Surat untuk Fina

Fina. Nama mu bagus sekali. Aku mengira bahwa jatuh cinta adalah lelucon buatku. Apa lagi sampai mencintaimu, tidak mungkin rasanya. Ada baiknya rasa kagum ini hanya kusimpan didalam hati. Menikmatinya sendiri barangkali sudah lebih dari cukup. Aku tak berani mengutarakannya. Aku takut kehilangan banyak waktuku hanya untuk mengumbar sayang bersama mu. Itupun jika kau mau menerima ku. Tapi sudahlah, aku sudah putuskan untuk tidak melanjutkannya.

Aku adalah makhluk iseng yang sangat rajin memantau hari-hari mu. Meski sedang berdiskusi pun, pandanganku tak kubiarkan lupa melirikmu. Mungkin ini lah sedikit kebahagiaan yang masih kupunya.

Aku sering membayangkan bahwa kau bisa berjalan bersamaku disetiap waktu, bahkan disaat-saat paling terik dan lelah sekalipun. Aku pernah membayangkan betapa tidak terasanya lelah berjalan kaki saat longmarch menuju kantor gubernur dan gedung dewan, jika tanganku menggenggam tanganmu. Lalu kita bersama-sama meneriakkan yel-yel dan tuntutan. Aku tahu ini sangat sulit, terutama bagimu, seorang anak Pejabat Esselon II.

Fina, mungkin kau masih ingat saat kakimu bergetar dan rasa cemas hinggap di kepala mu, saat itu mobil orang tua mu sedang melintasi barisan massa aksi dan melihatmu tengah mengepalkan tangan kiri dan meninjunya ke awan. Saat itu juga telepon genggam di saku mu berdering, dan kau takut untuk menerimanya. Karena panggilan itu kau tolak, orang tua mu kemudian mengirim pesan singkat. Kalau aku tidak salah ingat, kira-kira isinya begini “ngapain kamu disitu? Kenapa tidak kuliah?”

Saat itu juga kamu langsung panik, dan bertanya padaku bagaimana kalimat yang baik untuk menjelaskannya kepada orang tua mu. Aku hanya menjawab senyum, kemudian aku katakana kepada mu, hal itu juga aku alami. Aku sendiri hanya menjawab ringan. Aku bilang pada orang tua ku, bahwa aksi demo adalah tradisi mahasiswa. Cukup sederhana bukan..? waktu itu aku malas menjawab dengan panjang lebar. Aku tahu orang tua ku tidak begitu peduli dengan aktifitas ku. Mereka lebih pusing memikirkan cara-cara bertahan hidup dihari-hari esok dan masa-masa mendatang. Untuk kesulitan hidup dimasa pemerintahan kita yang pro pasar bebas, orang tua ku lebih menaruh harapan pada demo-demo mahasiswa.

Aku tak ingat persis alasan mu bergabung dalam gerakan mahasiswa. Tapi yang aku ingat, bacaan-bacaan kritis mulai digemari mahasiswa saat itu. Dikantin-kantin selalu aja ada beberapa mahasiswa yang selalu berdiskusi mengenai persoalan-persoalan rakyat. Wacana-wawacana kritis begitu menghegemoni pemikiran mahasiswa dikampus kita, meskipun jumlahnya masih sangat minoritas. Tapi jika aku ingat-ingat seluk beluk tentang dirimu, paling tidak, kau lebih beruntung dalam banyak hal dibanding aku. Kau lahir dalam keluarga yang berkecukupan, punya fasilitas belajar yang baik, punya laptop, punya uang buat beli buku-buku terbaru, punya uang buat makan teratur meski kau sedang diluar rumah, dan punya banyak teman yang selalu mengingatkanmu untuk tetap fokus menyelesaikan kuliah. Untuk semua hal yang aku sebut diatas, aku patut cemburu.

Tahun 2006 aku berangkat ke kota Yogyakarta. Waktu itu aku sudah berjanji membantu pengerjaan skripsi mu. Aku tahu bahwa tidak ada kepastian kapan aku pulang, dan kau juga sadar betul tentang itu. Kau sempat marah pada ku dan memintaku untuk menjanjikan batas waktu. Tapi kau juga harus tahu, bahwa untuk memastikan itu, aku sungguh tidak mampu. Aku hanya sanggup berjanji akan menjadi teman diskusimu melalui telepon. Dan kita pun menyepakatinya.

Saat itu, waktu mendekatkan kita, mempererat kebersamaan kita. Waktu telah mengijinkan aku mengenalmu lebih jauh disebuah desa, saat kita sama-sama bertugas mengorganisir perjuangan sengketa tanah antara petani dan perusahaan asing. Aku ingat betul, kita bisa begitu dekat sekaligus bisa begitu sangat jauh. Dan waktu memperkenalkan kita akan kerinduan, sesuatu yang sangat indah untuk selalu di ingat.

Tiga bulan kemudian aku kembali menemuimu. Dan seperti dugaanku sebelumnya, kau pasti sanggup menyelesaikan penelitianmu dengan baik. Saat-saat tiga bulan, kita melaluinya dengan komunikasi yang terkadang datar dan kaku. Kau selalu membuka percakapan tentang tema skripsi, dan terkadang kita tak jarang berselisih pendapat. Tapi itu sangat berkesan buatku.

Dua jam yang lalu, aku kirim pesan singkat “semoga aku bisa menemuimu 3 jam mendatang” dan kau langsung menelpon ku. Kau bilang kabar itu adalah hal yang menggembirakan, dank au berjanji menjemputku di bandara. Untuk kemurahan hatimu aku ucapkan terima kasih.

Aku sangat terkesan bisa bertemu kau pertama sekali di kota kita, dank au benar-benar menepati janjimu. Kau tersenyum, dan aku membalas seadanya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menganggap pertemuan itu adalah pertemuan yang biasa, yakni pertemuan antara kawan dengan kawan, meski secara jujur aku sangat senang dengan momen itu. Pelan-pelan aku mulai jatuh hati kepada mu. Tapi beberapa alasan kemudian masuk ke kepalaku untuk menghilangkan rasa ketertarikan itu.

“Kau kenapa..? kau sakit..? kenapa makin pucat..?”

Tiga pertanyaan yang saling berhubungan itu masih tersimpan baik di memori kepalaku. Aku jawab, “ah gak apa-apa kok.” Setelah menjawab pertanyaan itu, aku hanya diam. Sebenarnya aku berharap kau bertanya terus tentang apa pun . P aling tidak, aku ingin sekali kau rewel di hari itu. Dan benar saja, kau bertanya lagi.

“Kau kenapa sih..? kok diam terus..? kayak baru kenal aja..”

Aku tahu kita sudah saling kenal. Tapi aku baru sadar untuk tidak lagi mengenalmu secara biasa. Karena alasan itu lah aku gugup. Tapi alasan ini tidak aku ceritakan kepadamu saat itu. Waktu itu aku hanya menjawab “aku lapar..” dengan alasan itu kami pun berjalan menuju rumah makan.

Hari itu tanggal 12 Februari. Keesokan harinya aku sudah harus pergi ke Tarutung, sebuah kota kecil di Tapanuli Utara. Makanan yang terhidang sudah aku habiskan. Aku ingin memesan kopi panas.

Sementara kau membuka lagi percakapan soal skripsi. Aku kaget. Ternyata kau merubah judul skripsinya. Tema sebelumnya tentang keterwakilan perempuan dalam pemilu diganti dengan sengketa tanah di desa tempat kita bertugas. Awalnya aku sempat berpikir bahwa kau menyerah dengan tema sebelumnya, dan mencari jalan singkat dengan merubah judul. Pastinya sangat mudah bagimu menguraikan tema sengketa tanah, karena banyak data dan banyak orang yang dapat kau gali informasinya sebanyak mungkin. Tapi ternyata aku salah.

Satu jam kemudian kita pisah. Kau pulang kerumah dan aku ke sekretariat menemui kawan-kawan yang juga sudah menunggu dari tadi. Hari sudah malam rupanya. Sebelum tidur, kau masih sempat mengirim pesan singkat untuk membuat janji ketemu lagi esok hari. Dan aku setujui.
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger