
Kita tentunya masih ingat pada Trisakti Bung Karno, 
yakni mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik dan 
berkepribadian di bidang kebudayaan. Bung Karno mengaitkan kebudayaan 
dengan ekonomi dan politik. Bahkan, dalam perjuangan kebangsaan, 
ketiganya tak dapat terpisahkan. Kebudayaan tidak bisa lepas dari sistem
 ekonomi politik yang sedang berkuasa di satu negeri. Kesimpulan inilah 
yang akan membimbing beberapa uraian dalam tulisan singkat ini.
Masa Penjajahan
Belanda dengan kongsi dagangnya (VOC) yang di pimpin oleh Cornelis De
 Houtman memasuki bumi Nusantara (1595), mendarat di Banten dengan 
tujuan merampok kekayaan alam dengan kedok berdagang rempah-rempah. Pada
 awal abad ke 17 (tahun 1602), kedok itu terbuka. Parlemen Belanda 
menabalkan
 VOC sebagai wakil dari pemerintahan Belanda, yang bertugas untuk 
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Nusantara dan mengisi kas 
Belanda yang pada masa itu sedang menghadapi perang dengan Spanyol.
Dalam usaha mempertahankan dominasinya, VOC merasa perlu melakukan 
penyelidikan kebudayaan masyarakat Nusantara. Awalnya para misionaris 
dibebankan tugas untuk melakukan penelitian terhadap kebudayaan dan 
masyarkat Nusantara. Kegiatan tersebut tidak berjalan dengan baik karena
 pemuka agama Islam dengan cepat mengantisipasinya dengan cara 
menghalang-halangi misionaris masuk ke daerahnya.  Pada tahun 1778, 
Inggris menyerbu Jawa, dan kekuasaan VOC direbut oleh Inggris. Raffles 
ditunjuk sebagai Gubernur Jendral. Raffles mempunyai perhatian serius 
terhadap kajian ilmu pengetahuan dan kajian terhadap masyarakat Jawa. 
Raffles mendirikan 
Bataviasche Genootschap van Kusten en Westenscappen sebuah lembaga penelitian yang akan bekerja untuk mempelajari bahasa, hubungan sosial, adat dan kebudayaan masyarakat Jawa. Dari data-data yang telah dikumpulkan lembaga tersebut
, Thomas Stamford Raffles menulis ”History of Java” pada abad ke 19.
Kesimpulan masyarakat Jawa kuno seperti yang dilukiskan Pramoedya dalam tetralogi 
Pulau Buru
 dengan mengutip Mpu Tantular menerangkan bahwa bangsa Jawa adalah 
masyarakat yang mudah menyesuaikan diri akibat peristiwa 
peperangan-peperangan masa lalu (konflik Mahayana dan Hinayana dalam 
Budha) yang banyak memakan korban nyawa, yang akhirnya melahirkan watak 
kompromi, karena hanya ada dua pilihan bagi bangsa yang kalah, yakni 
menyesuaikan diri atau melarikan diri. Kompromi ini juga bisa di lacak 
dari penggabungan dua keyakinan, yakni Wangsa Syailendra yang Budha dan 
Wangsa Sanjaya yang Hindu, hingga melahirkan Shiwa Budha ditandai dengan
 perkawinan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Untuk persatuan Shiwa – 
Budha, dalam kitab Sutasoma, Mpu Tantular Menulis: ”Siwa Budha Bhineka 
Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa”.
Akhirnya, Jawa juga menyesuaikan diri dengan pemerintahan kolonial 
Belanda, dengan menerima beban pajak, sewa tanah, tanam paksa 
(culturstelsel), dan hukum kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda
 mereorganisasi tatanan pemerintahan raja-raja di Jawa dalam beberapa 
jabatan kepegawaian, yakni: Bupati, Wedana dan Asisten Wedana yang 
semuanya berada dibawah kendali Gubernur Jenderal Hindia Belanda di 
Buitenzorg (Bogor).
Untuk mengukuhkan kekuasaannya, Belanda mendirikan sekolah–sekolah 
berbahasa Belanda, menyebarkan agamanya (Kristen), mengeluarkan hukum 
kolonial untuk mengadili perkara pribumi, mengajarkan 
kebiasaan–kebiasaan Belanda sebagai kebiasaan yang terpuji dan beradab, 
mengeluarkan paket kebijakan rasial yang intinya rakyat pribumi 
berkedudukan lebih rendah dari peranakan Belanda (Indo) dan Belanda 
totok, dan menghegemoni pikiran masyarakat pribumi dengan koran-koran 
berbahasa belanda.
Koran sebagai produk kebudayaan mempunyai arti penting dalam 
menundukan kebudayaan suatu bangsa. Didalam koran terbitannya sendiri, 
Belanda selalu memuji-muji pemerintahannya yang lebih baik daripada 
pemerintahan raja-raja Jawa yang memandang rendah kemanusiaan, gemar 
kawin dan berlaku bebas untuk mengambil anak gadis siapa saja yang 
hendak di peristrinya. Belanda mengutuk kekuasaan raja-raja jawa 
terdahulu dengan memberi label ”terbelakang dan biadab”, sementara 
dibawah pemerintahannya, Hindia Belanda menjadi beradab. Pendeknya, 
koran dijadikan media untuk membenarkan apa saja yang diperbuat 
pemerintahan Belanda.
Dalam hal ini, Belanda sudah mengukuhkan kebudayaan baru yang hendak 
ditujukan untuk menghabisi kebudayaan lama. Generasi awal intelektual 
Indonesia pun memuji-muji kemajuan Belanda dan Eropa, serta enggan 
berpakaian daerah (Jawa) dan lebih menyukai cara berpakaian Belanda, dan
 juga menulis dalam Belanda. Sedangkan bahasa Melayu di cap sebagai 
bahasa terbelakang dan hanya dipakai oleh rakyat pribumi yang 
terbelakang.
Perjuangan Membangun Kebudayaan Nasional di Zaman Pergerakan
Sumpah Pemuda (1928) adalah sebuah tekad untuk membentuk 
nation
 yang mempunyai arti penting dalam perkembangan membangun kebudayaan 
nasional. Satu bahasa Indonesia adalah tekad meruntuhkan dominasi bahasa
 Belanda sebagai bahasa penguasa, dan menjadikan bahasa Melayu (yang 
disempurnakan) menjadi bahasa persatuan nasional, menjadi bahasa 
pergerakan, dan bahasa perjuangan untuk kemerdekaan.
Perjuangan untuk mengukuhkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan 
(resmi) juga mengalami perdebatan yang panjang. Periode 1935–1939 adalah
 masa penyempurnaan bahasa Indonesia dengan beberapa karya tulis dari 
intelektual Indonesia sebagai bahan acuannya, antara lain, karangan St. 
Takdir Alisyahbana, Amrin Pane, Amir Hamzah dan angkatan Balai Pustaka 
lainnya. Sebelum periode ini, beberapa tulisan Bung Karno dan Bung Hatta
 masih merupakan bahasa campuran, yakni bahasa Melayu bercampur Belanda.
 Lalu diadakan kongres Bahasa Indonesia di Solo pada tahun 1938 untuk 
menyempurnakan bahasa Indonesia.
Sejak Medan Priyayi merintis kelahiran koran pribumi dan dapat 
diterima baik oleh rakyat pribumi, beberapa koran berbahasa melayu pun 
bermunculan dan berposisi sebagai 
organ-nya organisasi 
pergerakan, seperti Pewarta Oemoem (Parindra), Adilpalametra dan 
Toentoenan Desa (Budi Utomo), Oetoesan Hindia (SI), Sinar Djawa dan 
lain-lain. Koran pribumi adalah 
counter opini dari koran-koran Belanda yang pro pada kepentingan politik dan akumulasi modal Belanda.
Pada masa pendudukan Jepang, lagu-lagu perjuangan menjadi bagian yang
 tak kalah penting dalam menyuarakan kemerdekaan kepada rakyat pribumi. 
Tahun 1942, saat negara sekutu dikalahkan oleh Jepang, lagu Indonesia 
Raya yang diciptakan oleh WR. Supratman dikumandangkan radio pusat di 
Jakarta. Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang juga 
mengumandangkan lagu tersebut bersamaan dengan lagu 
Nippon Hosyo Kanri
 di radio Jepang yang berpusat di Tokyo. Tapi ternyata kegiatan itu 
hanya berlangsung singkat dan hanya bertujuan untuk menjinakkan bangsa 
Indonesia, dan segera melarangnya saat bangsa Indonesia tengah serius 
menyempurnakan kemerdekaannya dengan membentuk sistem pertahanan rakyat.
 Jepang yang sejak semula ingin berkuasa atas Asia lantas menghentikan 
sandiwara empati tersebut, dan menggantikannya dengan kewajiban 
mengumandangkan lagu ”Kimigayo” dalam setiap upacara kenaikan bendera 
Jepang.
Lahirnya lagu-lagu perjuangan Indonesia seperti ”Maju Tak Gentar” 
yang diciptakan oleh Cornel Simanjuntak, ”Satu Nusa Satu Bangsa” ciptaan
 Liberty Manik, ”Berkibarlah Bendera-ku” ciptaan Bintang Sudibyo (Ibu 
Sud), ”Syukur” ciptaan Husein Mutahar, dan ”Halo-halo Bandung” ciptaan 
Ismail Marzuki adalah hasil dari persatuan seniman yang tergabung 
didalam Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) pada tahun 1942 yang 
dipimpin oleh Sanusi Pane dan Mr. Sumanang, dan nama-nama diatas yang 
juga menjadi pengurusnya.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, tantara NICA (Belanda) masuk 
kembali ke Indonesia dengan membonceng pada pasukan sekutu yang 
dikomandoi Inggris selaku wakil negara sekutu pada tahun 1945. Dua tahun
 kemudian muncullah ketegangan yang berlanjut pada Agresi Militer 
Belanda pertama dan setahun kemudian tindakan yang sama terulang yakni 
Agresi Militer Belanda ke II. Lagu-lagu perjuangan seperti yang tersebut
 diatas juga berperan penting dalam membakar semangat juang tentara 
rakyat yang masih bayi, laskar-laskar rakyat dan pemuda-pemuda Indonesia
 untuk berjuang mengangkat senjata membela dan mempertahankan 
kemerdekaan.
“Imperialisme Budaya” dan peran Media Massa
Herb Schiller dalam 
Communication and Cultural Domination berpendapat
 bahwa kemunculan teori Imperialisme Budaya dapat dilihat dari dominasi 
barat atas media diseluruh dunia. Barat sebagai perwakilan kekuatan 
modal, dengan kekuatan modalnya menguasai pemberitaan di dunia ini. 
Mereka cukup mempunyai akses diseluruh dunia, begitu juga dengan 
jaringannya. Dengan kecanggihan tekhnologi, kekuatan modal dan luasnya 
jaringan, media barat menjadi sangat mengesankan bagi dunia ketiga.
Barat kemudian meracuni alam pikiran rakyat dunia ketiga dengan 
berita-beritanya yang mewakili kepentingan korporasi modal dunia, 
menyensor berita-berita perjuangan rakyat dunia ketiga dan berita-berita
 lain yang menentang dominasinya, menyensor berita bahkan tidak 
memberitakan kejahatan-kejahatan yang dilakukannya (seperti kudeta 
terhadap Hugo Chavez tahun 2002), membelokan sejarah dengan film-filmnya
 (seperti film perang Vietnam misalnya), meracuni para pemuda dengan 
style berpakaian 
ala mereka, berpenampilan 
glamour, budaya
 kekerasan liar, gengster, mafia, sex bebas, narkoba, menayangkan 
kedermawanan mereka terhadap orang miskin dengan tayangan reality show 
dll.
Kehebatan media barat dengan propaganda massif yang terus menerus di 
konsumsi oleh negara dunia ketiga akan berbuah menjadi pengekoran, yakni
 peniruan secara vulgar apa-apa saja yang mereka lihat dan ditayangkan 
dalam kehidupan sehari-hari. Proses peniruan ini terjadi tanpa sadar dan
 nyaris berjalan tanpa 
counter yang sepadan. Proses peniruan inilah yang menghancurkan budaya asli negera dunia ketiga.
Kita tentunya masih ingat bagaimana media barat mempropagandakan 
”terorisme dan penjahat perang” serta merasionalisasi tindakan AS 
menginvasi Irak sebagai upaya menciptakan demokrasi di Irak, begitu juga
 di Libya, Afghanistan, dan yang baru-baru ini sedang menghangat, yakni 
ketegangan AS dengan Iran dan Korea Utara. Begitulah media barat 
menyebarkan kebohongan-kebohongan di pikiran rakyat dunia ketiga.
Media barat juga mengkampanyekan 
”klub malam” sebagai gaya 
hidup kaum profesional, sebagai hiburan pelepas penat bekerja, 
merendahkan derajat perempuan dengan menjadikannya bintang iklan mobil 
mewah (berpose seksi dengan menari eksotis dibadan mobil), 
mengkampanyekan kelestarian alam dan hutan padahal perusahaan mereka 
adalah pelaku pembalakan liar, menghapus ingatan sejarah dengan 
cerita-cerita kepahlawanan super hero dari negeri paman Sam, hingga 
anak-anak di Indonesia lebih mengenal 
Spider Man ketimbang Untung Suropati yang gagah berani, lebih mengenal 
Cat Women ketimbang Kartini dll.
Sepak terjang media barat yang begitu hebat dan massif juga di 
jadikan standard oleh media massa kita.
Stasiun TV kita misalnya, 
berlomba-lomba mirip dengan media barat. Bahkan beberapa acara memang 
sengaja di impor ke Indonesia, seperti 
Indonesian Idol, Take Me Out dan Xfactor
 misalnya. Begitu juga dengan perfilm-an kita, yang ramai-ramai 
memproduksi film horror dengan kombinasi cerita porno di dalamnya. 
Tayangan-tayangan yang menjauhkan orang miskin dari kesadaran kritisnya,
 dipelopori oleh tayangan reality show yang ber-empati terhadap orang 
miskin dan mengaburkan masalah kemiskinan menjadi persoalan takdir hidup
 dan tidak menyentuh akar persoalannya yakni tanggung jawab negara 
menyejahterakan rakyat-nya. Dan banyak lagi yang teramat panjang untuk 
disebutkan satu persatu.
Saya sendiri merasa beruntung pernah hidup di zaman Soeharto, dan 
besar di era reformasi. Paling tidak, peristiwa 1998 masih hangat 
diperbincangkan di kampus-kampus, termasuk kampus tempat saya kuliah. 
Saya ingat saat pertama kali bergabung kedalam organisasi pergerakan di 
USU, dan rangsangan itu saya terima karena peristiwa 1998 menjadi 
atmosfir dalam pergerakan mahasiswa. Sekarang, setelah 11 tahun berlalu,
 peristiwa itu tak lagi menarik dan hangat, tidak lagi menjadi atmosfir,
 dan dikalahkan dengan komunitas 
Sahabat NOAH, kelompok fans artis dan band 
”ngak-ngik-ngok” dan yang tak kalah hebatnya, fenomena 
K-Pop
 yang ditiru habis-habisan, mulai dari musik, pakaian, sibak rambut, 
sampai apa saja yang berbau Korea (juga film bersambungnya).
Perjuangan kebudayaan di Indonesia memang akan menjadi berat, 
terutama karena saat ini yang sedang dilawan adalah ”Imperialisme 
budaya” yang berbentuk Industri (komersil) yang mengedepankan laba 
(keuntungan) dan pelipatgandaan keuntungan (akumulasi). Yang dilawan 
saat ini adalah dominasi kebudayaan ala ”Amerika” yang mengedepankan 
”life style” rupanya tengah menjerumuskan rakyat dunia ketiga dalam pola
 hidup konsumtif, berbeda dengan dominasi kebudayaan kolonial yang 
berupa sekolah dan perguruan-perguruan tinggi yang mewakili gagasan 
kolonialismenya.
Imperialisme budaya mempunyai struktur (jaringan) dan infrastruktur 
yang kuat. Menghasilkan produk yang massif dengan perubahan terus 
menerus. Dia juga masuk ke institusi-institusi pendidikan (negara dunia 
ketiga) terutama untuk tetap mengokohkan akumulasi modalnya dengan 
mengembangkan kurikulum pendidikan yang hanya bisa melahirkan para 
konsumen, tidak lagi produsen. Dia juga masuk kedalam institusi agama 
untuk menyebarkan kepasrahan akan nasib kemiskinan yang di derita 
sebagai takdir dan ketetapan Tuhan.
Perang Gagasan adalah Perang Kebudayaan
Sekarang, dalam masa demokrasi liberal jalannya kesenian dan 
kesastraan berjalan dalam bingkai industri. Musik dimonopoli industri, 
tari-tarian juga demikian, film apa lagi, bahkan karya sastra pun 
begitu. Dalam masa demokrasi liberal sekarang ini, jalannya kebudayaan 
tidak identik dengan haluan politik tertentu. Sesuai bangunan sistemnya 
yang ”liberal” maka kesenian dan kesastraanya juga demikian nasibnya. 
Namun secara keseluruhan, kehadirannya justru merusak fikiran rakyat dan
 membikin 
demoralisasi berkepanjangan.
Perang gagasan adalah hal penting yang harus dilakukan terus menerus.
 Gagasan akan kebudayaan yang bergaris ”Realisme Revolusioner”  harus 
lahir mengiringi setiap karya yang mewakilinya. Menjadi sangat penting 
untuk mengurai sejarah lagu-lagu perjuangan dimasa pergerakan 
kemerdekaan saat mengulas sebuah album yang berisikan lagu-lagu 
perjuangan. Begitu juga dengan uraian  sejarah seni rupa yang melukiskan
 tentang penderitaan dan cita-cita perjuangan kemerdekaan, dan hal yang 
sama untuk karya-karya sastra yang mewakili semangat revolusioner. 
Uraian sejarah menjadi penting sebagai upaya mengembalikan ingatan 
sejarah, bahwa lahirnya seniman musik Indonesia berawal dari lagu-lagu 
perjuangan, lahirnya karya sastra Indonesia juga demikian bahkan film 
”Nyai Dasima” produksi tahun 60-an juga lahir dari semangat yang sama.
Perang gagasan juga harus beriringan dengan perang media. Perang 
media adalah upaya membikin media massa alternatif untuk berdiri dengan 
jujur dalam pemberitaan, meng-counter opini sesat dan berpihak pada 
rakyat sebagai pelaksana perubahan kemajuan jaman.
Tentunya hal ini tak mudah, terutama jika kita sadari musuh yang kita
 hadapi adalah industri besar. Menjadi tidak mudah karena situasi 
sekarang berbeda dengan situasi dahulu dimana idiologi-idiologi politik 
sangat berakar kuat dalam pikiran masyarakat. Bagaimanapun sulit dan 
peliknya jalan revolusi kebudayaan, kita tetap harus membuka jalan.
Randy Syahrizal, 
Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sumatera Utara. Ia bisa dihubungi di email: 
randy.syahrizal@yahoo.com