APA HARUS BUNUH DIRI...?
Randy Syahrizal *)

Bangun pagi disini serasa tak alami lagi. Tak ada lagi udara segar. Sepertinya ayam jantan pun sudah telat untuk berkokok. Sungguh berbeda dengan suasana di kampung. Jangan lagi bicara kicauan burung yang mengomel panjang dipagi hari, mustahil kita jumpai. Apalagi tetangga disekitar rumahku tidak ada yang memelihara burung. Pagi di kotaku dibisingkan oleh suara klakson angkutan kota yang sibuk menawarkan jasa kepada para pedagang kaki lima yang sudah terjaga sejak pukul 04.00 subuh tadi. Mereka berjongkok dan berdiri, sebagian ada yang duduk-duduk dibibir jalan. Pemandangan ini tak lagi aneh aku dapati. Kelang beberapa jam setelah itu, pedagang jamu mulai memanggil-manggil langganannya, bersepeda dari gang- ke gang. Banyak diantara langganannya adalah ibu-ibu rumah tangga.

Suasana ini mungkin yang membedakan sebagian besar aktifitas di pedesaaan. Anak muda penganggurannya seakan malas menghadapi hari yang tak berpengharapan itu. Bangun pagi pun sudah tak mampu lagi. Apa karena kefrustasian mencari pekerjaan atau dijenuhkan dengan suasana yang kian hari kian mencekik leher. Sungguh disadari maupun secara tidak sadar, iklim ini adalah iklim yang dapat mendemoralisasi siapapun, terutama yang miskin aktifitas.

Aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Pukul 06.17 pagi. Ketika aku mendengar suara gaduh yang berasal dari tetangga sebelah. Aku mendengar seorang bocah perempuan yang menangis karena tidak diberi cicilan uang buku yang sudah jatuh tempo pembayaran. Kemaren gurunya mengancam bocah kecil.

“ Bilang sama mamak ya, kalau besok belum membayar cicilan uang buku, maka kau tidak boleh ikut ujian.” Kata bu guru yang mengajar di sekolah bocah kecil itu, di sebuah SD Negeri di Kelurahanku.

Si bocah hanya mengangguk saja. Dia sama sekali tak memahami kesulitan orangtuanya yang hanya pedagang jamu keliling tersebut. Sedangkan bapaknya hanyalah seorang kuli bangunan yang bekerja kalau ada borongan dengan upah Rp.25.000/hari. Tahun-tahun sebelumnya orangtua bocah kecil itu masih sanggup membayar cicilan uang buku sampai lunas. Namun dari tahun ke tahun beban ekonomi mereka kian berat dan tak mampu lagi tertutupi. Bocah kecil itu masih mempunyai 3 orang lagi saudara sekandungnya. 1 orang sudah tidak lagi melanjutkan kuliah, sejak tamat SMA setahun yang lalu. 2 orang lagi masih duduk di bangku SMA. Diantara kedua kakaknya, seorang diantaranya adalah siswa di sebuah SMA Negeri terkenal di Kotaku. Dengan asumsi bahwa sekolah negeri bisa meringankan biaya sekolah, karena biasanya sekolah-sekolah negeri biayanya murah, si bapak-pun akhirnya memberanikan diri untuk mendaftarkan anaknya di sekolah tersebut. Namun apa mau dikata, zaman sudah berubah.

Tahun pertama si anak tersebut menjalani sekolah di SMA negeri tersebut, sudah banyak biaya yang harus dikeluarkannya. Dari uang buku yang mencapai harga Rp.536.000,00 dan uang komite yang tiap bulannya harus dilunasi sebesar Rp.60.000,00 ditambah lagi uang insidental. Haaaahhh, jenis biaya apa ini..? aku belum pernah mendengar jenis biaya ini semasa sekolahku. Batinku bertanya, apa setiap tahunnya sekolah itu kecelakaan..?

Ibu bocah itu pernah bertanya panjang lebar kepadaku. Sewaktu kakak si bocah yang sekolah di SMA negeri itu mendapat surat keputusan dari pihak Komite Sekolah yang menjelaskan keberadaan uang Insidental tersebut. Aku membaca surat itu dengan sedikit kesal, geram bercampur marah. Katanya uang insidental itu dikenakan untuk dipergunakan sebagai biaya memperbaiki pagar sekolah. Besarnya uang yang harus dibayar adalah sebesar Rp.500.00,00 persiswa tahun ajaran baru. Sungguh gila. Apalagi itu bukan hasil dari keputusan seluruh orang tua siswa. Sebelumnya orang tua siswa memang diberi surat pengantar untuk menyepakati hasil rapat dari komite sekolah tersebut. Kakak si bocah itu juga pernah diancam dengan nada serupa oleh gurunya. Karena orangtuanya panik dan merasa tidak sanggup, akhirnya ibu bocah itu meminta bantuanku untuk menghadiri panggilan dari pihak sekolah. Akupun menghadirinya. Aku sungguh terheran dengan kenyataan ini. Katanya uang SPP ditiadakan untuk meringankan beban orang tua, tapi kenapa lahir program sejenisnya yang bernama UANG KOMITE..? akhirnya aku sadar bahwa pemerintah kita tidak sedang serius untuk mengurusi pendidikan dinegeri ini. Bukannya malah ringan tapi biaya semakin berat.

Aku yang merasa tidak punya beban, akhirnya berbicara dengan nada keras saja di ruang kantor guru itu. Aku bertanya:

“Apa ada hak guru atau pihak sekolah mengancam anak muridnya untuk tidak diperbolahkan ikut ujian hanya karena uang cicilan bukunya belum dibayar...?”
“Mengenai biaya-biaya lain-lain itu adalah urusan sekolah dengan orang tua siswa, sedangkan tugas siswa hanya untuk belajar, jadi tolong ibu sebagai guru jangan mengganggu konsentrasinya belajar. Tentang utang uang buku itu pasti dilunasi orang tuanya, tapi tolong kasih tenggang waktu, karena beban ekonomi orangtuanya sulit.”
“Oh tidak bisa, tapi kalau tempo seminggu-dua minggu bisalah kami pikirkan. Agar kamu tahu, sekolah itu memang mahal. Ilmu pendidikan itu mahal. Kalau tidak mampu, harusnya pilih sekolah yang lebih murah saja.” Jawab Bu guru tersebut.
Aku tidak mau banyak komentar lagi. Aku takut kalau sampai aku marah dikantor itu. Akhirnya aku bicara yang pasti-pasti saja.

“Ok. Dalam waktu 2 minggu cicilan uang buku dan biaya lain-lain itu akan kami lunasi. Tapi tidak dulu untuk uang insidental itu. Karena aku belum melihat pagar sekolah ini rusak. Kalaupun rusak, mintalah uang kepada pemerintah, karena itu sudah dianggarkan oleh pemerintah, bukan kepada orangtua siswa. Trimakasih. Permisi.” Aku langsung meninggalkan ruangan tersebut, dan tidak lagi mau menghormati mereka.
Sekarang nasib kakaknya menimpa si bocah itu. Tangisan bocah itu kian keras. Si bocah itu menangis karena tidak mendapat jalan keluar dari ibunya. Seketika ibunya langsung pergi menjual jamu dan meninggalkan bocah itu menangis. Bersamaan dengan itu aku melihat dan mendengar siaran berita dari tv tentang anak SD yang mati bunuh diri karena tidak mampu membayar uang buku. Astaga..,,aku jadi sangat mengkhawatirkan bocah perempuan itu. Mudah-mudahan dia tidak sedang menonton TV.


Randy Syahrizal
Sastrawan Amatir
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger