhamd Ridwan, aktivis Partai Rakyat Demokratik oleh Polres Bengkalis, Riau.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat. Atas solidaritas dan pembelaan pada rakyat, kami mengucapkan terimaksih.
Jakarta, 5 Februari 2013
Hormat Kami
Agus Jabo Priyono
Ketua Umum PRD
 

Profil Singkat



Saya lahir di Medan, 25 Agustus 1985, anak pertama dari 6 bersaudara. Sadar akan gemar menulis sejak usia 9 tahun, berawal dari kegemaran mengerjakan karangan bebas (essay) pada setiap tugas ataupun ujian pelajaran Bahasa Indonesia. Sejak saat itu saya sering menulis apa saja yang pernah saya alami, misalkan wisata bersama keluarga, tentang harapan, perkawanan dan lain sebagainya.

Memasuki SMP, saya hijrah ke kota kecil Pariaman, Sumatera Barat. Mendaftar di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Pariaman. Tak lama waktu yang saya butuhkan untuk menyesuaikan diri, terutama bahasa daerah dan kebiasaan-kebiasaan masyarkat setempat. Meski kental berdarah Minang, tapi saya tak dibesarkan di Ranah Minang. Ditempat ini saya belajar kemandirian, sesekali bekerja mencari duit buat jajan sebagai buruh tani musiman (musim panen). Saya tinggal bersama nenek, mereka adalah golongan petani kecil dengan kepemilikan lahan yang sangat kecil.

Disini mayoritas lahan dimiliki bersama dan diolah dengan sistem kekerabatan. Tak ada yang boleh menjualnya. Kebijakan tertinggi atas tanah diurus oleh Ninik Mamak.

Setahun setelah itu saya dijemput Ibu, dan kembali pindah ke Kota kelahiran. Saya sekolah di SMP Negeri 11 Medan. Awal mula berkenalan dengan kenakalan remaja, seperti menghisap rokok dan berkelahi. Untung saja tak sampai berkenalan dengan Narkoba. Saat-saat ini juga saya lepas kontrol dari kedua orang tua, yang hijrah ke Jakarta untuk memulai usaha barunya. Keluarga kami terpisah di tiga tempat, saya dan adik nomor dua berada di Medan, dua lagi di Pariaman dan sisanya ikut ke Jakarta.

Tahun 2000 saya masuk ke sekolah swasta Dharmawangsa. Memiliki banyak teman, dan beberapa diantaranya adalah sahabat-sahabat yang memiliki keunikan dan keahlian sendiri-sendiri. Satu kemiripan adalah kegemaran bertukar pikiran.

Sejak tahun ini juga saya mulai menyeriusi dunia musik Metal, dengan membentuk Band Gothic Metal bernama Angel Of Darkness yang sukses melahirkan 3 buah lagu. Namun sayang, band ini tak bertahan lama, hingga akhirnya saya direkrut oleh Band Death Metal bernama Death Phenomenon sebagai Gitaris.

Saya pernah berpikir untuk tidak lagi menekuni ilmu pengetahuan lain selain seni musik. Sejak SMP keinginan meneruskan bakat musik memang tak mudah, selalu mendapat tentangan dari oraang tua. Akhirnya sang Anak juga yang harus mengalah. Tahun 2003 saya tamat dari Dharmawangsa dan memutuskan Ujian SPMB untuk masuk ke USU. Sumpah, saya sebenarnya berharap pilihan kedua dari 2 pilihan yanmg saya ambil, yakni Ilmu Sejarah dan Etnomusikologi. Namun sayang, pilihan pertama berjodoh dengan saya.

Tak sulit memang beradaptasi pada disiplin ilmu ini karena memang saya menyukai pelajaran Sejarah. Namun tetap saja saya menjalaninya dengan setengah hati. Hingga menjelang akhir tahun 2004 saya memutuskan untuk keluar dari Band, dan memutuskan konsentrasi penuh pada ilmu ini (diam-diam ilmu sejarah berhasil mencuri hati saya).
Pada masa-masa awal kuliah saya bergabung disebuah kelompok studi mahasiswa bernama Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (GEMA PRODEM), sebuah kelompok studi kritis yang mengangkat nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, dan persaudaraan. Saya mulai terlibat dalam pengorganisiran kampus dan mobilisasi massa aksi. Ada beberapa yang saya ingat, seperti mobilisasi menolak kenaikan SPP, menolak BHMN, dan bersatu pada aksi-aksi rakyat lainnya seperti peringatan 27 Juli, Hari Buruh Internasional, Hari HAM, Hari Perempuan, Hari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dll.

Hingga pada titik puncak keresahan anak muda yang melawan apa saja yang membelenggunya pun ikut pula saya hadapi. Saya keluar dari USU dan memilih bergabung dengan gerakan rakyat, tepatnya di akhir tahun 2005, bergabung bersama Serikat Tani Nasional (STN) Deli Serdang. Masa-masa ini saya jalani dengan hidup berpindah-pindah, dari desa ke desa, berjuang dan membangun organisasi massa tani dengan beberapa kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara. Hingga setahun kemudian, saya dilantik menjadi Kader PRD, dengan tugas memimpin organisasi tani di Sumatera Utara.

Politik Intervensi Pemilu (2007) memaksa saya kembali ke Medan dengan menjadi pengurus Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS), sebuah partai yang dibangun oleh beberapa organisasi massa yang memandang bahwa arena pemilu harus diintervensi oleh kaum pergerakan. Saya terpilih sebagai Ketua Departemen Pendidikan dan Kaderisasi Sumatera Utara.

Malang, Papernas tak diberi kesempatan oleh rezim neoliberal SBY, ditandai dengan penyerangan merata dimana-mana. Tahun 2008, perubahan besar di internal terjadi, Perdebatan panjang dibuka, dan memutuskan penilaian bahwa PAPERNAS tak mungkin bisa memenuhi persyaratan berat sebagai peserta pemilu 2009 dibawah teknan dan intimidasi. Pilihannya kemudian jatuh pada berkoalisi dengan PBR yang dipimpin oleh Burzah Zarnubi.

Ini lah babak perpecahan. Suara kader dan pengurus di Sumatera Utara pecah antara setuju dan tidak setuju dengan pilihan koalisi, hingga puncaknya adalah split. Saya memilih setia pada keputusan yang telah diambil secara demokratis, penuh pertimbangan dan berdasarkan suara terbanyak.

Koalisi pun terbina dengan baik. Tahun 2008 saya pindah ke Siantar untuk menjadi pengurus di partai koalisi, menjadi wakit ketua di DPC PBR kota Siantar. Tahun 2009 Partai memutuskan saya maju menjadi Caleg kota Siantar bersama kawan-kawan lainnya di daerah pemilihan yang berbeda.

Caleg-Caleg PRD ini pun kemudian membuat sejarah baru dalam kampanye Pemilu kontemporer, dengan memilih taktik kampanye turun ke bawah, melakukan long march ke kampung-kampung terpelosok, berjalan mengelilingi kota Siantar dan Simalungun dengan berjalan kaki, membawa selebaran, dan berdiskusi langsung kepada rakyat pemilih. Kami mengusung program mendesak, demokratisasi dan kesejahteraan. Namun sayang, kami memang tak cukup syarat untuk menang.
Tahun 2009 paska pemilu saya ditarik ke Medan, dan untuk kembali memimpin teritori wilayah. Konfrensi wilayah tahun 2010, saya terpilih menjadi ketua PRD Sumatera Utara periode 2010 – 2015.

Saat ini selain aktif di PRD, saya juga mencoba menekuni kembali kegiatan menulis di blog. Saya juga melakoni dunia marketing sebagai pertahanan diri (ekonomi) dengan menjadi marketing asuransi di Avrist Assurance.


Kontak Saya

Mobile 0857 6319 071 – 0852 9957 7640
Fb        : Randy Syahrizal
Twitter : @Randy Syahrizal

 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger