Mendiskusian Gerakan Anti Neoliberalisme




RUDI HARTONO

Dalam beberapa bulan terakhir, atmosfer perdebatan politik diantara para petarung pilpres kian memanas. Dan diantara kolong langit perdebatan politik itu, isu anti neoliberalisme juga mendapatkan tempat yang tidak kalah sengitnya. Sampai-sampai, karena kecenderungan orang melihat neolib sebagai hal yang buruk, tidak ada satu capres pun yang mau dikatakan neolib atau mendukung neoliberalisme.


Dan dikalangan gerakan, isu mengenai anti-neoliberalisme ditanggapi secara beragam. Ada unsur pergerakan yang menyambut ini dengan suka cita, sebagai hasil dari investasi panjang perjuangan anti-neoliberalisme, setidaknya sejak 1999-2000. Sementara bagi sebagian yang lain, isu ini patut dicurigai karena pemumculannya tidak terlepas dari “kerajinan tangan” para elit politik yang sementara bertarung di Pilpres.

Dalam kaitan ini, artikel Hervin Saputra berjudul “Yang Sekali-kali Melupakan Sejarah” merupakan salah satu contoh sikap yang curiga, kalau bukan menentang, pemunculan sentiment anti neoliberalisme. Dalam artikel panjang lebar itu—yang didalamnya sama sekali tidak ada yang membeberkan neolibnya SBY-Budiono, Hervin mencoba membongkar kepalsuan sikap politik anti-neliberal MEGA-PRO. Saya bukan hendak membantah sejumlah fakta yang disampaikan, tapi mencoba berdiskusi mengenai arti penting mendorong maju perjuangan anti neoliberal ini.


Salah Kaprah

Dari hiruk pikuk politik Pilpres, pro-kontra neoliberalisme memang sebagian besar dihembuskan oleh para capres dan cawapres. Dan karena hal itu, banyak pihak kemudian menuduh isu anti neoliberal yang mencuat sekarang ini sebagai permainan elit belaka. jadinya, mereka menganggap sikap politik anti-neolib itu tidak tulus alias palsu. Akhirnya, mereka pun menolak berpartisipasi dalam membesarkan isu anti-neoliberal ini.

Dalam kepentingan anti-neoliberal ini, beberapa komentator memiliki cara pandang sebagai berikut;

Pertama, isu anti-neoliberalisme dianggap sebagai isu spesifik bagi kelas bawah atau rakyat—Pekerja, petani, kaum miskin kota, dsb. Sehingga, ketika isu anti neoliberal dihembuskan oleh sektor sosial diluar sektor itu, khususnya kapitalis nasional, maka mereka segera menuduh itu palsu.

Gerakan anti-neoliberal bersifat multi sektor dan sangat luas. Penyebabnya, sektor-sektor sosial dan kelompok yang menjadi korban atau dirugikan oleh neoliberalisme bersifat meluas. Neoliberalisme bukan hanya mengorbakan sektor-sektor tradisional (yang sering menjadi acuan kaum kiri) seperti pekerja, petani, dan kaum miskin kota (urban) dan desa, tapi juga memiskinkan strata menengah, kelompok pemilik usaha kecil dan menengah, sektor informal, produsen kecil dan menengah di desa dan kota, kelompok professional, prajurit rendahan, dan juga sebagian kapitalis nasional.

Selain itu, korban neolib bukan saja sektor-sektor yang dirugikan secara ekonomis, seperti sektor-sektor yang kusebutkan diatas, tetapi juga mencakup mereka yang didiskriminasi dan ditindas oleh sistim ini, meliputi; perempuan, anak-anak, remaja, masyarakat ada, kelompok agama tertentu, homoseksual, dan kelompok minoritas lainnya. Tidak salah, jika Antonio Negri dan Hardt menyebut gerakan anti neoliberal sebagai multi sektor dan multi-warna (multi-colour).

Kedua, Seringkali para komentator mendudukkan seluruh anti-neoliberalisme sama dengan anti-kapitalisme, ataupun anti-imperialisme. Dalam prakteknya, tidak semua aktifis yang menentang neoliberalisme adalah anti-kapitalisme. Dalam banyak kasus, umpamanya, aktifis anti-neoliberal berasal dari begitu banyak varian, mulai dari yang kiri revolusioner, reformis, hingga kelompok fundamentalis.

Dalam konteks ini, Fued Ercan dan Sebnem Oguz dalam “Rethinking Anti-Neoliberal Strategy” membagi kelompok anti-neoliberal dalam tiga kelompok; (1) Pembangunan nasional. Strategi ini menekankan kepada daya saing dan proteksionisme, yang menggabungkan sebuah konsepsi aliansi antara negara dan sektor-sektor rakyat (pekerja, petani, kaum miskin) melawan proyek neoliberal dan imperialisme. (2) kiri liberal. Strategi ini melawan neoliberalisme dalam tekanan ekonomi yang sempit, tapi tidak melawan neoliberalisme secara keseluruhan. Mereka membuat pembedaan antara institusi ekonomi neoliberal seperti IMF dan Bank Dunia, di satu sisi; dan institusi seperti Uni eropa, ASEAN, disisi yang lain. (3) perpektif atau orientasi kelas. Strategi ini mencoba melampaui pendekatan pembangunan nasional dan kiri liberal, yang banyak berfokus pada satu sisi dari dikotomi masyarakat sipil versus negara. Mereka menekankan teori kelas pada hubungan keduanya. Mereka juga menganggap mempertentangkan antara financial versus kapital produktif, atau antara kapital internasional versus nasional, sebagai pendekatan yang menyesatkan. Mereka mau menarik strateginya pada pertentangan antara kapital dan tenaga kerja.


Kapitalis Nasional atau Elit Nasional

Karena isu anti-neoliberal dibesarkan sedikit banyak oleh tangan elit, maka sebagian orang pun menuduh isu ini; tidak murni. Lantas, siapa dan gerakan mana yang murni? Saya tidak akan memasuki perdebatan soal anti-neoliberal yang murni dan tidak murni, tapi mencoba melihat sikap kapitalis nasional yang anti-neolib dari persepktif kepentingan mereka.

Seperti diketahui, beberapa kapitalis nasional kelihatan begitu bersemangat dalam mendorong isu kemandirian nasional. Karena beberapa klausul proposal mereka berbau menuntut proteksionisme dan punya orientasi pada sebuah ekonomi nasional yang kuat, maka sebetulnya ini sudah berbau anti-neoliberal. setelah ditelusuri, ternyata, situasi yang mendorong pemunculan sikap ini adalah neoliberalisme, yang dalam beberapa tahun terakhir memicu kehancuran industri dalam negeri.

Dalam membicarakan kapitalis nasional yang anti-kapitalis, saya tidak sama sekali mengacu pada konsep borjuis nasional progressif atau kapitalis yang dapat menjalankan proyek pembangunan nasionalnya. Akan tetapi, kapitalis nasional yang saya maksud adalah sektor yang tidak dapat hidup (eksis) di bawah tekanan neolib tanpa memasukkan dirinya pada aliansi dengan sektor popular; sebuah projek nasional yang membuat mereka survive, dimana negara memberikan bantuan kredit dan mengkondisikan pasar internal yang didorong oleh kebijakan sosial negara.

Dalam hal ini, saya menelusuri pertentangan kapitalis nasional dan multinasional dalam pusaran sistim neoliberalisme. Apa yang menggerakkan aktifitas kapitalis adalah keinginan mendapatkan laba (profit).Dalam kaitannya ini, ekonom Anwar Shaikh mengatakan, dalam mengejar keuntungan (profit), maka individu atau perusahaan kapitalis harus menghadapi dua medan pertempuran: pertama, didalam proses produksi, mereka melawan kepentingan buruh upahannya; dan kedua, di dalam proses sirkulasi, mereka menghadapi kompetitornya (kapitalis lain) dalam rangka merealisasikan keuntungan.

Kita tidak membahas yang pertama, karena, menurut saya, hal tersebut sudah benar-benar dipahami oleh banyak orang. Kita akan membahas yang kedua, medan pertukaran, dimana seorang individu kapitalis akan dipaksa untuk menggunakan segala macam cara untuk memenangkan pesaingnya (kompetitornya). Dalam menyingkirkan pesaingnya, para kapitalis akan menggunakan segala macam cara; mulai dari memasang iklan produk, perang tariff (harga), hingga penggunaan cara-cara sabotase.

Dalam neoliberalisme, perdagangan bebas (free trade) dan pasar bebas (free trade) menjadi motor penggeraknya. Dalam pertarungan ini, bagaimanapun, setiap kapitalis tidak memiliki kemampuan yang sama; kapitalis kecil, menengah dan besar. Demikian pula dengan kapitalis nasional dan multinasional, jelas mereka memiliki kemampuan yang berbeda. Untuk menjelaskan hal ini, kita bisa mengacu kepada beberapa hal sebagai penyebab;

pertama, perkembangan kapitalisme yang tidak merata (underdevelopment capitalism). Dalam proses sejarah, masyarakat-masyarakat yang pada awalnya terpisah satu sama lain, yang berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda, ketika mulai saling berhubungan (sambil menampilkan cara-cara produksi yang berbeda) sama-sama saling mempengaruhi proses sejarah masing-masing, baik melalui perdagangan, perang, penyebaran teknologi maupun lain sebagainya. Proses interaksi itu lah yang membuat sejarah memiliki kompleksitas yang rumit. Dan, sekalipun Marx yakin bahwa kapitalisme saat itu sedang berusaha mengatasi perbedaan-perbedaan nasional, namun kapitalisme itu sendiri juga menimbulkan bentuk-bentuk baru perkembangan yang tak-merata (David Fernbach, Revolusi 1848 dan Perkembangan Pemikiran Marx).

Kedua, proses kolonialisme dan imperialisme yang berlangsung beratus-ratus tahun, bahkan hingga sekarang dalam bentuknya yang modern, benar-benar menghambat perkembangan negara jajahan dan semi-jajahan. Dengan tangan-tangan imperialisme yang menguasai sektor-sektor ekonomi yang penting (sumber daya, tenaga kerja, dan pasar), negara-negara jajahan dan dunia ketiga sulit berkembang atau bertransformasi menjadi sejajar dengan negara2 kapitalis maju. Dan imperialisme, dalam segala hal, berusaha memelihara hubungan yang timpang ini.

Di Indonesia, dampak neoliberalisme bagi kapitalis nasional mungkin dapat dijelaskan pada gejala de-industrialisasi yang semakin meningkat. Dalam lima tahun masa pemerintahan SBY, telah terjadi pelambatan pertumbuhan industri manufaktur, yaitu dari 7,2% (2004) menjadi 5,1% (2007), dan diperkirakan turun lagi menjadi 4,8% (2008). Gejala industrialisasi, menurut banyak ekonom dan kalangan pengusaha sendiri, disebabkan oleh penerapan liberalisasi perdagangan dan investasi.

Di sini, kapitalis nasional yang menentang neoliberalisme, merupakan kapitalis yang kepentingan bisnisnya, secara objektif, masuk dalam pertentangan dengan kepentingan kapitalis multinasional. Untuk itu, bagi kapitalis seperti ini, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan kepentingan bisnisnya selain meminta perlindungan dari negara. Pada masa lalu, borjuasi nasional dapat tumbuh dengan memanfaatkan proteksionisme. Pada masa itu, proyek-proyek borjuasi nasional berjalan karena ditopang oleh aliansi negara dengan klas pekerja, petani, sector-sektor social terhisap di negeri-negeri tertindas. Pada masa neoliberal, dimana peran negara sebagian besar dilucuti pada wilayah ekonomi, sehingga kapitalis nasional hampir tidak punya tameng lagi untuk melindungi diri.


Kepentingan Politik Elit Nasional dan Pilpres

Berdasarkan pendapat diatas, maka saya berkesimpulan bahwa pertentangan kepentingan ini, sedikit banyaknya, mempengaruhi pertarungan kepentingan politik mereka. Bukankah teori mengajarkan, politik adalah arena mengekspresikan kepentingan masing-masing klas dan perjuangan klas. Karena itu, wajar jika para kapitalis dan elit nasional menggunakan pilpres untuk mengekspresikan kepentingan ekonomis (bisnisnya). Dalam konteks ini, saya melihat bahwa ekspresi anti-neoliberal di kalangan elit ini juga sebenarnya cukup beragam; mulai dari kapitalis eks orde baru, kapitalis nasional yang besar, menengah, dan kecil.

Karena itu, setiap elit nasional yang bertarung masing-masing mengekspresikan kekuatan ekonomi yang ada di belakangnya. Saya tidak menyangkal watak neoliberalisme rejim Megawati –Hamzah haz, dimana Budiono dan Dorojatun menjadi arsiteknya. Selain itu, ketika berkuasa, Mega-Haz merupakan lokomotif yang berhasil menerobos sejumlah rintangan bagi penerapan neoliberal yang lebih massif di Indonesia, khususnya dalam mendongkel Gusdur yang meminta bernegosiasi dengan IMF. Dan ditangan Mega-Haz pula, sejumlah fondasi atau dasar dari sistem ekonomi neoliberal dipancangkan. Sebagai misal, pemerintahan Mega-Haz meletakkan dasar sistem pasar tenaga kerja yang fleksibel (LMF) melalui pengesahan UU ketenagakerjaan.

Namun begitu, pergeseran politik Megawati dari pro-neoliberalisme menjadi pro-ekonomi kerakyatan (?) tidak bisa dijelaskan sekedar sebagai oportunisme elit. Ini harus dicarikan penjelasan yang memadai. Menurut saya, ada beberapa hal yang menandai hal ini; Pertama, perubahan komposisi kekuatan ekonomi di belakang Megawati, yang mungkin awalnya banyak diisi oleh arsitek neolib seperti Budiono, Dorojatun, maupun Laksamana Sukardi, dan sekarang ini relatif diisi oleh kapitalis nasional. Apalagi, misalnya, neoliberalisme sudah menemukan agen yang benar-benar efektif dan patuh, yaitu SBY-Budiono. Kedua, neolib tidak menyukai partai politik yang mencoba membangun akar politik tradisional; nasionalis, populis, agamais, dan lain-lain. Mungkin ini alasan neolib menendang Megawati dan partainya sebagai agen yang dapat diandalkan.

Dalam soal perbandingan; lebih neolib mana Mega dan SBY? Saya kira ini tidak penting, karena toh kita tidak mau membela salah satunya. Hanya saja, dalam beberapa publikasi, terjadi kecenderungan tidak adil (fair) ketika menunjukkan Mega sebagai pengobral BUMN. Padahal, menurut data, Periode 1991-2001, pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN. Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup menggemparkan, bayangkan, hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Soal utang luar negeri, misalnya, Semasa pemerintahan Megawati, yaitu 3,5 tahun, jumlah utang luar negeri Indonesia bertambah sebesar Rp 12 triliun. Sementa itu, di bawah pemerintahan SBY, tercatat terjadi peningkatan total utang luar negeri secara signifikan dari Rp. 662 triliun (2004) menjadi Rp. 920 triliun (2009). Dalam tiap tahunnya, misalnya, Megawati menambah utang rp 4 triliun pertahun, sementara pemerintahan SBY menambah utang sebesar 80 trilyun pertahun. Jika dibandingka dengan era Soeharto pun, SBY masih jauh lebih “beringas”, dimana SBY menambah 80 trilyun pertahun, sementara soeharto menambah 1500 trilyun dalam 32 tahun.

Hanya saja, menurut saya, orang cenderung melupakan hal-hal sepele seperti ini, sehingga menciptakan sebuah irasionalitas berfikir. Padahal, menurut saya, beberapa argumentasi orang semacam itu cukup menguntungkan SBY.

Memang, tidak semua elit nasional yang menumpang di gerbong anti-neoliberal ini adalah mereka yang benar-benar serius, sehingga harus bersatu dengan sektor popular. Sebagian dari mereka adalah penumpang gelap, yakni kapitalis nasional yang pernah berjaya di masa lalu, ketika periode kapitalisme kroni berjaya, tapi kini mereka menjadi korban privatisasi dan liberalisasi ekonomi. kapitalis seperti ini, pada waktu itu, hidup dan berkembang melalui fasilitas khusus dari negara, yang diperoleh malalui hubungan kronisme.


Kemajuan Penting

Banyak yang meremehkan signifikansi politik dan sosial dari mencuatnya isu anti-neoliberalisme ini. Tetapi, bagi kami, pro-kontra neoliberalisme telah menciptakan kemajuan positif bagi perjuangan kedepan;

Pertama, ini merupakan kemenangan wacana. Neoliberalisme kini bukan lagi konsumsi segelintir aktifis dan bahan diskusi di forum-forum kecil, tapi telah menjadi isu nasional yang mempengaruhi dinamika politik secara nasional. Biarpun kalangan bawah belum tentu faham dengan baik istilah neolib ini, tetapi sudah muncul sebuah kesadaran baru bahwa neolib adalah sesuatu yang jelek, berbahaya.

Dalam pilpres ini, misalnya, hampir semua capres menolak untuk dikatakan sebagai penganut atau pendukung neoliberalisme. Ini artinya, kesanggupan menjelaskan neoliberal sebagai hal yang buruk, sudah mulai dipahami secara umum. Sehingga, tidak ada satupun capres dan cawapres yang mau mengambil resiko disebut sebagai penganut neoliberalisme.

Setelah perdebatan ini menguat, literature dan material-material yang berisikan anti neoliberalisme pun mulai diakses banyak orang. Dalam catatan kami, tema-tema anti neoliberal banyak dimunculkan kembali di internet, maupun dibahas di Koran-koran dan majalah. Dalam konteks ini, kaum pergerakan justru harus memproduksi literature dan bacaan anti neoliberalisme secara massal dan regular, serta dengan mempergunakan bahasa yang dicerna.

Kedua, Membesarnya isu anti neoliberalisme, dalam pandangan saya, telah menghidupkan kualitas baru dalam perdebatan politik yang ideologis dan konseptual di Indonesia. Setelah berpuluh-puluh tahun pertikaian politik tidak punya kandungan ideologis, maka sekarang ini peluang itu terbuka. Tinggal sekarang, bagaimana mengkonversi perdebatan ini tidak hanya terjadi di kalangan atas; intelektual, politisi, dan pemilik media, tetapi mendorongnya menjadi perdebatan di tingkatan bawah; massa rakyat.

Sebagai misal, Faisal Basri menilai, mereka yang menentang neoliberalisme berarti identik dengan komunisme (media Indonesia). menurutnya, jika neoliberalisme membebaskan pasar beroperasi secara bebas, maka komunisme justru menghendaki negara mengendalikan segalanya, termasuk ekonomi.

Absennya kalangan pergerakan dalam isu ini, justru akan menjadikan pro-kontra neoliberal menggelinding tanpa arah yang jelas, dan hanya akan menjadi konsumsi akademis semata (perdebatan mashab). Harus diterangkan, neoliberalisme mengorbankan rakyat di kalangan bawah lebih parah, sehingga sektor di bawah inilah yang punya kepentingan untuk memperjuangkannya lebih serius dan sekuat tenaga.


Proposal Kedepan

Saya tidak lagi memperdebatkan soal berpartisipasi dan tidak berpartisipasi dalam menentukan sikap terhadap pemilu presiden 2009. Bagi saya, tidak berpartisipasi pun akan menjadi baik, sepanjang punya agenda konkret dalam memajukan gerakan rakyat Indonesia kedepan. Disini, dalam posisi berpartisipasi dalam pilpres, saya mencoba memberikan sedikit gambaran yang sangat mungkin untuk dimenangkan dalam perjuangan ini;

Pertama, membangun blok (persatuan) anti-neoliberalisme yang lebar, dimana tercipta ruang bersama untuk menampung kepentingan seluruh sektor-sektor yang menjadi korban neoliberalisme. Buat saya, dalam konteks pilpres, sangat perlu untuk menaungi sentiment anti neoliberalisme yang sedang menguat, baik diantara dua pasang capres yang menyatakan diri anti neolib dan pro-kemandirian bangsa maupun kepada seluruh sektor sosial yang berada diluarnya; berserakan dan terfragmentasi.

Terhadap kedua capres-cawapres yang mengaku anti-neolib dan pro-kemandirian bangsa, posisi kita bukanlah memberikan dukungan suara supaya mereka menang, tapi memberikan dukungan kritis terhadap program anti-neoliberalnya. Dalam hal ini, kita mensupport program-program anti-neoliberalisme mereka, dan mendorongnya supaya itu bisa lebih konkret dan dapat dibuktikan jika kelak berkuasa.
Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu dijawab dengan tegas oleh para kandidat tersebut. (1) menciptakan garis demarkasi (pembeda) yang jelas dan terang antara mana yang pro-neoliberal dan mana yang anti neoliberal. Untuk ini, kubu anti neoliberal harus menelanjangi tampa ampun watak dan tujuan sejati dari kubu neoliberalisme. (2) bagaimana menjamin persoalan kesejahteraan rakyat dan pembangunan kapasitas produktifnya. Untuk melakukan ini, kubu anti-neoliberal tidak bisa hanya dengan bersandar pada janji-janji abstrak, tetapi mulai memformulasikan program yang terang dan jelas berpihak kepada rakyat. (3) untuk menumbangkan dan mengalahkan neoliberalisme dan kaki tangannya, maka kubu anti-neoliberal harus mendukung politik mobilisasi rakyat dan partisipasi politik rakyat, baik dalam menstimulasi perjuangan sosial ekonomi maupun dalam pengambilan keputusan politik.

Kedua, Untuk menarik kepentingan seluruh sektor yang bermacam-macam itu, maka kita dituntut untuk memformulasikan sebuah program atau platform yang konkret. Program konkret ini, selain dapat mengkonversikan seluruh sektor-sektor korban neoliberal yang bermacam-macam, juga harus mampu menjawab tuntutan mendesak seluruh rakyat sekarang ini; sembako (pangan), perumahan, energi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Selanjutnya, dalam kerangka itu, gerakan anti-neoliberal dituntut untuk menyodorkan sebuah projek nasional yang merupakan alternatif terhadap kegagalan kapitalisme neoliberal. Secara global, sejujurnya, beberapa kawasan memperlihatkan pembangunan ekonomi yang berada diluar kerangka neoliberalisme, khususnya Amerika Latin. Amerika latin, misalnya, yang telah mengharu biru dalam membangun alternative terhadap kapitalisme neoliberalisme, bisa dijadikan salah satu bahan pelajaran yang penting, tapi bukan di copy paste secara membabi buta.

RUDI HARTONO, pengelola Jurnal Arah Kiri dan Berdikari Online.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger