Latest Post
Tampilkan postingan dengan label Arah Perjuangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arah Perjuangan. Tampilkan semua postingan

Ebook: Perang Kebudayaan

Tulisan singkat ini mencoba menggali histori cita-cita kebudayaan kita
sejak bangsa kita menyadari pentingnya membangun kebudayaan yang kuat dan
berkepribadian, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan dan semangat revolusi
1945.

Bung Karno mengaitkan kebudayaan dengan ekonomi dan politik, bahkan
dalam perjuangan kebangsaan, ketiganya tak dapat terpisahkan. Kebudayaan
tidak bisa lepas dari sistem ekonomi politik yang sedang berkuasa di satu negeri.
Kesimpulan inilah yang akan membimbing beberapa uraian dalam tulisan singkat
ini.

download ebook (198261325) PERANG KEBUDAYAANedit-1.pdf


 

Perang Kebudayaan


Kita tentunya masih ingat pada Trisakti Bung Karno, yakni mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Bung Karno mengaitkan kebudayaan dengan ekonomi dan politik. Bahkan, dalam perjuangan kebangsaan, ketiganya tak dapat terpisahkan. Kebudayaan tidak bisa lepas dari sistem ekonomi politik yang sedang berkuasa di satu negeri. Kesimpulan inilah yang akan membimbing beberapa uraian dalam tulisan singkat ini.

Masa Penjajahan


Belanda dengan kongsi dagangnya (VOC) yang di pimpin oleh Cornelis De Houtman memasuki bumi Nusantara (1595), mendarat di Banten dengan tujuan merampok kekayaan alam dengan kedok berdagang rempah-rempah. Pada awal abad ke 17 (tahun 1602), kedok itu terbuka. Parlemen Belanda menabalkan VOC sebagai wakil dari pemerintahan Belanda, yang bertugas untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara dan mengisi kas Belanda yang pada masa itu sedang menghadapi perang dengan Spanyol.

Dalam usaha mempertahankan dominasinya, VOC merasa perlu melakukan penyelidikan kebudayaan masyarakat Nusantara. Awalnya para misionaris dibebankan tugas untuk melakukan penelitian terhadap kebudayaan dan masyarkat Nusantara. Kegiatan tersebut tidak berjalan dengan baik karena pemuka agama Islam dengan cepat mengantisipasinya dengan cara menghalang-halangi misionaris masuk ke daerahnya.  Pada tahun 1778, Inggris menyerbu Jawa, dan kekuasaan VOC direbut oleh Inggris. Raffles ditunjuk sebagai Gubernur Jendral. Raffles mempunyai perhatian serius terhadap kajian ilmu pengetahuan dan kajian terhadap masyarakat Jawa. Raffles mendirikan Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen sebuah lembaga penelitian yang akan bekerja untuk mempelajari bahasa, hubungan sosial, adat dan kebudayaan masyarakat Jawa. Dari data-data yang telah dikumpulkan lembaga tersebut, Thomas Stamford Raffles menulis ”History of Java” pada abad ke 19.

Kesimpulan masyarakat Jawa kuno seperti yang dilukiskan Pramoedya dalam tetralogi Pulau Buru dengan mengutip Mpu Tantular menerangkan bahwa bangsa Jawa adalah masyarakat yang mudah menyesuaikan diri akibat peristiwa peperangan-peperangan masa lalu (konflik Mahayana dan Hinayana dalam Budha) yang banyak memakan korban nyawa, yang akhirnya melahirkan watak kompromi, karena hanya ada dua pilihan bagi bangsa yang kalah, yakni menyesuaikan diri atau melarikan diri. Kompromi ini juga bisa di lacak dari penggabungan dua keyakinan, yakni Wangsa Syailendra yang Budha dan Wangsa Sanjaya yang Hindu, hingga melahirkan Shiwa Budha ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Untuk persatuan Shiwa – Budha, dalam kitab Sutasoma, Mpu Tantular Menulis: ”Siwa Budha Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.

Akhirnya, Jawa juga menyesuaikan diri dengan pemerintahan kolonial Belanda, dengan menerima beban pajak, sewa tanah, tanam paksa (culturstelsel), dan hukum kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda mereorganisasi tatanan pemerintahan raja-raja di Jawa dalam beberapa jabatan kepegawaian, yakni: Bupati, Wedana dan Asisten Wedana yang semuanya berada dibawah kendali Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Buitenzorg (Bogor).

Untuk mengukuhkan kekuasaannya, Belanda mendirikan sekolah–sekolah berbahasa Belanda, menyebarkan agamanya (Kristen), mengeluarkan hukum kolonial untuk mengadili perkara pribumi, mengajarkan kebiasaan–kebiasaan Belanda sebagai kebiasaan yang terpuji dan beradab, mengeluarkan paket kebijakan rasial yang intinya rakyat pribumi berkedudukan lebih rendah dari peranakan Belanda (Indo) dan Belanda totok, dan menghegemoni pikiran masyarakat pribumi dengan koran-koran berbahasa belanda.

Koran sebagai produk kebudayaan mempunyai arti penting dalam menundukan kebudayaan suatu bangsa. Didalam koran terbitannya sendiri, Belanda selalu memuji-muji pemerintahannya yang lebih baik daripada pemerintahan raja-raja Jawa yang memandang rendah kemanusiaan, gemar kawin dan berlaku bebas untuk mengambil anak gadis siapa saja yang hendak di peristrinya. Belanda mengutuk kekuasaan raja-raja jawa terdahulu dengan memberi label ”terbelakang dan biadab”, sementara dibawah pemerintahannya, Hindia Belanda menjadi beradab. Pendeknya, koran dijadikan media untuk membenarkan apa saja yang diperbuat pemerintahan Belanda.

Dalam hal ini, Belanda sudah mengukuhkan kebudayaan baru yang hendak ditujukan untuk menghabisi kebudayaan lama. Generasi awal intelektual Indonesia pun memuji-muji kemajuan Belanda dan Eropa, serta enggan berpakaian daerah (Jawa) dan lebih menyukai cara berpakaian Belanda, dan juga menulis dalam Belanda. Sedangkan bahasa Melayu di cap sebagai bahasa terbelakang dan hanya dipakai oleh rakyat pribumi yang terbelakang.

Perjuangan Membangun Kebudayaan Nasional di Zaman Pergerakan

Sumpah Pemuda (1928) adalah sebuah tekad untuk membentuk nation yang mempunyai arti penting dalam perkembangan membangun kebudayaan nasional. Satu bahasa Indonesia adalah tekad meruntuhkan dominasi bahasa Belanda sebagai bahasa penguasa, dan menjadikan bahasa Melayu (yang disempurnakan) menjadi bahasa persatuan nasional, menjadi bahasa pergerakan, dan bahasa perjuangan untuk kemerdekaan.
Perjuangan untuk mengukuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan (resmi) juga mengalami perdebatan yang panjang. Periode 1935–1939 adalah masa penyempurnaan bahasa Indonesia dengan beberapa karya tulis dari intelektual Indonesia sebagai bahan acuannya, antara lain, karangan St. Takdir Alisyahbana, Amrin Pane, Amir Hamzah dan angkatan Balai Pustaka lainnya. Sebelum periode ini, beberapa tulisan Bung Karno dan Bung Hatta masih merupakan bahasa campuran, yakni bahasa Melayu bercampur Belanda. Lalu diadakan kongres Bahasa Indonesia di Solo pada tahun 1938 untuk menyempurnakan bahasa Indonesia.

Sejak Medan Priyayi merintis kelahiran koran pribumi dan dapat diterima baik oleh rakyat pribumi, beberapa koran berbahasa melayu pun bermunculan dan berposisi sebagai organ-nya organisasi pergerakan, seperti Pewarta Oemoem (Parindra), Adilpalametra dan Toentoenan Desa (Budi Utomo), Oetoesan Hindia (SI), Sinar Djawa dan lain-lain. Koran pribumi adalah counter opini dari koran-koran Belanda yang pro pada kepentingan politik dan akumulasi modal Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, lagu-lagu perjuangan menjadi bagian yang tak kalah penting dalam menyuarakan kemerdekaan kepada rakyat pribumi. Tahun 1942, saat negara sekutu dikalahkan oleh Jepang, lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh WR. Supratman dikumandangkan radio pusat di Jakarta. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang juga mengumandangkan lagu tersebut bersamaan dengan lagu Nippon Hosyo Kanri di radio Jepang yang berpusat di Tokyo. Tapi ternyata kegiatan itu hanya berlangsung singkat dan hanya bertujuan untuk menjinakkan bangsa Indonesia, dan segera melarangnya saat bangsa Indonesia tengah serius menyempurnakan kemerdekaannya dengan membentuk sistem pertahanan rakyat. Jepang yang sejak semula ingin berkuasa atas Asia lantas menghentikan sandiwara empati tersebut, dan menggantikannya dengan kewajiban mengumandangkan lagu ”Kimigayo” dalam setiap upacara kenaikan bendera Jepang.

Lahirnya lagu-lagu perjuangan Indonesia seperti ”Maju Tak Gentar” yang diciptakan oleh Cornel Simanjuntak, ”Satu Nusa Satu Bangsa” ciptaan Liberty Manik, ”Berkibarlah Bendera-ku” ciptaan Bintang Sudibyo (Ibu Sud), ”Syukur” ciptaan Husein Mutahar, dan ”Halo-halo Bandung” ciptaan Ismail Marzuki adalah hasil dari persatuan seniman yang tergabung didalam Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) pada tahun 1942 yang dipimpin oleh Sanusi Pane dan Mr. Sumanang, dan nama-nama diatas yang juga menjadi pengurusnya.

Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, tantara NICA (Belanda) masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng pada pasukan sekutu yang dikomandoi Inggris selaku wakil negara sekutu pada tahun 1945. Dua tahun kemudian muncullah ketegangan yang berlanjut pada Agresi Militer Belanda pertama dan setahun kemudian tindakan yang sama terulang yakni Agresi Militer Belanda ke II. Lagu-lagu perjuangan seperti yang tersebut diatas juga berperan penting dalam membakar semangat juang tentara rakyat yang masih bayi, laskar-laskar rakyat dan pemuda-pemuda Indonesia untuk berjuang mengangkat senjata membela dan mempertahankan kemerdekaan.

“Imperialisme Budaya” dan peran Media Massa

Herb Schiller dalam Communication and Cultural Domination berpendapat bahwa kemunculan teori Imperialisme Budaya dapat dilihat dari dominasi barat atas media diseluruh dunia. Barat sebagai perwakilan kekuatan modal, dengan kekuatan modalnya menguasai pemberitaan di dunia ini. Mereka cukup mempunyai akses diseluruh dunia, begitu juga dengan jaringannya. Dengan kecanggihan tekhnologi, kekuatan modal dan luasnya jaringan, media barat menjadi sangat mengesankan bagi dunia ketiga.

Barat kemudian meracuni alam pikiran rakyat dunia ketiga dengan berita-beritanya yang mewakili kepentingan korporasi modal dunia, menyensor berita-berita perjuangan rakyat dunia ketiga dan berita-berita lain yang menentang dominasinya, menyensor berita bahkan tidak memberitakan kejahatan-kejahatan yang dilakukannya (seperti kudeta terhadap Hugo Chavez tahun 2002), membelokan sejarah dengan film-filmnya (seperti film perang Vietnam misalnya), meracuni para pemuda dengan style berpakaian ala mereka, berpenampilan glamour, budaya kekerasan liar, gengster, mafia, sex bebas, narkoba, menayangkan kedermawanan mereka terhadap orang miskin dengan tayangan reality show dll.

Kehebatan media barat dengan propaganda massif yang terus menerus di konsumsi oleh negara dunia ketiga akan berbuah menjadi pengekoran, yakni peniruan secara vulgar apa-apa saja yang mereka lihat dan ditayangkan dalam kehidupan sehari-hari. Proses peniruan ini terjadi tanpa sadar dan nyaris berjalan tanpa counter yang sepadan. Proses peniruan inilah yang menghancurkan budaya asli negera dunia ketiga.
Kita tentunya masih ingat bagaimana media barat mempropagandakan ”terorisme dan penjahat perang” serta merasionalisasi tindakan AS menginvasi Irak sebagai upaya menciptakan demokrasi di Irak, begitu juga di Libya, Afghanistan, dan yang baru-baru ini sedang menghangat, yakni ketegangan AS dengan Iran dan Korea Utara. Begitulah media barat menyebarkan kebohongan-kebohongan di pikiran rakyat dunia ketiga.

Media barat juga mengkampanyekan ”klub malam” sebagai gaya hidup kaum profesional, sebagai hiburan pelepas penat bekerja, merendahkan derajat perempuan dengan menjadikannya bintang iklan mobil mewah (berpose seksi dengan menari eksotis dibadan mobil), mengkampanyekan kelestarian alam dan hutan padahal perusahaan mereka adalah pelaku pembalakan liar, menghapus ingatan sejarah dengan cerita-cerita kepahlawanan super hero dari negeri paman Sam, hingga anak-anak di Indonesia lebih mengenal Spider Man ketimbang Untung Suropati yang gagah berani, lebih mengenal Cat Women ketimbang Kartini dll.
Sepak terjang media barat yang begitu hebat dan massif juga di jadikan standard oleh media massa kita.

Stasiun TV kita misalnya, berlomba-lomba mirip dengan media barat. Bahkan beberapa acara memang sengaja di impor ke Indonesia, seperti Indonesian Idol, Take Me Out dan Xfactor misalnya. Begitu juga dengan perfilm-an kita, yang ramai-ramai memproduksi film horror dengan kombinasi cerita porno di dalamnya. Tayangan-tayangan yang menjauhkan orang miskin dari kesadaran kritisnya, dipelopori oleh tayangan reality show yang ber-empati terhadap orang miskin dan mengaburkan masalah kemiskinan menjadi persoalan takdir hidup dan tidak menyentuh akar persoalannya yakni tanggung jawab negara menyejahterakan rakyat-nya. Dan banyak lagi yang teramat panjang untuk disebutkan satu persatu.

Saya sendiri merasa beruntung pernah hidup di zaman Soeharto, dan besar di era reformasi. Paling tidak, peristiwa 1998 masih hangat diperbincangkan di kampus-kampus, termasuk kampus tempat saya kuliah. Saya ingat saat pertama kali bergabung kedalam organisasi pergerakan di USU, dan rangsangan itu saya terima karena peristiwa 1998 menjadi atmosfir dalam pergerakan mahasiswa. Sekarang, setelah 11 tahun berlalu, peristiwa itu tak lagi menarik dan hangat, tidak lagi menjadi atmosfir, dan dikalahkan dengan komunitas Sahabat NOAH, kelompok fans artis dan band ”ngak-ngik-ngok” dan yang tak kalah hebatnya, fenomena K-Pop yang ditiru habis-habisan, mulai dari musik, pakaian, sibak rambut, sampai apa saja yang berbau Korea (juga film bersambungnya).

Perjuangan kebudayaan di Indonesia memang akan menjadi berat, terutama karena saat ini yang sedang dilawan adalah ”Imperialisme budaya” yang berbentuk Industri (komersil) yang mengedepankan laba (keuntungan) dan pelipatgandaan keuntungan (akumulasi). Yang dilawan saat ini adalah dominasi kebudayaan ala ”Amerika” yang mengedepankan ”life style” rupanya tengah menjerumuskan rakyat dunia ketiga dalam pola hidup konsumtif, berbeda dengan dominasi kebudayaan kolonial yang berupa sekolah dan perguruan-perguruan tinggi yang mewakili gagasan kolonialismenya.

Imperialisme budaya mempunyai struktur (jaringan) dan infrastruktur yang kuat. Menghasilkan produk yang massif dengan perubahan terus menerus. Dia juga masuk ke institusi-institusi pendidikan (negara dunia ketiga) terutama untuk tetap mengokohkan akumulasi modalnya dengan mengembangkan kurikulum pendidikan yang hanya bisa melahirkan para konsumen, tidak lagi produsen. Dia juga masuk kedalam institusi agama untuk menyebarkan kepasrahan akan nasib kemiskinan yang di derita sebagai takdir dan ketetapan Tuhan.

Perang Gagasan adalah Perang Kebudayaan

Sekarang, dalam masa demokrasi liberal jalannya kesenian dan kesastraan berjalan dalam bingkai industri. Musik dimonopoli industri, tari-tarian juga demikian, film apa lagi, bahkan karya sastra pun begitu. Dalam masa demokrasi liberal sekarang ini, jalannya kebudayaan tidak identik dengan haluan politik tertentu. Sesuai bangunan sistemnya yang ”liberal” maka kesenian dan kesastraanya juga demikian nasibnya. Namun secara keseluruhan, kehadirannya justru merusak fikiran rakyat dan membikin demoralisasi berkepanjangan.

Perang gagasan adalah hal penting yang harus dilakukan terus menerus. Gagasan akan kebudayaan yang bergaris ”Realisme Revolusioner”  harus lahir mengiringi setiap karya yang mewakilinya. Menjadi sangat penting untuk mengurai sejarah lagu-lagu perjuangan dimasa pergerakan kemerdekaan saat mengulas sebuah album yang berisikan lagu-lagu perjuangan. Begitu juga dengan uraian  sejarah seni rupa yang melukiskan tentang penderitaan dan cita-cita perjuangan kemerdekaan, dan hal yang sama untuk karya-karya sastra yang mewakili semangat revolusioner. Uraian sejarah menjadi penting sebagai upaya mengembalikan ingatan sejarah, bahwa lahirnya seniman musik Indonesia berawal dari lagu-lagu perjuangan, lahirnya karya sastra Indonesia juga demikian bahkan film ”Nyai Dasima” produksi tahun 60-an juga lahir dari semangat yang sama.

Perang gagasan juga harus beriringan dengan perang media. Perang media adalah upaya membikin media massa alternatif untuk berdiri dengan jujur dalam pemberitaan, meng-counter opini sesat dan berpihak pada rakyat sebagai pelaksana perubahan kemajuan jaman.

Tentunya hal ini tak mudah, terutama jika kita sadari musuh yang kita hadapi adalah industri besar. Menjadi tidak mudah karena situasi sekarang berbeda dengan situasi dahulu dimana idiologi-idiologi politik sangat berakar kuat dalam pikiran masyarakat. Bagaimanapun sulit dan peliknya jalan revolusi kebudayaan, kita tetap harus membuka jalan.

Randy Syahrizal, Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara. Ia bisa dihubungi di email: randy.syahrizal@yahoo.com
 

Memajukan Gerakan Pasal 33 UUD 1945 Dalam Memimpin Gerakan Pengembalian Kekayaan Alam


Tahun-tahun sekarang ini adalah tahun kemenangan Neoliberalisme. Setelah sukses dalam konsolidasi besar meneguhkan kepemimpinan Neolin di Indonesia selama 2 periode, Neoliberalisme semakin mapan di Bumi Pertiwi. Hampir tidak ada lagi paket kebijakan Negara yang dapat menghempang jalan dan beroperasinya system ekonomi liberal. Negara yang dipimpin oleh Kabinet Neolib dengan sukses mencampakkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar bernegara, sebagai kepribadian Negara, sebagai moralitas Negara. Akhirnya, Neolib di Indonesia dengan sukses menempuh jalan tol dalam meng-goa-kan paket kebijakannya. Pemerintahan kita nyaris tidak punya proteksi dalam melindungi kekayaan alam yang dirampok di negerinya sendiri.

Kemenangan Neoliberal dan semakin matangnya laju neoliberalisme di Indonesia bias dilihat dalam kasus terbaru yang hamper setiap hari kita saksikan di TV, dan menyita waktu banyak orang di Indonesia dalam memperbincangkan kasus ini, yakni kasus kebrutalan PT Freeport.

Selama 44 tahun Freeport mengeksploitasi tambang emas dan tembaga di tanah Papua, pihak Indonesia mendapat 1% dan pihak Freeport (imperialis) mendapat 99%. Jadi, pihak yang diuntungkan dari situasi Papua saat ini adalah imperialis. Dahulu, rakyat Papua bebas mencari makan di tanahnya sendiri. Setelah kemerdekaan di interupsi oleh rezim ORBA, rakyat Papua tidak lagi merdeka mencari makan. Saat ini, Freeport yang tidak bermanfaat untuk rakyat Papua sudah leluasa menguasai aparatur Negara, terbukti dengan pengiriman pasukan TNI/Polri untuk menjaga kepentingan PT. Freeport di Papua. Ini bukanlah karena ekspresi nasionalisme Indonesia. Tetapi sebaliknya: hal itu dilakukan karena pemerintahan Indonesia sekarang adalah boneka imperialisme. TNI/Polri justru diperalat (dipergunakan) untuk menjaga kepentingan neo-kolonialisme di Papua.

Memang ada kemajuan dalam perlawanan gagasan jalan keluar krisis imperialisme, yakni dengan mengobarkan semangat kemandirian nasional. Paling tidak sentiment ini secara serentak dihembuskan oleh semua elemen-elemen yang anti Imperialisme. Sentimen tersebut kemudian meluas, dan tidak hanya menjadi perbincangan dikalangan aktivis saja, melainkan menjadi jualannya kaum brjuasi nasional di kancah Pemilu 2009 yang lalu.

Meski banyak gerakan Anti Imperialis bermunculan dengan menghembuskan irama yang serupa, namun masih belum menciptakan sebuah persatuan nasional yang kokoh, sebagai syarat untuk perimbangan kekuatan pro neolib. Padahal, fakta-fakta Indonesia menuju kebangkrutan sudah semakin nyata, diantaranya karena 1. Indonesia masih menjadi komoditas utama bahan mentah, yakni Batu Bara (70%), Minyak (50%), Gas (60%) dll. 2. Indonesia masih menjadi tempat penanaman modal asing, yakni hamper 70% Industri di Indonesia adalah modal asing, diantaranya Minyak dan Gas (80%), Perbankan (50%), Pelayaran (94%), Pendidikan (49%).Yang ketiga, Indonesia masih menjadi tempat pemasaran barang-barang hasil produksi Negara-negara maju. Dan terakhir Indonesia masih menjadi penyedia tenaga kerja murah.

Pasal 33 sebagai Alat Pemersatu dan Senjata Melawan Neolib

Didalam Pembukaan UUD 1945, Para pendiri Negara ini dengan tegas menuliskan tujuan-tujuan dan dasar-dasar kita bernegara, yakni untuk menghapuskan penindasan di muka Bumi, menciptakan perdamaian dan mensejahterakan seluruh tumpah darah Indonesia. Dan Pasal 33 adalah perisai Negara dalam membentengi rakyat Indonesia dari pengaruh jahat neoliberalisme. Dasar Negara kita tidak lagi dijalankan oleh Kabinet kaki tangan Asing seperti saat sekarang ini, sehingga dasar Negara tersebut tidak berfungsi sebagai perisai rakyat dalam melawan kepentingan serakah asing.

Ada 3 semangat didalam Pasal 33 UUD 1945, yakni 1. Sosio ekonomi, yaitu Perekonomian disusun secara bersama dan untuk kesejahteraan bersama, 2. Sosio Nasional, yakni Penguasaan kekayaan Alam oleh Negara dan diselenggarakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, 3. Sosio Kerakyatan, yakni usaha-usaha dalam membangun perekonomian rakyat dan menyejahterakan rakyat Indonesia.

Semangat tersebut tentu bertentangan dengan kepentingan Imperialisme ditanah air, yakni Penguasaan bahan baku melalui perampokan kekayaan alam, kedua penguasaan dan pelebaran pasar, dan ketiga yakni mendapatkan tenaga kerja murah. Jika pasal 33 UUD 1945 diterapkan oleh Rezim SBY-Budiono, mustahil Neoliberalisme mendapatkan pondasinya di negeri ini. Namun elit politik kita lupa pesan bung KArno, yakni “Biarkanlah kekayaan alam kita disini sampai Insinyur-Insinyur kita mampu mengelolanya.”

Pasal 33 mempunyai kekhususan tersendiri, yakni karena dia adalah bagian dari dasar Negara kita, dan kedudukannya sebagai UU adalah kedudukan tertinggi. Jadi perjuangan ditegakkannya Pasal 33 UUD 1945 adalah perjuangan konstitusional yang legal dan berkemampuan meluas.

Pasal 33 adalah antitesis dari kepentingan serakah asing didalam negeri. Pasal 33 adalah tembok raksasa dalam membendung keserakahan-keserakahan asing. Gerakan pasal 33 haruslah menjadi gerakan yang dapat mempersatukan semua kekuatan bangsa yang ingin melihat kemandirian bangsa Indonesia, yang tidak lagi ketergantungan kepada asing, dan yang mampu membuka lapangan kerja dengan penguasaan kekayaan alam oleh Negara. Pasal 33 UUD 1945 haruslah menjadi ruh dalam gerakan pengembalian kekayaan alam.



Randy Syahrizal, Penulis adalah Kader PRD Sumut
 

Front Persatuan adalah Kebutuhan Obyektif Perjuangan Nasional



Front atau persatuan pada hakekatnya adalah praktek politik yang membutuhkan kerendahan hati untuk melihat kebutuhan obyektif yang sangat mendesak. Pembacaan situasi obyektif dalam tradisi perjuangan pasti akan menghasilkan resolusi-resolusi, dan front adalah resolusi yang paling tepat dalam menciptakan perimbangan kekuatan anti imperialis. dalam makna yang lebih luas, front dapat berguna untuk mengisolasi praktek politik musuh utama dan mendelegitimasinya dihadapan massa luas. namun dalam situasi yang bagaimanakah front persatuan luas menjadi kebutuhan mendesak..? lantas unsur-unsur apa saja yang patut terlibat didalamnya..?

Front Persatuan dalam Perang Gagasan

Gerakan revolusioner tentunya bukan sebuah gerakan yang lahir dari keinginan subyektif pendirinya, namun ia ada atas kehendak bersama dan termanifestasi dalam kerja-kerja sukarela. Gerakan revolusioner selalu menghendaki penjungkirbalikan tatanan lama yang bobrok dan usang, dan berusaha sekuat tenaga untuk membangun sistem yang lebih adil, setara, demokratis dan sejahtera. Oleh karena sifatnya yang radikal, gerakan revolusioner dimusuhi dimana-mana, terutama oleh pemerintahan pro imperialis dan negeri-negeri imperialis, serta unsur-unsur yang selalu diuntungkan oleh imperialisme.

Namun tidak sebaliknya bahwa gerakan revolusioner langsung mendapat tempat dihati rakyat kecil karena pengorbanan dan sikapnya yang selalu membela rakyat. Hal ini diakibatkan karena imperialisme selalu membangun perangkat yang lengkap dalam menjaga tidak terjadinya ledakan perlawanan. Untuk kasus ini, agen-agen imperialisme dalam negeri bekerja keras dalam meracuni pendidikan, menghabisi identitas nasional, memasok budaya liberal (individualis), membangun mainset agama/keyakinan yang damai (tidak menentang pemerintahan), mengubur sejarah/mendistorsinya, dll. ini lah mainset imperialisme, dan manakah mainset gerakan revolusioner untuk meraih dukungan massa..? satu kesatuan dari sumber-sumber masalah diatas bisa dirangkum dan disebut dalam satu kalimat pendek, yakni konflik kelas.

Karena beberapa alasan diatas, menjadi jelas kemudian bahwa kehadiran gerakan revolusioner tidaklah serta merta membesar, sebaliknya dia adalah upaya dari orang-orang yang sadar yang dengan sukarela merelakan dirinya menjadi pelopor-pelopor (vanguard) dalam  memasok kesadaran sosialisme kepada massa luas, dengan berhadapan langsung dengan gagasan-gagasan mainstream liberal. Dari sini lah kemudian gerakan revolusioner menempatkan pendidikan teori sebagai hal yang paling utama dalam program kerjanya.

Tak pelak lagi, bahwa untuk memenangkan ide-ide atau gagasan2 sosialisme, gerakan revolusioner memerlukan kerja-kerja pengorganisasian dan menempatkan pekerjaan ini sebagai pekerjaan utama. Dalam perjalanannya, kerja-kerja pengorganisasian sering kali menghadapi kegagalan, terutama ketika berbenturan dengan alat-alat negara dan himpitan ekonomi. Maka dari itu menjadi wajar (bagi yang mau menganggapnya wajar), jika pada akhirnya gerakan selalu berhadapan dengan situasi "jatuh bangun" atau kerontokan struktur kemudian membangunnya lagi dan rontok lagi, begitu lah seterusnya. Banyak unsur-unsur pergerakan malah menyalahkan keemampuan kadernya atau menyalahkan militansi kadernya dalam hal ini, namun yang terpenting mereka lupa bahwa imperialisme selalu membikin usaha untuk mengerdilkan gerakan revolusioner.

Dalam melihat permasalahan ini, lebih adil jika kita memohon kepada sejarah untuk menguraikan fakta sebanarnya, atau meluangkan waktu sejenak untuk memikirkan jalan keluarnya. Sederhana saja contohnya, yakni PKI (Partai Komunis Indonesia). Bagaimanakah PKI lahir..? sebab-sebab apa saja yang membuatnya lahir dan situasi yang bagaimana yang kemudian menjadikannya sebagai partai besar dan praktek apa yang membuatnya jatuh berserakan..? karena saya bukan PKI, mungkin ada banyak kekurangan2 dalam penjabaran soal ini. dengan rendah hati, saya mohon kawan2 pembaca ikut mengoreksinya.

Gagasan-gagasan sosial demokrat (komunisme) dibawa masuk ke nusantara oleh seorang Belanda bernama Sneviliet dan Bars. Murid pertamanya adalah Semaoen, seorang pemuda yang tergabung dalam serikat dagang islam (kemudian SI), yang merupakan ormas terbesar saat itu. waktu itu embrio pergerakan nasional telah dimulai, sesaat setelah politik etis mulai menghasilkan intektual-intelektual Indonesia yang banyak mempelajari teori2 ekonomi politik di eropa. syarat revolusi mulai tumbuh dengan berkembangnya tenaga produksi di nusantara/hindia belanda. Bersama-sama mereka kemudian mendirikan serikat buruh kereta api VSTP dan kemudian membentuk partai perjuangan yang bernama ISDV.

ISDV oleh karena masih kecil dan dikepung oleh lautan massa rakyat yang masih buta huruf dan hidup miskin, kemudian memilih bekerjasama dengan para saudagar islam yang tergabung di SDI. Serikat Dagang ini berisikan saudagar-saudagar lokal yang kepentingan ekonominya diganggu dan terhimpit oleh kolonialisme Belanda, sehingga mereka membutuhkan tenaga yang lebih besar lagi, yang pada akhirnya merubah organisasi mereka menjadi organisasi massa rakyat dan merubah namanya menjadi serikat Islam, dan organisasi ini lah kemudian  yang menjadi organisasi terbesar dan politis di masa-masa awal sejarah pergerakan nasional.

Melihat perkembangannya yang subur, Semaoen dan  Snevliet memandang bahwa SI adalah ranting kering yang siap dibakar. Keanggotaan organisasi SI mayoritas adalah rakyat biasa, yang berkepentingan untuk mendukung gagasan kemerdekaan. Ternyata benar,  ranting itu kemudian terbakar dan meluas. Tak lama kemudian, Semaoen tampili sebagai orang paling penting dalam tubuh SI dan kemudian mendeklarasikan SI Merah dan merubahnya menjadi Sarekat Rakyat, cikal bakal partai Komunis Indonesia.

PKI kemudian memainkan peran penting dalam menggalang persatuan-persatuan pergerakan, terutama dengan menyebar banyak kader-kadernya dibeberapa organisasi-organisasi pergerakan dalam memenangkan pertarungan gagasan akan hari depan kemerdekaan Indonesia. Namun PKI yang belum memaksimalkan perimbangan kekuatan harus terjebak dalam advonturisme politik dengan melakukan pemberontakan bersenjata pertama sekali terhadap belanda yang mengakibatkan kerusakan fatal ditubuh partai. Tapi siapa sangka pemberontakan itu juga lah yang membentuk mainset dikepala rakyat bahwa PKI tidak main2 dalam perjuangan kemerdekaan.. PKI menyadarkan banyak orang pada saat itu bahwa perjuangan melawan penjajah tidak bisa dengan jalan damai.

Paska itu PKI masuk dalam fase perjuangan bawah tanah, dimana banyak kader-kadernya yang berpolitik diluar PKI, tersebar luas dan berpropaganda terus menerus soalnya pentingnya persatuan massif. Banyak momentum yang lahir paska itu, dari kongres pemuda, sumpah pemuda, pendirian-pendirian partai-partai politik, dll. Bahkan lahir pula lah kesadaran darurat akan pentingnya meraih kemerdekaan terlebih dahulu. semboyan yang terkenal saat ini adalah Merdeka atau Mati..!!

Secara legal, PKI tidak legal tertulis dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, terlebih dispeutar tahun 1945. Namun nama-nama kader dan pimpinannya ikut bicara disitu. PKI bawah tanah  dengan jalur koordinasi yang konspiratif tetap dipertahankan. PKI lupa bahwa zaman  keterbukaan haruslah diimbangi dengan keterbukaan politik pergerakan. PKI mungkin lupa akan pentingnya bagi partai-partai komunis untuk mereorganisasi partai dalam mersepon situasi politik yang berubah. Muso yang melihat kondisi ini dari jauh seperti merumah kaca kan indonesia, kemudian yang terpenting adalah lahirnya sebuah kritik oto kritik yang menghasilkan Jalan Baru Partai Komunis Indonesia. seluruh kekuatan PKI dipersatukan dan PKI hadir kembali dalam arena legal.
bersambung...
 

Catatan Akhir Tahun 2010 (Politik)

Minggu, 26 Desember 2010 | 8:19 WIB

Edisi Catatan Akhir Tahun 2010
Oleh : Redaksi


Catatan Akhir Tahun 2010 (Ekonomi) BO Jumat, 24/12, telah mengulas masalah-masalah ekonomi, yang erat kaitannya dengan kebijakan neoliberal pemerintahan SBY-Boediono. Pada catatan tersebut disimpulkan, bahwa “sifat kolonialis semakin mendominasi perekonomian Indonesia”, yang menjadikan tahun 2010 ini sebagai “tahun menuju kebangkrutan”. Kebijakan-kebijakan neoliberal datang dari kepentingan modal asing melalui operatornya di kelompok “Setgab Koalisi”.

Setgab versus Oposisi?

Dinamika 2010 dimulai dengan kelanjutan isu skandal penyaluran dana Bank Century—yang diduga digunakan untuk biaya kampanye capres-cawapres terpilih, SBY-Boediono. Menghadapi tekanan ini, singkat cerita, SBY memberi dua bentuk konsesi kepada Partai Golkar, khususnya kepada Aburizal Bakrie, yang saat itu termasuk paling sengit ‘mengobok-obok’ kasus Century lewat pansus di DPR, dan juga yang paling kuat secara finansial untuk mengorganisir tambahan kekuatan dari faksi-faksi oposisi di parlamen maupun luar parlamen.

Dua bentuk konsesi tersebut adalah, pertama, menyingkirkan (mantan) Menteri Keuangan Sri Mulyani dari jajaran kabinet, yang sengit pula dilawan oleh para pendukungnya dari sedikit kalangan elit intelektual; dan kedua, konsesi berupa posisi ketua koalisi Setgab (Sekretariat Gabungan), yang merepresentasikan partai-partai dalam kabinet SBY-Boediono. Terdapat enam partai politik yang tergabung dalam koalisi setgab, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Posisi Aburizal Bakrie ini telah menguatkan peran Partai Golkar di hadapan Partai Demokrat, dan dalam dominasinya atas partai-partai lain dalam koalisi. Partai Golkar dan Demokrat menjadi dua sejoli pemegang kekuasaan terbesar dalam pemerintahan pusat. Dominannya dua partai ini menimbulkan friksi internal dalam koalisi, khususnya dari PKS dan PPP yang menuntut ‘peran’ lebih.

Sementara partai-partai di luar koalisi Setgab (PDIP, Hanura, dan Gerindra) hanya mampu memainkan peran terbatas berupa kritik-kritik ringan terhadap berbagai persoalan. Harapan kepada partai-partai ini untuk menjadi oposisi yang benar-benar solid dan programatik terhadap “pemerintahan koalisi” ternyata belum mampu dijalankan. Terdapat usaha oleh Surya Paloh untuk menggandeng kekuatan-kekuatan oposisi di luar parlamen ke dalam ormasnya Nasional Demokrat (Nasdem), namun langkah ini langsung ‘dikunci’ lewat partai-partai yang anggotanya merangkap sebagai anggota Nasdem. Koalisi Setgab telah menguasai mayoritas suara (kursi) di parlamen, serta ‘mengunci’ posisi-posisi penting yang dapat digunakan untuk mengganggu kemapanan pemerintahan. Beberapa figur penting dalam ‘partai oposisi’ bahkan secara implisit telah menyatakan diri ‘menyerah’ dan menjamin amannya pemerintahan SBY-Boediono sampai 2014. Salah satu tokoh kunci yang berperan demikian adalah Ketua MPR RI, Taufik Kiemas, yang disebut-sebut sebagai “ketua sesungguhnya” yang memainkan berbagai posisi politik PDIP.

Konsensus yang dicapai oleh politisi di level lembaga-lembaga tinggi negara ini merupakan kemenangan lanjutan presiden SBY di satu sisi, dan, di sisi lain, hasil dari upaya faksi-faksi politik di lingkaran kekuasaan untuk memperoleh konsesi ekonomi-politik, yang dapat dipakai sebagai ‘tabungan’ menuju pemilu 2014. Keputusan-keputusan dari pemerintahan SBY yang menyusahkan rakyat relatif tidak mendapatkan perlawanan di dalam parlamen; seperti yang terjadi pada kasus privatisasi sejumlah BUMN termasuk Krakatau Steel, dan rencana kenaikan harga BBM mulai awal 2011.

Sementara perimbangan kekuatan politik antara “koalisi” dan “oposisi”, yang dapat dicapai melalui hubungan antara kekuatan di dalam dengan di luar parlamen, ada terjalin tapi masih terbatas dan belum mencapai kesepakatan platform yang tegas. Baru bulan lalu, upaya SBY untuk menggoyang singgasana Sultan HB X di Yogyakarta sempat meluapkan kemarahan sejumlah masyarakat Yogya. Namun ‘perdamaian’ kembali dicapai keduanya, dengan Taufik Kiemas sebagai mediator.

Intervensi Asing Dalam Pembuatan 76 Undang-Undang

Di bulan Agustus 2010, anggota DPR RI dari fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari mengungkap keterlibatan lembaga-lembaga asing dalam pembuatan 76 Undang-Undang yang sebagian besar telah diberlakukan. Tiga lembaga internasional yang berbasis di Amerika Serikat, yaitu IMF (International Monetary Funds), Bank Dunia, dan United States Agency for International Development (USAID), telah menjadi konsultan pemerintah selama kurang lebih 12 tahun untuk pekerjaan ini.

Posisi lembaga-lembaga tersebut sebagai ‘konsultan’, diperoleh melalui ‘bantuan’ utang untuk berbagai program pemerintah di bidang-bidang strategis, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, minyak dan gas, serta pengelolaan kekayaan alam lainnya. Hasil dari ‘konsultasi’ tersebut telah mengarahkan pemerintah untuk mengajukan sejumlah Undang-Undang baru, atau mengubah Undang-Undang (UU) yang ada, seperti UU Pendidikan Nasional (Nomor 20 Tahun 2003), Undang-Undang Kesehatan (Nomor 23 Tahun 1992), UU Kelistrikan (Nomor 20 Tahun 2002), dan Undang-Undang Sumber Daya Air (No 7 Tahun 2004), UU BUMN (Nomor 19 Tahun 2003), UU Penanaman Modal Asing (Nomor 25 Tahun 2007, UU Migas (Nomor 22 Tahun 2001), UU Pemilu (Nomor 10 Tahun 2008). Sebagai catatan, keseluruhan UU tersebut kental dengan muatan liberalisasi, atau menaklukkan kepentingan nasional di bawah kehendak modal asing.

Jauh sebelum diungkapkan oleh Eva, dalam tiap-tiap pembahasan UU tersebut telah ada kelompok atau individu yang memperingatkan masalah intervensi tersebut. Misalnya, dalam penyusunan UU Migas, pakar minyak Kurtubi telah memastikan adanya campur tangan kepentingan asing, yang kemudian dikonfirmasi oleh (mantan) anggota DPR RI Drajat Wibowo. USAID mengeluarkan anggaran sebesar 21,2 juta US dolar atau sekitar 200 miliar rupiah untuk asistensi pembahasan UU tersebut. Namun pengungkapan-pengungkapan ini masih terpisah-pisah antara satu UU dengan UU yang lain, sehingga tidak tampak satu rangkaian kepentingan modal asing dalam keseluruhan kepentingannya.

Tebang Pilih Pemberantasan Korupsi

Di samping isu terorisme yang ‘meredup’, isu korupsi merupakan trade-mark (merek dagang) andalan bagi pemerintahan SBY-Boediono. Namun barang dagangan ini hanya tampak baik pada kemasan, karena isinya sama sekali buruk. Komitmen pemberantasan korupsi yang dicanangkan sebenarnya sudah sulit dipercaya khalayak sejak terjadi kriminalisasi terhadap pejabat KPK, pertama terhadap mantan ketua KPK, Antasari Azhar, dan kemudian percobaan yang sama terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Upaya kriminalisasi ini, menurut pengamatan banyak kalangan, merupakan tindakan ‘pencegahan’ agar kasus-kasus yang melibatkan kepala negara tidak diusut lebih lanjut.

Sepanjang tahun 2010, retorika pemberantasan korupsi oleh SBY semakin terbukti hanya manis di bibir. Pada acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, tanggal 1 Desember 2010, SBY antara lain mengatakan bahwa pemberantasan korupsi dapat efektif apabila penegak hukum bersih. Berlawanan dengan pernyataannya, alat-alat penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, justru dibuat menjadi semakin ‘kotor’ atau bermasalah. “Alat hukum” terkini buatan SBY adalah Satgas Antimafia Hukum yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto, tangan kanan SBY juga .

Kasus korupsi yang melibatkan pegawai kantor pajak, Gayus Tambunan, membuktikan keberadaan alat-alat penegakan hukum yang dapat dimanfaatkan penguasa sesuka hatinya. Pengakuan-pengakuan yang diberikan oleh Gayus, tampak sengaja diarahkan untuk menyerang Aburizal Bakrie (Ical), sebagai salah satu manipulator pajak yang ‘dibantunya’. Drama lolosnya Gayus dari tahanan untuk menyaksikan pertandingan tenis di Bali, yang ‘kebetulan’ dihadiri juga oleh Ical, seakan mengkonfirmasi adanya konspirasi besar untuk memainkan isu tersebut tanpa penyelesaian yang pasti.

Sisa Watak Hukum Kolonial

Pada bulan November tahun lalu, ada kisah Nenek Minah (55), yang dihukum penjara 1,5 bulan karena secara tidak sengaja ‘mencuri’ tiga buah cokelat. Saat itu kita alami ramainya kecaman dan kritikan terhadap kejadian ini. Hakim yang membacakan vonis hukuman mengalami situasi emosional dan menyatakan bahwa, “kasus ini kecil tapi telah melukai banyak orang.” Ketidakadilan yang sangat mencolok mata semacam ini ternyata tidak berkurang dengan kegeraman banyak orang.

Di tahun 2010 ini kejadian serupa kembali berulang. Seorang nenek di Pekalongan dihukum tiga bulan penjara karena mencuri lima batang permen coklat. Kemudian, baru bulan Oktober lalu, seorang petani di Pasuruan divonis hampir 1,5 bulan karena ‘mencuri’ dua batang singkong milik tetangganya buat makan sekeluarga. Kasus-kasus memilukan yang terungkap di media massa ini hanyalah sedikit contoh dari gejala umum posisi penegakan hukum. Rakyat, yang sedang dimiskinkan, sangat gampang diseret hukum, sementara orang yang berkuasa atau berduit sangat sulit tersentuh hukum. Hukum menjadi tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Menuju “Perampingan Sistem” dan Stabilisasi Pemerintahan Neoliberal

Tahun 2010 ditutup dengan pengesahan atas perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Perubahan ini terutama diarahkan untuk memperberat syarat pendirian partai politik (parpol). Ini merupakan saringan pertama peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan “pemerintahan yang kuat dan stabil”. Saringan peraturan berikutnya adalah yang mengatur tentang pemilihan umum (pemilu), yakni syarat bagi parpol untuk menjadi kompetitor dalam pemilu, dan batas perolehan suara untuk dapat mengirim perwakilan ke parlamen (electoral threshold).

Di samping telah melakukan pelanggaran konstitusional, yang untuk ini dapat diadukan ke Mahkamah Konstitusi, pembatasan partai politik merupakan bagian dari upaya membangun “pemerintahan yang kuat dan stabil” tadi. Fase reformasi politik tampaknya mulai mendekati tahap puncak berupa tercapainya konsensus kepentingan antara sebagian faksi-faksi politik yang sempat ‘terpecah-belah’ oleh liberalisasi 1998. Bila dipandang dari sudut ini, maka kemunculan koalisi setgab yang sedikit terbahas di atas, tampak seperti sebuah ‘uji-coba’ menuju perampingan sistem, menuju pengorganisasian politik yang lebih tersentralisasi, tidak berserak di banyak parpol seperti keadaan sekarang.
 

Dunia Ketiga Harus Bersatu Atau Mati



Fidel Castro

Pengelompokan negeri-negeri dunia ketiga di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Kelompok-77 (G77), yang dibentuk tahun 1964 dan kini berjumlah 133 negeri. Pada pertengahan April tahun 2000, bangsa-bangsa yang mewakili mayoritas rakyat sedunia ini bertemu di Havana, Kuba, dan mengeluarkan proklamasi yang sangat kritis terhadap kebijakan Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pidato berikut oleh Presiden Kuba saat itu Fidel Castro disambut dengan tepukan tangan yang menggeluruh pada saat KTT G77, tapi pers di AS tidak meliput pidato Castro maupun kritik lainnya yang berasal dari G77.

Belum pernah umat manusia memiliki potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian hebatnya dengan kapasitas yang luar biasa untuk menghasilkan kekayaan dan kesejahteraan, namun belum pernah pula terdapat kesenjangan dan ketaksetaraan yang begitu mendalam di dunia.

Keajaiban teknologi yang telah menyusutkan planet ini dalam hal komunikasi dan jarak, kini hadir bersamaan dengan jurang yang semakin lebar memisahkan kekayaan dan kemiskinan, pembangunan dan ketertinggalan.

Globalisasi adalah realitas obyektif yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal yang sama - planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.

Sejumlah kecil minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan seni budaya.

Sejumlah besar mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakan ke dalam lambung kapal yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.

Tentunya, kapal ini mengangkut terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah es. Bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam di dalamnya.

Para kepala negara dan pemerintahan yang bertemu di sini, yang mewakili mayoritas besar manusia yang mengalami penderitaan, tidak saja berhak tapi juga berkewajiban mengambil kepemimpinan dan mengoreksi arah perjalanan yang menuju bencana. Adalah tugas kita untuk mengambil tempat kita yang selayaknya sebagai pemimpin kapal dan menjamin bahwa semua penumpang dapat melakukan perjalanan dalam kondisi solidaritas, setara dan adil.

Dogma Pasar Bebas

Selama dua dekade, Negeri Dunia Ketiga telah berulangkali mendengarkan diskursus tunggal yang simplistik, sementara hanya terdapat satu kebijakan tunggal. Kita telah diberitahu bahwa pasar yang terderegulasi, privatisasi maksimum dan penarikan-diri negara dari aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip terampuh yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.

Dalam dua dekade terakhir, segaris dengan ini, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan transnasional besar yang diuntungkan oleh kebijakan di atas dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah merancang tatanan ekonomi dunia yang paling merugikan kemajuan negeri-negeri kita dan paling tidak berkesinambungan dalam melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.

Globalisasi telah dicengkram erat oleh pola-pola neoliberalisme; maka, bukanlah pembangunan yang menjadi global melainkan kemiskinan; bukanlah saling menghormati kedaulatan nasional negara-negara kita tapi pelanggaran sikap saling menghormati tersebut; bukannya solidaritas antara rakyat tapi sauve-qui-peut [masing-masing orang memikirkan dirinya sendiri] dalam kompetisi tak adil yang berlangsung di pasar.

Dua dekade dari apa yang disebut dengan penyesuaian struktural neoliberal telah memberikan kita kegagalan ekonomi dan bencana sosial. Adalah tugas para politikus yang bertanggung-jawab untuk menghadapi situasi yang menyulitkan ini dengan mengambil keputusan yang tak dapat dihindarkan dan kondusif untuk menyelamatkan Dunia Ketiga dari gang buntu.

Kegagalan ekonomi sudah terbukti. Di bawah kebijakan neoliberal, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan global antara 1975 dan 1998 yang besarnya tidak mencapai setengah tingkat pertumbuhan yang diraih antara tahun 1945 dan 1975 dengan kebijakan regulasi pasar Keynesian dan partisipasi aktif negara dalam ekonomi.

Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan dengan ketat menurut doktrinnya, pertumbuhan ekonomi dalam tahap neoliberal lebih rendah daripada yang dicapai dalam kebijakan pembangunan negara sebelumnya. Setelah Perang Dunia II, Amerika Latin tidak memiliki utang tapi sekarang kita berutang sebesar hampir $1 trilyun. Inilah jumlah utang per kapita terbesar di dunia. Kesenjangan pendapatan antara miskin dan kaya di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia. Terdapat lebih banyak rakyat miskin, menganggur, dan lapar di Amerika Latin pada saat ini dibandingkan pada saat mana pun dalam sejarahnya.

Di bawah neoliberalisme, ekonomi dunia tidaklah berkembang lebih cepat dalam hal-hal yang riil; justru terjadi lebih banyak ketakstabilan, spekulasi, utang luar negeri dan pertukaran yang tidak adil. Begitu juga, terdapat kecenderungan lebih besar bagi lebih sering terjadinya krisis finansial, sementara kemiskinan, ketaksamaan dan jurang antara negeri Utara yang kaya dan negeri Selatan yang jadi korban penjarahan terus melebar.

Krisis, ketakstabilan, gejolak dan ketakpastian merupakan kata-kata yang paling umum digunakan dalam dua tahun terakhir untuk menggambarkan tatanan ekonomi dunia.

Deregulasi yang menyertai neoliberalisme dan liberalisasi rekening kapital memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap ekonomi dunia di mana berkembang subur spekulasi mata-uang asing dan pasar derivativ; sementara transaksi harian yang kebanyakan spekulatif, besarnya tak kurang dari 3 trilyun dolar AS.

Negeri-negeri kita dituntut untuk lebih transparan dalam informasi dan lebih efektif dalam pengawasan bank tapi institusi finansial seperti hedge funds tidak perlu membuka informasi tentang aktivitasnya, dan sepenuhnya tak teregulasi dan menjalankan operasi yang melebihi semua cadangan devisa yang dimiliki oleh negeri-negeri Selatan.

Dalam atmosfir spekulasi yang tak terkendali, pergerakan kapital jangka-pendek membuat negeri-negeri Selatan rentan terhadap ancaman di masa depan. Dunia Ketiga dipaksa untuk menahan sumber daya finansialnya dan semakin banyak berhutang untuk mempertahankan cadangan devisa mata uang asing dengan harapan dapat digunakan untuk bertahan dari serangan spekulator. Sebesar 20% pemasukan kapital dalam beberapa tahun belakangan ditahan sebagai cadangan devisa tapi mereka tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut sebagaimana dibuktikan dalam krisis finansial baru-baru ini di Asia Tenggara.

Saat ini, cadangan devisa Bank-bank Sentral di dunia sebesar 727 milyar dolar AS berada di Amerika Serikat. Ini menciptakan paradoks bahwa dengan cadangan devisanya, negeri-negeri miskin memberikan pendanaan murah berjangka-panjang kepada negeri terkaya dan terkuat di dunia, padahal cadangan devisa tersebut dapat diinvestasikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Tuntut Pembubaran IMF

Bila Kuba berhasil menjalankan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, ilmu pengetahuan, olah-raga dan program-program lainnya dengan sukses, yang mana hal ini tidak lagi dipertanyakan oleh dunia, meskipun selama empat dekade diblokade ekonomi, dan melakukan revaluasi mata uangnya terhadap dolar AS sebanyak tujuh kali dalam lima tahun terakhir, itu berkat posisi istimewanya sebagai non-anggota Dana Moneter Internasional (IMF).

Suatu sistem finansial yang dengan paksa menahan mobilisasi sumber daya yang demikian besar, yang amat dibutuhkan oleh negeri-negeri itu untuk melindungi diri dari ketakstabilan yang diakibatkan oleh sistem tersebut, yang menyebabkan rakyat miskin mendanai kaum kaya - itu harus dihapuskan.

Dana Moneter Internasional adalah organisasi yang melambangkan sistem moneter saat ini dan Amerika Serikat menikmati hak veto terhadap segala keputusannya. Terkait krisis finansial terakhir, IMF menunjukkan ketidakmampuan dalam membayangkan apa yang akan terjadi dan telah menangani situasi dengan ceroboh. Ia menerapkan klausa persyaratan yang melumpuhkan kebijakan pembangunan sosial pemerintah sehingga menciptakan bencana domestik yang serius dan menghalangi akses terhadap sumber daya yang penting justru ketika mereka sedang paling dibutuhkan.

Sudah saatnya negeri-negeri Dunia Ketiga menuntut keras pembubaran institusi yang tidak memberikan stabilitas kepada ekonomi dunia maupun berfungsi memberikan dana pencegahan kepada peminjamnya untuk menghindari krisis likuiditas; sebaliknya, ia justru melindungi dan menolong para pemberi pinjaman.

Di manakah letak kerasionalan dan etika dari suatu tatanan moneter internasional yang memungkinkan segelintir teknokrat, yang posisinya bergantung pada dukungan Amerika, untuk merancang di Washington program-program ekonomi yang identik untuk diterapkan ke dalam beragam negeri untuk menghadapi problem-problem spesifik Dunia Ketiga?

Siapa yang bertanggung-jawab ketika program-program penyesuaian menghadirkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan mendestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia dan alam yang besar, seperti kasus Indonesia dan Ekuador?

Adalah suatu keharusan yang krusial bagi negeri-negeri Dunia Ketiga untuk mengupayakan pembubaran institusi sinister tersebut, dan filosofi yang dipertahankannya, untuk digantikan dengan badan regulasi finansial internasional yang akan beroperasi atas landasan demokratik di mana tak satu pun memilik kekuasaan veto; sebuah institusi yang tak hanya mempertahankan para kreditor kaya dan menerapkan syarat-syarat yang mengintervensi, tapi akan memungkinkan penerapan regulasi pasar finansial untuk menghentikan spekulasi liar.

Cara yang mungkin untuk ini adalah menerapkan - bukannya pajak sebesar 0,1 persen terhadap transaksi finansial spekulatif sebagaimana diusulkan dengan brilian oleh Mr Tobin - tapi pajak sebesar minimum 1 persen yang akan memungkinkan pembentukan dana yang besar, yang melebihi $1 trilyun pertahunnya untuk menggalakkan pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif di Dunia Ketiga.

Utang Dunia Ketiga Sudah Dilunasi

Utang-utang luar negeri dari negeri kurang berkembang telah melebihi $2,5 trilyun dan dalam tahun 1990an itu telah bertambah dengan lebih berbahaya dibandingkan tahun 1970an. Sebagian besar dari utang baru tersebut dapat dengan mudah berpindah tangan dalam pasar sekunder; ia saat ini lebih tersebar luas dan lebih susah untuk dijadwal ulang.

Sebagaimana telah kami katakan sejak 1985: Utang tersebut sudah dilunasi, bila kita memperhatikan cara pembayarannya, peningkatan yang cepat dan semena-mena terhadap tingkat suku bunganya dalam dolar AS pada tahun 1980an dan penurunan harga komoditas dasar - suatu sumber pendapatan fundamental bagi negeri-negeri berkembang. Utang tersebut terus memakan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan di mana uang dipinjam untuk membayar bunga dari utang lama.

Saat ini, terlihat lebih jelas bahwa utang bukanlah persoalan ekonomi tapi politik, oleh karena itu, ia membutuhkan solusi politik. Tidaklah mungkin menutup mata dari kenyataan bahwa solusi terhadap problem ini harus berasal dari mereka yang memiliki sumber daya dan kekuasaan, yakni, negeri-negeri kaya.

Inisiatif Pengurangan Utang Negeri-negeri Miskin (Heavily Indebted Poor Countries Debt Reduction Initiative - HIPC) menunjukkan nama yang besar tapi hasil yang kecil. Ia hanya dapat digambarkan sebagai upaya konyol untuk menghapus 8,3 persen total utang negeri-negeri Selatan. Hampir empat tahun setelah penerapannya hanya empat di antara tiga-puluh-tiga negeri termiskin telah menyusuri proses yang rumit hanya untuk menghapus angka yang tak seberapa sebesar $2,7 milyar, yakni sepertiga dari jumlah uang yang dibelanjakan Amerika Serikat untuk kosmetik tiap tahunnya.

Saat ini, utang luar negeri adalah rintangan terbesar bagi pembangunan dan bom waktu yang siap meledakkan fondasi ekonomi dunia saat krisis ekonomi.

Sumber daya yang dibutuhkan sebagai solusi yang mengarah pada akar permasalahan ini tidaklah besar bila dibandingkan dengan kekayaan dan pembelanjaan negeri-negeri kreditor. Tiap tahun $800 milyar digunakan untuk membiayai persenjataan dan pasukan, bahkan setelah usai Perang Dingin, sementara tak kurang dari $400 milyar dihabiskan untuk narkotika, dan milyaran lainnya untuk publisitas komersial yang menciptakan alienasi yang sebanding dengan narkotika.

Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, pada kenyataannya, utang luar negeri Dunia Ketiga adalah tak dapat dibayarkan dan tak dapat dipungut.

Perdagangan Dunia

Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia adalah alat dominasi. Di bawah globalisasi neoliberal, perdagangan telah memelihara ketimpangan dan menjadi ruang penyelesaian sengketa antara negeri-negeri maju dalam upaya mereka mengontrol pasar pada saat ini maupun masa depan.

Diskursus neoliberal menyarankan liberalisasi komersial sebagai formula terbaik dan satu-satunya bagi efisiensi dan perkembangan. Sementara neoliberalisme terus menerus mengulangi diskursusnya tentang peluang yang diciptakan oleh pembukaan perdagangan, partisipasi negeri-negeri miskin dalam ekspor dunia menurun pada tahun 1998 dibandingkan tahun 1953. Brasil dengan area 3,2 juta mil persegi, penduduk sebesar 168 juta dan nilai ekspor sebesar $51,1 milyar pada 1998, ekspornya lebih sedikit dibandingkan Belanda yang berarea 12.978 mil persegi, dengan populasi 15,7 juta dan nilai ekspor sebesar $198,7 pada tahun yang sama.

Liberalisasi perdagangan pada intinya terdiri atas penyingkiran instrumen proteksi negeri-negeri Selatan secara sepihak (unilateral). Sementara, negeri-negeri berkembang tidak bisa melakukan hal yang serupa untuk membolehkan ekspor-ekspor Dunia Ketiga memasuki pasar mereka.

Bangsa-bangsa yang kaya telah membangun liberalisasi dalam sektor-sektor strategis yang diasosiasikan dengan teknologi maju - jasa, teknologi informasi, bioteknologi, dan telekomunikasi - di mana mereka menikmati keuntungan besar yang semakin meningkat dengan deregulasi pasar.

Di sisi lain, pertanian dan tekstil, dua sektor yang secara khusus signifikan bagi negeri-negeri kita, tidak mampu menyingkirkan rintangan yang telah disetujui dalam Putaran Uruguay karena ini bukanlah kepentingan negeri-negeri maju.

Dalam OECD [Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi], kelompok negeri-negeri terkaya, tarif rata-rata yang diterapkan pada ekspor manufaktur dari negeri-negeri kurang berkembang adalah empat kali lebih tinggi daripada yang diterapkan pada negeri anggota kelompok tersebut. Tembok penghalang antara tarif dan non-tarif sesungguhnya telah ditegakkan untuk menyingkirkan produk-produk negeri Selatan.

Komoditas dasar tetaplah rantai terlemah perdagangan dunia. Bagi 67 negeri Selatan, komoditas semacam itu berjumlah setidaknya lima puluh persen pendapatan ekspornya. Gelombang neoliberal telah menyapu skema pertahanan yang termuat dalam panduan (terms of reference) komoditas dasar. Diktum supremasi pasar tak dapat mentolerasi distorsi apa pun, dengan demikian Kesepakatan Komoditas Dasar (Basic Commodities Agreements) dan formula lainnya yang membahas ketimpangan pertukaran (unequal exchange) ditinggalkan begitu saja. Atas alasan inilah maka kini daya beli komoditas seperti gula, kokoa, kopi dan lainnya hanya dua puluh persen dari angka sebelumnya pada 1960; akibatnya, pendapatan penjualan bahkan tidak menutupi biaya produksi.

Perlakuan khusus dan berbeda bagi negeri-negeri miskin telah dipandang sebagai, bukannya tindakan adil dan kebutuhan yang tak dapat diabaikan, melainkan tindakan kemurahan hati yang hanya sementara. Sesungguhnya, perlakuan berbeda bagi negeri-negeri miskin bukan saja merupakan pengakuan terhadap perbedaan besar dalam perkembangan tiap negeri, sehingga mencegah digunakannya penggaris yang sama bagi negeri kaya dan miskin, tapi juga menyadari masa lalu kolonial yang menuntut kompensasi.

Signifikansi Perlawanan di Seattle

Kegagalan pertemuan WTO di Seattle menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal menciptakan oposisi yang semakin intensif di antara semakin banyak rakyat, baik di negeri Selatan dan Utara. Amerika Serikat mempresentasikan Putaran Negosiasi Perdagangan yang seharusnya dimulai di Seattle sebagai langkah liberalisasi perdagangan yang lebih maju, padahal negeri itu masih memberlakukan Akta Perdagangan Asing-nya sendiri yang agresif dan diskriminatif. Akta tersebut menyertakan peraturan seperti "Super 301", sebuah pertunjukkan diskriminasi dan ancaman yang sesungguhnya dalam menerapkan sangsi bagi negeri-negeri lainnya atas alasan yang berkisar dari asumsi bahwa suatu negeri menerapkan rintangan untuk menolak produk-produk Amerika, hingga penilaian yang sewenang-wenang dan sering kali sinis oleh pemerintah AS terkait situasi hak asasi manusia di negeri-negeri lainnya.

Di Seattle, terjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Preseden terkininya adalah penolakan terhadap penerapan Multilateral Agreement on Investments (MAI). Ini menunjukkan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang telah mengakibatkan kerusakan besar terhadap negeri-negeri kami, menghadapi penolakan sedunia yang keras dan sudah sepantasnya.

Jurang Teknologi

Dalam sebuah ekonomi global di mana pengetahuan adalah kunci bagi pembangunan, jurang teknologi antara Utara dan Selatan cenderung melebar dengan meningkatnya privatisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.

Negeri-negeri maju di mana berdiam lima belas persen penduduk dunia, pada saat ini mengonsentrasikan delapanpuluh-delapan persen pengguna Internet. Terdapat lebih banyak komputer di Amerika Serikat dibandingkan dengan gabungan seluruh jumlah komputer di negeri lainnya di dunia. Negeri-negeri kaya mengontrol sembilanpuluh-tujuh persen hak paten secara global dan menerima lebih dari sembilan-puluh persen hak lisensi internasional, sementara bagi banyak negeri-negeri Selatan penerapan hak milik intelektual tidaklah eksis.

Dalam riset swasta, elemen lukratif (keuntungan besar) mendahului pertimbangan kebutuhan; hak milik intelektual menjadikan pengetahuan berada di luar jangkauan negeri-negeri kurang berkembang, dan legislasi tentang hak paten tidak mengakui transfer pengetahuan atau pun sistem kepemilikan tradisional yang begitu penting di Selatan. Penelitian oleh swasta berfokus pada kebutuhan konsumen yang kaya.

Vaksin telah menjadi teknologi yang paling efisien untuk mempertahankan pembelanjaan kesehatan yang rendah karena dapat mencegah penyakit dengan hanya menggunakan satu dosis. Walau begitu, karena itu memberikan profit yang rendah, vaksin dikesampingkan untuk mengutamakan pengobatan yang membutuhkan dosis berulang kali dan memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi.

Pengobatan baru, bibit terbaik, dan, pada umumnya, teknologi terbaik telah menjadi komoditas yang harganya hanya dapat dijangkau oleh negeri-negeri kaya.

Akibat sosial yang suram dari perlombaan neoliberal menuju bencana ini sudah ada di depan mata. Dalam seratus negeri, pendapat perkapita lebih rendah dibandingkan lima belas tahun lalu. Pada saat ini, 1,6 milyar orang bernasib lebih buruk dibandingkan pada awal 1980an.

Lebih dari 820 juta orang kekurangan gizi dan 790 juta di antaranya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 milyar orang yang hidup di Selatan saat ini tidak akan menyaksikan ulang-tahunnya yang ke-40.

Dalam negeri-negeri Dunia Ketiga yang terwakili di sini, dua dari lima anak menderita hambatan pertumbuhan dan satu dari tiga menderita kekurangan berat badan; 30.000 anak yang dapat diselamatkan, tiap harinya menderita sekarat; 2 juta anak perempuan terpaksa menjalani prostitusi; 130 juta anak tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar dan 250 juta anak di bawah 15 tahun terpaksa bekerja. Tatanan ekonomi dunia berfungsi baik bagi dua puluh persen penduduknya tapi mengabaikan, memojokkan dan memperburuk delapan puluh persen sisanya.

Kita tak dapat begitu saja memasuki abad baru dalam barisan akhir yang terbelakang, miskin, dan tereksploitasi; korban rasisme dan xenofobia dihalangi dari akses pengetahuan, dan menderita alienasi budaya kita akibat pesan-pesan asing berorientasi-konsumerisme yang diglobalisasikan oleh media.

Bagi Kelompok 77, ini bukanlah saat untuk mengemis dari negeri-negeri maju atau untuk patuh, mengalah, atau saling menghancurkan. Inilah saatnya untuk mengembalikan semangat berlawan kita, kesatuan dan kohesi kita dalam mempertahankan tuntutan kita.

Lima puluh tahun lalu kita diberikan janji bahwa suatu hari nanti tidak akan ada lagi jurang antara negeri-negeri maju dan kurang-berkembang. Kita dijanjikan roti dan keadilan; tapi hari ini kita memiliki semakin sedikit roti dan semakin banyak ketidakadilan.

Dunia dapat diglobalisasi di bawah kekuasaan neoliberalisme, tapi tidaklah mungkin menguasai milyaran lebih orang yang lapar akan roti dan haus akan keadilan. Gambaran ibu-ibu dan anak-anak di bawah derita kekeringan dan bencana lainnya di seluruh wilayah Afrika mengingatkan kita akan kamp konsentrasi di Jerman Nazi; mereka mengembalikan memori tentang tumpukan mayat dan orang sekarat, perempuan, dan anak-anak.

Perlu digelar semacam Nuremberg untuk mengadili tatanan ekonomi yang dipaksakan ke kita: sebuah sistem yang dengan menggunakan kelaparan dan penyakit yang tersembuhkan telah membunuh lelaki, perempuan, dan anak-anak tiap tiga tahun dalam jumlah yang melebihi korban jiwa Perang Dunia II yang berlangsung enam tahun.

Di Kuba kami biasa berkata: "Merdekalah Tanah Air atau Mati!" Pada KTT Dunia Ketiga ini kita akan harus berkata: "Bersatulah dan Bangun Kerjasama Erat, atau kita mati!"

Diterjemahkan oleh Data Brainanta, diambil dari Media NEFOS (http://www.nefos.org)
 

Arah Perjuangan

Koalisi Persatuan Nasional untuk Kemandirian Bangsa

1. Apa yang dimaksud dengan Pemerintahan Koalisi/ persatuan Nasional?

Pemerintahan koalisi mengacu pada pemerintahan yang melibatkan sejumlah partai atau golongan politik, untuk menciptakan kepemimpinan politik yang kuat dan stabil. Akan tetapi, di berbagai negara pemerintahan koalisi seringkali menjadi pertimbangan pragmatis sejumlah partai untuk memperoleh kedudukan bersama dalam kekuasaan. Di Indonesia, pemerintahan koalisi-partai seringkali dipraktekkan, seperti pemerintahan koalisi Golkar-Demokrat dewasa ini, namun bertujuan untuk memperkuat kepentingan elit nasional, birokrat korup, oligarki, dan kepentingan imperialisme.

Pemerintahan koalisi persatuan nasional justru sebaliknya; ia merupakan alat politik yang dibangun dari bawah, berdasarkan kesepakatan seluruh partai-partai, golongan, organisasi massa, dan individu yang menyepakati program koalisi persatuan nasional. Koalisi persatuan nasional jelas berjiwa dan berkarakter progressif-kerakyatan, serta menyetujui platform kemandirian nasional, pluralisme, dan pro-rakyat.

Pemerintahan koalisi persatuan berdiri diatas kepentingan nasional dan seluruh rakyat. Maka, tindakan pertama kali yang akan dilakukan pemerintahan koalisi persatuan nasional adalah mencabut UU pro-neoliberal, menghapuskan utang luar negeri, mengambil alih (retake) control terhadap perusahaan asing yang sifatnya strategis.


2. Apa latarbelakang Pembentukan Pemerintahan Koalisi Persatuan Nasional

Dari begitu banyak persoalan kebangsaan yang menjadi sumber keprihatinan bersama sekarang ini, setidaknya dapat disimpulkan beberapa hal pokok; pertama, kapitalisme neoliberal sedang mengalami krisis, yang derajat dan tingkat kesulitannya diperkirakan menyamai great depression 1930-an, sehingga menciptakan kelonggaran kepada kekuatan progressif/alternative guna mendorong alternatif perubahan. Kedua, situasi politik di dalam negeri, karena kepentingan menjaga kesinambungan neoliberalisme, begitu meninggikan pagar sehingga mempersulit keterlibatan partai-partai dan tokoh-tokoh alternatif. Ini dapat disaksikan pada UU pemilu dan UU pilpres yang baru saja disahkan; kedua UU ini berwatak menghambat partai alternatif dan capres kerakyatan, sehingga solusinya paling tidak adalah koalisi. Ketiga, isu anti neoliberalisme, termasuk Tri-Panji Persatuan Nasional, semakin menemukan tempatnya dalam isu dan program yang disusun oleh elit politik nasional, terutama sebagai amunisi untuk “menghajar” pemerintahan SBY-JK.

3. Apa bedanya Koalisi Persatuan dengan koalisi-koalisi lain yang pernah dibentuk oleh partai-partai politik dalam sejarah Indonesia?

Pada kurun waktu tahun 1955 hingga 1960-an, terbentuk FRONT NASIONAL yang bukan hanya menghimpun partai-partai politik, tapi juga golongan politik tertentu asalkan mendukung politik FRONT NASIONAL yang anti imperialis; manipol usdek, demokrasi terpimpin, Trisakti, Resopin, dll. Kendati memiliki tujuan yang baik, akan tetapi Front Nasional dimasa soekarno kurang mendukung politik anti-imperialisme, karena beberapa unsur yang bergabung didalamnya, terutama sayap kanan, hanya berpura-pura mendukung front nasional, tapi pada kenyataannya tidak.

Setelah itu, politik persatuan yang berbasiskan kepentingan nasional turut mati. Selama puluhan tahun, partai-partai membangun koalisi sekedar untuk menjaga stabilitas kekuasaan dari rejim berkuasa. Pada masa orde baru berkuasa, tiga partai berturut-turut menyokong seorang presiden dalam pemerintahan, tanpa ada keberanian berbeda pandangan politik ataupun kebijakan. Pada masa reformasi, yang ditandai dengan hidupnya multi-partai, tidak juga menambah bobot koalisi politik antar-parpol. Tetap saja, mereka berdagang untuk mendapatkan tempat dalam kekuasaan, ketimbang mengartikulasikan kepentingan rakyat dan kepentingan bangsa.

Ada koalisi poros tengah yang merupakan koalisi partai islam dan tengah untuk menggusur pemerintahan Gusdur; ada pula koalisi gotong royong yang menyertakan begitu banyak partai, hingga koalisi Indonesia bersatu yang dikomandoi Golkar dan Demokrat, untuk menyokong pemerintahan SBY-JK.

Koalisi itu tidak mencerminkan kehendak rakyat. Koalisi itu dibangun dari atas, berdasarkan kesepakatan para elit, dan sekedar alat tawar-menawar kekuasaan. Basis persatuannya juga bukan program kerakyatan, tapi kesepakatan tertutup diantara pimpinan partai untuk bagi-bagi jabatan dalam pemerintahan. Koalisi mereka temporer dan cepat bubar hanya karena intrik politik atau karena bagi jatah kekuasaan yang kurang merata.

Koalisi persatuan nasional berbeda dengan koalisi semacam itu. Pemerintahan koalisi persatuan nasional, seperti dijelaskan sebelumnya, dibentuk dan tersusun dari bawah, meliputi bukan saja partai politik, tapi juga golongan, organisasi massa, tokoh agama, bahkan individu yang menyepakati platform dan visi perjuangan kami. Koalisi persatuan nasional berdiri atas kepentingan nasional dan seluruh rakyat, sehingga ia tetap menyandarkan kekuatannya pada aksi dan mobilisasi umum seluruh rakyat.

4. Bagaimana pandangan anda terhadap Krisis financial sekarang dan pemilu 2009?

Tidak bisa disangkal, bahwa isu ekonomi akan menjadi sangat dominan dalam pemilu 2009. hal tersebut disebabkan bukan saja karena merupakan problem mendasar yang dihadapi oleh rakyat, tapi juga disebabkan oleh fakta bahwa krisis financial yang bermuasal dari AS, negeri yang selalu menjadi kiblat pendukung neoliberal di Indonesia, kini sedang memasuki sebuah periode krisis yang berdampak lebih dalam, lebih luas, dan tentu saja lebih merusakkan. Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari krisis ini; Krisis yang berlangsung sekarang, dan tentu saja berdampak luas hingga pemilu, menkonfirmasikan beberapa hal; pertama, pengalihan beban ekonomi dari penanganan terhadap krisis di pusat kapitalis (AS) kepada Negara-negara berkembang. Dan di pundak Negara-negara berkembang, beban tersebutkan akan dipikulkan kepada rakyat miskin dan sektor ekonomi domestik. Kedua, krisis tersebut akan menaikkan ketidakpercayaan terhadap ekonomi neoliberal, dan juga akan menggeser posisi sejumlah politisi, ekonom, ataupun akademisi moderat untuk lebih kritis terhadap neoliberal. Ketiga, krisis ini akan menjadi kesulitan baru bagi pemerintah sekarang untuk menghindar dari kegagalan total, sehingga berpengaruh pada kemerosotan terhadap dukungan mereka dalam momentum electoral.

Jauh sebelum ini, tekanan-tekanan ekonomi terhadap rakyat akibat serangkaian kebijakan ekonomi pemerintah, seperti kenaikan harga BBM, kenaikan harga sembako, kenaikan harga elpiji, telah melahirkan “ketidakpuasan” luar biasa terhadap pemerintah.

5. Apa masalah politik utama bagi lahirnya Pemerintahan Nasional yang kuat dan mandiri?

Saat ini, masalah politik utama dalam merangkai sebuah persatuan berbasiskan program kerakyatan di Indonesia terhambat beberapa kendala; pertama, problem fragmentasi politik yang sudah sedemikian lebar dan berserakan. Secara sederhana, problem fragmentasi dapat dipandang sebagai hasil ketiadaan ideology yang menjadi pembimbing gagasan dan cita-cita kolektif para politisi dan partai, dalam mewujudkan cita-cita kolektif seluruh rakyat .

Kedua, sistem politik demokrasi, yang didesain menurut demokrasi barat, tidak memberikan kesempatan dan ruang bagi partai politik alternatif dan calon-calon legislative, senator, ataupun calon presiden dari rakyat. Selain karena biaya politik yang terlampau mahal, juga dijumpai sejumlah aturan yang menghambat partisipasi politik rakyat, seperti UU pilpres, sistem ambang batas, penyederhanaan politik, dsb.

Ketiga, panggung politik nasional masih didominasi dan dipenuhi muka-muka tua. Kendati, ada sentimen bahwa calon kaum muda sudah memiliki kans untuk dapat bertarung dalam electoral, tapi modal dan tantangan politik yang dihadapi cukup besar; apatisme rakyat, wajah politik yang sudah terlampau jelek dimata rakyat, dan sistem dalam kehidupan politik yang benar-benar korup, tidak manusiawi, dan kerakyatan.

6. Unsur-unsur mana saja, menurut anda, yang merupakan embrio yang bakal dirangkul dalam Koalisi Persatuan Nasional?

Dalam hal ini, kami menegaskan bahwa politik kami adalah anti-neoliberal. Sehingga dalam lapangan perjuangan, musuh utama kami adalah partai-partai, akademisi, dan lembaga-lembaga pendukung neoliberalisme. Siapa partai yang mendukung neoliberalisme? Yaitu Golkar dan Demokrat. Kedua partai itu merupakan unsur paling reaksioner, paling bertanggung jawab atas malapetaka neoliberal di Indonesia; partai itu yang menaikkan harga BBM, memprivatisasi BUMN, mensahkan UU yang membatasi hak berserikat dan mogok bagi pekerja, meliberalkan perdagangan, menyerahkan kepemilikan migas kepada asing, dsb. Itulah musuh pokok rakyat Indonesia; yang juga merupakan musuh pokok koalisi persatuan nasional.

kami menyadari, bahwa jalan satu-satunya menyingkirkan penjajahan asing adalah persatuan, maka kami akan mengajukan proposal persatuan kepada partai, golongan, maupun individu, yang menyepakati program dan platform kami; kemandirian nasional, pluralisme, dan pro-rakyat. Setidaknya, menurut kami, bahwa ada 3 unsur kekuatan yang sementara ini memiliki sentimen menentang neoliberalisme, yaitu; nasionalis progressif, sosialis-kerakyatan, dan religius-progressif. Penyatuan ketiga unsur tersebut harus melalui sebuah front persatuan/koalisi persatuan yang luas dan lebar, tapi dengan platform yang jelas, karena fragmentasi politik telah membelah-belah kekuatan politik, termasuk progressifnya.

7. Apa cita-cita politik Koalisi Persatuan Nasional?
visi dan orientasi politik kekuasaan atau pemerintahan yang kita tawarkan adalah:

1. Mendirikan Pemerintahan Indonesia, yakni Pemerintahan Koalisi/Persatuan Nasional untuk kemandirian bangsa yang berdaulat dari intervensi/pengaruh asing, demokratis, bersih dari KKN, dan berpihak kepada rakyat.

2. Mewujudkan bangsa Indonesia yang damai, berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

3. Mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang demokratis secara politik, memaksimalkan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengontrolan, dan evaluasi kegiatan-kegiatan sosial.

4. Mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang adil secara ekonomi (tanpa eksploitasi antara sesama manusia), dan menjunjung tinggi nilai-nilai kepribadian Indonesia (sesuai semangat kemerdekaan Indonesia).

Mewujudkan Indonesia yang damai dalam pluralisme, saling menghargai dan bersatu dalam perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, dan golongan.
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger