Dan ini adalah cerita
singkat, sederhana, tentang konsumsi melebihi tingkat produksi.
Salam, Randy Syahrizal
Pelecehan Muncul Karena Keinginan Konsumsi Jauh diatas Kemampuan Produksi
Ah, hujan tak kunjung reda rupanya. Aku tak bisa
beranjak dari tempat ini. Butuh beberpa waktu lagi menunggu sampai reda. Aku
coba bertahan saja. Aku tahan kebosanan dan aku coba hiraukan suara-suara usil
itu. Tapi semakin aku bertahan berdiam, suara itu semakin gencar. Bahkan tak
kenal menyerah. Selalu saja merayuku untuk menyebut nama. Andaikan aku sebut,
apa lagi yang dimintanya..? apa harus aku ladeni orang itu..?
Jujur aku tak punya banyak waktu untuk hal ini.
Tapi aku tak punya pilihan. Aku mulai berpikir bahwa kebisingan ini akan
selesai jika aku ladeni. Baiklah, aku coba untuk meladeninya.
“Sombong amat sih, namanya siapa..?” ujar salah
seorang pria dari ketiga pria yang duduk dibelakangku.
Dengan berat hati aku jawab juga,
“Nia..” kataku.
“Mau kemana Nia..? Mau dianterin gak..? abang bawa
mobil tuh..” sambung lelaki itu.
Benar dugaanku, kebisingan ini tak berhenti
sebatas nama. Ini sudah terlanjur, terpaksa aku teruskan menjawabnya. Jujur,
aku sudah ketakutan. Hanya ada kami berempat di warung kopi itu.
“Mau pulang..” jawabku singkat.
“Diantar ya..”
“Gak usah, trima kasih” sambil melempar senyum kecil.
“Wah senyumnya manis.” Celetuk dari pria disebelahnya.
Aku mulai merasa tak nyaman. Aku teringat kisah
teman kos ku yang tak sengaja melihat kamar kos tetanggnya milik mahasiswa yang
mempermainkan kelaminnya karena melihat tontonan porno. Aku lantas teringat
perkataan temanku bahwa lelaki bisa terangsang lewat pandangan. Astaga, aku
kaget. Jangan-jangan ada yang salah dengan dandananku. Kali ini aku semakin tak
nyaman, dan aku putuskan bergegas menuju toilet.
Aku bercermin dan memperhatikan pakaiannku. Aku
pikir cukup sopan. Aku memakai kemeja lengan panjang berwarna putih dan rok
hitam panjangnya sedengkul. Rambutku terikat, dan bagiku tak ada yang aneh.
Tapi kenapa komplotan pria itu melihatku seperti mangsa..?
Aku bekerja sebagai pengantar minuman disebuah
karaoke keluarga. Aku cukup tahu menjaga kesopanan. Aku lulusan SMK Pariwisata,
tak punya biaya buat melanjutkan kuliah. Bagiku kerja adalah mulia. Manusia
yang baik adalah manusia yang bekerja, karena dengan kerja, kemanusiaannya akan
terbentuk.
Aku adalah pekerja, menggunakan tenaga dan
pikiran, setidaknya selalu berpikir ramah kepada semua pelanggan, meskipun ada
diantara mereka yang kurang ajar sekalipun. Itulah kerja ku, dan aku di program
untuk menjadi makhluk paling ramah. Ini kulakukan karena kepatuhanku pada
atasan, karena dia selalu bilang kepada kami bahwa keramahan adalah kunci
kesuksesan usaha ditempatku bekerja.
Aku kembali tak menghiraukan lagi ocehan
lelaki-lelaki itu. Semakin lama ocehannya semakin keji. Semakin membuatku
telanjang dihadapan mereka. Meskipun terdengar bisik-bisik, tapi sangat jelas
ditelingaku. Mereka sedang membahasku seperti yang ada di tontonan porno. Wah,
keterlaluan. Aku harus pergi dari tempat ini.
Aku pergi ke meja kasir dan membayar minumanku.
Seorang yang banyak bicara dari tadi menghampiriku dan..
“Mau pulang..? kan masih hujan..”
Aku diam saja. Dan bergegas pergi, tapi lelaki itu
menarik tanganku. Dia meminta akan mengantarku. Aku tidak mau dan menarik keras
tanganku dari pegangan tangannya. Aku tak terima diperlakukan begitu. Karena
menurutku ini pelecahan, aku balik dan menatapnya tajam..
“Ku peringatkan kau, jangan kurang aja kepada wanita.”
Lelaki itu hanya membalas dengan senyuman.
“Aku hanya ingin menolong.” Bela lelaki itu.
“Aku sudah bilang, aku bisa pulang sendiri.” Aku
langsung membuang wajahku dari depan wajahnya dan berbalik badan menuju bibir
jalan. Aku tak perduli hujan membasahi tubuhku, niatku hanya satu, cepat-cepat
pergi dari ocehan-ocehan itu.
“Wah, transparan cuy..bulat bener..hahahhahahha”
lelaki yang banyak bicara itu kembali melontarkan ocehannya.
Astaga, bajuku tembus pandang karena tersiram
hujan. Aku panggil becak dan bergegas pulang.
Tiba lah aku di kamar kecil yang aku sewa untuk
hidup di kota Medan. Aku berpapasan dengan Meli, tetanggaku.
“Mandi hujan dimana..?” sambil terssenyum sedikit mengejekku.
“Kehujanan dijalan, tadinya berteduh diwarung kopi depan karaoke.”
“Warung kopi yang besar atau yang kecil..? Tanya Meli kembali.
“Yang besar.”
“Oh, tempat nongkrongnya Tubang (Tua Bangka/Lelaki berumur mata keranjang).”
“Oh ya, aku gak tau. Pantesan tadi ada 3 orang
laki-laki melihatku seperti mangsa.”
“Mereka berani bayar mahal tuh.”
“Maksudnya..?” tanyaku memperjelas.
“Yah anak-anak kalau gak sanggup bayar hutang
larinya juga kesitu. Mereka mau melunasi hutang dengan imbalan temani dia
semalam.”
“Najis. Aku gak tipe kayak gitu.”
“Syukur lah..” kata Meli singkat.
Aku membilas rambut dan bergegas menuju kamar.
Didalam kamar, aku masih saja kepikiran kata-kata Meli barusan. Aku teringat
Rahel, gadis kecil di depan kamarku. Umurnya 17 belas tahun, dan masih sekolah.
Gaya hidupnya persis artis, semua hal ingin dibeli, dari yang aku tau fungsinya
sampai yang aku tak tahu lagi apa kegunaannya. Dia selalu tunjukkan
barang-barangnya padaku. Dan dia selalu mengaku dikirim oleh Om nya di luar
kota.