Apakah Kegagalan Itu (Masih) Biasa ?

oleh: Randy Syahrizal*

Tim Indonesia Bangkit (TIB) dalam catatan akhir tahunnya, secara gamblang memaparkan, pemerintah SBY-JK telah gagal menyejahterakan rakyat Indonesia. Indikasinya, tahun ketiga pemerintahaan mereka (2007), jumlah rakyat miskin tetap banyak dan mencapai angka 40 juta jiwa. Angka ini berbanding terbalik dengan dana kemiskinan di APBN yang meningkat setiap tahunnya (Batak Pos : 27 Desember 2007).

Angka diatas tentunya bukan angka yang kecil bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Apalagi untuk level negara sekaya Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, khususnya sektor pertambangan dan minyak Bumi ditambah dengan kesuburan tanah dan cadangan gas alam yang besar. Namun akan menjadi nasib yang berbalik jika dipimpin oleh pemerintahan yang mengakomodir kepentingan “neoliberalisme” dengan menerapkan sistem perekonomian kapitalisme. Hal ini justru terlihat dari fakta bahwa 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia, hanya 20 di antaranya yang merupakan perusahaan dalam negeri. Hingga tahun 2001 sebanyak 890 ijin Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dan PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara) telah diberikan negara yang setara dengan penguasaan lebih dari 35% daratan kepulauan Indonesia (Gede Sandra: 2007).

Neoliberalisme sebagai aturan main ekonomi kapitalisme dunia juga tengah dijalankan oleh pemerintahan SBY-JK. Tidak susah mengenali ciri-ciri neoliberalisme tersebut. Pokok-pokok utama neoliberalisme itu tercermin dari kebijakan aturan pasar yang membebaskan perusahaan asing atau perusahaan swasta (nasional) dari kewajiban-kewajiban yang diterapkan oleh pemerintah (negara), dan tidak peduli sebanyak apa kerugian sosial yang diakibatkannya. Hasilnya tidak ada lagi kontrol harga dipasaran oleh pemerintah. Inti dari pasar bebas ini adalah kebebasan mutlak bagi pergerakan modal, barang, dan jasa tanpa kontrol dari pemerintah. Ciri yang kedua adalah memotong anggaran belanja publik bidang pelayanan sosial seperti pendidikan dan pemeliharaan kesehatan. Mengurangi dana jaring pengaman untuk rakyat miskin, dan bahkan dana pemeliharaan jalan raya, jembatan, pengadaan air. Tentu saja, mereka (pelaku ekonomi neoliberalisme) tidak menentang subsidi pemerintah dan keuntungan pajak bagi dunia bisnis (Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia: 2006). Berikutnya adalah Deregulasi, yakni pengurangan peraturan pemerintah dalam segala hal yang bisa menurunkan keuntungan, termasuk dalam hal perlindungan alam dan keselamatan kerja. Terakhir adalah Privatisasi yakni menjual badan-badan usaha milik negara, barang-barang dan jasa kepada investor swasta. Ini termasuk bank-bank, industri-industri strategis, jaringan rel kereta api, jalan-jalan tol, pembangkit listrik, sekolah-sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walaupun biasanya dikerjakan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama sekali berpengaruh dalam pemusatan kemakmuran yang lebih besar lagi ke tangan segelintir orang dan membuat masyarakat membayar lebih banyak lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Tentunya ciri-ciri diatas dapat kita lihat melalui kebijakan-kebijakan yang lahir dari tangan pemerintah kita saat ini.

Hal ini tentunya sangat berpengaruh bagi sebuah negeri yang perekonomiannya didominasi oleh negara asing yang mewakili kekuatan “neoliberalisme” seperti AS dan Uni Eropa. Presiden RI pertama, Soekarno sudah sejak lama mempertimbangkan pengaruh buruk dari dominasi ekonomi nasional oleh kekuatan modal asing tersebut. Ada baiknya untuk memahami pengaruhnya kita kutip pendapat dari Soekarno: “…kita punja daja menghasilkan mendjadi mati sama sekali, kita punja daja cipta alias kepandaian dan kemampuan-membikin padam sama sekali, hantjur sama sekali, binasa sama sekali! Imperialisme industrialisme asing itu telah merebut tiap-tiap akar daripada daja menghasilkan ekonomis kita, membakar tiap-tiap semi daripada daja menghasilkan ekonomis kita menjadi debu, merosotkan Rakjat Indonesia itu mendjadi suatu Rakyat yang hidup dengan memakai barang-barang –luaran”.

Pendapat tersebut dapat dilihat salah satunya dengan merujuk data tahun 1995, di areal Freeport saja tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52,1 juta ons. Deposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar AS, yang baru akan habis selama 45 tahun. Berapa yang jatuh kepada Indonesia? Kita hanya kebagian 7,9% kepemilikan saham, pajak dan royalty. Sementara dari Blok Cepu, ke depan Exxon akan menikmati pendapatan senilai Rp. 170 triliun per tahun. Bandingkan dengan kontribusi sektor pertambangan yang hanya Rp. 70-80 triliun terhadap APBN per tahunnya.

Kontribusi sektor pertambangan bagi pendapatan negara, terhitung dari tahun 2005 sampai dengan 2007, hanya memberi rata-rata 80-90 triliun rupiah per tahun. Padahal Indonesia adalah negeri yang memiliki cadangan minyak bumi (yang terlacak) sebesar 4,6 milyar barrel, cadangan gas (terlacak) hampir 90 TSCF yang dengan produksi 2,9 TSCF yang baru akan habis 30 tahun ke depan, penghasil 25% timah dunia, 2,2% dari produksi batubara dunia, 7,2% emas, dan 5,7% nikel dunia.

Dampak sosial dari situasi perekonomian yang demikian ini adalah perkembangan industri nasional yang stagnan, bahkan dengan kebangkrutan di sektor riil yang belum juga berhenti gagal menyerap pengangguran, dan justru membantu menambah jumlah pengangguran. Laporan Bank Dunia tahun 2006 menunjukan bahwa hampir 50% penduduk Indonesia masih tergolong miskin dengan asumsi golongan penduduk yang pendapatannya kurang dari US$ 2 dollar per hari. Akses rakyat miskin terhadap kesehatan, pendidikan, perumahan juga semakin sulit. Tak heran penderita busung lapar, anak putus sekolah tingkat kematian bayi dan ibu melahirkan tergolong tinggi.
Dengan dukungan syarat-syarat obyektif kekayaan alam serta sumber daya manusia yang cukup banyak, kenapa pemerintah kita masih saja gagal menyejahterakan rakyat Indonesia..? padahal kekayaan alam yang terkandung di Bumi Indonesia sudah sangat cukup menjadi modal dasar untuk memodernisasikan dan meningkatkan produktifitas perekonomian Indonesia. Apakah kegagalan tersebut masih bisa dipandang hal yang biasa ?


* Sekretaris DPD I - PAPERNAS (Partai Persatuan Pembebasan Nasional) Sumatera Utara
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger