Ekonomi Makin Sulit, Rakyat Menjerit

Oleh: Randy Syahrizal

Terjadi kelangkaan BBM dan pemadaman listrik yang merata di seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara. Kondisi ini sebenarnya berbasiskan pada situasi di mana pemerintah kita telah berkomitmen untuk lebih memprioritaskan ekspor minyak dan gas bumi ke negeri-negeri imperialis serta telah dikuasinya sumur-sumur minyak dan gas bumi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan besar dari Amerika, Eropa, dan Jepang serta negara-negara imperialis lainnya.

Komitmen pemerintah ini telah dibuktikan dengan diberikannya pengeksplorasian blok cepu terhadap exxon mobil. Exxon mobil telah disahkan oleh SBY-JK sebagai pemilik kekayaan minyak bumi rakyat Indonesia sebesar 2,6 miliar barel (atau mendekati separuh cadangan minyak Indonesia seluruhnya).

Hal yang sama juga terjadi di Sumut. Pada pertengahan tahun 2005 terjadi eksplorasi gas oleh tiga perusahan pertambangan asing yaitu Tiga Investor asing masing-masing SINOPEC Internasional Petroleum, COSTA dan Asia Petroleum Development (Asahan) LTD (APD) akan melakukan eksplorasi ladang dan gas di Kabupaten Langkat, Sumut. Perusahaan ketiga yakni Asia Petroleum Deveploment (Asahan) LTD (APD), merupakan anak perusahaan dari Serica Energy Coorperation yang terdaftar dibursa Kanada dan memilki blok-blok di Inggris, Spanyol dan Indonesia. Menurut pemerintah, eksplorasi ini diharapkan akan memenuhi kebutuhan PLN dan Perum Gas. ''Dengan ketersediaan energi ini diharapkan akan mendukung pertumbuhan industri, membuka lapangan kerja dan menigkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, proyek ini nantinya akan memberikan nilai tambah terhadap APBD serta merupakan potensi energi bagi daerah ini,''kata Gubsu H T Rizal Nurdin saat menerima Kepala Perwakilan Sumbagut Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Milik Gas dan Bumi, Drs Rahmat Priyatna MM. Gubsu mengatakan bahwa kebutuhan gas PLN saat ini sekitar 100 juta CUFT per hari, sementara yang dapat dipenuhi Pertamina baru 60 juta CUFT, dan sisanya memakai BBM. justru saat ini rakyat di Sumatera Utara mengalami krisis kelangkan BBM dan padamnya aliran listrik (Berita BAPPEDA, 2005 – 06 – 17).

Namun kenyataan berkata lain, justru kelangkaan gas dan minyak tanah terjadi di mana-mana. Pada tahun 2006 terjadi kelangkan gas. Kelangkaan ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah di Sumatera utara. Pada akhir 2006, pihak PN Gas Sumbagut menghentikan sementara pasokan gasnya ke semua perusahaan di Sumatera Utara. Tidak hanya itu, PN gas juga tidak dapat memenuhi kebutuhn gas bagi PLN sehingga akhirnya berdampak pada pemadaman bergilir yang dialami oleh warga sumut. Hal ini akhirnya memicu terjadinya gelombang aksi yang dimotori oleh APINDO yang menuntut agar PN gas segera mendistribusikan pasokan gas ke perusahaan-perusahaan mereka atau bila tidak akan mengakibatkan banyaknya perusahaan yang akan tutup dan memicu terjadinya PHK missal. Di samping itu kelangkaan BBM (minyak tanah) akhirnya juga memicu naiknya harga minyak tanah, dan hancurnya industri terutama industri menengah dan kecil yang menggunakan bahan baku energi minyak tanah dan listrik.

Atas persoalan ini lagi-lagi pemerintah masih tetap saja beretorika. Seperti yang dilansir harian KOMPAS (27/9), Pengurangan kuota minyak tanah yang dilakukan pemerintah mulai bulan September 2006 diperkirakan akan membuat wilayah Sumatera bagian utara mengalami kelangkaan bahan bakar tersebut. Kuota minyak tanah di wilayah Unit Pemasaran I Pertamina yang meliputi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau tahun 2006—yang semula 1.248.420 kiloliter—dikurangi menjadi 1.100.000 kiloliter. "Dalam kondisi kuota sebesar 1,25 juta kiloliter saja sudah ada riak kelangkaan, apalagi ini dikurangi," ujar Kepala Humas Pertamina UPMS I Joko Sasono Putranto di Medan, Rabu (27/9). Tahun 2005 kuota minyak tanah untuk Pertamina UPMS I masih 1.395.757 kiloliter. Pengurangan kuota kali ini, menurut Joko, bagian dari pengurangan subsidi pemerintah terhadap bahan bakar minyak (BBM). "Tahun lalu kuotanya terpenuhi.

Sungguh licik upaya-upaya pemerintah untuk “membuang badan” dan cari selamat atas persoalan kelangkaan BBM dan gas yang tidak hanya terjadi di Sumut, tapi terjadi juga di hampir seluruh wilayah Indonesia. Padahal sejatinya adalah karena pemerintah harus tunduk dan takluk atas semua kepentingan imperialis (telah tergambarkan secara gamblang dalam sitnas kita).

Menyongsong Pilkada Gubsu 2008
Awal 2007 adalah masa-masa kampanye-nya elit-elit politik borjuis ditengah-tengah massa rakyat, dalam kepentingan menang Pilkada 2008. Ada banyak elit politik borjuis yang menjadi bakal calon Gubernur, mereka berasal dari Partai-partai lama (tradisional) dengan watak yang juga sama ‘lamanya’ dengan partainya. Namun, kekuatan-kekuatan elit politik borjuis tersebut juga terpolarisasi secara politis (adu program). Ada sebagian Partai Politik yang ‘katanya’ memposisikan diri sebagai partai oposisi (PDI-P dan PKS) dan sudah berani ‘mengkritisi penetrasi’ modal asing (neo-liberalisme). Akan tetapi hal tersebut tidak-lah tegas, hanya ditujukan demi kepentingan popularitas partai saja (dalam makna suara pemilih), namun akan larut juga dalam keputusan-keputusan rezim SBY-JK, yang juga berarti tunduk pada kebijakan-kebijakan neoliberal (sudah terbukti ketika mereka berkuasa). Hal ini adalah rahasia umum yakni watak sejati dari partai borjuis.

Pilkada 2008, Partai Golkar sebagai partai terbesar di Sumatera Utara dalam hal ini juga masih bimbang dan ambigu dalam penempatan kader-kadernya dalam pertarungan pilkada. Ada dua kader utama Golkar Sumut yang akan ikut bertarung dalam Pilkada, yakni Ali Umri (Walikota Binjai) dan Abdillah (walikota Medan). Entah apa yang membedakan (secara prinsipil) keduanya, tapi yang pasti, keduanya tetap akan berlomba menjadi agen (no 1) neo-liberalisme di Sumut. Abdillah sendiri popularitasnya menurun, seiring makin tidak percayanya Rakyat Medan dengannya. Rasa tidak percaya ini dipacu oleh praktek-praktek penggusuran anak jalanan, PKL (Pedagang Kaki Lima), dan prioritas programnya yang menempatkan sektor pertamanan lebih besar dari pada sektor pendidikan dan kesehatan (untuk memajukan tenaga produktif rakyat Medan).

PDIP juga akan menjagokan kadernya, yakni dan T. Chairuman (pusat). Konstalasi politik juga sedang memanas antara PDIP dengan partai-partai Islam (beserta Ormasnya), dan langsung menohok Rudolf Pardede (Gubernur Sumut) dengan isu Ijazah palsu. PPP malahan lebih berani berhadap-hadapan langsung dengan PDIP (perang terbuka) dengan digelarnya aksi besar-besaran (mobilisasi massa mencapai ratusan) dengan tuntutan agar Rudolf Pardede segera turun. T. Chairuman memang kelihatan lebih siap ketimbang yang lain, dengan sedari dini (pertengahan 2006) melakukan kampanye-kampanye, lewat metode seminar dikampus-kampus dan Lokakarya dengan tema yang termasuk seksi di SUMUT, yakni HAM (Hak Asasi Manusia). Namun sampai sejauh ini, belum ada kempanye programatik yang popular (kerakyatan) yang sudah disusunnya (tim suksesnya) secara sistematis tentang persoalan-persoalan mendesak Rakyat Sumut. Ini sudah bisa kita duga sebelumnya, melihat karakter sejati borjuasi nasional yang pengecut dan tidak berani secara tegas menghempang kebijakan-kebijakan neoliberal.
PKS juga akan bertarung dalam Pilkada Gubernur. Setelah pasangannya dalam Pilkada Medan (Maulana Pohan-Sigit Pramono) kalah bertarung dengan pasangan Abdillah dan Ramli, PKS kembali mencoba menjagokan Sigit Pramono dalam pertarungan Pilkada 2008. Seperti yang kita lihat, PKS memang lebih popular dikota-kota besar (termasuk Medan). Ini adalah gambaran tingkat kekritisan masyarakat perkotaan dalam menyikapi tuntutan-tuntutan popular (baca : program popular yang tanggung-tanggung dari PKS), karena tuntutan-tuntutan populis dari PKS tidak mendasar dan menohok kepada persoalan inti rakyat, melainkan hanya mempopulerkan tuntutan-tuntutan moralitas saja (seperti tuntutan PKS tentang korupsi yang tidak structural). Sedangkan PBR juga akan menjagokan Romo Raden Syafi’I sebagi bakal calon Gubernur. PBR adalah perwakilan dari kaum konservatif di parlemen, yang sampai sekarang masih saja mempraktekkan politik konservatif. Hal ini dapat dipastikan mengingat platform partainya yang memang tidak pernah menohok persoalan imperialisme kepada persoalan structural (kebijakan rezim boneka), namun masih beranggapan (dengan propaganda yang moralis) tentang nilai-nilai moralitas yang semu (mistik) dan tidak ilmiah.

Sebagai kekuatan tradisional Islam, PPP memang sudah sangat luas dikenal Massa rakyat. Namun popularitasnya semakin menurun setelah menjamurnya partai-partai yang berhaluan islam, ditambah track record PPP sebagai partai pendukung Orde Baru. Akan tetapi (secara internal) PPP masih percaya diri untuk tetap berpengharapan bahwa partainya mampu menjadi pemersatu kekuatan-kekuatan islam dalam satu payung. Besar kemungkinan PPP akan bertarung dalam pilkada gubsu 2008, walaupun sampai saat tulisan ini dibuat, PPP belum menempatkan kadernya dalam pertarungan tersebut.
Kalangan akademisi juga tidak mau ketinggalan pertarungan. Sebagai bukti bahwa Chairuddin Lubis (Rektor USU) juga mencalonkan dirinya sebagai bakal calon Gubsu. Namun belum kelihatan bahwa Chairuddin akan memilih kendaraan yang mana (baca: partai) untuk menghantarkannya menjadi peserta pilkada gubsu 2008. Akan tetapi, popularitas Chairuddin juga sedang menurun, terutama dikalangan akademisi, terkait persoalan dugaan korupsi milyaran rupiah di USU.

Propinsi Tapanuli : Ada Kepentingan Apa….?
Pro tentang pembentukan Propinsi Tapanuli saat ini terus menguat di Sumut. Dalam beberapa waktu lalu ada mobilisasi besar di Tarutung dalam bentuk rapat akbar menyatakan kebulatan tekad. Menurut informasi, rapat akbar ini di hadiri lebih dari 20.000 massa dari 10 kabupaten yaitu kabupaten Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir, Pak pak Barat, Humbang Hasundutan, Dairi, Kotamadya Sibolga, Tapteng, Nias dan Nias Selatan dan juga dihadiri beberapa anggota DPR-RI. Sejauh ini hampir mayoritas pejabat-pejabat Negara seperti bupati dan anggota dewan di 10 kabupaten tersebut telah menyatakan dukungannya. Meski tidak secara terbuka partai-partai borjuis di parlemen menyatakan dukungannya, namun tokoh-tokoh politik dari beberapa partai politik ikut berperan dalam upaya pembentukan propinsi Tapanuli, diantaranya dari PDIP dan GOLKAR.

Dalam pandangan lain, kontra terhadap pembentukan propinsi Tapanuli juga menguat. Beragam pandangan atas propinsi Tapanuli bermunculan. Sebagai tandingan atas mobilisasi besar, pada awal Januari 2007 terjadi juga mobilisasi besar di kota Sibolga dan menyatakan menolak bergabung dengan propinsi Tapanuli. Di beberapa kabupten seperti Dairi, Nias dan Nias Selatan juga terjadi aksi menolak bergabung dengan Propinsi Tapanuli. Belakangan isu yang muncul atas pro dan kontra dari pembentukan Propinsi Tapanuli justru isu sara.

Apapun itu, itulah konsekuensi atas pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan. Ya, imperialis telah berhasil memecah belah bangsa Indonesia, mengilusi impian-impian borjuis lokal di daerah atas makna kebebasan dan kekuasaan. Namun sejatinya adalah otonomi daerah hanyalah alat bagi imperialis untuk mempermudah penguasaan kekayaan alam yang ada di negeri ini. Oh.., sungguh malang bangsaku….

Situasi perlawanan rakyat: Polarisasi masih menjadi masalah utama gerakan rakyat.
Secara umum, gerakan perlawanan menentang kebijakan-kebijakan neoliberal masih tercerai berai (terpolarisasi). Dalam hal ini, yang paling menjadi persoalan adalah perdebatan yang belum berakhir mengenai pandangan kondisi objektif masyarakat Indonesia. Sebagian kaum gerakan memandang bahwa musuh pokok rakyat Indonesia bukanlah Neoliberalisme dan rezim boneka SBY-JK (dalam hal ini sebagai kontradiksi pokoknya). Sehingga, sebagian kaum gerakan tersebut masih memandang tetap relevannya ‘memblejeti’ rezim boneka saja tanpa harus menggulingkannya. Tentunya kaum gerakan ini tidak memandang pemilu ataupun pembentukkan partai front sebagai langkah maju untuk terus memompa gerak maju kesadaran Rakyat, dengan propaganda seluas-luasnya mengenai persoalan-persoalan mendesak rakyat besert jalan keluar yang benar. Atau jika tidak, tidak ada jalan keluar (strategi-taktik perjuangan) yang lain untuk secara bersama (front) menawarkan program-program popular kepada rakyat.

Secara umum, Rakyat Indonesia merindukan perubahan nasib kearah yang lebih baik, dan pembuktian pemilu 2004, rakyat menggantungkan harapannya kepada ‘yang baru’ yakni SBY-JK. Tapi ini bukanlah mutlak kesadaran sejati rakyat untuk berubah, pertanyaannya adalah, dari mana rakyat menemukan kesadaran palsunya…? yang pertama, kita harus jeli menilai massif atau tidaknya propaganda-propaganda perlawanan terhadap imperialisme neolib, serta kita juga harus melihat bahwa kesadaran yang kita injeksikan (program populis) tidak sebanding dengan bentuk organisasi kita dalam menjawab setiap perubahan kondisi. Sebagai contoh, kita tidak bisa merawat Front, sehingga tidak menjamin adanya tindakan praktek politik bersama.

Kesimpulannya, lemahnya persatuan gerakan rakyat, hanya membuahkan hasil kesadaran palsu massa untuk berubah, namun belum sejati (revolusioner). Dan kita berkewajiban memompa terus-menerus dengan propaganda persatuan dalam wadah politik alternative..
Secara umum seperti halnya pembacaan pada sitnas, gambaran yang terlihat adalah :

• Sama halnya dengan pembacaan sitnas, hancurnya industri nasional dan diberlakukannya sistem buruh kontrak menjadikan serikat-serikat buruh kehilangan massanya. Serikat-serikat buruh di sibukkan dengan kerja-kerja advokasi anggotanya yang terus menerus di ancam PHK dan kemerosotan tarap hidupnya. Hanya pada momentum-momentum politik tertentu saja (terutama dalam merespon kasusnya), kaum buruh dapat termobilisasi. Di Sumut, belum ada satu pandangan yng sama terhadap isu Tri Panji Persatuan Nasional. Banyak serikat buruh di Sumut lebih terfokus pada isu-isu tentang kenaikan upah, dan isu-isu ekonomis lainnya yang dialami kaum buruh di tempat kerja.

• Pada kaum tani, kemunduran serikat-serikat tani saat ini tak lepas dari belum adanya kesatuan pandangan dikalangan para aktifis serikat tani dan adanya intervensi dari LSM-LSM yang berkepentingan menjadikan kaum tani sebagai “massa dagangannya” serta kekalahan-kekalahan aksi perebutan tanah yang dengan sendirinya menghancurkan serikat-serikat tani tersebut. Posisi kaum tani yang dihancurkan oleh penetrasi imperialisme ini (karena kekalahan modal, tekhnologi dan sistem pertanian), menempatkan kaum tani sebagai kaum urban di perkotaan yang bekerja secara musiman, hal ini pula yang menyulitkan pengorganisasian kaum tani. Secara umum gerakan tani masih bersifat ekonomis dan tradisional, seperti misalnya masih berkutat dalam tuntutan Tanah saja, yang tentunya sifatnya sangat konservatif. Sedangkan tuntutan tuntutan yang lebih maju seperti menuntut modal dan tekhnologi masih sangat minimal. Padahal, tuntutan modal dan tekhnologi sangat relevan dilakukan melihat kemampuan produksi petani yang minim. Perjuangan Kaum tani juga masih terpolarisasi, karena karakter perjuangannya ekonomis. Sedangkan kelahiran front-front tani masih sangat minimal sebagi kesatuan konkret pilitik kaum tani.

• Gerakan mahasiswa sendiri yang selama ini menjadi sektor termaju dalam penerimaan kesadaran politik, terpukul mundur jauh kebelakang. Gerakan mahasiswa terjebak dengan kepentingan-kepentingan, dan belum mampu keluar dari politik para seniornya (politik ke’i), ditambah dengan adanya perubahan sistem pendidikan yang meminimalisir mahasiswa bergabung dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan (ekstra maupun intra), sehingga menyulitkan organ-organ mahasiswa melakukan pembasisan. Kemunduran gerakan mahasiswa ini dapat dilihat dari keberadaan organisasi-organisasi mahasiswa 98 yang hanya tinggal papan nama, tak ada lagi kemampuan mobilisasi.Disisi lain, masih kentalnya eksistensi gerakan mahasiswa membuat gerakannya menjadi ekslusif, dan belum mampu maju ketindakan politik yang lebih konkret, yakni Front.

• Bisa dikatakan tidak ada kelompok-kelompok yang berbasiskan sektor ini berkembang di sumut. Perlawanan-perlawanan yang muncul dari sector KMK lebih bersifat sporadis dan mengelomppok pada isu-isu tertentu saja dan hanya berbasiskan pada satu teritori saja, tidak meluas. Perlawanan yang muncul sebenarnya terus meluas. Yang marak saat ini adalah perlawanan pedagang kaki 5 melawan penggusuran, namun itu belum mampu menyatukn kekuatan KMK dalam satu isu bersama.

• Gerakan kebudayaan masih berkutat dalam persoalannya sendiri (berkarya baik dalam bentuk individual ataupun komunitas) yang memiliki kecenderungan ekslusif, walaupun begitu, banyak karya-karyanya yang memiliki keberpihakan terhadap rakyat.

• Begitu juga dengan gerakan perempuan yang masih berkutat dengan persoalan-persoalan gender dan KDRT. Para aktifis perempuan masih belum mau melepaskan dirinya dari baju ke-LSM-annya dalam membangun gerakan perempuan, hal ini mengakibatkan sangat minim terbangunnya organisasi-organisasi perempuan. Dari pengalaman pemilu 2004, di keseluruhan sektor, sikap dan posisi terhadap pemilu justru menguat di sektor perempuan (walau tidak berbentuk dalam sebuah gerakan) terutama dengan isu kuota 30%.

*) Diajukan sebagai Draft Situasi Daerah pada Konfrensi Daerah Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS)Sumatera Utara
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger