RAKYAT DAN AKTIVIS PRO-DEMOKRASI DALAM MENGHADAPI PEMILU 2009

Oleh : Randy Syahrizal


Pemilu 2009 ini akan diramaikan oleh tiga puluh delapan (38) partai politik nasional, enam partai politik lokal (khusus di Aceh), kurang lebih seribu kandidat DPD, dan lebih dari sebelas ribu calon anggota DPR RI. Keseluruhan jumlah tersebut memperebutkan 560 kursi DPR RI dan 132 kursi DPD. Dengan demikian, fragmentasi masih menjadi sajian dominan dalam kompetisi politik lima tahunan kali ini. Dapat dikatakan lebih parah dibandingkan pemilu periode sebelumnya.

Sedangkan ditataran lokal (baik provinsi maupun Kabupaten Kota), tak bisa dipungkiri akan menjadi pertarungan fragmentasi politik yang paling tajam. Ini dapat dipahami, melihat bahwa ukuran keberhasilan sebuah partai politik ditingkatan pusat (DPR-RI dan DPD) tak bisa lepas dari keterukuran (maksimalisasi) suara ditingkatan Kabupaten/Kota, sebagai basis konstituen para politisi yang akan bertarung memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Dari wacana fragmentasi diatas, pelajaran apa kemudian yang akan ditarik oleh Rakyat dan Aktivis Pro-Demokrasi sebagai basis konstituen pada pemilu 2009..?

Benarkah Rakyat akan Bingung..?

Bisa dipastikan bahwa konsentrasi domisili masyarakat umum secara luas berada diteritori tingkat 2 (dua) dalam logika teritori negara. Dengan begitu, sosialisasi (kampanye) garis politik masing-masing partai politik akan dikonsentrasikan diteritori tingkat 2 (dua). Lantas pertanyaannya adalah, “Seberapa rasionalkah masyarakat kita (Indonesia) dalam mengambil pilihan politik dipanggung Pemilu 2009..?” jika kemudian sebagian besar pengamat politik mengatakan bahwa pemilih di Indonesia masih bersifat feodalistik dan jauh dari nilai-nilai rasionalitas, pertanyaannya kemudian “Apakah Rakyat dibingungkan oleh Kampanye Partai-Partai Politik yang secara massif berbicara Nasionalisme dan Program-program populis..?

Saat ini menurut saya, secara garis besar, keterwakilan garis politik bisa dilihat dari latar belakang para pendiri partai politik tersebut. Bisa dilihat bagaimana fragmentasi politik diisi oleh bukan aliran idiologi sejatinya, melainkan mewakili sekte-sekte dalam idiologi agama, varian-varian semu (palsu) dari idiologi Pancasila dan sisa-sisa Dwi Fungsi ABRI yang dicerminkan melalui “kelatahan” mantan Perwira ABRI yang turut membangun Partai Politik. Sudah jelas bahwa ini adalah fragmentasi semu yang menurut saya akan membuat bingung rakyat. Pemilih bisa saja terjebak pada propaganda palsu, yakni meyakini fenomena politik “trendsetter” partai politik, para Caleg, maupun para Capres yang saat ini gemar berbicara “Anti Penjajahan Asing”. Fragmentasi politik semu ini lah yang akan meramaikan panggung pemilu 2009. bagaimanalah fragmentasi berjalan ditengah-tengah masyarakat..?

Fragmentasi Politik

Tokoh-tokoh berlatar belakang militer saat ini juga banyak terlibat (membangun) partai-partai politik sebagai alat merebut kekuasaan politik. Anehnya tokoh-tokoh berlatarbelakang militer saat ini tidak bisa bersatu dalam sebuah partai politik, yang bisa diamsumsikan mewakili kepentingan pihak militer.

Setidaknya lebih dari empat partai politik (Partai Demokrat, Partai Hanura, Partai Gerindra, PKPB, PKPI, dll) adalah partai-partai yang diisi oleh mantan pimpinan ABRI. Sejumlah elit sipil yang sebelumnya berafiliasi ke Partai Golkar (sebagai instrumen politik ABRI di masa Orde Baru) turut menyebrang, terutama ke partai-partai yang disebut di atas. Kelompok Muhamadiyah yang sebelumnya diklaim oleh PAN, kini sebagian kalangan mudanya bergeser ke Partai Matahari Bangsa (PMB). Nasib serupa dialami oleh PKB, yang setelah terbelah ke dalam PKNU, kemudian kembali terbelah akibat konflik internal (Gus Dur vs Muhaimin). Sementara PDIP, setelah perpecahan menjelang Kongres di Bali yang melahirkan PDP (Partai Demokrasi Pembaruan), tampak mulai menuai peningkatan popularitas sebagai hasil sebagai sikap oposisi loyal terhadap pemerintahan SBY-JK.

Kemunculan parpol-parpol baru dapat dipandang sebagai bagian dari fragmentasi politik, dengan terlibatnya sejumlah tokoh politik dalam membidani partai dimaksud, untuk kepentingan pemilihan presiden. Misalnya Partai Hanura untuk Wiranto, Gerindra untuk Prabowo, Partai Republiku dan beberapa partai lain untuk Sutiyoso, dll.

Kita dapat mengurai berbagai faktor yang mengakibatkan fragmentasi tersebut di atas. Namun, yang terpenting, dan menjadi persoalan umum dari fragmentasi tersebut, adalah ketiadaan ideologi yang dipegang oleh para politisi sebagai pembimbing langkah politik, menuju cita-cita kolektif rakyat Indonesia. Fragmentasi pada level elit politik ini berpotensi menjalar pada level rakyat, terutama dalam corak sosial masyarakat yang masih menganut sisa-sisa budaya feodalisme (patronase, primordial, dll). Namun kekosongan ideologi ini juga dapat menjadi potensi revolusioner (perubahan), disaat rakyat semakin kritis dan tidak puas terhadap langkah-langkah yang diambil oleh para pejabat negara maupun pemerintahan, yang mereka pilih pada pemilihan umum lalu.

Rakyat dan Aktivis Prodem Tak Boleh Bingung, Masih Ada Alternatif

Dalam situasi sekarang, ketika arus serangan neoliberalisme dibiarkan (bahkan justru dilayani untuk) merajalela oleh pemerintah berkuasa (SBY-JK), secara tidak terhindakan memunculkan berbagai kritik, ketidakpuasan, protes, dan perlawanan. Keluhan tentang kesulitan hidup telah menjadi hal yang umum bagi mayoritas rakyat, baik di kota maupun di pedesaan, dan tanpa mengenal batas keyakinan ideologi-politik. Semakin banyak rakyat (buruh, petani, pengangguran, pedagang dan pengusaha kecil, bersama keluarga dan anak-anaknya) yang terjerembab lebih dalam ke kubang kemiskinan. Semakin banyak golongan masyarakat yang melihat dan merasakan dampak dari ketidakadilan korporasi, keserakahan yang mengorbankan rakyat banyak, seperti yang ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan asing. Secara teoritis, seharusnya spektrum politik (atau ideologi) nasionalis (progresif dan konservatif), Sosialis/Kerakyatan, dan Religius Progresif, dapat merangkai sebuah platform bersama.
Harus diakui bahwa tindakan duduk bersama untuk memecahkan persoalan bangsa hampir tidak pernah dilakukan dan tidak pernah menjadi program utama partai-partai politik beserta politisi-politisinya. Politik yang dijalankan sangat mencerminkan tindakan yang pragmatis, yakni hanya sekedar mengejar kekuasaan semata. Kondisi ini mau tidak mau membuat rakyat menjadi bingung.

Rakyat Indonesia hari ini mutlak membutuhkan terobosan baru yang berani dan mendasar, dan memiliki harapan (prospek) jangka panjang untuk memperbaiki benang kusut nasib rakyat kedepan. Hampir pada setiap momentum pemilu, para aktivis berkumpul untuk membicarakan dan mengkampanyekan sebuah Gerakan Anti politisi Busuk. Efeknya adalah, semakin bertambahnya angka Golput. Ini bisa dipahami, karena para aktivis saat ini tidak pernah berbicara sebaliknya, yakni Mendukung Politisi Bersih dan Pro Terhadap Rakyat. Maka keyakinan rakyat (yang mayoritas Golput) saat ini tidak bergeser sedikitpun, yakni masih saja menganggap semua Parpol itu adalah busuk dan politisinya juga politisi busuk.

Dalam hal tetap berkomitmen berjuang merubah nasib rakyat miskin, saya menantang para aktivis untuk berani mendukung (membuat sebuah gerakan) Politisi Bersih yang Programatik dan Pro Rakyat Miskin. Wujud terobosan baru ini adalah, mengikat seluruh Parpol dan Politisinya untuk berani berbicara luas dihadapan Rakyat mengenai visi-misinya kedepan untuk perubahan nasib rakyat. Ini akan lebih jelas mengukur kesiapan para politisi dan komitmennya berjuang merubah nasib rakyat. Jika parpol serta politisi itu tidak berani mempresentasekan visi-misi dan mengikat komitmennya dihadapan rakyat, para aktivis tersebut tinggal memblacklist saja parpol dan politisi tersebut, sedangkan bagi parpol yang berani dan siap mempresentasekan dan mengikat komitmen perjuangannya, maka kemudian para aktivis dan masyarakat juga harus berani mendukungnya. Mudah-mudahan borok-borok kepalsuan parpol-parpol dan politisi yang selalu mengatasnamakan rakyat dalam berbicara tapi tidak dalam tindakan, akan terasing dari rakyat Indonesia. Bagi saya, wacana ini layak dipraktekkan, sebagai embrio politik alternatif kedepan, untuk kesejahteraan rakyat sesejati-sejatinya.


Sekretaris Wilayah Serikat Tani Nasional (STN) Sumatera Utara, dan Mahasiswa FISIP UT – UPBJJ Medan
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger