KEJAHATAN KERAH PUTIH DI PEDESAAN JAWA MASA KOLONIAL

Oleh : Wasino

Pendahuluan

Pada saat ini, korupsi dan penyalahgunaan wewenang merupakan tindak kejahatan yang banyak menjadi sorotan. Pemerintah dan masyarakat berusaha untuk menghapuskan tindak kejahatan tersebut melalui berbagai macam cara. Meskipun belum menunjukkan tingkat keberhasilan yang prestisius, namun budaya takut korupsi sedang menghantua para pemegang kekuasaan dan penegak hukum.

Hal ini berbeda dengan masa Orde Baru yang tidak mengekspos kasus korupsi sebagai bahaya yang menghancurkan negara dan masyarakat. Korupsi merupakan penggunaan wewenang dan kekuasaan formal secara sembunyi-sembunyi dengan dalih menurut hukum. Onghokham mengemukakan bahwa korupsi baru timbul setelah adanya pemisahan antara kepentingan keuangan milik pribadi seorang pejabat negara dan keuangan jabatannya. Lingkungan yang baik berkembangnya korupsi diantaranya adalah berkembangnya birokrasi patrimonial, tidak hanya dalam bentuknya yang tradisional, tetapi juga dalam bentuk baru, yakni dengan menggunakan kedok birokrasi modern. Akan tetapi birokrasi modern itu tetap dikuasai oleh nilai-nilai birokrasi patrimonial. Makalah ini berusaha untuk melakukan refleksi historis dengan cara melihat kasus-kasus korupsi pada tataran mikro di pedesaan Surakarta, terutama di sekitar kebun tebu Mangkunegaran (Colomadu dan Tasik Madu). Selain itu juga dipaparkan tentang mekanisme kontrol pemerintah dan masyarakat dalam menghilangkan tindak kejahatan korupsi tersebut.

Korupsi Kasus Dana Pemberantasan Penyakit Pes

Lingkungan birokrasi pemerintahan yang berkembang di wilayah pedesaan Mangkunegaran masih bersifat tradisional. Raja dan aparat birokrasi sampai tingkat desa masih dipandang sebagai “bapak” dari “kawula”. Persoalannya adalah apakah dalam tatanan birokrasi seperti ini tumbuh subur korupsi, dalam bentuk apa korupsi itu muncul, dan bagaimana korupsi itu dikendalikan?.

Berdasarkan data-data yang berhasil ditemukan terlihat bahwa tindak korupsi di pedesaan Mangkunegaran memang terjadi. Korupsi, terutama dilakukan oleh pejabat birokrasi pemerintahan di supra desa. Tindak korupsi itu berupa permintaan uang, barang atau upeti di luar aturan yang berlaku kepada bawahannya, serta penggelapan dana pemerintah. Tindak korupsi tentu sulit diungkap karena perilaku itu umumnya dijalankan secara rapi. Akan tetapi dengan sistem pengendalian korupsi yang baik, tindak korupsi dan dugaan korupsi dapat diproses oleh atasan atau penegak hukum di Mangkunegaran.

Selain itu yang lebih penting adalah pengendalian dari bawah, mereka yang terkena dampak dari perilaku korupsi itu. Beberapa laporan kasus dugaan korupsi terlihat bahwa pejabat pada tingkat distrik dan kabupaten memberi peluang bagi rakyat atau aparat desa pada tingkat yang lebih rendah untuk melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan atasanya. Berdasarkan laporan-laporan dari bawah itu kemudian dilakukan penyeledikan atas dugaan tindak korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Laporan penyelidikan itu harus dibuat proces verbal dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Laporan tindak korupsi terlihat pada tahun 1916.

Laporan yang berupa proces verbal itu dibuat oleh komisi pemberantasan pes (pes bestrijding commissie), J.H.A. Logeman, Kontrolir I/c dan Raden Mas Hariya Suryasutanta, komisi W.V. Laporan itu menyebutkan, bahwa berdasarkan audit terhadap buku kas, terlihat bahwa Mantri Gunung Colo Madu , Raden Mas Ngabehi Harjasasmita telah melakukan tindak korupsi dalam penggunaan dana untuk perbaikan rumah penduduk dalam rangka pemberantasan penyakit pes. Tindak korupsi itu antara lain berupa penggelembungan harga pembelian gedek (dinding dari anyaman bambu).

Dalam buku kas ditulis f 0,75 sen per lembar, tetapi harga sesungguhnya hanya f 0,55 sampai 0,65 sen. Harga riil itu diperoleh dari laporan wong cilik (rakyat biasa) Colo Madu terhadap komisi itu.6 Komisi menanyakan ketidak cocokan itu kepada pelaku. Mantri Gunung Colo Madu memang mengakui bahwa harga gedek per lembar tidak lebih dari f 0,04 sen. Penggelembungan harga gedek perlembar karena digunakan untuk biaya angkut gedek itu dari kota Surakarta ke Colo Madu. Selain itu juga ia berkilah akan digunakan untuk memberikan uang prosen kepada penduduk yang menjaga pekerjaan. Meskipun sudah dikurangi dana-dana itu, berdasarkan perhitungan komisi biaya pembelian satu lembar gedek tidak melebihi f 0,75.

Selain menggelembungkan harga gedek, sebagai penanggung jawab pembuatan rumah untuk rakyat biasa dalam rangka pemberantasan penyakit pes, Mantri Gunung Colo Madu itu juga melakukan tindak korupsi lain. Ia menggunakan uang kas yang seharusnya segera digunakan untuk uang muka pembuatan rumah. Ini terlihat sikapnya yang begitu kebingungan ketika ada pemeriksaan tentang posisi uang kas yang dipegangnya. Pada tanggal 28 Jun 1916, pihak pemeriksa R.M.H. Suryosutanta memeriksa uang kas yang dipegang oleh pelaku. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa uang kas kurang f229,50. Setelah ditanyakan dimana posisi selisih uang itu, pelaku mengatakan bahwa yang f 200 sedang ditukarkan di Kartasura, dan yang f 29, 50 tidak dapat memberikan keterangan.

Setelah dilakukan investigasi dengan saksi lain ternyata uang f 200 itu pun juga digunakan oleh Mantri Gunung Colo Madu. Untuk dapat menunjukkan sejumlah uang itu dihadapan komisi, ternyata ia meminjam uang dari Mantri Pamajegan Gatak, Lemahbang yang datang di malam hari. Sementara itu , catatan dalam buku kas bahwa orang-orang kecil telah menerima uang muka untuk pembuatan rumah ternyata tidak benar. Sejumlah orang kecil yang diinvestigasi mengaku belum menerima uang muka. Komisi akhirnya berkesimpulan bahwa Wedana Gunung Colo Madu melakukan tindak korupsi. Oleh karena ia merupakan pejabat pemerintah Mangkunegaran, maka tindakan selanjutnya diserahkan pada pemerintah Mangkunegaran. Berdasarkan proces verbal terlihat bahwa pada masa itu telah terjadi korupsi. Korupsi dilakukan dengan cara penggelembungan harga beli barang dibandingkan dengan harga riil di pasar. Selain itu juga digunakannya uang proyek terlebih dahulu untuk kepentingan pribadi. Sementara itu pengendalian sosial dilakukan oleh pejabat birokrasi dari atas. Pungutan Liar oleh Demang Pancayuda
Korupsi juga dilakukan oleh kepala desa di wilayah Karang Anyar. Untuk keperluan pemeriksaan, pada tahun 1918 dibentuk sebuah komisi yang bertugas menyelidiki dugaan kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang demang di Desa Dayu, Kemantren Gunung Tugu, Distrik Karang Anyar, bernama Demang Pancayuda. Komisi itu terdiri dari bupati Karang Anyar, Harjahasmara dan Mantri Gunung Karang Anyar, Sumaharyama. Mereka melaporkan hasil penyelidikannya kepada Gubernur Jenederal Hindia Belanda dalam bentuk proces verbal yang ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1918.

Munculnya komisi ini karena adanya keluhan yang disampaikan oleh sejumlah bekel dan nara karya yang merasa diperas oleh demang tersebut.10 Para saksi dalam pemeriksaan menyampaikan keterangannya di hadapan komisi. Kartaya, bekel desa Konang berumur 55 tahun Tindak korupsi ini mirip dengan yang terjadi pada masa Orde Baru dan masa sekarang. Korupsi dilakukan dengan cara penundaan proyek hingga menjelang batas akhir kontrak sehingga uangnya dapat diinvestasikan di tempat lain.

Selain itu juga permainan kuitansi dan laporan keuangan. menyampaikan bahwa dua bulan sebelum dilakukannya pemeriksaan oleh komisi ia dimintai uang lelesan sebesar f 1 ketika menjual sapinya. Dalam waktu yang hampir bersamaan ia juga dimintai uang lelesan sebesar f 1 ketika menjual kerbaunya. Sapawira, bekel desa Konang berumur 50 tahun menyampaikan bahwa, satu tahun sebelum diperiksa komisi ia pernah dimintai uang lelesan sebesar f 1 ketika menjual kudanya oleh Demang Pancayuda. Akan tetapi ia hanya bersedia membayar f 0,20, dan diterimanya. Ada sejumlah penduduk lain yang dimintai uang lelesan, yakni Pareja umur 33 tahun, bekel desa Puluhan; Sasemita umur 42 tahun, bekel desa Wates; Hiradikrama umur 45 tahun dengan pekerjaan nara karya tinggal di desa Wates; Hiradimeja umur 45 tahun seorang bekel yang tinggal di desa Kebak; Japawira umur 45 tahun bekel desa Ngentak; Sapawira umur 40 tahun, bekel dan tinggal di desa Kemiri; dan Kartawikrama umur 36 tahun dengan pekerjaan sebagai bekel dan tinggal di Kopenan. Ke delapan orang itu masing-masing dimintai uang lelesan seebsar 20 sen ketika menjual hewan, baik hewan itu laku-maupun tidak laku.

Selain persoalan pungutan liar dalam jual beli hewan, Demang Pancayuda juga terlibat korupsi pasca panen padi. Dalam setiap tahun sekali ia meminta padi “bawon alus” kepada bekel di wilayahnya sebanyak 2 gedeng padi untuk tiap bekel. Sembilan saksi di atas mengakui di hadapan komisi, bahwa setiap tahun sekali ia dimintai padi sebanyak 2 gedeng sebagai “bawon alus”. Tindak korupsi ini sudah berlangsung selama 8 tahun, sejak Demang Pancayuda diangkat sebagai demang di desa Dayu. Padi tersebut diterima baik oleh demang sendiri, maupun anggota keluarganya. Demang Pancayuda berkilah bahwa padi yang diterima dari sejumlah bekel dan nara karya, bukan sebagai bawon alus tetapi sebagai padi zakat. Pungutan lain terhadap penduduk yang dilakukan oleh Demang Pancayuda adalah uang untuk mendapatkan ijin memotong pepohonan di lingkungan rumahnya. Bekel Kartaya menyampaikan pada komisi bahwa Hiradikrama pernah dimintai uang sebanyak f 5 karena menebang 5 buah pohon. Kasus serupa dialami oleh Hiradikrama, ketika memotong pohon kelapa (glugu) dan nangka juga dimintai uang sebanyak f 5. Demikian pula Hiradimeja dimintai uang sebesar f 5 ketika ia memohon untuk memotong pepohonan di wilayahnya. Kartahikrama dimintai uang sebesar f 1,25 ketika meminta ijin untuk memotong pepohonan (karang kitri).

Perilaku Demang Pancayuda itu dipandang oleh komisi sebagai korupsi. Memang dalam aturan Pemerintah Mangkunegaran sorang kepala desa diperbolehkan menjadi saksi dalam jual beli di wilayahnya dan sebagai imbalannya memperoleh imbalan uang. Akan tetapi menurut Undang-Undang Mangkunegaran tanggal 13 Maret 1902 nmor 5/Q pasal 1 jumah uang yang diperoleh masing-masing saksi untuk setiap penjualan satu hewan hanya 10 sen. Akibat pelanggaran yang dilakukan oleh demang ini, komisi memberi saran yang agak lunak, yakni diturunkan pangkatnya dari demang menjadi rangga dan dipindahkan dari desa Dayu ke desa lain serta diancam akan dipecat jika mengulangi perbuatannya. Sementara itu Bupati Patih Mangkunegaran dalam rekomendasinya tertanggal 12 Desember 1918 menyatakan bahwa kepala desa itu pantas dipecat.

Data itu menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa pernah terjadi tindak korupsi yang dilakukan oleh kepala desa di wilayah Mangkunegaran. Kedua, adanya keberanian rakyat yang posisinya berada di bawah birokrasi patrimonial melaporkan adanya tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pejabat desa. Ketiga, adanya tanggapan positif dari pemerintah lokal dalam menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh aparatnya sehingga mendorong keberanian rakyat untuk mengungkapkan kasus korupsi. Akan tetapi pemerintah Mangkunegaran tidak saja percaya pada laporan yang masuk, tetapi diikuti dengan tindakan investigasi. Dengan kata lain, sistem yang dibangun oleh pemerintah Mangkunegaran memungkinkan dapat diungkapkan dan ditanganinya kasus korupsi.

Dugaaan Korupsi terhadap Demang Jayeng Pranawa.

Meskipun tidak semua laporan masyarakat tentang dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat benar-benar terjadi, namun usaha investigasi pejabat yang lebih tinggi terhadap sebuah kasus dugan korupsi menjadi sebuah keharusan. Jika memang dugaan atau keluhan masyarakat itu tidak terbukti, maka tim atau komisi yang dibentuk untuk menangani hal itu harus benar-benar dapat membuktikan bahwa dugaan itu tidak benar. Ini terlihat dalam kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Demang Jayeng Pranawa. Dugaan korupsi terhadap Demang Jayeng Pranawa bermula dari surat kaleng yang ditujukan kepada Bupati Patih Mangkunegaran. Dalam surat kaleng itu Jayeng Pranawa, wakil kepala desa Jurug diduga melakukan sejumlah tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Pertama, tiap hari melakukan turne ke desa-desa yang dianggap menyusahkan para bekel yang didatangi. Selama turne, ia meminjam uang kepada para bekel dengan cara memaksa, hingga terkumpul sebesar f 750. Oleh karena tidak selalu memiliki uang sendiri, maka para bekel harus mengeluarkan uang pajak yang seharusnya diserahkan kepada Kemantren Gunung Jagamasan. Kedua, Ia meminta uang untuk pembuatan surat kitir (surat keterangan) terhadap penduduk yang bernama Wangsadikroama, dari desa Jomboran sebesar 30 sen yang hendak menjual berasnya ke Kota Solo. Selain itu juga para bakul di desa Guthekan banyak yang diperkirakan dimintai surat kitir.

Ketiga, ia melindungi pelaku durjana koyok yang melakukan tindak kejahatan di desa Klampok, Jagamasan sebab pencurinya kenal dengannya. Akibatnya pencurinya tidak berhasil ditangkap. Jayeng Pranawa juga dituduh melakukan tindakan beberapa pelanggaran hukum lain, yaitu meminta uang kepada para bekel se desa Kranggan masing-masing 10 sen ketika mereka menjual kambing dengan alasan untuk membeli kertas. Jayeng Pranawa melakukan korupsi waktu, dalam menjalankan pekerjaannya hanya sambil lalu, ia tidak tinggal di tempat bekerja, tetapi masih tetap tinggal di Jogomasan.

Dalam surat kaleng itu juga diceritakan, bahwa perilaku buruk Jayeng Pranawa sudah sejak sebelumnya, ketika menjadi kepala desa di desa Tunjungan, Bumiharja Ketika ia ia pernah mengambil tanaman di jalan umum (capuri) berupa mangga, bambu, dan semacamnya.14 Surat kaleng itu ditanggapi oleh Bupati Patih Mangkunegaran melalui surat rahasia no. 3923/38 teranggal 23 Jun 1919 yang ditujukan kepada Wedana Gunung Jogamasan agar dilakukan pemeriksaan tentang kebenaran isi surat kaleng itu. Wedana Gunung Jagamasan akhirnya melakukan pemeriksaan dengan melakukan uji silang pada pelaku, dan saksi yang disebut maupun terkait dengan orant-orang dalam isi surat itu. Mula-mula Wedana Gunung Jagamasan melakukan pemeriksaan secara sembunyi-sembunyi (papriksan alus) terhadap para bekel yang diduga dipinjami uang.

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa isi surat kaleng itu tidak benar. Berdasarkan hasil pemeriksaan dari semua bekel di wilayah Karnggan, Jurug diperoleh informasi bahwa lama turne Jayeng Pranawa selama 203 hari ke tempat para bekel. Tujuannya adalah untuk mempercepat pembuatan keranjang tempat bibit padi dari para nara karya. Selain itu juga untuk melihat kemajuan pertanian di pedesaan. Setelah dilihat di lapangan ternyata memang pengerjaan keranjang untuk bibit sudah selesai dan sudah diisi bibit padi.15 Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa memang Jayeng Pranawa meminjam uang kepada empat orang bekel, tetapi yang dipinjam uang dari para bekel sendiri, bukan uang pajak.

Menurut pembuat laporan pemeriksaan, informasi yang diberikan oleh para saksi dianggap benar karena selain mereka bersaksi di bawah sumpah, juga tidak terbukti adanya bekel yang kether (tidak mampu) membayar pajak pada negara. Para bekel yang dipinjami uang itu adalah: Krama Dana, desa Benawa sebesar f 10,2, Kartadikrama, desa Karang sebesar f 5, Krama Semita, desa Kreten sebesar f10, dan Hargasemita, desa Gutekan sebesar f 7,50. Uang pinjaman kepada para bekel itu sudah dikembalikan pada saat pemeriksaan. Dugaan penarikan uang dalam pembuatan surat kitir juga tidak benar. Wangsadikrama yang disebut-sebut dalam surat kaleng itu tidak merasa dipungut uang dalam pembuatan kitir. Ia memang mengeluarkan uang sebanyak 30 sen untuk membelikan teh Jayeng Pranawa di Solo, tetapi itu sebagai uang talangan, yang diganti setelah kembali dari Solo. Informasi yang sama juga diberikan oleh sejumlah bekel dan bakul, bahwa ketika mereka minta surat kitir tidak dikenakan biaya.

Dugaan tindak kolusi dengan melepas tahanan, berdasarkan hasil pemeriksaan itu tidak benar. Mantri gunung itu mengatakan bahwa ia mengetahui bahwa terdakwa kasus kecu yang bernama Sasadikrama dari dukuh Ngasem, desa Nangsri itu belum kenal dengan Jayeng Pranawa. Oleh karena pada saat itu terdapat dua tahanan kecu, agar tidak timbul masalah, maka kecu satu dititipkan di rumah Jayeng Pranawa dengan dijaga aparat kelurahan Kemiri. Terdakwa melepaskan diri sendiri dan berhasil ditangkap karena usaha Jayeng Pranawa yang meminta bantuan mantri gunung dan aparat desa. Jayeng Pranawa memang belum pindah tempat bersama keluarganya di desa Jurug.
Hal itu disebabkan ada keluarganya yang sakit panas. Jayeng Pranawa sudah bertempat tinggal di desa itu dengan indekos di rumah Jasentana, bekel di desa Jurug.

Berdasarkan informasi dari bekel Jurug, Jayeng Pranawa lebih banyak tinggal di desa Jurug, dan hanya sesekali mengunjungi keluarganya. Tuduhan lain juga tidak benar. Pepohonan yang ditebangi memang sudah rusak. Sementara itu bambu ori ditebang oleh Jayeng Pranawa untuk membuat pagar batas rumah loji, dan prasana desa seperi lumbung, rumah pamong dan prasarana lainnya milik pemerintah sebelum ada yang membeli. Jadi untuk keperluan negara bukan untuk keperluan pribadi. Berdasarkan hasil pemeriksaan itu, Mantri Gunung Jagamasan berkesimpulan bahwa isi surat kaleng sama sekali tidak benar. Surat kaleng itu diperkirakan hanyalah sebuah rekayasa karena merasa benci terhadap Jayeng Pranawa. Para bekel dan nara karya merasa berat dalam menjalankan program pengembangan pertanian desa yang dicanangkannya.

Catatan Reflektif

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa dalam sebuah tatanan tradisional kerajaan, seperti Mangkunegaran telah terjadi mekanisme pengendalian korupsin yang cukup baik. Sebelum kasus-kasus korupsi diajukan ke pengadilan, mekanisme kontrol birokrasi terhadap tindak kejahatan korupsi aparat pemerintahan kerajaan, termasuk di tingkat pedesaaan telah dilakukan. Kontrol tidak hanya dari pejabat birokrasi yang lebih tinggi, tetapi juga dari rakyat kebanyakan. Akibat terciptanya mekanisme kontrol tersebut dapat menimbulkan efek jera dan rasa malu bagi aparat yang melakukan tindak korupsi. Aneh sekali di zaman sekarang yang memberi lebel dirinya pemerintahan modern, tetapi pengendalian pengendalian korupsi di Indonesia kurang efektif. Banyak lembaga diciptakan, tetapi tingkat keberhasilannya tidak sepadan dengan uang yang dikeluarkan oleh negara. Sehubungan dengan hal itu kita tidak usah malu untuk belajar dari kearifan masa lalu, termasuk dalam pengendalian korupsi tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Braz, H.A., “Beberapa Catatan mengenai Sosiologi Korupsi”, dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott (ed.), Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta: LP3ES, 1985).
Bundel P 1785 Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran.
Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, Prisma, no. 2, tahun XII, Februari 1983.
Proces – Verbaal Pemeriksaan Comissie Pestbestrijding di Colo Madoe, dalam arsip Rekso Pustoko kode YN 966 hlm I.
Proces Verbal Kasus Demang Pancayuda, Desa Dayu, Kemantren Gunung Tugu, Distrik Karang Anyar, Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran no. P 237.
Bundel P 1785 Arsip Rekso Pustoko Mangkunegaran.
Wasino, Pedesaan Jawa di Bawah Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat di Wilayah Perkebunan Tebu Mangkunegaran, 1861-1942, (Disertasi belum diterbikan, Sekolah Pascasarjana UGM, 2005).
Artikel, 13 April 2009
Share this article :
 
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. RANDY SYAHRIZAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger