Catatan Akhir Tahun 2010 (Politik)

Minggu, 26 Desember 2010 | 8:19 WIB

Edisi Catatan Akhir Tahun 2010
Oleh : Redaksi


Catatan Akhir Tahun 2010 (Ekonomi) BO Jumat, 24/12, telah mengulas masalah-masalah ekonomi, yang erat kaitannya dengan kebijakan neoliberal pemerintahan SBY-Boediono. Pada catatan tersebut disimpulkan, bahwa “sifat kolonialis semakin mendominasi perekonomian Indonesia”, yang menjadikan tahun 2010 ini sebagai “tahun menuju kebangkrutan”. Kebijakan-kebijakan neoliberal datang dari kepentingan modal asing melalui operatornya di kelompok “Setgab Koalisi”.

Setgab versus Oposisi?

Dinamika 2010 dimulai dengan kelanjutan isu skandal penyaluran dana Bank Century—yang diduga digunakan untuk biaya kampanye capres-cawapres terpilih, SBY-Boediono. Menghadapi tekanan ini, singkat cerita, SBY memberi dua bentuk konsesi kepada Partai Golkar, khususnya kepada Aburizal Bakrie, yang saat itu termasuk paling sengit ‘mengobok-obok’ kasus Century lewat pansus di DPR, dan juga yang paling kuat secara finansial untuk mengorganisir tambahan kekuatan dari faksi-faksi oposisi di parlamen maupun luar parlamen.

Dua bentuk konsesi tersebut adalah, pertama, menyingkirkan (mantan) Menteri Keuangan Sri Mulyani dari jajaran kabinet, yang sengit pula dilawan oleh para pendukungnya dari sedikit kalangan elit intelektual; dan kedua, konsesi berupa posisi ketua koalisi Setgab (Sekretariat Gabungan), yang merepresentasikan partai-partai dalam kabinet SBY-Boediono. Terdapat enam partai politik yang tergabung dalam koalisi setgab, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Posisi Aburizal Bakrie ini telah menguatkan peran Partai Golkar di hadapan Partai Demokrat, dan dalam dominasinya atas partai-partai lain dalam koalisi. Partai Golkar dan Demokrat menjadi dua sejoli pemegang kekuasaan terbesar dalam pemerintahan pusat. Dominannya dua partai ini menimbulkan friksi internal dalam koalisi, khususnya dari PKS dan PPP yang menuntut ‘peran’ lebih.

Sementara partai-partai di luar koalisi Setgab (PDIP, Hanura, dan Gerindra) hanya mampu memainkan peran terbatas berupa kritik-kritik ringan terhadap berbagai persoalan. Harapan kepada partai-partai ini untuk menjadi oposisi yang benar-benar solid dan programatik terhadap “pemerintahan koalisi” ternyata belum mampu dijalankan. Terdapat usaha oleh Surya Paloh untuk menggandeng kekuatan-kekuatan oposisi di luar parlamen ke dalam ormasnya Nasional Demokrat (Nasdem), namun langkah ini langsung ‘dikunci’ lewat partai-partai yang anggotanya merangkap sebagai anggota Nasdem. Koalisi Setgab telah menguasai mayoritas suara (kursi) di parlamen, serta ‘mengunci’ posisi-posisi penting yang dapat digunakan untuk mengganggu kemapanan pemerintahan. Beberapa figur penting dalam ‘partai oposisi’ bahkan secara implisit telah menyatakan diri ‘menyerah’ dan menjamin amannya pemerintahan SBY-Boediono sampai 2014. Salah satu tokoh kunci yang berperan demikian adalah Ketua MPR RI, Taufik Kiemas, yang disebut-sebut sebagai “ketua sesungguhnya” yang memainkan berbagai posisi politik PDIP.

Konsensus yang dicapai oleh politisi di level lembaga-lembaga tinggi negara ini merupakan kemenangan lanjutan presiden SBY di satu sisi, dan, di sisi lain, hasil dari upaya faksi-faksi politik di lingkaran kekuasaan untuk memperoleh konsesi ekonomi-politik, yang dapat dipakai sebagai ‘tabungan’ menuju pemilu 2014. Keputusan-keputusan dari pemerintahan SBY yang menyusahkan rakyat relatif tidak mendapatkan perlawanan di dalam parlamen; seperti yang terjadi pada kasus privatisasi sejumlah BUMN termasuk Krakatau Steel, dan rencana kenaikan harga BBM mulai awal 2011.

Sementara perimbangan kekuatan politik antara “koalisi” dan “oposisi”, yang dapat dicapai melalui hubungan antara kekuatan di dalam dengan di luar parlamen, ada terjalin tapi masih terbatas dan belum mencapai kesepakatan platform yang tegas. Baru bulan lalu, upaya SBY untuk menggoyang singgasana Sultan HB X di Yogyakarta sempat meluapkan kemarahan sejumlah masyarakat Yogya. Namun ‘perdamaian’ kembali dicapai keduanya, dengan Taufik Kiemas sebagai mediator.

Intervensi Asing Dalam Pembuatan 76 Undang-Undang

Di bulan Agustus 2010, anggota DPR RI dari fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari mengungkap keterlibatan lembaga-lembaga asing dalam pembuatan 76 Undang-Undang yang sebagian besar telah diberlakukan. Tiga lembaga internasional yang berbasis di Amerika Serikat, yaitu IMF (International Monetary Funds), Bank Dunia, dan United States Agency for International Development (USAID), telah menjadi konsultan pemerintah selama kurang lebih 12 tahun untuk pekerjaan ini.

Posisi lembaga-lembaga tersebut sebagai ‘konsultan’, diperoleh melalui ‘bantuan’ utang untuk berbagai program pemerintah di bidang-bidang strategis, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, minyak dan gas, serta pengelolaan kekayaan alam lainnya. Hasil dari ‘konsultasi’ tersebut telah mengarahkan pemerintah untuk mengajukan sejumlah Undang-Undang baru, atau mengubah Undang-Undang (UU) yang ada, seperti UU Pendidikan Nasional (Nomor 20 Tahun 2003), Undang-Undang Kesehatan (Nomor 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan (Nomor 20 Tahun 2002), dan Undang-Undang Sumber Daya Air (No 7 Tahun 2004), UU BUMN (Nomor 19 Tahun 2003), UU Penanaman Modal Asing (Nomor 25 Tahun 2007, UU Migas (Nomor 22 Tahun 2001), UU Pemilu (Nomor 10 Tahun 2008). Sebagai catatan, keseluruhan UU tersebut kental dengan muatan liberalisasi, atau menaklukkan kepentingan nasional di bawah kehendak modal asing.

Jauh sebelum diungkapkan oleh Eva, dalam tiap-tiap pembahasan UU tersebut telah ada kelompok atau individu yang memperingatkan masalah intervensi tersebut. Misalnya, dalam penyusunan UU Migas, pakar minyak Kurtubi telah memastikan adanya campur tangan kepentingan asing, yang kemudian dikonfirmasi oleh (mantan) anggota DPR RI Drajat Wibowo. USAID mengeluarkan anggaran sebesar 21,2 juta US dolar atau sekitar 200 miliar rupiah untuk asistensi pembahasan UU tersebut. Namun pengungkapan-pengungkapan ini masih terpisah-pisah antara satu UU dengan UU yang lain, sehingga tidak tampak satu rangkaian kepentingan modal asing dalam keseluruhan kepentingannya.

Tebang Pilih Pemberantasan Korupsi

Di samping isu terorisme yang ‘meredup’, isu korupsi merupakan trade-mark (merek dagang) andalan bagi pemerintahan SBY-Boediono. Namun barang dagangan ini hanya tampak baik pada kemasan, karena isinya sama sekali buruk. Komitmen pemberantasan korupsi yang dicanangkan sebenarnya sudah sulit dipercaya khalayak sejak terjadi kriminalisasi terhadap pejabat KPK, pertama terhadap mantan ketua KPK, Antasari Azhar, dan kemudian percobaan yang sama terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Upaya kriminalisasi ini, menurut pengamatan banyak kalangan, merupakan tindakan ‘pencegahan’ agar kasus-kasus yang melibatkan kepala negara tidak diusut lebih lanjut.

Sepanjang tahun 2010, retorika pemberantasan korupsi oleh SBY semakin terbukti hanya manis di bibir. Pada acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, tanggal 1 Desember 2010, SBY antara lain mengatakan bahwa pemberantasan korupsi dapat efektif apabila penegak hukum bersih. Berlawanan dengan pernyataannya, alat-alat penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, justru dibuat menjadi semakin ‘kotor’ atau bermasalah. “Alat hukum” terkini buatan SBY adalah Satgas Antimafia Hukum yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto, tangan kanan SBY juga .

Kasus korupsi yang melibatkan pegawai kantor pajak, Gayus Tambunan, membuktikan keberadaan alat-alat penegakan hukum yang dapat dimanfaatkan penguasa sesuka hatinya. Pengakuan-pengakuan yang diberikan oleh Gayus, tampak sengaja diarahkan untuk menyerang Aburizal Bakrie (Ical), sebagai salah satu manipulator pajak yang ‘dibantunya’. Drama lolosnya Gayus dari tahanan untuk menyaksikan pertandingan tenis di Bali, yang ‘kebetulan’ dihadiri juga oleh Ical, seakan mengkonfirmasi adanya konspirasi besar untuk memainkan isu tersebut tanpa penyelesaian yang pasti.

Sisa Watak Hukum Kolonial

Pada bulan November tahun lalu, ada kisah Nenek Minah (55), yang dihukum penjara 1,5 bulan karena secara tidak sengaja ‘mencuri’ tiga buah cokelat. Saat itu kita alami ramainya kecaman dan kritikan terhadap kejadian ini. Hakim yang membacakan vonis hukuman mengalami situasi emosional dan menyatakan bahwa, “kasus ini kecil tapi telah melukai banyak orang.” Ketidakadilan yang sangat mencolok mata semacam ini ternyata tidak berkurang dengan kegeraman banyak orang.

Di tahun 2010 ini kejadian serupa kembali berulang. Seorang nenek di Pekalongan dihukum tiga bulan penjara karena mencuri lima batang permen coklat. Kemudian, baru bulan Oktober lalu, seorang petani di Pasuruan divonis hampir 1,5 bulan karena ‘mencuri’ dua batang singkong milik tetangganya buat makan sekeluarga. Kasus-kasus memilukan yang terungkap di media massa ini hanyalah sedikit contoh dari gejala umum posisi penegakan hukum. Rakyat, yang sedang dimiskinkan, sangat gampang diseret hukum, sementara orang yang berkuasa atau berduit sangat sulit tersentuh hukum. Hukum menjadi tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Menuju “Perampingan Sistem” dan Stabilisasi Pemerintahan Neoliberal

Tahun 2010 ditutup dengan pengesahan atas perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Perubahan ini terutama diarahkan untuk memperberat syarat pendirian partai politik (parpol). Ini merupakan saringan pertama peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan “pemerintahan yang kuat dan stabil”. Saringan peraturan berikutnya adalah yang mengatur tentang pemilihan umum (pemilu), yakni syarat bagi parpol untuk menjadi kompetitor dalam pemilu, dan batas perolehan suara untuk dapat mengirim perwakilan ke parlamen (electoral threshold).

Di samping telah melakukan pelanggaran konstitusional, yang untuk ini dapat diadukan ke Mahkamah Konstitusi, pembatasan partai politik merupakan bagian dari upaya membangun “pemerintahan yang kuat dan stabil” tadi. Fase reformasi politik tampaknya mulai mendekati tahap puncak berupa tercapainya konsensus kepentingan antara sebagian faksi-faksi politik yang sempat ‘terpecah-belah’ oleh liberalisasi 1998. Bila dipandang dari sudut ini, maka kemunculan koalisi setgab yang sedikit terbahas di atas, tampak seperti sebuah ‘uji-coba’ menuju perampingan sistem, menuju pengorganisasian politik yang lebih tersentralisasi, tidak berserak di banyak parpol seperti keadaan sekarang.
 

Negeri Ini Tak Ber-Tuan

Oleh: Randy Syahrizal

Seorang kakek berusia hampir 83 tahun bercerita kepada pemuda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri tentang kisah hidupnya di masa pemerintahan presiden Sukarno, seorang sosok pemimpin yang sangat dikaguminya. Dia menceritakan sosok Sukarno ibarat dewa penyelamat yang sengaja diturunkan Tuhan ke dunia untuk membebaskan masyarakat jelata yang setiap harinya harus bekerja untuk memenuhi kantong-kantong kompeni penjajah.

“Tahun 1937. Aku masih muda waktu itu, baru berusia 19 tahun. Tapi aku sudah melahirkan ayah mu dalam kondisi yang serba kekurangan. Aku bahkan harus membohongi ayahmu saat air susu ibunya mengerinng dan digantikan dengan air rebusan beras. Beruntung dia mampu melewati masa-masa sulit dan berhasil tumbuh besar meskipun kecerdasannya tidak serupa dengan anak-anak seusianya yang beruntung mempunyai bapak seorang pegawai kantoran pemerintahan kolonial.” Matanya memerah mengingat kisah itu. Dia kemudian melanjutkan lagi ceritanya.

“Di umurku yang ke 22, aku dibujuk mandor Sumatera untuk bekerja di tanah Deli. Dia menwarkan kepadaku gaji yang besar, kira-kira dia menawarkan gaji kepadaku sebesar 2 benggol atau sama dengan hampir 5 kg beras perhari pada masa itu. Aku yang tak tahan hidup miskin pun akhirnya mengiyakan tawarannya dan aku pun ikut pergi ke tanah Deli, tanah yang sebelumnya belum pernah aku injak. Konon cerita teman-temanku, tanah Deli yang tersohor itu terkenal dengan masa depan kehidupannya yang cerah. Itulah yang membuatku tergiur.”

“Aku pun berangkat dan bekerja disana sebagai koeli kontrak. Aku tinggalkan nenek dan ayahmu yang masih kecil. Aku pikir bahwa dengan upahku itu aku bisa membahagiakan mereka di Jawa. Setelah beberapa hari di Deli aku mulai melihat bahwa semanis apapun penjajahan menawarkan kebaikan, tetap saja semuanya palsu. Aku disodorkan beberapa paket peraturan kerja. Sebelumnya aku sudah melihat ada kuli yang disiksa karena ingin berhenti bekerja. Aku memutuskan untuk menunda bekerja dan membuat alasan sakit kepada mandor untuk penundaaan kerja. Dalam kebimbangan itu, aku memutuskan untuk kembali lagi ke Jawa hidup bersama keluarga. Kesulitan juga lah yang membawaku menghirup kembali tanah kelahiranku.

“Tak lama setelah itu, gema kemerdekaan berteriakan dimana-mana. Waktu itu ayahmu berumur 9 tahun. Dia tidak sekolah, tapi ia lihai beternak ayam. Dia masih saja buta huruf. Meskipun dia buta huruf, tapi dia mampu berhitung. Dia tak bisa ditipu soal hitungan. Dia sendiri yang menjual ayam-ayamnya ke pasar. Ayahmu sebenarnya orang yang cerdas andai saja aku mampu menyekolahkannya.”

“Kau tahu, meskipun kami buta huruf tapi kami tahu arti kolonialisme dan penjajahan. Kami juga tahu arti kemerdekaan dan istilah-istilah politik lainnya. Banyak anak-anak muda yang datang ke rumah-rumah di desa kami hanya untuk memberi tahu kami bahwa Belanda itu jahat. Belanda itu datang hanya untuk merampok kekayaan alam kita dan menjadikan rakyat jelata sebagai budak ditanah yang kaya ini. Dari anak-anak muda itulah kami tahu kalau Sukarno yang pernah beberapa lama menghilang ternyata dibuang oleh Belanda. Dan aku ingin sekali ayahmu kelak sama cerdasnya dengan anak-anak muda yang datang ke desa-desa itu.”

“Tak banyak yang bisa ku ingat. Namun yang pasti hidup dalam masa-masa kemerdekaan itu memang indah. Setiap hari kami mendapat kabar tentang jalannya pemerintahan kita yang sah. Kami tahu tentang ancaman-ancaman yang terus datang dari negara-negara barat yang masih ingin merampok lagi ditanah yang subur ini.“

“Dahulu tidak seperti sekarang ini. Terkadang aku sedih mendengar cerita kawanmu yang habis seratusan juta hanya untuk menyuap masuk menjadi anggota ABRI. Aku selalu teringat ayahmu yang tanpa sepengetahuanku mendaftar menjadi anggota BKR. Waktu itu tidak ada suap menyuap.

"Kau tentu heran bukan?”

“Seperti Film Naga Bonar?” tanya pemuda itu.

“Mungkin tepatnya mirip”. Jawab kakek.

“Mau membela negara saja kok harus menyuap segala. Itu kan aneh namanya.” Lanjut kakek.

“Tapi sekarang ini memang begitu kek. Semuanya serba telanjang. Jadi pegawai negeri juga begitu. Hampir sama biayanya.

“Itulah bedanya di zaman Sukarno. Dia itu tahu betul apa yang harus dibuatnya untuk kemajuan bangsa dan tanah airnya. Dia tak butuh mobil tertutup seperti presiden sekarang jikalau turun ke daerah-daerah menjumpai rakyatnya. Kalau Presiden sekarang turun ke daerah, masyarakat bukan menyambut hangat tapi malahan mendemo. Beda betul dengan Sukarno.”

“Kau tahu kenapa Sukarno begitu dipuja rakyat? Dan kau tahu kenapa aku tak pernah mau menggantikan foto Sukarno dengan presiden sekarang?”

“Bisa kakek jelaskan padaku?” pinta pemuda itu.

“Soekarno itu anak kandung sejarah bangsa-bangsa yang ditindas. Dia lahir dan membesar di masa-masa bangsa barat giat-giatnya mengeksploitasi bangsa-bangsa terbelakang seperti Asia dan Afrika. Dia mewakili semangat orang-orang teraniaya. Semasa hidupnya, ia abdikan untuk perjuangan kemerdekaan. Di buang dan di asingkan tak membuatnya lupa akan sejarah pahit yang melahirkannya. Dia dekat dan nyata dimata kami orang-orang kecil.”

“Dia tak perlu legitimasi kertas suara seperti presiden sekarang yang suka berdalih dipilih oleh mayoritas rakyat. Kertas suara manapun dan mau direkayasa seperti apapun tak akan menggoyahkan kecintaan rakyat kepadanya. Waktu itu angka-angka bukanlah bilangan pasti. Yang pasti, kami tahu betul akan masa depan yang cerah.”
“Dia tentu berbeda dengan presiden sekarang yang suka bermain dengan angka-angka, suka bermain-main dengan sandiwara dan suka berpelukan mesra dengan orang-orang barat. Aku yang tua ini pun sering merasa bahwa ada atau tidak ada presiden rasanya sama saja. Aku pikir lebih baik jika dia tidak ada dari pada harus memakan gaji dari pajak rakyat yang tak berbuah kesejahteraan.”

“Jika kau suka berhitung, coba hitunglah berapa banyak uang negara habis untuk menggaji orang-orang pemerintahan sekarang ini, dan coba kau bandingkan manfaat apa yang didapat oleh rakyat? Jika tidak bermanfaat artinya rakyat merugi. Coba bayangkan jika rakyat tidak hanya merugi tapi dijajah dan dibikin sengsara oleh orang-orang yang digajinya setiap bulan?”

“Apa kakek menyuruhku untuk menghitung berapa banyak penderitaan setiap harinya?”
“Itu ide gila namanya kek.” sambil tertawa pemuda itu menyulutkan api ke rokoknya.
“Aku tak menyuruhmu menghitung penderitaan, karena takkan mampu kau hitung penderitaan yang begitu banyak. Untuk menghitung penderitaan yang kau alami saja kau mungkin tak sanggup.”

“Aku pikir karena kau seorang pemuda yang berpendidikan tinggi, kau juga harus mampu untuk menghitung berapa besar uang negara yang dirampok pemerintahanmu sendiri. Itu tugas dan tanggung jawabmu kepada rakyat sebagai orang yang berkesempatan terdidik dan terpelajar."

“Disekelilingmu banyak sekali yang tak tahu bagaimana cara menghitung uang negara bukan?” tanya kakek itu."

“Jangankan mereka, aku sendiri pun masih sulit menghitungnya. Entah dari mana aku harus memulai menghitungnya, aku sendiri masih bingung. Ide kakek membuatku kebingungan. Ada ide yang lain selain itu..?"

“Hahaha...generasi muda sekarang banyak mengeluhnya. Belum dikerjakan sudah mengeluh duluan. Padahal makananmu lebih baik dan bergizi dari apa yang ku makan dulu.”

“Aku mulai dengan pertanyaan sederhana kepadamu, Siapakah yang menjadi Tuan dalam teori demokrasi?”

“Rakyat” jawab pemuda itu.

“Baiklah, lantas cara sederhana menghitungnya begini, jika penghasilan rata-rata rakyat jauh dibawah penghasilan orang-orang pemerintahan atau pejabat-pejabat yang berkuasa artinya ada perampokan hak disitu. Jika kita mau saja sedikit rajin untuk mencari kebenaran angka-angka yang dirampok, maka dengan pasti kita akan mendapat kepastian dan titik terangnya. Jika tidak pun, secara gelap kita masih bisa menyimpulkan secara nyata bahwa negeri ini sudah tidak lagi ber-tuan, karena tuannya tidak lagi memiliki kuasa.” Kau bisa mengerti yang kukatakan? Tanya kakek itu.

“Ya” jawab pemuda itu.

“Tapi aku masih heran, dari mana kakek mendapatkan pengetahuan seperti itu..?”
tanya pemuda itu.

“Kau tak perlu heran. Zamanmu berbeda dengan zamanku. Semangat zamanku yang membawaku pada pengetahuan lebih jauh tentang ekonomi dan politik pemerintahan. Aku memang telat, tapi bukan berarti melemahkanku untuk belajar dimana saat usia 25 tahun lah baru aku bisa membaca. Semua itu dipengaruhi oleh semangat zaman.”

“Masa kau dan aku memang berbeda. Dan kau tak boleh lupa akan sejarahmu”.
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger