Sajak buat si kurus

Hai kau yang bertubuh kurus
Tubuhmu tak ubah selembar triplek
Dan sperti tak tahu diri
Mulutmu terus nyrocos soal situasi

Dan aku seperti tergelitik
Kutatap kau duduk tak bersandar
Alahmaakkk…aku benar-benar ingin menaruh sandaran
Dipunggungmu…

Gelitik itu berhenti
Kau menatap seperti ingin menelanku
Sekejap aku bergumam
“Serius benar orang pucat ini”

Katamu perlawanan itu harus
Hari ini dan esok hari

Lagi lagi kau jabarkan situasi
Dan aku mulai mengerti


Medan, 21 Agustus 03
Randy Syahrizal
 

Perlukah Sejarah Nasional Indonesia?

SIKAP penguasa kita yang menjadi perdebatan laten adalah turut mencampuri sejarah orang lain. Lalu memaksakan sejarahnya sebagai dominasi atas sejarah orang lain itu. Begitu seterusnya, tiap pergantian rezim kekuasaan pasti diikuti serangkaian kritik terhadap penulisan sejarah konvensionalnya. Apakah dengan demikian sejarawan akademis justru akan tampil sebagai rezim baru yang akan menebarkan tirani memoria? Yang selalu menulis tanpa ada jaminan obyektivitas yang konsisten? Karena tiap orang pasti takut menulis obyektif di bawah todongan pistol.

PENULISAN sejarah pada masa Soeharto atau kerap disebut rezim Orde Baru (Orba) dilihat selalu dekat dengan penguasa. Penonjolan peran militer dan pengultusan personal sebagai orang yang paling berjasa bagi negara memenuhi buku-buku sejarah dengan label "standar nasional". Dalam hal ini, interpretasi penulis sejarahnya tidak bisa disalahkan begitu saja.

Labelisasi itu sejak awal dilukiskan sebagai stigma positif berlakunya nasionalisme baru Indonesia. Sejarawan akademis sebagai pilar penting penulisan sejarah terlibat aktif memaparkan interpretasinya dan menyuguhkan desain konstruksi memoria bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah militer. atau paling tidak mempunyai masa lalu yang berisi para pecundang, kriminal, pembunuhan, dan pengkhianatan.

Herbert Butterfield dalam buku The Whig Interpretation of History (1931) mencoba memberi batasan penilaian yang bisa diberikan oleh sejarawan. Dia mencatat, lepas dari kesalahan penafsiran, sejarawan bertugas untuk memberi argumentasi yang lebih kepada upaya kritik dan moralitas serta menjauhi hasrat untuk menghakimi.
Ilham positif yang bisa diterimakan dari "debat kusir" seputar interpretasi adalah kesalahan sejarawan dalam memberi tujuan dari interpretasi sejarah. Jika sejarah obyektif adalah peristiwa (moment) itu sendiri, maka sejarah subyektif berdekatan dengan penafsir (interpreter) yang memberi makna bagi historiografi (penulisan sejarah). Kita masih belum biasa menempatkan sejarawan yang berstatus merdeka dan bebas untuk menulis apa yang perlu dituliskan.

Dalam masa Orba, yang paling bertanggung jawab terhadap penulisan sejarah nasional adalah sejarawan akademis. Beranjak dari pengertian, sejarah obyektif harus tunggal dan negara (penguasa) berhak mendistribusikannya demi kepentingan ideologis atau segala sesuatu yang membutuhkan sejarah sebagai legitimasinya.

Sejarah dibawa untuk melanjutkan tradisi hegemonik dari pendahulunya, yakni mitologi. Konsep terakhir ini adalah pilar tegaknya pusat-pusat kekuasaan. Ada benarnya jika dikatakan, sejarawan Orba hanya merekonstruksi mitos kepahlawanan (epos), bukan menyajikan sebuah rekonstruksi sejarah.

TUNTUTAN untuk mereinterpretasi sejarah nasional merupakan imbas yang tidak terelakkan. Tesis Ralph Waldo Emerson, There is Properly No History; Only Biography agaknya lebih cocok dengan rentang perjalanan sejarah nasional Indonesia. Sejak dimulainya penulisan sejarah istana-centris pada masa kerajaan-kerajaan, sejarawan selalu dekat dengan kekuasaan. Demikian juga dengan historici kolonial. Mereka akan menulis orang-orang di seputar kekuasaan dan reputasi baiknya tanpa kritik. Belum ada sejarawan amatir yang diakui sebagai bagian besar optimalisasi yang mandiri dari penulisan sejarah dan menulis keadaan masyarakat secara umum yang diakui setara.

Tragisnya, sampai hari ini sejarawan akademis tidak pernah merasa bersalah apalagi menangisi kematian kebebasan menafsirkan sejarah obyektif bangsanya, lingkungannya, masyarakatnya, dan setiap personal. Sejarawan senior, Kuntowijoyo, dalam pembuka buku Metodologi Sejarah menandaskan, sejarawan adalah penulis sejarah! Tidak peduli dia bekerja sebagai apa. Kenyataan ini sering diingkari karena setiap penulisan sejarah selalu didominasi sejarawan akademis yang terpayungi otoritas keilmiahan sampai kenegaraan.

Sejak seminar nasional sejarah pertama dekade 1960-an, yang kedua (1970), sampai ketiga (1981), isu besar yang dibahas adalah pencarian bentuk kesepahaman penulisan sejarah nasional yang bisa mencakup semua titik-titik puncak sejarah lokal yang berdimensi nasional. Pada saat yang sama juga dirumuskan berbagai macam urusan metodologi dan aneka pendekatan yang lebih mutakhir dalam penulisan ilmu sejarah. Hasilnya adalah buku sejarah nasional 7 jilid yang kini dikritik habis-habisan, bahkan oleh pihak-pihak yang dulu mendukungnya.

Titik tolak usulan untuk mereinterpretasi sejarah nasional yang awalnya datang dari kelompok "pinggiran" dan "terpinggirkan" oleh kekuasaan Orba, tidak akan banyak membantu. Selama mentalitas sejarawan yang mengusung dominasi penulisan sejarah di puncak menara gading atas nama akademis dilanggengkan, bisa dikhawatirkan sejarawan akan tetap dekat dengan kekuasaan. Tidak ada upaya kritis untuk menafsirkan peristiwa sejarah dengan leluasa, merdeka, dan variatif.

Setiap negara mempunyai kepentingan untuk menegaskan eksistensi historisnya dengan membuat buku standar. Jika unsur seperti nasionalisme amat kuat pada penulisan sejarah awal kemerdekaan, tidak perlu dimungkiri, nasionalisme membuahkan kedekatan sejarawan dengan kekuasaan. Sejarawan dan penguasa mempunyai tugas sama, yakni menghakimi.

Tuntutan reinterpretasi sejarah nasional pascareformasi 1998 akhirnya membuahkan hasil dengan upaya revisi buku standar Sejarah Nasional Indonesia yang melibatkan ratusan sejarawan. Meski proyek ini belum selesai, namun upaya sosialisasi kepada masyarakat luas belum sepenuhnya terwujud. Penulisan itu terkesan eksklusif karena semua tim berdiri dan dibentuk oleh rezim yang berkuasa.

Dalam negara demokrasi, kekuatan-kekuatan sipil seharusnya lebih optimal. Negara hanya sebagai fasilitator untuk menjembatani pemenuhan kebutuhan warga negaranya untuk bertutur tentang masa lalunya. Pengembangan dan penguatan wahana penulisan sejarah di luar sejarawan akademisi ini sudah banyak diterapkan di negara-negara dengan sistem demokrasi yang mapan. Lebih tepat dinyatakan, negara akan mendukung setiap usaha historiografi alternatif.

HAMBATAN terbesar di Indonesia adalah rapuhnya pemahaman mengenai arti penting sejarah sebagai bagian kebutuhan pendewasaan masyarakatnya. Beberapa waktu lalu sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mengusulkan dibentuknya Komisi Nasional (Komnas) Sejarah yang berfungsi sebagai komisi independen yang berwenang mengurusi persoalan sejarah, mencakup reinterpretasi, pelurusan sejarah, penyelidikan untuk kepentingan rekonsiliasi yang berada di bawah presiden.

Menurut saya, gagasan ini harus diletakkan dalam posisi yang tegas dan didukung aspek legalitas bahwa kekuasaan tidak berhak mengintervensi kerja-kerja Komnas Sejarah. Tetapi apakah bisa? Karena di saat yang sama ada tumpang tindih tugas dan wewenang antara Komnas HAM dan KKR.

Bagaimana pun sejarah merupakan hal penting. Di dalamnya ada landasan eksistensi, harga diri, kebanggaan, kritik, dan alasan untuk introspeksi. Pekerjaan penulis sejarah, jika diartikan sebagai profesi independen yang disandangkan pada sejarawan akademis, dapat diubah pada pengertian yang lebih sederhana. Kerangka penguatan sipil sebagai landasan otoritas tertinggi dalam negara demokrasi tetap mengharuskan dihormatinya institusi independen yang lahir dari rahim masyarakat sipil yang mempunyai dinamika tersendiri. Sehingga berapa pun rezim berganti, masyarakat akan selalu berminat untuk menuliskan sejarahnya dengan mandiri.

Akhirnya, sejarah nasional bisa diartikan sebagai rangkuman sejarah masyarakat dalam tingkatan lokal yang tertulis dengan lebih beragam. Sejarawan akademis tidak lagi memegang proses tunggal normalisasi sejarah nasional dan interpretasinya yang bersifat menghakimi.

Sejarawan akan kembali menjadi milik masyarakat, bukan negara, dan setiap penulisan sejarah dalam semua level akan saling memanfaatkan satu sama lain untuk tujuan universal penulisan sejarah.

Bukan sebagai hegemoni penguasa, tetapi sebagai jati diri personal, masyarakat lebih-lebih sebuah bangsa. Sehingga cukup diperlukan Sejarah Indonesia saja.
Sumber Data http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/sejarah/sejarah1.htm
 

Rakyat tanpa Sejarah, Sejarah tanpa Rakyat

Rakyat tanpa Sejarah, Sejarah tanpa Rakyat

PAULO Freire pernah menulis, adaptasi adalah tindakan yang paling maksimal bagi mereka yang "kalah". Beradaptasi, meski dalam banyak kasus harus ditempuh dengan cara keras, hakikatnya hanyalah suatu bentuk yang paling lunak untuk mengeliminasi diri, menghilangkan keberdirian, dan menumpas kemandirian. Mereka yang memilih untuk menempuh cara beradaptasi adalah mereka yang sadar maupun tidak telah menyerahkan diri dan kemandiriannya pada keadaan yang belum tentu sesuai dengan keinginan kemanusiaannya.

Freire bisa jadi benar, hanya barangkali bagi sebagian besar orang Indonesia, pandangan tersebut justru cenderung "menyakitkan". Betapa tidak, hingga saat ini, kita masih berada pada fase "beradaptasi". Fase ini kita tempuh dengan sangat susah payah, bahkan hingga luka parah. Dalam analogi Freire, masyarakat Indonesia kira-kira berada pada fase antara "masyarakat tertutup" (closed society) menuju "masyarakat terpecah", namun belum menjadi "masyarakat terbuka".

Kesadaran masyarakatnya pun masih belum beranjak dari kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya, menuju kesadaran naif yakni kesadaran yang lebih melihat "aspek indivudu-individu manusia" menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Kita belum sepenuhnya masuk dalam kategori kesadaran kritis, yakni kesadaran dalam melihat permasalahan secara sistematis dan terstruktur.

Lihat saja, demi beradaptasi dengan pergaulan internasional, petinggi-petinggi Republik yang dimerdekakan dengan darah dan peluh rakyat ini, di masa lalu pernah bersedia mengorbankan ratusan ribu hingga jutaan nyawa rakyatnya sendiri agar bisa duduk sejajar dengan negara-negara lain yang kabarnya lebih maju. Tidak hanya itu, kita bersedia menerima pendiktean dari para pemberi utang, hanya untuk mendapat predikat "negara pengutang yang paling rajin bayar utang". Demi mencapai kata "tinggal landas", kita bersedia meliberalkan sistem perbankan kita, meskipun justru harus tersungkur dalam krisis keuangan.

Namun perilaku itu bukan hanya milik para petinggi. Lihat saja keseharian diri kita sendiri. Sebagai contoh, penulis belum pernah membaca pemberitaan tentang adanya gerakan masyarakat yang menolak klaim MTV atas anak-anak muda Indonesia dicap "generasi anak nongkrong MTV". Yang penulis lihat justru gerakan masyarakat menolak penerbitan "Playboy Indonesia". Mengapa klaim MTV "diterima", namun penerbitan "Playboy" ditolak? Bukankah keduanya memiliki substansi yang sama?

Mengapa kita mempersoalkan aksi 42 warga Papua yang meminta suaka ke Australia, sementara ratusan ribu lainnya sebenarnya sudah putus harapan hidup di Indonesia dan memilih bekerja di luar negeri meski harus mendapatkan siksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan, bahkan diperdagangkan tak ubahnya seperti budak belian? Lagi-lagi, bukankah substansinya sama?

Keadaan seperti di atas tentu tidak memuaskan kita. Demikian pula bagi Freire. Dalam berbagai tulisannya, Freire mengemukakan ajakan pada semua orang --khususnya mereka yang disebut Freire sebagai "kaum tertindas"-- untuk memilih cara yang paling berwibawa. Cara itu dirangkumnya dalam istilah "berintegrasi". Maksudnya, kita tidak harus hanya berhenti pada mengetahui keadaan. Lebih jauh dari itu, memahaminya, dan berbuat untuk terus mengubahnya. Dengan begitu, kita tidak akan kehilangan kemerdekaan. Bahkan tidak hanya itu, kita pun dapat menegakkan kemanusiaan.

Namun lagi-lagi kita mungkin akan menyatakan bahwa saran Freire benar, namun tidak aplikatif. Bila integrasi mensyaratkan pengetahuan keberdirian dan tingkat perkembangan kita sendiri, bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi bila sarana untuk itu tidak tersedia secara memadai. Sarana itu tidak lain adalah pengetahuan sejarah yang menjadi impuls untuk menumbuhkan kesadaran sejarah.

Sejarah, dengan meminjam pernyataan Pramoedya Ananta Toer, adalah rumah bagi setiap orang melanglangi dunia. Jika seseorang tidak mengerti sejarahnya, sama dengan tidak memahami asalnya dan tidak akan mengerti tujuannya. Untuk mencapai tujuan itu, Bapak Sejarawan modern Leopold von Ranke pernah berujar, dengan menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi (wie es eigentlich gewesen), historiografi diharapkan bisa menunaikan tugas untuk "mengadili masa lalu, mengajar masa kini, untuk kepentingan masa yang akan datang".

Masalahnya, tulisan-tulisan sejarah (historiografi) yang berkembang di negeri ini memang tidak lebih dari prosopografi dari "orang-orang besar" yang pernah hidup dalam momen-momen besar di masa lalu. Dalam perspektif Sartono Kartodirdjo (1982), umumnya karya sejarah Indonesia itu masih berada dalam suasana kolonial-sentris dan istana-sentris. Meskipun gairah penulisan dan penerbitan karya-karya sejarah tengah mengalami gelombang pasang, namun secara esensi sedikit sekali kemajuan-kemajuan --khususnya secara metodologi-- yang bisa dilihat dan dirasakan secara inklusif.

Hingga sekarang, karya-karya sejarah Indonesia masih saja dihantui oleh kontradiksi-kontradiksi yang memicu ketegangan antara sejarah dengan masa lalu. Sepertinya, kontradiksi tersebut masih belumlah usai. Setidaknya, seperti diakui Prof. Dr. Taufik Abdullah --Ketua Tim Penulisan Sejarah Nasional Indonesia-- yang secara terbuka menyatakan bahwa buku sejarah tidak dimaksudkan untuk meluruskan sejarah.

Suasana ini sebenarnya telah secara terbuka dikritik dalam "Seminar Nasional Sejarah" tahun 1954 yang mengeluarkan beberapa resolusi penting dalam penulisan sejarah, seperti diperkenalkannya prinsip-prinsip keilmiahan sejarah untuk mengikis pandangan-pandangan romantis, dan dekolonisasi historiografi sebagai antitesis dari kolonial-sentris dan istana-sentris dalam historiografi. Sesungguhnya, resolusi tersebut memiliki konsekuensi metodologis yang cukup kompleks, namun tidak banyak yang memahaminya.

Alhasil, seperti dirangkum oleh Henk Schulte Nordholt dari KITLV Leiden dalam sebuah simposium mengenai penulisan sejarah Indonesia tahun 2004 lalu, sejarah --tepatnya historiografi-- Indonesia belum mengalami fase yang disebut dengan "dekolonisasi". Historiografi Indonesia masih cenderung berada dalam atmosfer kolonial dan istana sentris dengan konsekuensi terciptanya "sejarah tanpa rakyat" (history without people) yang memunculkan keadaan rakyat yang seolah tidak memiliki basis sejarah (people without history).

Akibatnya, tidak salah bila rakyat cenderung absen dalam berbagai momentum yang menentukan. Bahkan antusiasme massa dalam momentum-momentum kolosal seperti pemilu tidak bisa dijadikan barometer kesadaran politik rakyat, ketika dominasi politik uang atas politik akal sehat masih belum tergantikan. Inilah faktor yang menentukan derasnya eradikasi kemerdekaan sehingga penjajahan kembali hadir secara vulgar tanpa perlawanan yang berarti.

Inilah yang menyebabkan bangsa kita dalam percaturan internasional ibarat pemain cadangan dalam permainan sepak bola. Duduk di pinggir lapangan sambil mengamati pertandingan, sambil menunggu giliran untuk dimainkan. Terpaksa memberikan pertandingan-pertandingan besar pada pemain utama sambil sesekali berharap, pelatih mengubah strategi atau ada pemain inti yang cedera. Masalahnya, apakah kita akan sudah memastikan masa depan kita hanya sebagai "pemain cadangan"? Atau sudah berpikir untuk menjadi "pemain utama"?***

Oleh: Oleh SYAMSUL ARDIANSYAH

Penulis, Alumni Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Kepala Departemen Riset dari Institute for National and Democratic Studies (INDIES).
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger