Menurut Peter L Berger seorang sosiolog
(1966), manusia pada hakikatnya memproduksi dirinya sendiri melalui pengalaman
dalam realitas sosial. Bagian paling hakiki dari potensi manusia adalah hasrat,
sebagai tanda bahwa manusia merasakan kekurangan yang menuntut untuk dipenuhi.
Hal inilah yang menjadi watak manusia dalam keterlibatan peserta didik pada
proses pembelajaran aktif.
Sejak itu, manusia yang hanya
mengandalkan tenaga saja mulai tergusur dari kegiatan produksi dan begeser
menjadi kuli kasar. Sedangkan yang mengerti mengoperasionalkan mesin, mengerti
pembukuan dan pekerjaan administratif mendapatkan posisi yang utama dalam corak
produksi yang baru ini.
Permintaan
pasar yang besar serta perluasan pasar secara terus menerus, berperan penting
dalam menggeser orientasi pendidikan. Sejak itu, pendidikan harus mengabdi pada
kegiatan industri. Dan kini, pendidikan tak lain adalah warisan dari revolusi
industri dalam perkembangannya yang lebih tinggi.
Hari
ini, akibat dari meluasnya pasar, berlakunya sistem perdagangan bebas yang
diyakini mampu mengatasi krisis over produksi, mau tidak mau industri harus
terus mengintervensi potensi pasar baru. Penetrasi pasar dilakukan dengan
menggunakan jasa-jasa tenaga pemasaran untuk meluaskan pasar sampai ke
pelosok-pelosok perkampungan. Untuk
memuluskan langkah tersebut, lagi-lagi lembaga pendidikan harus terlebih dahulu
mengabdi kepadanya. Dan tentunya, Negara jugalah yang pertama sekali merestui
langkah ini.
Kurikulum
Industri
Sejak
Industri mulai berkembang pesat, kegiatan industri pertama-tama harus
menyesuaikan diri dengan permintaan pasar yang sudah menjadi “goal”
kegiatan industri, dan tentunya “target” menjadi budaya baru dalam proses kerja
manusia.
Tak
mudah menjadikan target industri sebagai beban yang harus dipikul oleh manusia.
Menyadari kesukaran itu, beban target pertama-tama harus menjadi kebiasaan
sejak kecil dan selanjutnya dilatih terus menerus dalam lembaga pendidikan
(sekolah).
Hegemoni
kurikulum pasar dipersiapkan untuk mencetak tenaga-tenaga yang siap menerima
pekerjaan yang sesuai dengan keinginan pasar tanpa sanggup mengelak darinya
(kehilangan kekritisan).
Prakondisi
sudah dimulai dari menciptakan masyarakat yang terprogram, kaku, formalis dan
bisu dalam kreatifitas. Salah satu stimulusnya selain target Ujian Nasional
(UN), target Indeks Prestasi (IP) atau beban SKS, adalah dengan memberikan
penilaian (ponten) kepada peserta didik, tak perduli sekalipun pelajaran
menggambar bebas dan mengarang. Tidak ada pelajaran yang bebas dari ponten, bahkan
jawaban yang bersifat opini pun tak luput dari penilaian benar dan salah.
Saya
masih ingat ketika SD, saat menulis karangan bebas, tanpa saya sadari seluruh
peserta didik menulis kalimat pembukanya dengan “Pada suatu hari….” Bahkan
dalam pelajaran menggambar bebas, ponten 9 adalah mereka yang menggambar dua
bukit gunung dengan matahari ditengahnya dan hamparan sawah di kiri-kanannya.
Karena demi mengejar ponten 9, peserta didik kehilangan imajinasi dan
kreatifitasnya, lalu ikut-ikutan menggambar yang sama.
Menurut Paulo Freire, pendidikan tak ubahnya seperti kegiatan
menabung di mana murid sebagai celengan yang dengan sesuka hati diisi oleh
gurunya. Yang terjadi bukan proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan
pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal, dan diulangi
dengan patuh oleh para murid. (Paulo Freire; 1987)
Inilah
cikal bakal mindset tenaga kerja industri yang kehilangan kemanusiaannya,
kehilangan kreatifitas dan kebebasan berpikir sejak awal, untuk memudahkannya
beradaptasi dengan mesin dan cara kerjanya yang mekanik.
Kurikulum
Kritis
Indonesia sejak Orde Baru hingga
saat ini adalah negara yang mengadopsi kurikulum industri didalam institusi
pendidikan. Hilanglah sudah pelajaran dari Multatuli, Ki Hjar Dewantara dan Tan
Malaka soal memanusiakan manusia sebagai tugas pokok lembaga pendidikan.
Mari kembali pada pengertian dasar sekolah. Dalam Bahasa Latin:
skhole, scola, scolae atau skhola memiliki arti: waktu luang atau waktu
senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di
tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk
menikmati masa anak-anak dan remaja. Ada makna kebebasan yang terkandung dalam
definisi diatas.
Saya
berpendapat, membebaskan peserta didik dalam belajar apapun yang disukainya
adalah pilihan bijak untuk menanamkan rasa cinta pada pelajaran. Tugas lembaga
pendidikan menurut saya harus diubah, tidak lagi memaksa peserta didik pada
pemahaman dan tindakan yang kaku berdasarkan kebenaran-kebenaran yang
terprogram. Tugas lembaga pendidikan harus diubah untuk tidak lagi melayani
kepentingan pasar dengan terus menerus menciptakan generasi robot-robot
industri yang siap bekerja tanpa kreatifitas dan dedikasi pada kemanusiaan.
Dewasa
ini, rendahnya minat membaca adalah salah satu kegagalan terbesar yang dialami
dunia pendidikan kita. Perpustakaan ditiap-tiap sekolah selalu saja sepi dan
tak mampu menarik perhatian mereka, begitu juga toko-toko buku. Peserta didik
dari hari ke hari semakin kehilangan cita-cita dan daya imajinasinya dalam
mengembangkan kepribadiannya.
Sebagian
kecil dari mereka yang memikirkan cita-cita juga masih takut untuk keluar dari
penjara kurikulum pasar. Tak sedikit dari mereka memilih belajar diluar
(Bimbingan Belajar) dengan tujuan lulus di jurusan yang dicari pasar (industri)
pada perguruan-perguruan tinggi favorit.
Sebagian besar diantaranya malah
tidak menyenangi belajar di sekolah, hingga mencari kesibukan lain yang tidak kalah
parahnya, seperti ikut geng motor, geng shopping, geng dugem, geng tawuran dll.
Ini adalah kegagalan selanjutnya dari kurikulum kita yang kaku.
Apakah
jika ada formula baru dari sistem pendidikan kita maka dunia pendidikan kita
bisa berubah dalam arti peserta didiknya bisa menjadi manusia yang unggul dan
berkrepribadian? Menurut saya bisa. Dan harus diawali dari merubah kurikulum
pasar menjadi kurikulum yang kritis.
Dalam
kurikulum kritis, yang terpenting adalah bukan bagaimana peserta didik
mendapatkan hasil dari standar yang telah ditentukan dengan mengacu pada
standar industri, tapi bagaimana sekolah dapat menanamkan rasa keinginan
belajar dan belajar lebih dalam lagi tentang pelajaran itu sendiri. Pendeknya,
kurikulum kritis adalah upaya menanamkan minat belajar kepada peserta didik,
dan minat mengembangkan pelajaran yang didapatnya dalam realitas masyarakat.
Praksisnya,
sebuah tugas pelajaran tak perlu dinilai dalam bentuk angka, tak perlu ada
kompetisi simbolis. Tugas-tugas pelajaran hanya perlu di apresiasi
secara lisan sebagai bentuk penilaian kritis dari usaha–usaha mereka dalam
mengenal pelajarannya.
Mari kembali membuka sedikit
lembaran sejarah bangsa kita. Tan Malaka jauh-jauh hari telah memperkenalkan
metode belajar yang dapat merangsang peserta didiknya untuk mencintai kegiatan
belajar. Tan Malaka mempraktekkan pendidikan sebagai proses memanusiakan
manusia. Murid yang bersekolah di sana diberikan hak-hak hidup “sebenarnya”,
yakni kebebasan memilih dan mengeluarkan ekspresi minat dan bakatnya berupa
lingkungan pendidikan yang sosial..
Tan Malaka berkeyakinan bahwa pendidikan idealnya menjadi
transformasi manusia menuju satu perubahan yang lebih baik. Realita ssosial
tidak hanya diterjemahkan secara kognitif tetapi juga bentuk aksi. Sebab,
pendidikan bukan semata memproduksi pengetahuan. Lebih dari itu, pendidikan
adalah gerak yang mencipta.(Syaifudin; 2012)
Dalam
konteks dunia kontemporer, Norwegia menurut saya patut dijadikan contoh. Kebijakan pendidikan Norwegia berakar pada prinsip kesamaan hak
terhadap pendidikan bagi semua anggota masyarakat, tanpa memperhitungkan latar
belakang sosial dan budaya atau tempat tinggal. Kegiatan mengajar di
sekolah Norwegia diadaptasikan dengan kemampuan dan keahlian masing-masing
siswa.
Lalu, bagaimana dengan kita? Masihkah
kurikulum pendidikan saat ini kita pertahankan?
Randy Syahrizal, penulis adalah Ketua
Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara