Indonesia diantara Kehancuran dan Kejayaan




oleh: Randy Syahrizal*)

Indonesia adalah negeri yang besar dan kaya. Alam Indonesia menyediakan tanah yang subur tempat tumbuh berbagai tanaman, baik untuk pangan, obat-obatan, bahan bangunan/perumahan, dll. Di dalam kandungan tanah, terdapat berbagai sumber kekayaan dunia dalam jumlah yang sangat besar. Mulai dari emas, perak, timah, tembaga, biji besi, dll., sampai sumber energi seperti minyak, gas, batu bara, panas bumi, bahkan uranium (bahan pembuat nuklir). Di dalam lautannya yang luas, yang menjadi penyambung 17.000 pulaunya, terkandung beragam kekayaan yang tak ada duanya dibanding negara mana pun dunia.

Indonesia memiliki syarat yang lebih dari cukup untuk menjadi bangsa yang makmur; lahir dan batin, mandiri tanpa tergantung kepada negara manapun juga. Seolah tak aneh, dan memang nyata; di atas kekayaan berlimpah itu, terdapat lebih dari 100 juta manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan, jutaan anak putus sekolah, lebih dari 37% balita kekurangan gizi, orang-orang sakit yang tak mampu berobat, lapangan kerja yang sulit, buruh dengan upah rendah, petani yang tak kunjung meningkat kehidupan ekonominya, dan berbagai masalah sosial lainnya.

Kemesraan Pemerintah dengan Proyek Neoliberalisme

Secara garis besar bisa disimpulkan bahwa persoalan kemiskinan yang dialami oleh bangsa Indonesia secara umum adalah dominasi modal asing yang berbuntut pada Penjajahan Ekonomi Nasional oleh Koorporasi-Koorporasi Modal Asing (Neo-Liberalisme). Banyak perusahaan-perusahaan asing berdiri di Indonesia, seperti Exxon Mobile, Newmont, Freeport, dll, akan tetapi sama sekali tidak bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat dibandingkan dengan kesengsaraan bangsa Indonesia sebagai akibatnya. Sifat kerja modal koorporasi-koorporasi modal asing yang selalu memonopoli dan mendominasi, baik pasar maupun bahan baku, sudah sangat jelas menimbulkan efek kemiskinan bagi bangsa Indonesia.

Proyek besar Neoliberalisme ini membutuhkan Negara/Pemerintah (dalam tahap awal dan strategis) sebagai pemangku kebijakan, agar kebijakan dalam negeri bisa menguntungkan bagi modal asing. Neoliberlisme tak bisa mengelak untuk membutuhkan pemerintahan berwatak boneka (mengacu pada kata benda yang bermakna bisa digerakkan dan diperintahkan si pemiliknya) pada negeri yang ingin dikuasai sumber daya alamnya. Seperti di Indonesia, maka Neoliberalisme membutuhkan pemerintahan boneka, seperti yang tengah berlangsung saat ini.

Seperti yang sudah terjadi selama ini, kepentingan utama proyek besar Neoliberalisme adalah penguasaan Sumber Daya Alam Indonesia (SDA), sebagai bahan baku Industri dengan harga yang sangat murah, menciptakan pasar atau memperluas pasar dan tenaga kerja murah lewat kebijakan Out shourching dan sejenisnya. Ada banyak produk Undang-Undang (UU) ataupun kebijakan-kebijakan yang mendukung proyek neoliberalisme tersebut, seperti UUK No 13 tentang Sistem Kerja Kontrak dan Out Shourching, UUPMA (Undang-undang Penanaman Modal Asing) yang menjamin seluas-luasnya bagi perusahaan-perusahaan asing dan koorporasi modal asing mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia, terutama Pertambangan, serta kebijakan pajak rendah bagi perusahaan asing tersebut. Sementara itu, Undang-undang ataupun kebijakan-kebijakan yang bersifat sosial/kemasyarakatan dihapuskan ataupun dikurangi anggarannya, seperti Pendidikan yang anggarannya minimal 20% dari APBN dalam kenyataannya masih sangat jauh dalam mencapai angka yang minimalis, privatisasi BUMN, privatisasi air, pencabutan subsidi BBM dan menaikkan harga BBM, menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dll. Ini jelas-jelas sebuah bentuk pemerintahan yang mengabdi kepada modal asing dan menyengsarakan rakyatnya sendiri.

Tak hanya ekonomi yang dikotori, Politik pun telah dikotori oleh agenda-agenda Neoliberalisme. Koorporasi-koorporasi modal asing seolah-olah (sebenarnya) telah menitipkan agenda-agenda Neoliberalisme dalam tubuh partai-partai politik, terbukti bahwa sebagian besar partai-partai politik berlomba-lomba untuk menjadi agen nomor 1 (satu) untuk memangku proyek Neoliberalisme tersebut. Faktanya adalah dengan berlangsungan hubungan yang mesra antara Pemerintah (eksekutif) dengan DPR (sebagai legislatif dan keterwakilan Partai Politik) dalam memutuskan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap agenda dominasi modal asing.

Neoliberalisasi di dalam negeri hampir selesai dalam menjalankan konsolidasinya, dengan disyahkannya UU Liberalisasi di semua aspek maupun sektor kehidupan rakyat oleh DPR hasil Pemilu 2004, puncaknya dengan di syahkannya UU no 25 th 2007 tentang UU Penanaman Modal. Artinya liberalisasi ekonomi telah memiliki landasan konstitusionalnya, walaupun sadar atau tidak landasan konstitusional tersebut telah melanggar semangat Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945.

Masa Depan Indonesia (Antara Kehancuran dan Kejayaan)

Pemerintahan Indonesia saat ini memang patut dinilai lebih neoliberal ketimbang pemerintahan dinegara induknya, yakni Amerika Serikat (AS). Pemerintah Indonesia dengan liberalnya mematuhi begitu saja aturan-aturan pasar bebas dan kebijakan-kebijakan koorporasi-koorporasi modal asing dalam setiap pengambilan keputusan-keputusan, seperti menaikkan harga BBM (mencabut subsidi BBM), kenaikan Tarif Dasar Listrik, impor beras dll. Jika posisi ini dibiarkan berlangsung dalam waktu lama, maka bisa dipastikan Indonesia akan mengalami kehancuran dan kebangkrutan yang parah, hidup dengan angka kemiskinan yang tinggi, dengan kekayaan alam strategis yang seluruhnya sudah dikuasai asing, dan anak-anak kita hanya memakan remah sisa, dan tukak lambung menahan lapar.

Sebaliknya, Indonesia punya syarat untuk menuju kesejahteraan dan kejayaan, dengan kekayaan alam yang terkandung didalam tubuh bumi Indonesia. Namun kejayaan dan kesejahteraan itu tak akan terpenuhi didalam sebuah tatanan yang mengabdi kepada modal asing. Kesejahteraan dan kejayaan bangsa membutuhkan keberanian untuk melawan dominasi modal asing. Kesejahteraan dan kejayaan bangsa membutuhkan prinsip kemandirian bangsa. Syarat-syarat tersebut dapat tercipta jika bangsa Indonesia mengambil langkah baru yang konsisten dan cepat. Langkah tersebut ialah penolakan pembayaran hutang luar negeri, sampai Indonesia benar-benar siap (sejahtera) dalam membayar hutang luar negeri. Kedua adalah mengambil-alih Industri pertambangan yang saat ini dikuasai asing, sebagai syarat mutlak untuk membangun perekonomian bangsa yang mandiri, serta untuk membangun perindustrian nasional yang kokoh dan dinamis.

Tuntutan tersebut juga tidak akan terpenuhi dalam bentuk pemerintahan boneka. Maka sudah sepantasnyalah, seruan Jalan Baru, Ekonomi Baru, Presiden Baru, dan Parlemen Baru yang memiliki prinsip kemandirian bangsa, demokratik, bersih dan memiliki track record berjuang bersama rakyat-lah yang akan memimpin Indonesia menuju kejayaan dan kesejahteraan.

*) Penulis adalah Wakil Ketua DPC – PBR (Partai Bintang Reformasi) Kota Pematangsiantar dan Aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) P. Siantar, Koord. Politik - Sukarelawan Perjuangan untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN) P. Siantar – Simalungun.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger