KURIKULUM KRITIS

  Menurut Peter L Berger seorang sosiolog (1966), manusia pada hakikatnya memproduksi dirinya sendiri melalui pengalaman dalam realitas sosial. Bagian paling hakiki dari potensi manusia adalah hasrat, sebagai tanda bahwa manusia merasakan kekurangan yang menuntut untuk dipenuhi. Hal inilah yang menjadi watak manusia dalam keterlibatan peserta didik pada proses pembelajaran aktif.
            
Sejak James Watt menemukan mesin uap pada tahun 1796, Revolusi Industri di Inggris yang dimulai sejak tahun 1750, semakin menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Mesin-mesin industri telah mengubah cara kerja manusia dalam menghasilkan “barang” secara revolusioner. Sebelumnya, proses pembuatan barang dilakukan secara manual oleh kerja manusia, namun setelah mesin uap berhasil dikembangkan, mesin telah menggantikan cara kerja manual menjadi cara kerja yang mekanis dan otomatis.
            Sejak itu, manusia yang hanya mengandalkan tenaga saja mulai tergusur dari kegiatan produksi dan begeser menjadi kuli kasar. Sedangkan yang mengerti mengoperasionalkan mesin, mengerti pembukuan dan pekerjaan administratif mendapatkan posisi yang utama dalam corak produksi yang baru ini.
Permintaan pasar yang besar serta perluasan pasar secara terus menerus, berperan penting dalam menggeser orientasi pendidikan. Sejak itu, pendidikan harus mengabdi pada kegiatan industri. Dan kini, pendidikan tak lain adalah warisan dari revolusi industri dalam perkembangannya yang lebih tinggi.
Hari ini, akibat dari meluasnya pasar, berlakunya sistem perdagangan bebas yang diyakini mampu mengatasi krisis over produksi, mau tidak mau industri harus terus mengintervensi potensi pasar baru. Penetrasi pasar dilakukan dengan menggunakan jasa-jasa tenaga pemasaran untuk meluaskan pasar sampai ke pelosok-pelosok perkampungan.   Untuk memuluskan langkah tersebut, lagi-lagi lembaga pendidikan harus terlebih dahulu mengabdi kepadanya. Dan tentunya, Negara jugalah yang pertama sekali merestui langkah ini.

Kurikulum Industri
Sejak Industri mulai berkembang pesat, kegiatan industri pertama-tama harus menyesuaikan diri dengan permintaan pasar yang sudah menjadi “goal” kegiatan industri, dan tentunya “target” menjadi budaya baru dalam proses kerja manusia.
Tak mudah menjadikan target industri sebagai beban yang harus dipikul oleh manusia. Menyadari kesukaran itu, beban target pertama-tama harus menjadi kebiasaan sejak kecil dan selanjutnya dilatih terus menerus dalam lembaga pendidikan (sekolah).
Hegemoni kurikulum pasar dipersiapkan untuk mencetak tenaga-tenaga yang siap menerima pekerjaan yang sesuai dengan keinginan pasar tanpa sanggup mengelak darinya (kehilangan kekritisan).
Prakondisi sudah dimulai dari menciptakan masyarakat yang terprogram, kaku, formalis dan bisu dalam kreatifitas. Salah satu stimulusnya selain target Ujian Nasional (UN), target Indeks Prestasi (IP) atau beban SKS, adalah dengan memberikan penilaian (ponten) kepada peserta didik, tak perduli sekalipun pelajaran menggambar bebas dan mengarang. Tidak ada pelajaran yang bebas dari ponten, bahkan jawaban yang bersifat opini pun tak luput dari penilaian benar dan salah.
Saya masih ingat ketika SD, saat menulis karangan bebas, tanpa saya sadari seluruh peserta didik menulis kalimat pembukanya dengan “Pada suatu hari….” Bahkan dalam pelajaran menggambar bebas, ponten 9 adalah mereka yang menggambar dua bukit gunung dengan matahari ditengahnya dan hamparan sawah di kiri-kanannya. Karena demi mengejar ponten 9, peserta didik kehilangan imajinasi dan kreatifitasnya, lalu ikut-ikutan menggambar yang sama.
Menurut Paulo Freire, pendidikan tak ubahnya seperti kegiatan menabung di mana murid sebagai celengan yang dengan sesuka hati diisi oleh gurunya. Yang terjadi bukan proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh para murid. (Paulo Freire; 1987)
Inilah cikal bakal mindset tenaga kerja industri yang kehilangan kemanusiaannya, kehilangan kreatifitas dan kebebasan berpikir sejak awal, untuk memudahkannya beradaptasi dengan mesin dan cara kerjanya yang mekanik.

Kurikulum Kritis
            Indonesia sejak Orde Baru hingga saat ini adalah negara yang mengadopsi kurikulum industri didalam institusi pendidikan. Hilanglah sudah pelajaran dari Multatuli, Ki Hjar Dewantara dan Tan Malaka soal memanusiakan manusia sebagai tugas pokok lembaga pendidikan.
Mari kembali pada pengertian dasar sekolah. Dalam Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Ada makna kebebasan yang terkandung dalam definisi diatas.
Saya berpendapat, membebaskan peserta didik dalam belajar apapun yang disukainya adalah pilihan bijak untuk menanamkan rasa cinta pada pelajaran. Tugas lembaga pendidikan menurut saya harus diubah, tidak lagi memaksa peserta didik pada pemahaman dan tindakan yang kaku berdasarkan kebenaran-kebenaran yang terprogram. Tugas lembaga pendidikan harus diubah untuk tidak lagi melayani kepentingan pasar dengan terus menerus menciptakan generasi robot-robot industri yang siap bekerja tanpa kreatifitas dan dedikasi pada kemanusiaan.
Dewasa ini, rendahnya minat membaca adalah salah satu kegagalan terbesar yang dialami dunia pendidikan kita. Perpustakaan ditiap-tiap sekolah selalu saja sepi dan tak mampu menarik perhatian mereka, begitu juga toko-toko buku. Peserta didik dari hari ke hari semakin kehilangan cita-cita dan daya imajinasinya dalam mengembangkan kepribadiannya.
Sebagian kecil dari mereka yang memikirkan cita-cita juga masih takut untuk keluar dari penjara kurikulum pasar. Tak sedikit dari mereka memilih belajar diluar (Bimbingan Belajar) dengan tujuan lulus di jurusan yang dicari pasar (industri) pada perguruan-perguruan tinggi favorit.
            Sebagian besar diantaranya malah tidak menyenangi belajar di sekolah, hingga mencari kesibukan lain yang tidak kalah parahnya, seperti ikut geng motor, geng shopping, geng dugem, geng tawuran dll. Ini adalah kegagalan selanjutnya dari kurikulum kita yang kaku.
Apakah jika ada formula baru dari sistem pendidikan kita maka dunia pendidikan kita bisa berubah dalam arti peserta didiknya bisa menjadi manusia yang unggul dan berkrepribadian? Menurut saya bisa. Dan harus diawali dari merubah kurikulum pasar menjadi kurikulum yang kritis.
Dalam kurikulum kritis, yang terpenting adalah bukan bagaimana peserta didik mendapatkan hasil dari standar yang telah ditentukan dengan mengacu pada standar industri, tapi bagaimana sekolah dapat menanamkan rasa keinginan belajar dan belajar lebih dalam lagi tentang pelajaran itu sendiri. Pendeknya, kurikulum kritis adalah upaya menanamkan minat belajar kepada peserta didik, dan minat mengembangkan pelajaran yang didapatnya dalam realitas masyarakat.
Praksisnya, sebuah tugas pelajaran tak perlu dinilai dalam bentuk angka, tak perlu ada kompetisi simbolis. Tugas-tugas pelajaran hanya perlu di apresiasi secara lisan sebagai bentuk penilaian kritis dari usaha–usaha mereka dalam mengenal pelajarannya.
            Mari kembali membuka sedikit lembaran sejarah bangsa kita. Tan Malaka jauh-jauh hari telah memperkenalkan metode belajar yang dapat merangsang peserta didiknya untuk mencintai kegiatan belajar. Tan Malaka mempraktekkan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Murid yang bersekolah di sana diberikan hak-hak hidup “sebenarnya”, yakni kebebasan memilih dan mengeluarkan ekspresi minat dan bakatnya berupa lingkungan pendidikan yang sosial..
Tan Malaka berkeyakinan bahwa pendidikan idealnya menjadi transformasi manusia menuju satu perubahan yang lebih baik. Realita ssosial tidak hanya diterjemahkan secara kognitif tetapi juga bentuk aksi. Sebab, pendidikan bukan semata memproduksi pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan adalah gerak yang mencipta.(Syaifudin; 2012)
Dalam konteks dunia kontemporer, Norwegia menurut saya patut dijadikan contoh. Kebijakan pendidikan Norwegia berakar pada prinsip kesamaan hak terhadap pendidikan bagi semua anggota masyarakat, tanpa memperhitungkan latar belakang sosial dan budaya atau tempat tinggal. Kegiatan mengajar di sekolah Norwegia diadaptasikan dengan kemampuan dan keahlian masing-masing siswa.
 Lalu, bagaimana dengan kita? Masihkah kurikulum pendidikan saat ini kita pertahankan?

Randy Syahrizal, penulis adalah Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger