MENCARI SOSOK ALTERNATIF DALAM PEMILU 2009

Oleh: Randy Syahrizal *)

Pemilu 2009 akan digelar pada 9 April 2009. Sebuah ritual demokrasi yang secara rutin digelar 5 tahun sekali ini menjadi babakan baru bagi lembaran sejarah pemerintahan di Indonesia. Kemajuan space demokrasi yang tak terhempang telah mewujudkan sebuah sistem pemilihan langsung secara umum bagi rakyat, baik dalam memilih anggota parlemen(DPR/DPRD Propinsi/DPRD kab/Kota) maupun pemerintahan (Eksekutif/Kepala Daerah) serta Presiden.

Sistem pemilihan secara langsung ini berawal dari asumsi mencari sosok pemimpin alternatif ditengah keberadaan elit-elit politik lama yang telah di vonis gagal dalam menyejahterakan rakyat selama bertahun-tahun. Asumsi ini juga dilatarbelakangi oleh kemuakan berbagai pihak, khususnya bagi elit-elit politik pro status quo dan orde baru, baik di Jakarta maupun dibeberapa daerah lainnya. Efek Reformasi 1998 memang telah menyumbangkan paradigma positif, khususnya bagi keterbukaan trend-trend maupun mainstream politik. Sejak reformasi bergulir, isu politik yang paling bertahan menjelang pemilu adalah soal sikap anti terhadap politisi busuk dan elit politik berlatar belakang militer.

Pemilu Paska Reformasi: Memusuhi Politisi Busuk
Meskipun kalimat “Gerakan Anti Politisi Busuk” sudah ramai diperbincangkan dalam seminar-seminar, lokakarya, pelatihan-pelatihan, pendidikan politik, kursus-kursus politik, maupun debat-debat politik, tapi belumlah menjadi sebuah wacana yang konkret dengan melahirkan solusi yang baik. Alhasilnya, konsolidasi-konsolidasi yang biasanya massif diselenggarakan setiap akan diselenggarakannya pemilu tersebut hampir menjadi sia-sia.

Secara garis besar, hasil-hasil perdebatan/perdiskusian pada forum-forum diatas adalah menemukan formula politik baru yang berkemampun memobilisasi, menyadarkan, bekerja dalam praktek nyata, fleksibel dalam menghadapi perubahan iklim politik, bertahan (resisten), dan berkemampuan dalam melahirkan sosok-sosok politisi alternatif, ataupun melahirkan alat-alat politik alternatif. Namun gagasan tersebut, meskipun tengah berjalan, juga menuai hasil yang belum maksimal. Kendala utama selain karena adanya upaya penggagalan dari kelompok reaksioner yang anti terhadap demokrasi (seperti contoh kasus kekerasan yang dilakukan FPI (Front Pembela Islam) dan FBR (Front Betawi Rempug) terhadap massa aksi PAPERNAS di Jakarta), maupun kendala yang datangnya dari internal gerakan itu sendiri, yakni tidak konsisten dan tidak setianya kaum pergerakan dengan buah hasil pemikirannya sendiri. Kesimpulannya secara singkat adalah “Berani berpikir tapi tidak berani bertindak.”

Politisi busuk memang seperti momok yang sangat menakutkan. Namun kata-kata seperti Politisi busuk perlu dijelaskan secara detail, jika ingin ditujukan kepada masyarakat. Gunanya tak lain adalah agar masyarakat luas mengerti dan memahami kata-kata tersebut. Saat ini, wacana tersebut berhenti ditengah jalan. Kegagalan yang paling utama dalam gerakan anti politisi busuk adalah karena gerakan tersebut tidak “berani” menunjuk elit-elit politik yang masuk dalam kategori elit politik busuk. Sehingga masyarakat kesulitan dalam mengenali wajah-wajah politisi busuk, yang seharusnya dibusukkan agar tidak lagi berkuasa. Yang paling menggelikkan adalah pantun-pantun atau kalimat-kalimat jenaka yang dikeluarkan dengan maksud menyindir, akan tetapi tidak memiliki muatan politik alternatif sedikitpun, misalnya “Pemilu 1999 memilih kucing dalam karung, Pemilu 2004 memilih maling secara langsung”.

Persoalan tersebut, secara pasif sebenarnya ingin mengajak masyarakat untuk melupakan pemilu (golput), karena hasilnya akan sama saja. Inilah yang saya maksud dengan ketidakkonsistenan cara berpikir dan bertindak.

Gelora Pemimpin Alternatif 2009: Dapatkah diterima Rakyat..?
Paradigma alternatif memang hal yang baru, jika Orde Baru sebagai ukurannya. Kita bisa pastikan bahwa tidak ada alam demokrasi dalam pemerintahan Orde Baru. Celakanya, sosok-sosok kritis dengan begitu cepat dibungkam dengan tembok penjara, penculikan maupun penembakan misterius (petrus). Begitulah adanya, sehingga embrio “alternatif” berjalan lamban dan tidak dinamis.

Seharusnya, dengan berkembangnya alam liberalisme politik di Indonesia, politik alternatif mudah untuk berkembang subur. Namun tidaklah mudah bagi rakyat untuk mengetahui dan memahami keseriusan dan tujuan-tujuan fundamental gerakan alternatif itu sendiri.

Dalam tekanan krisis ekonomi yang mengglobal dan negara dunia ketiga sebagai subjek utama penderitanya, politik populis memang menjadi “jualan” yang menjanjikan bagi partai-partai politik beserta politisinya. Ada 38 partai politik nasional yang bertarung dalam pemilu 2009, dan sebagian besar dari mereka tak lagi gemar memainkan propaganda abstrak dan tak populis. Tingkat kesadaran dan kekritisan rakyat memang sedang ditempah dengan keberadaan gerakan ekstraparlemen (aktivis pro-demokrasi) yang terus memajukan jalan keluar dari persoalan-persoalan mendesak rakyat. Meskipun dibilang celaka, karena pada akhirnya sebagian besar partai politik menumpang ketenaran dalam situasi tersebut, dengan berlagak “seolah-olah” berpihak pada rakyat, dan tanpa rasa malu menimbun kebobrokan dan kegagalan-kegagalannya dengan menerbitkan iklan-iklan politik yang populis.

Kenyataan ini sangat wajar dalam sejarah perkembangan masyarakat. Situasi objektif yang sedemikian rupa, memang memaksa siapapun (terutama politisi) untuk lebih aktif berbicara rakyat. Namun yang paling penting adalah bagaimana melahirkan program-program jangka pendek (mendesak) untuk menjawab problem-problem masyarakat. Dalam kenyataan sebagian besar Parpol-parpol yang berlagak bagaikan Dewa penyelamat, seharusnya gerakan ekstra parlemen (aktivis pro demokrasi) mengambil peran aktif ditengah-tengah masyarakat untuk menjelaskan dan membimbing kesadaran rakyat agar memahami gelora alternatif tersebut. Adalah sebuah kabar gembira dimana banyak aktivis-aktivis pro-demokrasi sudah memandang penting arti sebuah pemilu sebagai mekanisme suksesi kekuasaan dan masuk dalam arena tersebut, baik sebagai Capres, Caleg/Caleg DPD dll. Ini adalah langkah maju untuk memahami makna penting merebut kekuasaan dalam arena pemilu.

Kekuasaan jika berada ditangan orang-orang yang menaruh perhatian serius terhadap persoalan-persoalan rakyat, pastilah menjadikan kekuasaan sebagai jalan untuk kesejahteraan. Ini adalah sebuah refleksi panjang, dan jawaban dari kegagalan reformasi 1998.

Tak berlebihan kiranya jika seruan-seruan untuk memilih pemimpin berwajah baru dan memiliki visi-misi yang konkret dan kerakyatan, dikumandangkan dalam setiap seminar-seminar, diskusi, debat-debat dan ruang-ruang lainnya. Politisi lama sudah terbukti gagal, dan masa depan politik alternatif ada ditangan kita semua. Mendukung politik alternatif untuk perubahan atau tetap meyakini dan mengikuti politik feudal/patronase untuk langkah kemunduran, semua memang terserah kepada rakyat. Semoga dengan berkembangnya perpolitikan nasional saat ini bisa mengugah hati rakyat untuk dapat memahami mana politik alternatif/populis sejati dan yang gadungan. Wallahuaa’lam.

*) Penulis adalah Koordinator Politik Sukarelawan Perjuangan untuk Pembebasan Tanah Air (SPARTAN) Siantar-Simalungun dan Aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) P. Siantar
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger