BICARALAH TENTANG POLITIK ALTERNATIF

Randy Syahrizal*

Diskursus mengenai partai politik alternatif memang sangatlah menarik. Wacana ini dapat dikatakan baru saat ini, yang saat ini hampir mencapai “booming” nya dipentas politik Indonesia. Jika sebelumnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengukuhkan dirinya sebagai partai oposisi, maka saat ini gaung atas wacana tersebut-pun telah kehilangan legitimasinya. Hal ini disebabkan oleh PDI-P sendiri yang tidak dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras berada dekat diposisi masyarakat yang saat ini dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak bepihak kepada rakyat.

Sayap keoposisian yang coba dikembangkan oleh PDI-P ternyata berjalan dengan dinamika yang lambat dan tidak populis. Oposisi yang dimaksud tidak lebih sebatas “enggan” atau “malu-malu” menyepakati kebijakan pemerintah, seperti misalkan penolakan yang “malu-malu” pada kasus impor beras pada tahun 2006 yang lalu. Praktis resistensi gugatan kepada pemerintah hanya berjalan kurang lebih selama 1 bulan. Setelah itu diam ditelan ketukan palu. Penulis menilai bahwa sikap oposisi seperti ini bukanlah oposisi dalam makna yang sejati, yang memiliki visi dan misi yang jelas, serta memiliki pandangan pemerintahan yang memang berbeda secara prinsipil dengan pemerintah/partai yang berkuasa.

Akibatnya, kata “oposisi” tidak lagi mendapat “semangat garang” nya dipentas perpolitikan dewasa ini. Kata “oposisi” persis seperti “macan ompong” untuk partai politik besar, dan “Small is Beautifull” untuk organisasi pro-demokrasi yang kehilangan tenaga ditengah liberalisasi politik saat ini.

Politik alternatif lahir atas kritik pada pentas perpolitikan di Indonesia yang memiliki variasi buruk dan tidak memiliki perspektif politik yang jelas. Variasi-variasi yang memiliki mainstream buruk tersebut bisa dilihat dari praktek politik transaksi sebagai pengganti dari politik kekeluargaan. Saat ini ingin menjadi kepala daerah saja harus memiliki uang yang banyak untuk meminang partai politik, organisasi massa, organisasi kepemudaan, dan kepala-kepala desa/lurah serta tokoh-tokoh masyarakat yang diyakini memiliki kantong-kantong suara. Belum lagi membutuhkan dana yang tidak kecil untuk membuat panggung-panggung kampanye.

Tidak hanya itu, kelahiran politik alternatif juga didasarkan pada fakta bahwa pemerintah dan partai berkuasa semakin sibuk menebar konsesi ekonomis untuk menjaga agar api dalam sekam tidak meluas. Berbagai program populis pun bermunculan seperti Askeskin, Gakin, BOS, kenaikan gaji PNS, bantuan kredit UKM, dsb. Dalam jumlah yang lebih kecil, korporasi-korporasi asing di Indonesia terpaksa juga ikut menebar receh dalam kantong (dalam bentuk Community Development atau yang sekarang bernama Corporate Social Responsibility) demi keamanan modal mereka nantinya. Dari membiayai lomba baca puisi (Inco), beasiswa (Freeport), membuat kursus menjahit (Newmont), sampai ke drama perubahan iklim, yang tak lain hanyalah negoisasi harga karbon, di Bali akhir tahun ini (Freeport) selalu dikampanyekan oleh banyak media sebagai maksud baik korporasi untuk memberantas kemiskinan dan melestarikan lingkungan di Indonesia. Kalaupun ada yang cukup bergaung di kalangan kelas menengah, seperti MDG’s, yang konkretisasinya tidak dirasakan oleh rakyat.

Lahirnya arus liberalisasi politik juga diikuti pada menjamurnya organisasi-organisasi, dari yang berbentuk ormas, LSM, OKP, Parpol maupun organisasi-organisasi pro-demokrasi. Tokoh-tokoh yang sebelumnya tidak populis pun bisa saja muncul kepermukaan jika memiliki uang banyak. Latar belakang majunya tokoh-tokoh baru pun memiliki keberagaman tersendiri, dari yang murni memiliki visi dan misi membawa perubahan, numpang tenar melalui momentum politik sampai mencari “uang mundur” dari calon kepala daerah yang memiliki kekuatan financial lebih kuat.

Saatnya Bicara Alternatif
Saat ini ramai sekali organisasi-organisasi maupun tokoh-tokoh politik yang mulai mendeklarasikan dan mengkampanyekan keberadaan politik alternatif. Sebut saja beberapa organisasi-organisasi rakyat seperti Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Serikat Tani Nasional (STN), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Serikat Buruh Makanan dan Minuman (SBMM), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Gerakan Rakyat Miskin (GERAM) dll, yang berkumpul di Cibinong pada Juli 2006 lalu dan berhasil mendeklarasikan Komite Persiapan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (KP-PAPERNAS). KP-PAPERNAS mendeklarasikan dirinya sebagai partai politik alternatif pada Januari 2007, lewat Kongres I PAPERNAS di Kaliurang, Yogyakarta. Partai ini lahir atas keprihatianan kepada nasib rakyat miskin Indonesia yang kian hari kian dimiskinkan oleh kebijakan negara yang mengabdi kepada sistem ekonomi kapitalisme berwajah baru, yakni neoliberalisme. Sistem ini termanifetasi pada penguasaan kekayaan alam oleh perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport, Newmont, Siemens, dll yang menguasai kekayaan alam dibidang pertambangan, seperti gas, minyak bumi, tembaga, baja dsb. Hal diatas masih ditambah dengan dasar pemikiran yakni saat ini kepercayaan rakyat akan partai-partai politik yang ada kian pudar. Banyak janji-janji populis pada saat kampanye - tidak pernah terealisasi sama sekali.

Begitu juga dengan Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang didirikan oleh tokoh-tokoh LSM yang memandang bahwa kemandirian ekonomi rakyat adalah jalan keluar dari krisis perekonomian yang dialami rakyat hari ini. Sama halnya dengan Syarikat Islam Indonesia (SII) yang berkesesuaian dengan amanat kongresnya: membentuk partai politik baru. Pilihan SII tersebut dilatarbelakangi oleh kebuntuan politik yang dialami rakyat (apatisme) karena banyak partai politik yang berkuasa sudah benar-benar melupakan rakyat.

Yang harus menjadi catatan penting dari fenomena ini adalah gerakan politik alternatif dimotori oleh kebangkitan kaum muda untuk memimpin Republik ini dari kehancuran sekian puluh tahun pada kepemimpinan kaum tua. Sudah banyak deklarasi-deklarasi yang lahir, mulai dari Kaum Muda Bangkit yang mempunyai pandangan “Saatnya Kaum Muda Memimpin” sampai Komite Bangkit Indonesia (KBI) yang dimotori Rizal Ramli bersama sekelompok politisi dan ekonom muda dengan wacana: Jalan baru (Konsep ekonomi anti penjajahan Neoliberal (mafia Berkeley); Pemimpin baru. Selain KBI yang cukup besar, juga bermunculan konsolidasi-konsolidasi kecil lainnya yang bersifat non-permanen di panggung politik nasional yang juga dengan tema kepemimpinan baru (kaum muda) dan kemandirian bangsa. Perspektif baru semacam ini, yang tak muncul pada pemilu 2004, diharapkan akan menjadi terobosan politik di ajang 2009- yang dapat memilah situasi politik nasional menjadi: anti- dan pro- penjajahan asing. Di luar perspektif tersebut, situasi politik nasional hanya marak oleh traksaksi dan lobi politik elit menjelang pemilu (eksekutif dan legislatif) 2009.

Sepertinya sentimen-sentimen politik masa lalu yang bermuara pada kebijakan ekonomi-politik kapitalistik mendapat sambutan serius dari kaum muda Indonesia. Situasi ini mencerminkan kontradiksi yang pastinya sangat menarik antara kaum tua versus kaum muda. Saatnya sekarang bertarung. Ini adalah buah dari kian maraknya pembicaraan dan konsolidasi wadah-wadah politik alternatif. Akankah yang baru tumbuh akan mekar dan mewangi ?


*Dept. Pendidikan dan Bacaan KP-FPRM, Sekwil DPD I PAPERNAS Sumatera Utara dan Sekwil STN (Serikat Tani nasional) Sumatera Utara.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger